Oleh : Edwin Partogi*


Berurusan dengan penegak hukum dan pengadilan sama seperti memasuki dunia pasar bawah tanah. Transaksi berlangsung dalam gelap dan ilegal. Kasus Gayus Tambunan dalam dunia perpajakan atau Hakim PN Jakarta Pusat Syarifuddin Umar mempertontonkan keadilan diperjualbelikan secara murah.

Situasi demikian yakinlah tak mewakili semua aparat penegak hukum. Masih ada yang berintegritas, menjaga martabat dan kehormatan hakim untuk menyediakan hukum sebagai sarana pencapaian keadilan.

Ini tergambar dari putusan kasasi Mahkamah Agung (MA) dalam kasus Susandhi bin Sukatma alias Aan. Pada bulan Mei lalu, Majelis Hakim Kasasi perkara Aan membebaskan Aan dari segala dakwaan (vrijspraak).

Mengapa kasus Aan perlu diketengahkan? Ada pertarungan alot antara mereka yang berkehendak menghukum dan sebaliknya, membebaskan Aan. Kedua pihak ini berjuang sama gigihnya. Bujukan, rayuan materi hingga tekanan mental menjadi hal biasa bagi pembelanya, orang yang membantunya, termasuk wartawan.

Aan dan kuasa hukumnya menilai kasus ini sarat rekayasa. Cerita berawal pada 14 Desember 2009 dari gedung Artha Graha, Jakarta. Istri Aan melaporkan suaminya telah dianiaya petinggi perusahaan Viktor Laiskodat di depan petugas Polda Maluku yang menginterogasi. Saat interogasi, Aan dipaksa mengaku kebenaran adanya senjata api illegal milik David Tjioe, petinggi perusahaan yang semula seatap dengan Artha Graha. Cara ini gagal. Dicari-carilah kesalahan Aan. Tiba-tiba Aan ditelanjangi dan dituduhkan menyimpan narkoba di dompetnya. Aan pun dijemput Polda Metro, menjalani tes urine yang hasilnya negatif, tapi Polda tetap menahannya.

Saat itu Kadiv Propam Irjen Ogroeseno mencium ketidakberesan dan memproses petugas-petugas polisi tersebut secara hukum. Anehnya, Polda Metro Jaya justru mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) atas laporan perkara penganiayaan ini, tanpa memperhatikan kejanggalan interogasi petugas polisi Polda Maluku di teritori Polda Metro Jaya. Oegroseno digeser ke Polda Sumut.

Satgas Pemberantasan Mafia Hukum menyebut ada perwira Polri berinisial GM terlibat rekayasa kasus ini. Dalam istilah Satgas “ada big mafia di balik kasus ini.” Tapi proses hukum Aan berlanjut hingga pengadilan tinggi. Rekayasa perkara ini tak terdeteksi Komisi Yudisial, lembaga penjaga harkat martabat dan kehormatan hakim. Bisa jadi karena terbatasnya mandat atau ikut dipengaruhi mafia.

Nah, itu semua kini menemui titik terang. Putusan MA ini membelokkan kehendak perekayasa perkara. Aan yang semula menghirup udara kebebasan sejak putusan PN Jakarta Selatan, lama mengecap gundah atas putusan pengadilan tinggi yang memvonis 4 tahun penjara dan denda 800 juta rupiah, kini kembali menjadi warga merdeka tanpa status pesakitan.

Menariknya, meski putusan MA dan PN Jakarta Selatan memiliki konsekuensi yang sama bagi Aan, makna hukumnya berbeda. Putusan MA menyatakan Aan bebas, membuktikan dakwaan terhadapnya tidak benar. Sementara, putusan PN Jakarta Selatan yang membatalkan dakwaan, menegaskan proses lidik-sidik terhadap kasus ini tidak profesional sehingga dakwaan dinyatakan batal demi hukum. Dua putusan itu menyimpulkan dakwaan terhadap Aan mengada-ada dan proses lidik-sidik sarat rekayasa.


Lebih jauh lagi, putusan MA ini patut mendapat apresiasi.

Pertama, melalui putusan ini MA menyampaikan pesan bahwa hakim tidak tunduk pada mafia perekayasa yang selama ini dianggap kebal hukum. Kedua, putusan ini berguna bagi pembenahan institusi penegak hukum khususnya kepolisian. Karena rekayasa kasus bermula dari penyelidikan dan penyidikan polisi.

Mari kita elaborasi. Rekayasa kasus di kepolisian terjadi karena faktor ekstenal dan internal. Faktor eksternal yaitu kepentingan di luar hukum (perilaku korup) karena motif penanganan kasus lebih membuat target operasi sebagai obyek pemerasan. Di sisi lain, penyidikan juga dilakukan berdasarkan order dari pihak berkepentingan baik dengan imbalan materi maupun janji-janji lainnya.

Sementara faktor internal yang cukup berpengaruh yaitu sikap gampangan yang mengakibatkan berkas penyidikan asal jadi tanpa mengukur bobot. Pengejaran capaian kerja mengutamakan kuantitas daripada kualitas. Mengukur keberhasilan penyidik dari jumlah tangkapan, target operasi dan batas waktu yang diberikan atasan juga memicu rekayasa. Ditambah rendahnya komitmen penghormatan hak asasi manusia kalangan penyidik mengabaikan hak-hak tersangka yang dijamin KUHAP.

Ketiga, putusan MA ini adalah teguran bagi Jaksa yang menyusun perkara tetapi menutup diri dari konteks peristiwa yang lebih luas. Akibatnya adalah JPU menjadi doktriner, menuntut tanpa jiwa keadilan, seperti dapat kita lihat dalam kasus curi kakao nenek Minah yang dituntut 6 bulan penjara. Sementara kasus narkoba Jaksa Esther dituntut 18 bulan. Bahkan terdakwa pelanggaran HAM berat Timtim dan Tanjung Priok dituntut dengan tuntutan bebas.

Keempat, putusan MA membuktikan bahwa dalam perkara ini, majelis hakim banding telah mengabaikan fakta-fakta persidangan. Akibatnya, putusan terkesan lebih didasarkan oleh pesanan. Meski hukum memberi hakim kemandirian untuk menentukan putusan. Padahal PN telah mensinyalir praktik suap saat penyidikan.

Tentu tak mudah untuk menyeret mafia hukum di balik kasus ini. Ruang yang tersedia bagi pihak berperkara hanya upaya banding dan kasasi. Tetapi putusan MA kali ini, membuktikan bahwa keseluruhan upaya mencari keadilan itu tidak sia-sia.

* Penulis adalah advokat hak asasi manusia, sekaligus Anggota Forum Belajar Bersama Prakarsa Rakyat dari Simpul Jabodetabek.

** Siapa saja dipersilahkan mengutip, menggandakan, menyebarluaskan sebagian atau seluruh materi yang termuat dalam portal ini selama untuk kajian dan mendukung gerakan rakyat. Untuk keperluan komersial pengguna harus mendapatkan ijin tertulis dari pengelola portal Prakarsa Rakyat. Setiap pengutipan, penggandaan dan penyebarluasan sebagian atau seluruh materi harus mencantumkan sumber (portal Prakarsa Rakyat atau www.prakarsa-rakyat.org).

Sumber: PrakarsaRakyat

0 Comments:

Post a Comment