Oleh : Eka Pangulimara*

Praktis dalam waktu seminggu, rentang waktu 17 hingga 23 Maret 2010, Pertamina di Indramayu berhenti beroperasi sekitar 75% dari total produksi dari mulai eksplorasi sampai pada pengolahan dan distribusi akibat mogok massal pekerjanya. Tentu banyak dari masyarakat yang mempertanyakan aksi pekerja ini, karena Pertamina yang berpusat di Balongan mencakup daerah eksplorasi pengeboran (rig) di beberapa kecamatan yakni Sindang, Mundu, Cemara, Bongas dan lepas pantai adalah pemasok utama BBM ke Jakarta, Jawa Barat dan Banten.

Sistem Kerja Outsourcing: Gurita dalam Pertamina

Masyarakat dan semua orang yang mengikuti berita aksi ini pasti bertanya-tanya, bukankah pekerja Pertamina sudah sejahtera? Lalu kenapa harus aksi?

Dari pertanyaan ini kita mendapat jawaban yang mengejutkan dari pekerja, "Siapa bilang kita adalah pekerja pertamina? Kita adalah pekerja dari perusahaan mitra atau rekanan Pertamina"

Begitulah aksi pekerja ini membuka pengetahuan baru bagi semua orang dan tentunya membuka "kedok" Pertamina dalam memperlakukan pekerjanya. Ya, Pertamina menyerahkan pekerjaannya kepada pihak lain untuk melakukan eksplorasi pengeboran dan produski melalui vendor atau perusahaan mitra.  Kondisi ini membuat kepastian kerja bagi pekerja perusahaan mitra Pertamina menjadi lemah dan kesejahteraanya jauh di bawah "karyawan" Pertamina.  Sangat jelas bahwa Pertamina melanggar UUK 13 tahun 2003 pasal 56-66.  Dimana pekerjaan yang terus menerus, pekerjaan dengan magang serta training dan pekerjaan pokok tidak boleh menerapkan sistem kerja kontrak dan penyerahan kepada pihak lain (outsourcing).

Bila ditelusuri lebih dalam, ternyata banyak pemilik perusahaan mitra yang bekerja sama dengan Pertamina memiliki tautan saudara atau mantan pejabat di lingkungan Pertamina.  Pekerja di perusahaan mitra tersebut pada awalnya direkrut oleh Pertamina dan diberikan pendidikan (training) khususnya pada bagian eksplorasi atau pengeboran (sering disingkat EP). Tentunya pada bagian eksplorasi ini menjadi vital dan membutuhkan skill yang cukup tinggi. Lalu kenapa pekerja ini bisa melakukan aksi mogok?

Ditelisik lebih dalam ternyata ada kesenjangan perlakuan dan pemberian hak kepada pekerja perusahaan mitra dengan "karyawan" (sebutan untuk pekerja tetap di bawah manajemen Pertamina).  Bila karyawan Pertamina di bagian eksporasi walaupun cuma administrasi atau bagian lainnya yang tidak vital sudah masuk golongan 15 yang bergaji minimal 3 juta rupiah/bulan dan mendapatkan bonus tahunan, kesehatan ditanggung perusahaan dan bonus ulang tahun Pertamina. Sementara pekerja yang di bawah naungan perusahaan mitra hanyalah mendapat upah saja, padahal posisi bekerjanya sangat vital dan menjadi jantung produksi yang menghasilkan nilai sangat besar.

Sistem kerja outsourcing ini tidak saja berlaku bagi pekerja pada bagian pokok industri, tetapi juga pada bagian security (satpam), cleaning service (tukang bersih-bersih dan babat rumput) dan pengisian elpiji serta BBM.  Perbandingan angka karyawan dengan pekerja perusahaan mitra adalah 1:9. Karena penerapan sistem kerja ini mengakibatkan pada pemberian upah dan hak-hak lainnya berbeda-beda antara sesama perusahaan mitra Pertamina, walaupun dalam code of conduct Pertamina tidak ada perbedaan. Bahkan prakteknya, banyak pekerja yang mendapat upah di bawah UMK Indramayu, yakni Rp. 854.500/bulan. Ini diduga karena perusahaan mitra memotong anggaran upah yang diberikan Pertamina, padahal dalam setiap kontraknya perusahaan mitra sudah mendapatkan fee 8%-20% dari total anggaran yang diperuntukkan bagi pekerja dan overhead-nya.

Dari Tukang Babat Rumput menjadi Aksi Besar Pekerja

Lalu,  apa yang dtuntut para pekerja Pertamina tersebut? Dalan hal ini mereka menuntut dua hal pokok yakni: diupah sesuai Upah Minimum Sektor Migas dan statusnya diangkat menjadi pekerja tetap Pertamina dengan tunjangan kesejahteraan disamakan dengan karyawan Pertamina.

Kemudian pelajaran penting yang dapat dipetik dari perjuangan pekerja Pertamina ini adalah:

Pertama, tuntutan yang sangat jauh berbeda mampu disatukan dalam satu aksi massa yang begitu mengguncang daerah Indramayu dan Pantura. Tuntutan Upah Minimum Sektoral yang diajukan sebesar 1,5 juta rupiah per bulan dan disanggupi oleh pihak Pertamina sejumlah Rp.1.250.000,-/bulan (150% dari UMK Indramayu) pengusungnya adalah pekerja non skill, yakni tukang babat rumput, cleaning service dan angkat tabung.  Sementara pengusung tuntutan agar statusnya diangkat menjadi pekerja tetap adalah pekerja high skill dan bergaji rata-rata 4 juta rupiah/bulan.

Para pihak pengusung isu memiliki kesadaran penuh untuk menyatukan tuntutan karena mereka dalam satu payung BUMN terbesar dan penghasil devisa nomor satu. Sehingga bila kita lihat di lapangan pada saat aksi tidak ada benturan apapun bahkan saling mendukung.

Kedua, penggerak aksi atau yang memulai aksi di Pertamina Indramayu adalah para tukang babat rumput dan cleaning service. Sesuatu yang orang tidak bakal percaya, bahkan pemimpin aksi adalah tukang babat rumput dengan Bahasa Indonesia yang tidak lancar.  Proses perjuangan ini dimulai dari bulan Januari, tepatnya 28 Januari 2010 yang bertepatan dengan 5 tahun 100 hari SBY dan mampu membuat bagian-bagian produksi vital pertamina berpikir akan nasibnya.

Ketiga, dari proses yang terekam, ternyata pekerja high skill tidak merendahkan posisi babat rumput dan menyatukan langkah bersama dengan target adalah Pertamina. Dan proses ini dilakukan dengan menyatukan dua tuntutan serta membuat tim perwakilan secara bersama.  Dan tim perwakilan inilah yang disepakati menjadi embrio serikat buruh, dimana bagian produksi selama ini tidak terorganisir.  Sebaliknya, mereka yang terorgansir selama ini adalah dari bagian babat rumput.

Keempat, mampu memaksa Pertamina membuat tim crisis center dan bertemu dengan perwakilan pekerja. Ini semua setelah terjadi diskusi panjang dengan melihat titik paling vital Pertamina dengan tidak merugikan masysrakat secara luas dalam mendapatkan BBM.

Kelima, menyatunya kekuatan pekerja dengan masyarakat sekitar Pertamina.  Dimana semua aksi dan pekerja sekitar Pertamina yang mendapat intimidasi diberikan perlindungan. Sementara itu dalam aksi-aksi pekerja, masyarakat juga terlibat aktif. Jalinan ini telah lama dilakukan sejak masyarakat juga mendapatkan dukungan dan keterlibatan anggota serikat dalam menuntut ke Pertamina soal pencemaran lingkungan.

Pelajaran ini bisa diikuti banyak kelompok masyarakat dalam memperjuangkan nasibnya dengan penuh pertimbangan.


* Penulis adalah pengurus serikat buruh, sekaligus anggota Forum Belajar Bersama Prakarsa Rakyat dari Simpul Jabodetabek.

** Siapa saja dipersilahkan mengutip, menggandakan, menyebarluaskan sebagian atau seluruh materi yang termuat dalam portal ini selama untuk kajian dan mendukung gerakan rakyat. Untuk keperluan komersial pengguna harus mendapatkan ijin tertulis dari pengelola portal Prakarsa Rakyat. Setiap pengutipan, penggandaan dan penyebarluasan sebagian atau seluruh materi harus mencantumkan sumber (portal Prakarsa Rakyat atau www.prakarsa-rakyat.org).

Ditulis oleh Redaksi, Kamis, 18 Maret 2010 09:13

BATAM (BP) - Perkembangan usaha televisi kabel (TV Kabel) di seluruh Indonesia, khususnya di Kepulauan Riau (Kepri) berkembang pesat. Agar keberadaan TV Kabel di Kepri ke depan bisa memberikan kontribusi kepada daerah, maka perlu dilahirkan Peraturan Daerah (Perda) terkait dengan usaha ini.

Usulan melahirkan Perda TV Kabel ini guna meningkatkan PAD (Penghasilan Asli Daerah) yang sebelumnya pernah diwacanakan Ketua Komisi I DPRD Kepri Sukhri Farial, ternyata direspons baik oleh Sekjen DPP Asosiasi Televisi Kabel Indonesia (ATKI) Andrias Adi Purwanto ST. “Saya sangat setuju dengan rencana ini, sebaiknya segera di-Perda-kan, dan sekaligus dibuat aturan main dan ATKI siap memberikan masukan,” ujar Sekjen DPP ATKI Andrias Adi Purwanto, ST, kemarin.

Menyinggung Perda ini, ATKI juga selalu memberikan wacana setiap sosialisasinya di beberapa daerah. Namun sampai saat ini, belum satupun pemerintah daerah yang memiliki Perda terkait TV Kabel. “Akan lebih baik, jika Pemprov Kepri memulainya, sehingga bisa menjadi referensi bagi daerah lain,” harapnya.

Dalam pemberlakuan Perda ini, hal yang terpenting adalah tentang kesiapan para LO (Lokal Operator) terkait legalitas usaha TV Kabel. Bagaimana mungkin pemerintah bisa membuat  Perda untuk usaha yang legalitasnya masih diragukan. Untuk itu, DPP ATKI selalu mendorong dan menfasilitasi anggotanya untuk segera melengkapi hal-hal yang berkaitan dengan legalitas. “Salah satu hal yang terpenting adalah masalah izin penayangan chanel premium,” tuturnya.

Menganggapi masalah perizinan, Direktur Utama Saluran Bintan Ceria (SBC) Group Alan Wassahlan menerangkan, pihaknya telah manandatangani kontrak kerja sama pemakaian chanel premium dengan salah satu perusahaan penyedia konten, pekan lalu di Jakarta. Bahkan, ATKI telah mengakomodir belasan LO di Indonesia untuk mendapatkan MoU.

Untuk itu pemilik SBC TV meminta kepada masing-masing cabang SBC baik di Tanjungpinang, di Batam dan daerah lain segera memasukan nama-nama serta alamat pengusaha tv kabel yang tergabung dengan SBC ke KPID Kepri. Kemudian laporan itu diteruskan ke KPI Pusat di Jakarta dan Dirjen Kominfo.

Dengan proaktif dari pengusaha dan asosiasi ATKI ini, diharapkan KPI bisa mempunyai database keberadaan dan legalitas LO, baik di daerah maupun di tingkat Nasional. Dalam kaitanya dengan Perda, sudah pasti untuk kedepannya pemerintah akan manggali informasi tentang keberadaan LO di KPI.

Direktur SBC Batam Budiman Sah menambahkan, sehubungan arahan pemilik SBC TV,  pihaknya di Batam siap mendata LO yang tergabung pada perusahaanya. Dalam waktu dekat, akan mengirimkan nama-nama LO dan salinan kontrak kerja sama yang telah ditandatangani ke KPID Kepri. “Ini merupakan bukti dari komitmennya dalam mendukung program pemerintah melahirkan Perda,” ujarnya.

Terkait tv kabel ini, Andrias, menambahkan, nantinya Perda sebaiknya juga mengatur area masing-masing lokal operator, sehingga tidak terjadi tumpang tindih kabel jaringan tv kabel yang menopang di tiang PLN. ”Jika perlu, Pemprov Kepri menyiapkan satu central tv kabel yang mampu mengkoneksikan seluruh lokal operator, sehingga persaingan

Sumber:

Oleh : Iqbal Pandji Putra *


Berawal dari kenyataan pahit yang dialami BKM/LKM Karang Maritim, menjadi perhatian di seluruh masyarakat kota Bandar Lampung. Dengan terbongkarnya kasus penyelewengan penggunaan dana BLM yang dilakukan oleh pengurus BKM/LKM dengan melakukan pemotongan uang dana KSM untuk kegiatan lingkungan oleh Kejaksaan Negeri cabang Panjang. Kasus ini berdampak buruk bagi masyarakat Kelurahan Karang Maritim, khususnya dalam keberlanjutan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM).

Pada awalnya masyarakat tidak mempunyai kepedulian, acuh serta memandang sebelah mata terhadap lembaga yang dibentuk dari akar rumput ini. Masyarakat Karang Maritim menilai lembaga ini sebagai contoh buruk perilaku program penanggulangan kemiskinan. Melihat persoalan tersebut, beberapa Pamong RT dan LK berinisiatif untuk melakukan pendekatan dengan Kepala Kelurahan untuk memberikan usulan agar segera merehabilitasi nama kelurahan ini menjadi lebih baik dan siap melanjutan program yang telah dikembangkan oleh pemerintah.

Setelah berembug dan bermusyawarah dengan Kepala Kelurahan dan Pamong-Pamong, diputuskan bahwa Kelurahan Karang Maritim akan membentuk kembali kepengurusan Lembaga Keswadayaan Masyarakat Karang Maritim. Dengan kemauan yang besar dari Pamong dan didukung Kepala Kelurahan, mereka mensosialisasikan kembali ke masyarakat melalui rembug tingkat RT dan pertemuan arisan bulanan Pamong RT untuk segera melakukan pemilihan calon-calon utusan warga dalam pertemuan besar di Kelurahan.


Ujian pertama datang bagi Pamong dan Kepala Kelurahan ketika pada saat sosialisasi dan rembug warga di tingkat RT ternyata warga sekitar tidak ada yang hadir. Dari jumlah 27 RT dan 3 LK yang yang merespon kegiatan pemilihan tingkat basis (RT), hanya 19 RT yang bisa dilaksanakan rembug warga tersebut. Melihat hasil yang belum memuaskan, Pamong dan Kepala Kelurahan berkonsultasi dengan Fasilitator Kelurahan dan Koordinator Kota, apakah dengan hasil yang diperoleh di tingkat masyarakat, Pamong dan Kelurahan bisa segera membentuk kepengurusan BKM/LKM yang baru. Berdasar pertimbangan dan aturan di AD/ART, semua sepakat untuk segera melakukan pemilihan di tingkat Kelurahan.

Yang sangat menarik adalah pada saat menentukan hari, tanggal dan tempat pelaksanaan pemilihan anggota BKM/LKM ini. Pada saat itu sedang maraknya pemilihan calon legislatif, sehingga para caleg-caleg tersebut berinisiatif untuk menjadi donatur penyelenggaraan pemilihan BKM/LKM tersebut. Melihat antusiasnya para caleg tersebut, para Pamong dan Kepala Kelurahan mengambil keputusan yang bijak dan tidak menyalahi prosedur pemilihan BKM/LKM dengan tidak terlibat dalam politik praktis. Bagi caleg yang ingin memberi sumbangan akan diterima dan tempat penyelenggaraan masyarakat yang menentukan. Dan disepakati pada hari-H penyelenggaraan pemilihan di lokasi yang strategis, netral dan mudah didatangi dari seluruh arah. Kemudian lokasi tempat penyelenggaraan ini posisinya berdekat dengan rumah para caleg-caleg tersebut. Penyelengaraan pemilihan Pimpinan Kolektif BKM/LKM berhasil menghadirkan 300 ratusan masyarakat dan tambahan dari utusan 19 RT yang melakukan rembug warga di tingkat basis.

Dengan kritik dan saran dari para tokoh masyarakat, aparat serta Pamong, terbentuklah kepengurusan BKM/LKM yang baru dengan beranggotakan 9 orang terdiri dari 3 perempuan dan 6 laki-laki. Di antara anggota kepengurusan terdapat 2 anggota lama BKM/LKM yang tidak tersangkut dalam kasus Kejaksaan.

Dalam perjalanannya, pengurus baru masih dipandang sebelah mata karena masih dianggap sama dengan LKM lama. Seiring BLM tahap satu akan bergulir, BKM merapatkan barisan untuk membuktikan LKM sekarang akan lebih baik dari yang lalu. Dari PJM pronangkis yang dibuat sudah terlihat skala prioritas pekerjaan bahwa kegiatan setahun ini fokus pekerjaan lingkungan ditambah satu kegiatan sosial. Untuk kegiatan ekonomi yang terbilang kusut, diprioritaskan pada urutan ketiga, sambil terus melakukan pengertian kepada masyarakat dan mengusut penyelewengan dana ekonomi bergulir.

Dari BLM tahap pertama, kegiatan dilaksanakan sesuai rancangan dan anggaran yang diberikan. “Bila ada kekekurangan, akan didukung sepenuhnya oleh warga, “ demikian ujar Pak RT yang lokasinya dibangun jembatan penghubung menuju ke pasar.

Dari keberhasilan membuat jembatan, talud dan gorong yang dilakukan secara bersama-sama masyarakat sekitarnya dengan kualitas yang membanggakan dan bermanfaat untuk orang banyak. Maka seiring berjalannya program pemberdayaan masyarakat perkotaan ini, simpati masyarakat terhadap LKM yang terpuruk ini mulai dihargai oleh masyarakat dan diberikan kemudahan dalam melaksanakan program dengan nilai swadaya semakin meningkat. Dibuktikan dengan adanya transparansi dan akuntabilitas terhadap masyarakat.

Di saat sekarang ini, LKM Karang Maritim tidak dipandang remeh lagi berkat kerjasama, kerendahan hati dan perbaikan kinerja. LKM terus melakukan terobosan baru dengan memberikan kesempatan anggota yang lain untuk menjadi koordinator pada tahun depan secara periodik.

Dari pengalaman ini memperlihatkan bahwa perubahan itu masih ada bila semua memegang komitmen membangun untuk kepentingan masyarakat. Biarlah masyarakat yang menilai dan merasakan hasilnya. Ketika hal itu mereka rasa baik, mereka akan menjawab dengan bersama-sama melakukan perubahan besar ini.


* Penulis adalah anggota Gerakan Rakyat Indonesia (GRI Lampung).

** Siapa saja dipersilahkan mengutip, menggandakan, menyebarluaskan sebagian atau seluruh materi yang termuat dalam portal ini selama untuk kajian dan mendukung gerakan rakyat. Untuk keperluan komersial pengguna harus mendapatkan ijin tertulis dari pengelola portal Prakarsa Rakyat. Setiap pengutipan, penggandaan dan penyebarluasan sebagian atau seluruh materi harus mencantumkan sumber (portal Prakarsa Rakyat atau www.prakarsa-rakyat.org).

Oleh : Istikharoh*

“Apakah romantisme Tuan tentang negeri indah bernama Indonesia ini, membuat Tuan berhenti berpikir barang sedetik untuk membuat Amerika, negeri adikuasa yang tuan genggam menjadi baik dan berwajah ramah?”

(Sumi, buruh tukang jahit pabrik sepatu Adidas di Karawang)


Tuan Obama,

Berat bagi kami untuk mengucapkan, “Selamat datang di Indonesia,” sebuah negeri Indah, kaya-raya namun berpenduduk sangat miskin dan ledakan kesengsaraan dimana-mana. Namun begitu, melalui surat ini saya memperkenalkan diri untuk mengulurkan tangan dan berkenalan dengan Tuan Presiden.

Mungkin Tuan tak kenal kami. Buruh pabrik yang habis waktunya selama 16 jam bekerja tanpa istirahat cukup, dan melalui surat ini, surat yang ditulis dengan tangan lemah seorang buruh, meski bukan mewakili mereka, jutaan buruh lain yang dipaksa bekerja melebihi delapan jam waktu normal, namun saya merasa yakin, demikianlah keadaan kawan-kawan yang terpenjara di balik pagar tinggi pabrik kami, di balik deru mesin produksi menghasilkan barang-barang.


Tuan Presiden,

Kenapa saya merasa penting menuliskan surat ini? Sejujurnya saya merasa gegar otak, membaca halaman-halaman berita yang saya baca dari koran di meja majikan di pabrik tempat saya bekerja, yang setia saya jaga selama lebih 15 tahun meski saya serasa mengontrak di pabrik, setiap tahun harus mengisi ulang formulir pendaftaran dan sumpah setia untuk bekerja di pabrik ini. Kesalahan kecil saja membuat saya dicap menjadi buruh yang tidak setia.

Kenapa surat ini menjadi penting saya tulis? Ketika membaca koran dan nonton televisi, saya terhenyak karena berita kedatangan Tuan Presiden telah meracuni kesadaran sebagian rakyat Indonesia. Dengan balutan romantisme bahwa tuanlah Presiden Amerika yang berbeda, bukan saja karena pernah hidup dan tinggal di Indonesia sehingga secara emosional dinyatakan dekat, namun juga propaganda yang menyatakan bahwa Tuan adalah Presiden Amerika yang berbeda karena kepedulian pada nilai-nila HAM dan Keadilan. Inilah era dimana Presiden Amerika telah menempatkan posisi pentingnya bagi perdamaian dunia. Itulah, sihir dan ilusi sesat bagi sebagian rakyat yang dipaksakan oleh Rejim SBY untuk memberikan dukungan atas kedatangan Obama ke Indonesia. Saya benar-benar terhenyak dan tersentak membaca berita itu.

Mungkin, Tuan bertanya, kenapa sebagai buruh saya merasa penting menulis surat ini? Saya hanya ingin membuat kedatangan Tuan ke Indonesia menjadi lebih bermakna dan pulang tanpa diantar oleh basa-basi presiden kami, presiden yang sama seperti Tuan. Bahkan merasa perlu mencontek cara tuan berkampanye, meniru gaya bicara Tuan, meniru cara deklarasinya dan memilih warna kebesaran yang sama. Memilih lagu yang sama dalam bersenandung dan tentu saja kesamaan yang lain. Ah, itu hanya ilusi bagi kami Tuan.

Kini, ketika Tuan berencana datang ke negeri kami, kami hanya ingin mengajak Tuan tidak sekedar berwisata ke Bali. Berkunjung dan duduk kembali di bangku yang sama seperti ketika Tuan bersekolah selama 4 tahun di negeri kami pada masa lalu. Bahkan kini sebuah patung Tuan dengan gambar kupu-kupu pun melengkapinya.

Kami ingin, tuan meluangkan waktu, mampirlah ke pabrik kami, pabrik yang sama dengan ribuan pabrik lainnya, yang menjadikan negeri Tuan menjadi negeri yang hebat. Menjadikan artis-artis di negeri Tuan cantik karena kain sutera yang kami rajut dan tas belanja yang kami jahit dengan tangan kami ini.

Dan kami juga ingin mengatakan kepada Tuan, bahwa ribuan atlet hebat di negeri tuan, yang menghasilkan medali emas di setiap momen olah raga, kami pun turut menyumbangnya dengan menjahitkan sepatu dari bahan terbaik dan jahitan paling halus. Itulah kami Tuan, buruh Indonesia yang kali ini menuliskan surat untuk Tuan.

Namun, ijinkan pula kami meyampaikan bahwa sebenarnya jutaan teman kami yang banting tulang di lorong pabrik pengap dan gelap, menolak kedatangan Tuan. Mereka menolak bukan karena tak bersimpati dengan Tuan Presiden. Namun mereka sejatinya kesal karena presiden kami, yang begitu menyerupai anda, dan siapapun yang terlibat dalam rencana kedatangan Tuan ke Indonesia pada Maret 2010 ini -meskipun kemudian ditunda menjadi Juni 2010 karena tuan tak mau melewatkan saat penting ketika parlemen memutuskan sebuah undang-undang kesehatan buat rakyat tuan- tak pernah jujur memberikan penjelasan kepada rakyat bahwa agenda kedatangan Tuan ke Indonesia tak lain adalah menegaskan dominasi imperium Amerika, negara adi kuasa sumber permasalahan bagi sebagian besar rakyat di belahan dunia mananapun.

Dan tentu saja, kami menolak kedatangan Tuan bukan karena Tuan berasal dari ras dan warna kulit yang berbeda, berasal dari belahan dunia yang lain, berasal dari agama yang berbeda atau alasan lainnya. Namun, penolakan yang kami lakukan adalah sebuah kesadaran atas peristiwa sejarah, bahwa siapapun presiden berkuasa di Amerika adalah orang yang dipastikan mengobarkan peperangan di belahan dunia lainnya untuk kepentingan kekuasaan dan eksploitasi, meski dibalut dengan kepentingan perdamaian sebagaimana jargon yang selalu kami dengar. Kesadaran bahwa ratusan tahun, negara imperialis Amerika yang meneguhkan dirinya sebagai negara yang hanya menghisap dan menindas rakyat dan utamanya kaum buruh di belahan bumi manapun. Dan Tuan adalah presiden di negeri itu!

Jadi, ketika kedatangan Tuan tak kuasa kami tolak, dengan sekuat tenaga kami melakukannya, entah besok lusa atau tahun kapanpun Tuan datang, kami hanya ingin mengatakan bahwa negeri Tuan yang kaya raya, itu sebenarnya berhutang amat banyak kepada kami, sekarang dan dari ratusan tahun yang telah lampau.

Dan romantisme menjadi bagian dari negeri kami saja, tak cukup membuat Tuan untuk kami maafkan.

* Penulis adalah buruh tekstil anggota serikat buruh FSPEK Karawang, sekaligus Anggota Forum Belajar Bersama Prakarsa Rakyat dari Simpul Jabodetabek.
** Siapa saja dipersilahkan mengutip, menggandakan, menyebarluaskan sebagian atau seluruh materi yang termuat dalam portal ini selama untuk kajian dan mendukung gerakan rakyat. Untuk keperluan komersial pengguna harus mendapatkan ijin tertulis dari pengelola portal Prakarsa Rakyat. Setiap pengutipan, penggandaan dan penyebarluasan sebagian atau seluruh materi harus mencantumkan sumber (portal Prakarsa Rakyat atau www.prakarsa-rakyat.org).

Oleh : Husni K. Efendi*

Hampir 4 tahun lamanya warga di lokasi pengeboran PT Lapindo Brantas di desa , Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo dan sekitarnya, terhitung sejak Lumpur panas menyembur sejak tanggal 27 Mei 2006 silam, mereka harus hidup di pengungsian sampai sekarang. Berjibaku dengan masalah hidup yang lebih sulit dari sebelum mereka mengalami masalah ini. Ada banyak warga yang meninggal dunia karena menghirup gas dari semburan lumpur itu, apalagi saat pipa gas milik Pertamina meledak pada tanggal 26 November 2006 yang menewaskan 12 warga.

Fakta yang lebih besar lagi, ada sekitar 3.000 lebih kepala keluarga (KK) dengan 13.000 jiwa lebih yang terpaksa terusir dari kawasan semburan lumpur itu, bahkan dua desa di Porong "hilang" yakni Siring dan Renokenongo. Fakta-fakta ekologis itu memastikan adanya pelanggaran HAM berat sesuai UU Nomor 26 Tahun 2006, bahkan Komnas HAM mencatat 18 jenis pelanggaran HAM yang merujuk fakta-fakta ekologis yang ada.

Bagaimana tidak, rumah dan tanah yang tadinya mereka tinggali tergenang lumpur panas dengan masalah ganti rugi yang tidak jelas, belum lagi masalah kebutuhan hidup sehari-hari dan kesehatan juga pendidikan yang nyaris diacuhkan oleh pihak pemerintah ataupun oleh pihak PT Lapindo Brantas sendiri.

Parahnya mediapun lebih memilih menuliskan “Lumpur Sidoarjo” dibanding dengan “Lumpur Lapindo Brantas.” Tanpa sadar media pun ikut menyetir pola pikir masyarakat, secara tidak langsung mengatakan bahwa itu semua adalah gejala alam dan bukan kesalahan manusia. Dengan asumsi ini adalah gejala alam yang mau tidak mau masyarakat Sidoarjo harus menerimanya. Lantas pertanyaan klasik janji SBY dulu tentang Peraturan Presiden No. 14 Tahun 2007:

Dalam rangka penanganan masalah sosial kemasyarakatan, PT Lapindo Brantas membeli tanah dan bangunan masyarakat yang terkena luapan lumpur Sidoarjo dengan pembayaran secara bertahap, sesuai dengan peta area terdampak tanggal 22 Maret 2007 dengan akta jual-beli bukti kepemilikan tanah yang mencantumkan luas tanah dan lokasi yang disahkan oleh Pemerintah (ayat 1). Pembayaran bertahap yang dimaksud, seperti yang telah disetujui dan dilaksanakan pada daerah yang termasuk dalam peta area terdampak 4 Desember 2006, 20% (dua puluh perseratus) dibayarkan di muka dan sisanya dibayarkan paling lambat sebulan sebelum masa kontrak rumah 2 (dua) tahun habis (ayat 2).

Tidak jelas realisasinya, nyatanya juga janji itu seperti angin lalu, seolah-olah dengan hanya mengeluarkan Peraturan Presiden masalahnya selesai. Kita bisa melihat bagaimana yang terjadi di lapangan, warga korban Lapindo Brantas terus menuntut hak mereka sampai sekarang. Bagaiamana menceritakan penderitaan yang dialami warga Lapindo kadang kemudian hanya menjadi kisah sinetron yang didramatisir bagi mereka yang berkepentingan (berkampanye dalam pemilu).

Kisah tragis Mbok Jumi korban lumpur Lapindo Brantas misalnya yang mengalami sakit sampai akhir hayatnya menyaksikan tanah, rumah dan kampungnya terendam lumpur juga tidak banyak yang tahu. Ia meninggal dunia dengan tetap menyandang status sebagai korban lumpur Lapindo Brantas.

Lumpur Porong Jadi Obyek Wisata Geologis?!

Lumpur Porong Jadi Obyek Wisata Geologis adalah pemberitaan tentang usulan Presiden SBY dalam detiknews.com edisi 29 Maret 2010. Dia menyebutkan bahwa dengan menjadikan kawasan luapan lumpur Sidoarjo menjadi kawasan objek wisata setidaknya bisa diatur menjadi semacam wisata geologis, sumber perikanan, pertanian, kelautan atau lainnya.

Alih-alih bagaimana SBY mengevaluasi realisasi dari Peraturan Presiden No. 14 Tahun 2007, atau memikirkan korban warga lumpur Lapindo Brantas yang masih dalam pengungsian dengan segala permasalahannya. Yang ada malah usulan untuk menjadikan kawasan wisata. Sepertinya tidak tahu lagi apa sebenarnya yang menjadi komitmen Presiden SBY terhadap warga Korban Lumpur Lapindo ini. Tidak masalah mungkin jika langkah ini diambil jika memang masalah sebelumnya juga sudah teratasi.

Begitu banyak masalah yang terjadi dengan luapan lumpur Lapindo Brantas sehingga seolah-olah SBY tidak mau dipusingkan dengan itu, dengan gegabah merencanakan objek wisata di daerah luapan lumpur. Pertanyaannya kemudian adalah bagaimana warga mau mengelola itu setidaknya mendapatkan manfaatnya, jika kebutuhan-kebutuhan mendasarnya pun sampai sekarang tidak terpenuhi (masalah ganti rugi, kesehatan, dampak psikologis). Sepertinya dengan mengatakan ide ini terlalu dangkal untuk kapasitas seorang presiden, kiranya tidak berlebihan.

Tidak lama berselang DPR juga senada dengan “boss”-nya, lewat Marzuki Alie sebagai ketua DPR, menyetujui usulan Presiden SBY dalam rangka menjadikan Lumpur Lapindo menjadi kawasan wisata.

Belum berhenti sampai di sini, kebobrokan birokrasi ini ditandai lagi dengan bagaimana Gubernur Jawa-Timur, Soekarwo memberikan penghargaan Zero Accident Award kepada PT Lapindo Brantas Inc. pada 25 Maret lalu.

Teman saya mengomentari, “Kalau PT Lapindo Brantas mendapatkan Penghargaan Zero Accident, besok mungkin Freeport dapat penghargaan sebagai perusahaan yang paling menghargai HAM, dan Newmont sebagai perusahaan yang paling menghargai Lingkungan.” Sepertinya kelakar teman saya tadi memang nyata.

Alhasil harus kepada siapa lagi korban Lapindo Brantas ini akan mengadu? Dan kita semua perlu waspada, jika masalah ini terus berlarut-larut kita tunggu saja bom waktu ini kapan akan meledak


* Penulis adalah anggota Komunitas Ultimus Bandung , sekaligus Anggota Forum Belajar Bersama Prakarsa Rakyat dari Simpul Bandung.

** Siapa saja dipersilahkan mengutip, menggandakan, menyebarluaskan sebagian atau seluruh materi yang termuat dalam portal ini selama untuk kajian dan mendukung gerakan rakyat. Untuk keperluan komersial pengguna harus mendapatkan ijin tertulis dari pengelola portal Prakarsa Rakyat. Setiap pengutipan, penggandaan dan penyebarluasan sebagian atau seluruh materi harus mencantumkan sumber (portal Prakarsa Rakyat atau www.prakarsa-rakyat.org).

Oleh : Kusrinani*

Undang-Undang 39 tahun 2009 tentang Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) disahkan oleh DPR pada tanggal 15 Septembar 2009 dan mulai diberlakukan sejak diundangkannya yaitu tanggal 14 Oktober 2009. KEK adalah bagian dari neoliberalisasi yang mendorong otonomi daerah sebagai tempat penanaman modal dan perputarannya.

Terdapat banyak kemudahan sebagai jaminan modal bisa terus berputar dan besar antara lain adalah: (1) Setiap wajib pajak yang melakukan kegiatan usaha di kawasan Ekonomi Khusus (KEK) diberikan fasilitas kelonggaran dalam pengurangan Pajak penghasilan (Pph); (2) Fasilitas perpajakan juga dapat diberikan dalam waktu tertentu kepada penananm modal berupa pengurangan Pajak bumi dan bangunan (PBB) sesuai ketentuan perundang-undangan; (3) KEK juga mengatur bebas pungutan untuk Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM) untuk barang kena pajak, serta PPh impor; (4) KEK di bawah kekuasaan Dewan Nasional dan Dewan Kawasan.

Dengan keistimewaan di atas jelas bahwa KEK hanya akan menjadi “negara dalam negara.” Ada banyak kekhususan dan fleksibilitas yang berarti hanya akan menjadikan buruh sebagai komoditas yang mudah dieksploitasi oleh sistem kerja kontrak outsourcing, upah murah serta kelenturan-kelenturan yang ada dalam sistem ini seperti yang telah terjadi di Batam, Karimun dan Bintan. Dengan dalih peningkatan ekonomi dan pendapatan di daerah, KEK dipaksakan untuk dijalankan tanpa terlebih dulu meminta pertimbangan dan sosialisasi terhadap salah satu pelaku ekonomi yaitu buruh. Kemudahan-kemudahan fiskal dan fleksibilitas Undang-Undang Ketenagakerjaan, menjadikan KEK seperti medan magnet yang begitu cepat menarik para investor. Dalam jangka pendek memang akan terjadi penyerapan tenaga kerja tapi dalam jangka panjang akan menyebabkan sumber daya alam terkuras dan mengalirnya laba/keuntungan keluar negeri. Sedangkan masyarakat lokal hanya menjadi penonton bahkan hanya akan menjadi tenaga-tenaga yang dieksploitasi dikarenakan kemajuan ekonomi itu hanya dinikmati oleh para investor dari negara lain.

Pelibatan peran daerah dalam menopang KEK ini membuat pemerintah di daerah berbondong-bondong untuk mengajukan daerah mereka sebagai bagian dari mega proyek KEK ini. Salah satu yang dipersiapkan adalah Pulau Madura di Jawa Timur. Namun berbeda dengan di tempat yang lain meski memiliki potensi alam dan luas tanah tapi Madura belum ditopang infrastruktur yang memadai untuk menggerakkan KEK. Maka pada tahap awal Pemerintah Pusat dan Jawa timur bekerjasama dengan investor untuk membangun infrastruktur penunjang, salah satunya adalah Jembatan Suramadu. Jembatan sepanjang 5.438 meter yang dimiliki oleh Indonesia ini dibangun bukan untuk menunjukkan kebanggaan kita kepada dunia atas keberhasilan teknologi anak bangsa. Namun infrastruktur ini memang dipersiapkan untuk menghubungkan Madura dengan Surabaya sebagai bagian dari kelangsungan KEK.

Kenapa harus Madura? Madura adalah pulau yang strategis sebagai jalur pelayaran antar pulau, sekaligus mempunyai cadangan kekayaan alam berupa minyak bumi yang melimpah. Madura Industrial Seaport City, itulah nama mega proyek industrialisasi di Socah, Kabupaten Bangkalan, Madura. Mega proyek ini menurut Pemkab Bangkalan dapat menopang kekuatan industri, perdagangan dan jasa. Selain pembangunan infrastruktur jembatan, jalan-jalan yang menghubungkan satu kecamatan dengan kecamatan yang lain pun mulai diperbaiki dan dipersiapkan sebagai penunjang. Ada dua kecamatan yang nantinya secara khusus akan dijadikan sebagai kawasan industri yaitu Kecamatan Socah dan Kecamatan Labang. Infrastruktur lainnya seperti bandara internasional dan terminal peti kemas di Kecamatan Klampis, pelabuhan, waduk di Desa Tellok dan Galis dipersiapkan. Total kebutuhan lahan untuk melaksanakan proyek ini adalah kurang lebih 5.794 hektar dan tentu saja beban biaya triliunan rupiah untuk ini diambilkan dari APBN, APBD dan utang luar negeri yang akan semakin membebani perekonomian Indonesia.

Untuk lahan yang sebesar itu maka dibutuhkan pembebasan lahan yang tentunya akan menimbulkan masalah sosial baru di dalam masyarakat antara yang pro maupun yang kontra. Bukan hanya persoalan ganti rugi dan pembebasan lahan tapi KEK juga akan menyebabkan perubahan terhadap nilai-nilai kedaerahan dan profesi masyarakat lokal yang semula bertani, bertambak dan nelayan akan berubah menjadi buruh industri dan jasa. Banyak warga yang tidak mengetahui tentang rencana KEK yang telah diprogramkan Pemerintah Daerah Jawa Timur. Ini dikarenakan kurang dilibatkannya peran serta masyarakat dalam proses pengambilan keputusan. Masyarakat secara umum hanya mengetahui kalau tanah mereka akan dibebaskan maka kompensasi dan pembayarannya haruslah sesuai dengan kesepakatan. Tentunya bukan itu saja, mereka juga menginginkan jika industri dibangun, mereka ingin dilibatkan untuk menjadi tenaga kerja di dalamnya atau kalau tidak mereka akan menolak.

Kurangnya pemahaman tentang proses industrialisasi dan dampaknya dengan berkaca di tempat lain seperti Batam misalnya, membuat rakyat terperdaya dan menerima seakan-akan proyek KEK akan membawa kebaikan dan kesejahteraan. Mereka tidak berhitung kalau sebentar lagi akan ada perubahan nilai sosial-budaya, dan yang paling penting mereka akan menjadi budak di negerinya sendiri. Karena investasi memerlukan kelonggaran dan penekanan-penekanan biaya produksi yang itu berarti buruh kontrak yang diupah murah dan siap bekerja kapan saja. Dan pertanyaannya adalah benarkah KEK dibuat untuk mempercepat industrialisasi nasional dengan mendorong optimalisasi sumber daya alam dan manusia di daerah yang akan berdampak pada kesejahteraan dan pemasukan daerah? Atau justru akan semakin memiskinkan rakyat karena adanya upaya negara untuk memberikan kemudahan fasilitas bagi investasi untuk mengeksploitasi kekayaan alam dan menjadikan rakyat sebagai koeli-koeli di negerinya sendiri yang akan semakin tergantung secara ekonomi terhadap kepentingan para pemodal.

Sadar atau tidak, Undang-Undang KEK sudah disahkan. Maka kita harus bersiap dalam menghadapi dampak yang akan disebabkan oleh KEK. Perlu ada strategi baru untuk menghadapinya selain aktif mengkampanyekan penolakan KEK. Ruang-ruang diskusi dan pendekatan harus secara terus-menerus dilakukan terutama terhadap masyarakat lokal yang akan pertama kali merasakan dampaknya. Dan tentunya penolakan-penolakan tersebut dilakukan dengan melakukan aksi-aksi massa dan secara hukum mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi untuk membatalkan Undang-Undang 39 tahun 2009 tentang Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) yang jelas-jelas hanya berpihak kepada kepentingan modal ketimbang kesejahteraan dan perlindungan bagi kaum buruh.


* Penulis adalah anggota Aliansi Buruh Menggugat (ABM)-Jawa Timur, sekaligus Anggota Forum Belajar Bersama Prakarsa Rakyat dari Simpul Jawa Timur.

** Siapa saja dipersilahkan mengutip, menggandakan, menyebarluaskan sebagian atau seluruh materi yang termuat dalam portal ini selama untuk kajian dan mendukung gerakan rakyat. Untuk keperluan komersial pengguna harus mendapatkan ijin tertulis dari pengelola portal Prakarsa Rakyat. Setiap pengutipan, penggandaan dan penyebarluasan sebagian atau seluruh materi harus mencantumkan sumber (portal Prakarsa Rakyat atau www.prakarsa-rakyat.org).

;;