Oleh : Joel Fang*


Negara adalah ikatan sosial yang terorganisir yang berada pada tahta tertinggi di dalam tatanan masyarakat. Konsepsi seperti ini mengkonvensikan “peserta” negara untuk menjalankan aturan-aturan yang diciptakan oleh negara. Sebab negara menjadi pengatur segala kepentingan kolektif masyakatnya, bukan mendiskriminasi masyarakatnya.

Nicos Poulantzas menggambarkan bahwa negara merupakan wujud kesatuan yang mampu meminimalisasi ketegangan kelas sosial yang dicapai melalui penghormatan hak-hak politik warga negara. Berbagai kelas sosial, baik itu berdasarkan pandangan tokoh atau filsuf manapun, merupakan pihak-pihak yang sejajar di hadapan negara. Perbedaan, pertikaian, dan perselisihan antar kelas sosial ditengahi oleh negara. Maka, tampaklah di sana salah satu peran negara yang fungsionalis.

Berbeda di dalam pandangan liberal saat ini, apalagi pandangan (konsepsi) “demokrasi liberal,” yang kadang terlupakan untuk dikritisi oleh masyarakat, memposisikan negara memiliki peran sendiri. Artinya setiap instrumen kenegaraan berjalan secara sepihak tanpa mengedepankan kebersamaan dan tanggung jawab kolektif di dalam tatanan masyarakat. Inilah zaman sepihak-sepihak. Negara hanya mampu melindungi kepentingan segolongan tertentu (yang mungkin dilindungi adalah golongan terdekat) tanpa menitikberatkan pada pertimbangan kebersamaan masyarakatnya. Muncullah kekacauan dari tindakan-tindakan konsepsi kenegaraan seperti itu, yang pada hakikatnya tidak berdasar pada kultur masyarakat Indonesia dan pra-Indonesia.

Salah satu kekacauan yang membuat negara ini kocar-kacir belakangan adalah perilaku korupsi. Di antaranya, kasus dugaan Bibit-Candra yang belum juga usai, kasus Century yang belum menemukan tanda-tanda titik cerah, dan kasus Gayus Tambunan. Kasus-kasus ini hanya beberapa kasus besar di luar banyaknya kasus-kasus korupsi lainnya. Kasus korupsi lainnya itu seperti kasus korupsi yang dilakukan oleh kepala daerah di berbagai daerah. Bayangkan, sebanyak 17 gubernur di Indonesia mengalami kasus korupsi. Padahal, Indonesia hanya memiliki 33 kepala daerah provinsi. Ini artinya sekitar 50% kepala daerah provinsi di Indonesia mengalami tindakan korupsi. Secara keseluruhan total kepala daerah yang tersangkut kasus korupsi berjumlah 155.

Faktor-faktor penyebabnya cukup beragam. Mulai dari faktor internal pribadi maupun faktor eksternal. Faktor internal tersebut berupa hasrat atau dorongan pribadi untuk memperkaya diri. Sementara faktor eksternal merupakan faktor yang timbul dari luar diri. Faktor eksternal inilah yang sulit dipantau keberadaannya, karena faktor ini memungkinkan adanya kerja sama antar individu, antar lembaga, antar kelompok, dan antar golongan yang memiliki relasi terdekat. Motifnya pun beragam, mulai dari motif kekayaan hingga motif politisasi kekuasaan jabatan. Satu faktor dan motif yang sering kali ditemui adalah faktor dan motif yang terkait terhadap perilaku pemilihan umum dan pemilihan kepala daerah. Sehingga, muncullah tujuan reakumulasi keuangan pribadi setelah perbelanjaan biaya pemilu dikeluarkan demi mencapai kemenangan pemilu. Ekstase korupsi yang mampu mengembalikan jumlah uang biaya pemilu merupakan suatu langkah yang mudah dicapai dan efektif.

Maka dari itu, seperti fakta 50% kepala daerah yang tersangkut kasus korupsi, aparat negara melakukan tindakan korupsi dalam berbagai metode yang digunakan. Aparat negara di sini bukan hanya suatu posisi yang menjaga keamanan dan ketertiban negara semata, tetapi juga pada pelaku (pengendali) negara. Mereka berada pada posisi strategis di dalam sistem pemerintahan negara.

Atas fakta-fakat itulah, pemahaman negara dan redefenisi negara perlu dikonsepsikan kembali, khususnya bagi aparat negara. Kekacauan ini dimulai dari konsep kenegaraan yang terabaikan serta sistem dasar kenegaraan yang dianut oleh aparat negaranya. Negara bukanlah suatu tatanan masyarakat yang berdiri sendiri, sehingga aparat negara pun memandang posisinya sebagai pribadi yang berdiri sendiri dalam pemahaman negara seperti ini.


* Penulis adalah aktivis organisasi mahasiswa Universitas Padjajaran, sekaligus Anggota Forum Belajar Bersama Prakarsa Rakyat dari Simpul Bandung.

** Siapa saja dipersilahkan mengutip, menggandakan, menyebarluaskan sebagian atau seluruh materi yang termuat dalam portal ini selama untuk kajian dan mendukung gerakan rakyat. Untuk keperluan komersial pengguna harus mendapatkan ijin tertulis dari pengelola portal Prakarsa Rakyat. Setiap pengutipan, penggandaan dan penyebarluasan sebagian atau seluruh materi harus mencantumkan sumber (portal Prakarsa Rakyat atau www.prakarsa-rakyat.org).

Oleh : Eka Pangulimara H*


Siapakah kaum buruh itu? Apa saja yang harus dilakukan untuk meningkatkan kesejahteraannya? Apakah dengan mendirikan dan berjuang melalui serikat buruh/pekerja? Pertanyaan-pertanyaan ini menjadi tantangan bagi kuam buruh yang seluruh kebijakan perburuhannya ditentukan lewat deal-deal politik. Kekuasaan politik amat berpengaruh dalam konstelasi politik perburuhan, apalagi dewasa ini. Bicara politik, orang akan mengarahkan persepsinya pada proses pergantian kekuasaan. Dan fakta politik di depan kita, justru model perwakilan-perwakilan yang ditempuh dengan jalan pemilu damai. Akankah diharapkan partisipasi politik kaum buruh di Indonesia sanggup merubah wajah bopeng keadilan, dan kesejahteraan, didapat melalui keterlibatannya di dalam pemilu?

Penulis ingin menjelujuri kilometer panjang sejarah perjuangan buruh Indonesia dalam posisi yang berimbang. Banyak literatur menyebutkan, bahwa buruh di Indonesia pernah memperoleh hasil yang gilang-gemilang pasca-pemilu pertama tahun 1955. UU Perburuhan No. 12 Tahun 1964 dan No. 22 Tahun 1957, menciptakan kedudukan kaum buruh bukan barang hisapan, memperketat kesewenangan pemodal/pengusaha dalam mem-PHK. Kaum buruh memiliki proporsi dalam fraksi perwakilan buruh dari proses politik 1955.

Akan tetapi pasca-1965, kaum buruh mengalami pengebirian, perampasan hak demokrasi politiknya, bahkan ditangkapi, dibuang, dibui dan dibunuh. Semuanya tanpa didudukkan di meja pengadilan. Serikat dibentuk atas nama mengamankan rezim otoriter orde baru. Inilah fakta berikut yang ada di depan kita. Perjalanan perjuangan buruh masih lamban, dan bergerak terseok-seok. Puncaknya, rezim otoriter Soeharto yang berkuasa 32 tahun itu terjungkal, lewat gerakan rakyat di tahun 1998.


Siapakah Buruh itu?

Buruh adalah faktor produksi dalam skema besar cara produksi modern. Artinya, buruh merupakan bagian penting penghasil keuntungan perusahaan. Buruh mengeluarkan tenaga, waktu, dan pikirannya. Lalu mendapatkan upah. Buruh menguasai alat-alat produksi dalam bingkai cara produksi modern. Hubungan produksinya dikenal dengan majikan dan buruh upahan. Atau sering disebut-sebut perusahaan dan karyawannya (meminjam istilah orde baru).

Kenapa buruh selalu dikatakan jauh dari kesejahteraan dan kehidupan layak? Karena sistem hubungan produksinya berdasarkan atas kepemilikan alat-alat produksi secara individual, bukan kolektif. Atau minimal dikuasai negara, untuk digunakan sebesar-besarnya bagi kemakmuran masyarakat. Oleh karena itu sistemnya masih melanggengkan penindasan. Kaum buruh diperas tenaganya, dan waktunya, sementara upah yang didapat rendah.

Dalam kondisi demikian, buruh berkumpul dan membicarakan sebanyak-banyaknya masalah kerja yang menghampar, sekaligus melilit kehidupan buruh. Jaman sekarang kita mengenal Labour Market Flexibility (Pasar Tenaga Kerja Fleksibel/Lentur). Dimana untuk mendapatkan buruh, bisa menerima supply dari berbagai pihak. Contohnya perusahaan outsourcing, yayasan penyalur tenaga kerja, PJTKI (masalah buruh migran), koperasi karyawan, bahkan agen-agen serikat pekerja belakangan ini ingin meraup kuntungan dari bisnis perdagangan manusia atau tenaga kerja, di abad ke-21 ini.

LMF dalam bentuknya yang beragam, antara lain: sistem kerja kontrak, outsourcing, dan supply buruh. Semuanya mengandung jerit tangis kaum buruh dan keluarganya. Karena perubahan hubungan buruh dan majikan, semakin tinggi tingkat eksploitasinya. Seorang majikan dapat menerima buruh, dari perusahaan penyalur tenaga kerja. Yang sewaktu-waktu bebas dibuang, ditendang kapan saja, tanpa jaminan pesangon, apalagi mengikuti aturan perburuhan yang ada. Lagi pula sebelum itu, peralihan status kerja tetap diputihkan, di-PHK secara massal lebih dulu. Di lapangan, pasti didapat bukti, kalau pengusaha kerap melakukan pelanggaran hukum: buruh dikontrak lebih dari tiga tahun. Plus taktiknya, dengan sistem perpanjangan kontrak.

Kaum buruh mendirikan organisasi. Manifestasi kebebasan berserikat dan berkumpul, dijadikan alat perjuangan bersama. Serikat buruh/pekerja tumbuh, bak cendawan di musim penghujan.

Gelombang perlawanan rakyat 1998, menggulingkan rezim otoriter orde baru, merombak wajah satu serikat, satu pemerintahan.

Perjuangan serikat di lingkaran bipartit dan tripartit, dianggap belum sepenuhnya berpengaruh pada konstelasi kehidupan ekonomi politik negara. Dimana kecenderungan kontemporer dapat sama-sama kita rasakan, seluruh produk hukum perundang-undangan belum ada yang sejati berpihak pada kaum buruh. Maka kita akan melongok pada hasil-hasil pesta demokrasi prosedural yang seremonialnya tiap lima tahunan sekali.


Pemilu dan Kaum Buruh

Memilih perwakilan-perwakilan buruh di parlemen, menurut hemat penulis saat ini, sekaligus berhasil memilih perwakilan dan penindasnya.

Rasanya tak cukup kalau mau dijejerkan di tulisan ini, betapa banyak antrian kasus, dan kasus-kasus di republik ini yang menguap. Bahkan kasus-kasus tak tersentuh hukum. Karena yang seharusnya terhukum adalah aparat penegak hukum. Proses penegakan hukum berlaku tebang pilih. Mensyaratkan kondisi politik perwakilan, dimana yang berkuasa, akan melakukan hukum sebagai senjata memukul dan memenjara lawan-lawan politiknya. Jujur, kondisi politik belakangan ini amat memuakkan kaum buruh, dari kaca mata penulis.

Akan tetapi kaum buruh tetap dipaksa agar berpikiran obyektif, dan realistis. Kaum buruh tak boleh lari, apalagi sebagai penonton, karena keduanya, hakikatnya, kaum buruh masih sebagai korban, dari rezim dan sistem yang tidak berpihak pada buruh saat ini.

Perlu diakui, sejak orde baru, kaum buruh, pekerja/pegawai negeri telah terlibat dalam aktivitas parpol. Contohnya Golkar sebagai kendaraan politik orde baru. Golkar, dengan kepanjangan Golongan Karya, telah mengakumulasi suara politik lapisan pekerja tersebut. Hanya saja, sudah dibungkus kepentingan, buruh dijadikan mesin-mesin pencetak suara. Mengemban amanat rezim yang berkuasa, Soeharto ketika itu.

Pascareformasi, serikat buruh dan petinggi-petingginya juga berlomba meloloskan nomor pendaftaran parpol mereka, menjadi bagian partai elektoral. Bahkan yang terakhir, pemilu 2009 lalu. Bahwa buruh dan parpol buruhpun masuk dalam papan bursa peraup suara.

Penulis ingin meletakkan perspektif dalam tulisan ini, kalau menelisik pergantian kekuasaan, tidaklah semata-mata dengan jalan pemilu. Penulis ingin tetap berusaha kritis, kita, saudara dan saya, sama-sama korban dari ketidakadilan ekonomi-politik di negeri ini. Maka kita lihat satu persatu pertanyaan: Pertama, sudahkah kaum buruh berperspektif membangun alat perjuangan serikat buruh yang modern, progresif, dan berwatak maju serta menasional?

Kedua, apakah serikat-serikat buruh/pekerja yang maju sekarang ini sudah mendiskusikan alat perjuangan politik sampai ke basis-basis? Kalau kita lihat tidak ada partai-partai politik yang merepresentasi kepentingan buruh, saatnyakah kaum buruh harus membangun partai politik kelas buruh yang sejati?

Ketiga, apakah kaum buruh hanya merasa dengan kekuatan buruh sendirian saja mendapat kekuatan signifikan dalam gelanggang politik? Apakah kaum buruh dan serikat-serikat buruh/pekerja telah menunjukkan indikator keberhasilan menggalang kekuatan tertindas lainnya: tani, nelayan, PKL, kaum miskin perkotaan, mahasiswa, intelektual organik berwatak revolusioner?

Berikutnya penulis ingin merekam hasil-hasil pemilu sedikitnya dengan pertanyaan sebagai berikut: Pertama, apakah harga kebutuhan pokok masyarakat terjangkau dan BBM berharga murah? Kedua, apakah kepastian kerja, upah buruh, kebebasan berserikat meningkat lebih baik? Buruh menjerit upahnya rendah, presiden mengeluh gajinya tak naik-naik. Sudahkan kekayaan negara, SDA, dipergunakan untuk kemakmuran rakyat?

Masalah utang, berapa banyak utang negara akibat kebobrokan birokrasi yang harus ditanggung rakyatnya? Apalagi problem angka pengangguran terus merangkak naik!

Seluruh pertanyaan di atas, penulis ketengahkan di hadapan pembaca. Penulis tak ingin berpretensi menyimpulkan. Dua gambaran di atas, bagi penulis adalah cermin subyektif perjuangan kita, dan kondisi obyektif hasil-hasil pemilu perjalanan transisi demokrasi dan sejak kediktatoran militeristik orde baru.


* Penulis adalah Pengurus Pusat Konfederasi Serikat Buruh, sekaligus Anggota Forum Belajar Bersama Prakarsa Rakyat dari Simpul Jabodetabek.

** Siapa saja dipersilahkan mengutip, menggandakan, menyebarluaskan sebagian atau seluruh materi yang termuat dalam portal ini selama untuk kajian dan mendukung gerakan rakyat. Untuk keperluan komersial pengguna harus mendapatkan ijin tertulis dari pengelola portal Prakarsa Rakyat. Setiap pengutipan, penggandaan dan penyebarluasan sebagian atau seluruh materi harus mencantumkan sumber (portal Prakarsa Rakyat atau www.prakarsa-rakyat.org).
Sumber: PrakarsaRakyat

Oleh : Joel Fang*


Negara adalah ikatan sosial yang terorganisir yang berada pada tahta tertinggi di dalam tatanan masyarakat. Konsepsi seperti ini mengkonvensikan “peserta” negara untuk menjalankan aturan-aturan yang diciptakan oleh negara. Sebab negara menjadi pengatur segala kepentingan kolektif masyakatnya, bukan mendiskriminasi masyarakatnya.

Nicos Poulantzas menggambarkan bahwa negara merupakan wujud kesatuan yang mampu meminimalisasi ketegangan kelas sosial yang dicapai melalui penghormatan hak-hak politik warga negara. Berbagai kelas sosial, baik itu berdasarkan pandangan tokoh atau filsuf manapun, merupakan pihak-pihak yang sejajar di hadapan negara. Perbedaan, pertikaian, dan perselisihan antar kelas sosial ditengahi oleh negara. Maka, tampaklah di sana salah satu peran negara yang fungsionalis.

Berbeda di dalam pandangan liberal saat ini, apalagi pandangan (konsepsi) “demokrasi liberal,” yang kadang terlupakan untuk dikritisi oleh masyarakat, memposisikan negara memiliki peran sendiri. Artinya setiap instrumen kenegaraan berjalan secara sepihak tanpa mengedepankan kebersamaan dan tanggung jawab kolektif di dalam tatanan masyarakat. Inilah zaman sepihak-sepihak. Negara hanya mampu melindungi kepentingan segolongan tertentu (yang mungkin dilindungi adalah golongan terdekat) tanpa menitikberatkan pada pertimbangan kebersamaan masyarakatnya. Muncullah kekacauan dari tindakan-tindakan konsepsi kenegaraan seperti itu, yang pada hakikatnya tidak berdasar pada kultur masyarakat Indonesia dan pra-Indonesia.

Salah satu kekacauan yang membuat negara ini kocar-kacir belakangan adalah perilaku korupsi. Di antaranya, kasus dugaan Bibit-Candra yang belum juga usai, kasus Century yang belum menemukan tanda-tanda titik cerah, dan kasus Gayus Tambunan. Kasus-kasus ini hanya beberapa kasus besar di luar banyaknya kasus-kasus korupsi lainnya. Kasus korupsi lainnya itu seperti kasus korupsi yang dilakukan oleh kepala daerah di berbagai daerah. Bayangkan, sebanyak 17 gubernur di Indonesia mengalami kasus korupsi. Padahal, Indonesia hanya memiliki 33 kepala daerah provinsi. Ini artinya sekitar 50% kepala daerah provinsi di Indonesia mengalami tindakan korupsi. Secara keseluruhan total kepala daerah yang tersangkut kasus korupsi berjumlah 155.

Faktor-faktor penyebabnya cukup beragam. Mulai dari faktor internal pribadi maupun faktor eksternal. Faktor internal tersebut berupa hasrat atau dorongan pribadi untuk memperkaya diri. Sementara faktor eksternal merupakan faktor yang timbul dari luar diri. Faktor eksternal inilah yang sulit dipantau keberadaannya, karena faktor ini memungkinkan adanya kerja sama antar individu, antar lembaga, antar kelompok, dan antar golongan yang memiliki relasi terdekat. Motifnya pun beragam, mulai dari motif kekayaan hingga motif politisasi kekuasaan jabatan. Satu faktor dan motif yang sering kali ditemui adalah faktor dan motif yang terkait terhadap perilaku pemilihan umum dan pemilihan kepala daerah. Sehingga, muncullah tujuan reakumulasi keuangan pribadi setelah perbelanjaan biaya pemilu dikeluarkan demi mencapai kemenangan pemilu. Ekstase korupsi yang mampu mengembalikan jumlah uang biaya pemilu merupakan suatu langkah yang mudah dicapai dan efektif.

Maka dari itu, seperti fakta 50% kepala daerah yang tersangkut kasus korupsi, aparat negara melakukan tindakan korupsi dalam berbagai metode yang digunakan. Aparat negara di sini bukan hanya suatu posisi yang menjaga keamanan dan ketertiban negara semata, tetapi juga pada pelaku (pengendali) negara. Mereka berada pada posisi strategis di dalam sistem pemerintahan negara.

Atas fakta-fakat itulah, pemahaman negara dan redefenisi negara perlu dikonsepsikan kembali, khususnya bagi aparat negara. Kekacauan ini dimulai dari konsep kenegaraan yang terabaikan serta sistem dasar kenegaraan yang dianut oleh aparat negaranya. Negara bukanlah suatu tatanan masyarakat yang berdiri sendiri, sehingga aparat negara pun memandang posisinya sebagai pribadi yang berdiri sendiri dalam pemahaman negara seperti ini.


* Penulis adalah aktivis organisasi mahasiswa Universitas Padjajaran, sekaligus Anggota Forum Belajar Bersama Prakarsa Rakyat dari Simpul Bandung.

** Siapa saja dipersilahkan mengutip, menggandakan, menyebarluaskan sebagian atau seluruh materi yang termuat dalam portal ini selama untuk kajian dan mendukung gerakan rakyat. Untuk keperluan komersial pengguna harus mendapatkan ijin tertulis dari pengelola portal Prakarsa Rakyat. Setiap pengutipan, penggandaan dan penyebarluasan sebagian atau seluruh materi harus mencantumkan sumber (portal Prakarsa Rakyat atau www.prakarsa-rakyat.org).


Sumber: PrakarsaRakyat

Oleh : Mahendra Kusumawardhana*


Robot adalah mesin yang dikontrol oleh komputer dan diprogram untuk bergerak, memanipulasi objek serta menyelesaikan pekerjaan sambil berinteraksi dengan lingkungan. Robot mampu untuk melakukan tugas berulang-ulang dengan lebih cepat, murah dan akurat ketimbang manusia. Istilah robot berasal dari bahasa Czech, robota, yang berarti “buruh yang wajib bekerja.” Kata tersebut pertama kali digunakan pada tahun 1921 saat drama R.U.R (Rossum’s Universal Robots) karya novelis dan pemain drama Czech Karel Capek.

Perkembangan robot sudah demikian canggih hari ini. Saat ini ada robot yang disebut dengan Android yaitu robot yang dibuat menyerupai manusia, baik secara penampilan maupun tindakan. Sepertinya robot buatan Honda bernama Asimo merupakan robot paling canggih abad ini. Dia sudah mampu menyimpan rentetan logika dalam memorinya. Tingkah lakunya pun sudah cukup mendekati manusia, dia dapat bersalaman, berjalan, berlari dan bahkan menari. Bahkan menurut para ahli, bukan tidak mungkin ke depannya pekerjaan yang sekarang dilakukan oleh manusia dapat digantikan oleh robot dari berbagai jenis.

Robot bekerja dengan mekanisme, melalui sensor mereka mengetahui kondisi sekitar, menganalisisnya dan memberikan respons terhadapnya. Namun kemampuan mereka untuk mengetahui kondisi sekitar serta menganalisisnya masih sangat terbatas, jauh dari kemampuan manusia. Dengan begitu logika-logika atau hubungan antara mengetahui, menganalisis serta merespons masih sangat kaku dan terbatas. Jika tombol A yang kita tekan, atau kita perintahkan A maka responsnya pasti dan selalu A. Itulah logika di dalam mesin yang disebut dengan robot. Sementara kehidupan jauh lebih kaya ketimbang perintah A pasti menghasilkan respons A. Bukankah bangsa ini yang demikian kaya akan sumber daya alam dan manusia nyatanya menghasilkan kemiskinan?

Pada bulan Januari yang lalu, saya memasuki gedung tersebut, dengan membawa dokumen-dokumen lengkap berisi perintah dan penjelasan kebutuhan yang saya inginkan. Semua tampak modern dan tertata di gedung tersebut. Komputer di mana-mana dan banyak sudah menggunakan layar datar. Di lantai dasar saya bertemu dengan Robot A dan menyerahkan semua dokumen-dokumen, dia kemudian memindainya, mengamati dengan teliti, yang cukup memakan waktu dan kemudian mengatakan, langsung saja serahkan ke Robot B di lantai atas di ruang 1. Robot B yang akan bisa memberikan apa yang saya butuhkan.

Saya kemudian naik ke lantai atas , melalui tangga berputar dan masuk ke ruangan 1. Ruangan dingin ber-AC namun aroma asap rokok tercium, di sini komputer jauh lebih banyak dari lantai bawah. Robot B dengan cepat mendatangi saya, mengambil dokumen yang saya pegang dan membacanya dengan cepat. Dia sepertinya robot yang jauh lebih canggih dari yang tadi di bawah. Tidak sampai setengah menit dia kemudian berkata untuk membawa dokumen ini ke Robot C di ruangan sebelah dia yang memiliki teknologi dan kekuasaan untuk menyelesaikan permintaan saya.

Saya memasuki ruangan tersebut dan bau rokok lebih menyengat lagi, saya berikan dokumen yang saya pegang kepada Robot C. Dia tampaknya jauh lebih canggih dari robot-robot yang lain. Tidak sampai 5 detik dia memindai dokumen saya dan suara keluar darinya. Akhirnya saya pikir semua akan selesai namun ternyata dia berkata untuk membawa dokumen ini kembali ke lantai bawah dan serahkan kepada mereka yang berada di bawah. Sayapun kebingungan, bukankah robot diciptakan untuk membantu mempermudah pekerjaan manusia? Namun sepertinya robot-robot di sini bekerja sendiri-sendiri, serampangan dengan mekanismenya sendiri-sendiri dan sering bertentangan satu sama lainnya.

Setelah turun ke lantai bawah akhirnya sosok manusia saya temui di lantai bawah, seorang ibu tua dengan ramah menyambut saya, mempersilahkan saya duduk. Beliau kebingungan dan bertanya mengapa saya memberikan dokumen-dokumen itu kepadanya, kenapa saya diminta untuk menjadikan dokumen permohonan itu sebagai surat masuk, toh sebenarnya di atas, dengan Bapak C, dia bisa saja mencari data tersebut untuk saya. Dan saya teringat C bukanlah robot dia manusia, dia salah satu orang di Dinas Tenaga Kerja Provinsi Yogyakarta yang mengurusi Serikat Buruh. Saya yakin dia bukan robot, saya ingat di mejanya tergeletak rokok kretek di samping asbak yang berisi puntung rokok dan abu yang tercecer di sekelilingnya. Belum ada robot yang diciptakan (“digaji”) dengan mahal dari pajak rakyat hanya untuk duduk di ruangan dingin ber-AC dan merokok. Beberapa hari kemudian saya kembali ke kantor tersebut untuk meminta data yang saya butuhkan. Tapi nampaknya proses panjang dan berputar-putas ini tetap harus saya jalani.

Berurusan dengan birokrasi pemerintahan sepertinya adalah sesuatu yang menjadi momok bagi banyak orang. Hal yang sering terjadi adalah model lempar-lemparan di antara divisi, bagian ataupun individu di dalam instansi pemerintah. Proses yang demikian lama itu membuka peluang bagi munculnya “pajak-pajak,” biaya-biaya siluman untuk mempercepat proses dan mendapatkan jalan pintas. Mereka yang memiliki kebutuhan mendesak atau lelah dengan proses bertele-tele tersebut akan mengambil jalan pintas. Para birokrat tersebut nyatanya juga manusia seperti rakyat sendiri. Mereka bukan robot yang bergeraknya mekanis, dengan logika-logika yang kaku. Lalu dari mana munculnya kelompok orang yang disebut birokrat tersebut?

Kondisi sosial seseorang menentukan apa yang ada di kepalanya. Begitu kata para filsuf-filsuf ternama jaman dahulu. Hidup dengan upah di atas UMP dengan tunjangan-tunjangan yang luar biasa, belum lagi jika melihat bagaimana gaya hidup Gayus seorang PNS Golongan III. Demikian juga dengan jabatan yang mereka miliki, jabatan yang dilindungi oleh hegemoni-hegemoni harus dihormati. Dan itu belumlah cukup, berbagai produk hukum dan aparatur kekerasan ada untuk memaksa rakyat menghormati mereka. Bukankah dahulu ada pasal yang dapat memenjarakan siapa saja yang menghina kepala negara? Ataupun dari Kasus Century, ada larangan mengadili pejabat karena kebijakan yang dibuatnya.

Kondisi sosial mereka jelas jauh berbeda dengan jutaan buruh yang diupah rendah atau pengangguran, petani dan termasuk juga anak-anak miskin yang menderita busung lapar di berbagai daerah. Oleh karena itu para birokrat lebih dekat dengan para kaya dan elite-elite politik. Itu kenapa kita bisa melihat perlakukan yang berbeda ketika mereka berhadapan dengan rakyat miskin atau para elite. Dengan begitu para birokrat adalah sekelompok orang di dalam masyarakat yang telah tercerabut dari rakyat dan memiliki kepentingan yang berbeda dengan rakyat karena kondisi sosialnya.

Sekelompok orang tersebut bisa bukan hanya berada di dalam institusi pemerintahan. Birokrat bisa juga muncul di berbagai kelompok atau organisasi masyarakat yang lainnya. Bahkan dalam organisasi yang menyatakan membela rakyat jika kemudian muncul sekelompok orang, biasanya para pimpinan, yang tidak pernah terjun dalam perjuangan membela rakyat maka besar kemungkinan mereka juga akan menjadi birokrat-birokrat, setidaknya di dalam organisasi itu sendiri.

Birokrasi bisa dilawan dengan memaksa mereka untuk berdekatan dengan rakyat. Memaksa mereka untuk turun dan merasakan susah-senangnya rakyat. Lainnya upah yang mereka dapatkan juga harus sama dengan upah yang didapatkan oleh buruh. Dan juga membangun mekanisme agar jika mereka tidak melayani kepentingan rakyat maka rakyat dapat dengan segera mengganti para birokrat tersebut.


* Penulis adalah anggota Perhimpunan Pekerja Warnet Yogyakarta, sekaligus Anggota Forum Belajar Bersama Prakarsa Rakyat dari Simpul Jawa Tengah.

** Siapa saja dipersilahkan mengutip, menggandakan, menyebarluaskan sebagian atau seluruh materi yang termuat dalam portal ini selama untuk kajian dan mendukung gerakan rakyat. Untuk keperluan komersial pengguna harus mendapatkan ijin tertulis dari pengelola portal Prakarsa Rakyat. Setiap pengutipan, penggandaan dan penyebarluasan sebagian atau seluruh materi harus mencantumkan sumber (portal Prakarsa Rakyat atau www.prakarsa-rakyat.org).

Oleh : Eka Pangulimara H*

Siapakah kaum buruh itu? Apa saja yang harus dilakukan untuk meningkatkan kesejahteraannya? Apakah dengan mendirikan dan berjuang melalui serikat buruh/pekerja? Pertanyaan-pertanyaan ini menjadi tantangan bagi kuam buruh yang seluruh kebijakan perburuhannya ditentukan lewat deal-deal politik. Kekuasaan politik amat berpengaruh dalam konstelasi politik perburuhan, apalagi dewasa ini. Bicara politik, orang akan mengarahkan persepsinya pada proses pergantian kekuasaan. Dan fakta politik di depan kita, justru model perwakilan-perwakilan yang ditempuh dengan jalan pemilu damai. Akankah diharapkan partisipasi politik kaum buruh di Indonesia sanggup merubah wajah bopeng keadilan, dan kesejahteraan, didapat melalui keterlibatannya di dalam pemilu?

Penulis ingin menjelujuri kilometer panjang sejarah perjuangan buruh Indonesia dalam posisi yang berimbang. Banyak literatur menyebutkan, bahwa buruh di Indonesia pernah memperoleh hasil yang gilang-gemilang pasca-pemilu pertama tahun 1955. UU Perburuhan No. 12 Tahun 1964 dan No. 22 Tahun 1957, menciptakan kedudukan kaum buruh bukan barang hisapan, memperketat kesewenangan pemodal/pengusaha dalam mem-PHK. Kaum buruh memiliki proporsi dalam fraksi perwakilan buruh dari proses politik 1955.

Akan tetapi pasca-1965, kaum buruh mengalami pengebirian, perampasan hak demokrasi politiknya, bahkan ditangkapi, dibuang, dibui dan dibunuh. Semuanya tanpa didudukkan di meja pengadilan. Serikat dibentuk atas nama mengamankan rezim otoriter orde baru. Inilah fakta berikut yang ada di depan kita. Perjalanan perjuangan buruh masih lamban, dan bergerak terseok-seok. Puncaknya, rezim otoriter Soeharto yang berkuasa 32 tahun itu terjungkal, lewat gerakan rakyat di tahun 1998.


Siapakah Buruh itu?

Buruh adalah faktor produksi dalam skema besar cara produksi modern. Artinya, buruh merupakan bagian penting penghasil keuntungan perusahaan. Buruh mengeluarkan tenaga, waktu, dan pikirannya. Lalu mendapatkan upah. Buruh menguasai alat-alat produksi dalam bingkai cara produksi modern. Hubungan produksinya dikenal dengan majikan dan buruh upahan. Atau sering disebut-sebut perusahaan dan karyawannya (meminjam istilah orde baru).

Kenapa buruh selalu dikatakan jauh dari kesejahteraan dan kehidupan layak? Karena sistem hubungan produksinya berdasarkan atas kepemilikan alat-alat produksi secara individual, bukan kolektif. Atau minimal dikuasai negara, untuk digunakan sebesar-besarnya bagi kemakmuran masyarakat. Oleh karena itu sistemnya masih melanggengkan penindasan. Kaum buruh diperas tenaganya, dan waktunya, sementara upah yang didapat rendah.

Dalam kondisi demikian, buruh berkumpul dan membicarakan sebanyak-banyaknya masalah kerja yang menghampar, sekaligus melilit kehidupan buruh. Jaman sekarang kita mengenal Labour Market Flexibility (Pasar Tenaga Kerja Fleksibel/Lentur). Dimana untuk mendapatkan buruh, bisa menerima supply dari berbagai pihak. Contohnya perusahaan outsourcing, yayasan penyalur tenaga kerja, PJTKI (masalah buruh migran), koperasi karyawan, bahkan agen-agen serikat pekerja belakangan ini ingin meraup kuntungan dari bisnis perdagangan manusia atau tenaga kerja, di abad ke-21 ini.

LMF dalam bentuknya yang beragam, antara lain: sistem kerja kontrak, outsourcing, dan supply buruh. Semuanya mengandung jerit tangis kaum buruh dan keluarganya. Karena perubahan hubungan buruh dan majikan, semakin tinggi tingkat eksploitasinya. Seorang majikan dapat menerima buruh, dari perusahaan penyalur tenaga kerja. Yang sewaktu-waktu bebas dibuang, ditendang kapan saja, tanpa jaminan pesangon, apalagi mengikuti aturan perburuhan yang ada. Lagi pula sebelum itu, peralihan status kerja tetap diputihkan, di-PHK secara massal lebih dulu. Di lapangan, pasti didapat bukti, kalau pengusaha kerap melakukan pelanggaran hukum: buruh dikontrak lebih dari tiga tahun. Plus taktiknya, dengan sistem perpanjangan kontrak.

Kaum buruh mendirikan organisasi. Manifestasi kebebasan berserikat dan berkumpul, dijadikan alat perjuangan bersama. Serikat buruh/pekerja tumbuh, bak cendawan di musim penghujan.

Gelombang perlawanan rakyat 1998, menggulingkan rezim otoriter orde baru, merombak wajah satu serikat, satu pemerintahan.

Perjuangan serikat di lingkaran bipartit dan tripartit, dianggap belum sepenuhnya berpengaruh pada konstelasi kehidupan ekonomi politik negara. Dimana kecenderungan kontemporer dapat sama-sama kita rasakan, seluruh produk hukum perundang-undangan belum ada yang sejati berpihak pada kaum buruh. Maka kita akan melongok pada hasil-hasil pesta demokrasi prosedural yang seremonialnya tiap lima tahunan sekali.


Pemilu dan Kaum Buruh

Memilih perwakilan-perwakilan buruh di parlemen, menurut hemat penulis saat ini, sekaligus berhasil memilih perwakilan dan penindasnya.

Rasanya tak cukup kalau mau dijejerkan di tulisan ini, betapa banyak antrian kasus, dan kasus-kasus di republik ini yang menguap. Bahkan kasus-kasus tak tersentuh hukum. Karena yang seharusnya terhukum adalah aparat penegak hukum. Proses penegakan hukum berlaku tebang pilih. Mensyaratkan kondisi politik perwakilan, dimana yang berkuasa, akan melakukan hukum sebagai senjata memukul dan memenjara lawan-lawan politiknya. Jujur, kondisi politik belakangan ini amat memuakkan kaum buruh, dari kaca mata penulis.

Akan tetapi kaum buruh tetap dipaksa agar berpikiran obyektif, dan realistis. Kaum buruh tak boleh lari, apalagi sebagai penonton, karena keduanya, hakikatnya, kaum buruh masih sebagai korban, dari rezim dan sistem yang tidak berpihak pada buruh saat ini.

Perlu diakui, sejak orde baru, kaum buruh, pekerja/pegawai negeri telah terlibat dalam aktivitas parpol. Contohnya Golkar sebagai kendaraan politik orde baru. Golkar, dengan kepanjangan Golongan Karya, telah mengakumulasi suara politik lapisan pekerja tersebut. Hanya saja, sudah dibungkus kepentingan, buruh dijadikan mesin-mesin pencetak suara. Mengemban amanat rezim yang berkuasa, Soeharto ketika itu.

Pascareformasi, serikat buruh dan petinggi-petingginya juga berlomba meloloskan nomor pendaftaran parpol mereka, menjadi bagian partai elektoral. Bahkan yang terakhir, pemilu 2009 lalu. Bahwa buruh dan parpol buruhpun masuk dalam papan bursa peraup suara.

Penulis ingin meletakkan perspektif dalam tulisan ini, kalau menelisik pergantian kekuasaan, tidaklah semata-mata dengan jalan pemilu. Penulis ingin tetap berusaha kritis, kita, saudara dan saya, sama-sama korban dari ketidakadilan ekonomi-politik di negeri ini. Maka kita lihat satu persatu pertanyaan: Pertama, sudahkah kaum buruh berperspektif membangun alat perjuangan serikat buruh yang modern, progresif, dan berwatak maju serta menasional?

Kedua, apakah serikat-serikat buruh/pekerja yang maju sekarang ini sudah mendiskusikan alat perjuangan politik sampai ke basis-basis? Kalau kita lihat tidak ada partai-partai politik yang merepresentasi kepentingan buruh, saatnyakah kaum buruh harus membangun partai politik kelas buruh yang sejati?

Ketiga, apakah kaum buruh hanya merasa dengan kekuatan buruh sendirian saja mendapat kekuatan signifikan dalam gelanggang politik? Apakah kaum buruh dan serikat-serikat buruh/pekerja telah menunjukkan indikator keberhasilan menggalang kekuatan tertindas lainnya: tani, nelayan, PKL, kaum miskin perkotaan, mahasiswa, intelektual organik berwatak revolusioner?

Berikutnya penulis ingin merekam hasil-hasil pemilu sedikitnya dengan pertanyaan sebagai berikut: Pertama, apakah harga kebutuhan pokok masyarakat terjangkau dan BBM berharga murah? Kedua, apakah kepastian kerja, upah buruh, kebebasan berserikat meningkat lebih baik? Buruh menjerit upahnya rendah, presiden mengeluh gajinya tak naik-naik. Sudahkan kekayaan negara, SDA, dipergunakan untuk kemakmuran rakyat?

Masalah utang, berapa banyak utang negara akibat kebobrokan birokrasi yang harus ditanggung rakyatnya? Apalagi problem angka pengangguran terus merangkak naik!

Seluruh pertanyaan di atas, penulis ketengahkan di hadapan pembaca. Penulis tak ingin berpretensi menyimpulkan. Dua gambaran di atas, bagi penulis adalah cermin subyektif perjuangan kita, dan kondisi obyektif hasil-hasil pemilu perjalanan transisi demokrasi dan sejak kediktatoran militeristik orde baru.


* Penulis adalah Pengurus Pusat Konfederasi Serikat Buruh, sekaligus Anggota Forum Belajar Bersama Prakarsa Rakyat dari Simpul Jabodetabek.

** Siapa saja dipersilahkan mengutip, menggandakan, menyebarluaskan sebagian atau seluruh materi yang termuat dalam portal ini selama untuk kajian dan mendukung gerakan rakyat. Untuk keperluan komersial pengguna harus mendapatkan ijin tertulis dari pengelola portal Prakarsa Rakyat. Setiap pengutipan, penggandaan dan penyebarluasan sebagian atau seluruh materi harus mencantumkan sumber (portal Prakarsa Rakyat atau www.prakarsa-rakyat.org).

Oleh : Fredy Wansyah*


Bahasa bukanlah suatu bagian yang terlepas dari tindakan keseharian manusia. Bahasa merupakan media komunikasi antar manusia lainnya. Media tersebut berfungsi menyampaikan ide dan segala pikiran untuk dipahami orang lain.

Mendasari pentingnya bahasa, sejak awal berdirinya Negara Indonesia selalu menyoroti kebahasaan sebagai bagian dari tindakan politik. Di awal pembentukan Negara Indonesia, misalnya, telah diawali dengan pengikraran Bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan rakyat di seluruh nusantara dalam menyikapi politik bahasa terhadap situasi internasional. Setelah kemerdekaan, pun bahasa sering menjadi “permainan politik” di tatanan politik praktis.

Di masa orde baru, eufemisme merupakan warna tindak tutur bahasa Masyarakat Indonesia yang dikendalikan oleh pemerintah. Hal ini terjadi karena sikap pemerintah pada masa itu mencoba mencitrakan diri melalui bahasa, sehingga kendali bahasa pun dilakukan pemerintah dari berbagai kesempatan yang dimiliki pemerintah. Misalnya, tata penamaan “Lembaga Pemasyarakatan” yang digunakan sebagai pemaknaan terhadap penjara bagi orang-orang yang melanggar hukum. Eufemisme merupakan perilaku menghaluskan bahasa dengan melupakan makna dan rujukan yang sebenarnya demi tujuan dan maksud tertentu.

Belakangan ini gejala-gejala perdebatan ranah bahasa seperti itu muncul kembali. Diawali oleh “pengikraran” para pemuka lintas agama yang membeberkan dan menyatakan kebohongan publik yang dilakukan presiden. Presiden dianggap melakukan kebohongan publik karena dianggap tidak berbuat sejujur-jujurnya.

Presiden dan beberapa orang yang berada pada pihak pemerintah pun seakan panik atas sebutan “kebohongan publik” yang ditujukan kepada presiden sebagai pelayan publik. Penggunaan istilah itu dianggap kurang tepat dan dinilai kurang etis. Di satu sisi, presiden menganggap bahwa dirinya tidak melakukan kebohongan dan telah menjalankan tugas seperti apa adanya, maka muncullah berbagai reaksi politis. Reaksi politis tersebut dilakukan melalui dua cara: Pertama, kritik atas pemakaian istilah. Kedua, pendekatan personal terhadap pemuka lintas agama tersebut.

Bila dipahami secara kebahasaan, kata kebohongan berarti perbuatan yang berkenaan dengan tidak jujur, tidak benar adanya, dan tidak sesuai kenyataan. Pemaknaan itu diambil melalui proses morfologis. “Kebohongan” berasal dari kata “bohong” dan dibubuhi imbuhan “ke-an.” Imbuhan “ke-an” menyatakan kejadian/peristiwa (misal: kecepatan), terlalu (misal: kelonggaran), dan bersifat (misal: kemunafikan). Sedangkan pemaknaan dalam KKBI kata “kebohongan” berarti ‘tidak sesuai dengan hal (keadaan dan sebagainya) yang sebenarnya; dusta,’ ‘bukan yang sebenarnya: palsu.’ Seperti pernyataan yang telah disampaikan oleh Hasan Albana melalui suatu mediasi, bahwa tudingan yang tepat sebenarnya adalah kebohongan SBY, bukan kebohongan publik.

Pada tatanan kognitif kebahasaan, kebohongan publik dimaksudkan untuk menyebut tindakan berbohong yang dilakukan oleh presiden kepada publik. Jika ditelisik dari aspek ini, pemerintah melakukan reaksi politis tersebut, salah satu tujuan, ingin mencitrakan diri melalui politisasi kata. Politisasi kata ini merupakan pembersihan kata yang bermakna (konotasi) buruk, sebab kata “bohong” mengandung konotasi yang buruk dan tidak beradab dalam konteks budaya ke-Indonesiaan. Bahkan, tujuan seperti itu dikuatkan pula dengan tindakan pemerintah selama ini yang sering mencitrakan diri melalui politik pencitraan.

Jadi, upaya-upaya politisasi kata dalam politik bahasa sangat perlu diwaspadai masyarakat. Politik bahasa bukan lagi semata arena pertarungan antar bahasa, melainkan bisa terjadi dalam suatu bahasa yang mempertarungkan kata/istilah demi pencapaian dan tujuan orang-orang maupun golongan tertentu. Dapat dipandang lebih luas lagi, bahwa bahasa saat ini bukan hanya media komunikasi semata. Seperti pandangan Norman Fairclough, menyatakan bahasa pada ranah wacana mengandung praktik-praktik kekuasaan. Oleh karena itu, selain memahami secara kebahasaan yang luas, memahami makna suatu kata perlu juga ditelisik siapa penuturnya.


* Penulis adalah Mahasiswa Sastra Indonesia Unpad, sekaligus Anggota Forum Belajar Bersama Prakarsa Rakyat dari Simpul Bandung.

** Siapa saja dipersilahkan mengutip, menggandakan, menyebarluaskan sebagian atau seluruh materi yang termuat dalam portal ini selama untuk kajian dan mendukung gerakan rakyat. Untuk keperluan komersial pengguna harus mendapatkan ijin tertulis dari pengelola portal Prakarsa Rakyat. Setiap pengutipan, penggandaan dan penyebarluasan sebagian atau seluruh materi harus mencantumkan sumber (portal Prakarsa Rakyat atau www.prakarsa-rakyat.org).

;;