Oleh : Hari Widadi *


Seperti tiba-tiba, Indonesia masuk perdagangan bebas dalam China – ASEAN Free Trade Agreement (CAFTA), Perjanjian Perdagangan Bebas ASEAN - China. Padahal sebenarnya ini bukan hal yang baru karena sudah beberapa kali pemerintah menandatangani perjanjian pasar bebas, seperti WTO pada tahun 1994, Indonesia – Jepang dalam EPA pada tahun 2007, dan Indonesia – New Zealand – Australia dalam NZFTA.

Bea impor yang sampai nol persen membuat hampir semua kalangan seperti kebakaran jenggot ketika CAFTA mulai dijalankan awal tahun ini dari pada kesepakatan – kesepakatan lain yang telah dijalankan sebelumnya. Sudah menjadi rahasia umum kalau maraknya produk impor dengan harga yang lebih murah dan berkualitas lebih baik telah menghancurkan tenaga produksi terutama pada sektor Usaha Kecil Menengah (UKM) apalagi pemerintah nampak tidak siap untuk menyelamatkan perekonomian rakyat.

Kampanye “Aku Cinta Produk Indonesia” sebagai salah satu program pemerintah dalam rangka menghadapi CAFTA belum kita dengar sampai saat ini, padahal laju impor lebih cepat dari pada peningkatan ekspor yang dijanjikan pemerintah. Hal ini bisa kita lihat melalui dengan mudahnya kita temui produk-produk impor di warung depan rumah kita. Kemampuan distribusi yang cepat sangat mendukung perkembanganya, hanya butuh waktu dua jam untuk melakukan pembongkaran barang impor di pelabuhan Tanjung Priok. Para produsen lokal seolah tidak ada pilihan selain bertarung dengan kekuatan seadanya, hukum alam berlaku di sini dan negara tidak bisa berperan banyak untuk menangkalnya.

Padahal jauh sebelum perjanjian dagang itu ditetapkan, gempuran produk-produk dari China sudah merangsek pasar dalam negeri, mulai dari tekstil hingga alat-alat berat, mulai dari produk rumahan hingga produk manufaktur. Presiden Republik Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono justru mengatakan dalam peringatan Hari Koperasi tahun lalu bahwa globalisasi dapat menambah pemasukan dari pajak dan menambah lapangan pekerjaan, sungguh sebuah pernyataan yang jauh dari kenyataan. Tingkat korupsi yang tinggi di negeri ini membuat pendapatan dari pajak tidak terasa sampai tangan rakyat dan justru dengan melihat pola pasar bebas yang dijalankan, ke depan kita akan melihat dan merasakan banyak efek negatif dari pemberlakuan CAFTA, salah satunya yaitu meningkatnya angka pengangguran.


Negeri Konsumen

Dengan populasi sebanyak 234juta jiwa dan GDP per kapita $2.200 yang diperkirakan akan terus tumbuh, Indonesia merupakan pasar yang sangat potensial. Didukung tingkat konsumsi masyarakat Indonesia yang tinggi tentu sangat menguntungkan para importir dan pengusaha-pengusaha negara anggota CAFTA terutama China. Hampir 70% perekonomian nasional didukung konsumsi. Dalam Global Competitiveness Index yang dibuat oleh World Economic Forum dengan mensurvey 133 negara, tercantum bahwa Ukuran Pasar di Indonesia masih menjadi daya tarik bagi para investor dari pada indikator yang lain seperti infrastruktur, kesiapan teknologi, pendidikan tinggi dan pelatihan.

Tidak bisa dipungkiri hal inilah yang menjadikan Indonesia sebagai sasaran empuk para kapitalis internasional. Sayangnya tingkat konsumsi yang tinggi masih dimanfaatkan para pengusaha bermodal besar. Rakyat (yang dipaksa) sebagai konsumen hanya bisa menerima dan menjadi “korban” dari membanjirnya produk-produk impor, melahap semua yang diiklankan tanpa bisa menghindar. Inilah akibatnya kalau sejak dulu bangsa Indonesia diperlakukan sebagai bangsa konsumen dan penyedia bahan mentah. Perekonomian nasional yang lebih menggantungkan pada lembaga donor internasional berakibat kepada bebasnya para kapitalis internasional mendiktekan kebijakan nasional yang senantiasa memposisikan Indonesia sebagai pasar yang potensial untuk dieksploitasi.

Kalau dilihat dari logika pasar apalagi pasar bebas atau neoliberalisme, produsen bermodal kecil (UKM) akan dihantam oleh produsen bermodal besar sedangkan konsumen adalah seseorang yang menghabiskan hasil produksi dan ketika habis akan membeli lagi, mesin pelipatganda omset. Keuntungan akan semakin mengalir ke kantong para pemilik modal besar.


Koperasi Sebagai Alat

Sekarang mari kita lihat sebuah sistem ekonomi yang dipelopori di Indonesia oleh R. Aria Wiriatmadja pada tahun 1896 yaitu koperasi, khususnya koperasi simpan pinjam. Koperasi yang dibuat selain bertujuan untuk mensejahterakan rakyat ketika itu, juga untuk mensiasati perekonomian yang dijalankan oleh kolonial. Sehingga pihak kolonial Belanda kewalahan dan membuat peraturan yang menghambat perkembangan koperasi.

Di awal perkembanganya, koperasi meningkat cukup pesat; pada tahun 1930 berjumlah 39 buah, pada tahun 1939 berjumlah 574, dan jumlah koperasi aktif per November 2001 sebanyak 96.180 dengan anggota sekitar 26.000.000. Bahkan pada masa perjuangan kemerdekaan, gerakan koperasi digunakan oleh beberapa kelompok seperti Boedi Oetomo, Sarekat Islam pada tahun 1911, dan Muhammadiyah pada tahun 1935 untuk memperbesar jumlah anggotanya. Hal ini didukung oleh mudahnya mendirikan sebuah koperasi dan kebutuhan sumber daya manusia yang tidak mementingkan titel khusus atau gelar pendidikan tinggi. Walaupun memiliki struktur yang hirarkis tapi pola kekeluargaan yang dijalankan membuatnya berbeda dengan sebuah perusahaan. Di negara barat, koperasi didirikan untuk mengimbangi kekuatan pasar yang begitu liberal dengan memproteksi anggota-anggotanya dari serangan pasar bebas.

Di Indonesia secara garis besar koperasi digolongkan menjadi tiga yaitu: (1) Koperasi produsen atau yang bergerak di bidang produksi; (2) Koperasi konsumen atau koperasi konsumsi; (3) Koperasi kredit atau jasa keuangan. Mengutip tulisan Dr. Noer Soetrisno, Deputi Bidang Pengkajian Sumberdaya UKM, pada bagian Posisi Koperasi Dalam Perdagangan Bebas menyebutkan bahwa koperasi konsumsi lebih bisa berkembang dari adanya perdagangan bebas dan dengan semakin meluasnya konsumsi dunia. Dia juga menambahkan bahwa sebenarnya menjadi wahana masyarakat untuk melindungi diri dari kemungkinan kerugian yang timbul akibat perdagangan bebas. Dibayangkan jika konsumsi masyarakat terlembagakan dan digunakan untuk mensejahterakan anggotanya.

Sedangkan koperasi produksi dan kredit simpan pinjam seharusnya tetap memerlukan perlindungan dan jaminan dari pemerintah. Seperti daerah Sumatera Barat yang mencatat Sisa Hasil Usaha (SHU) per Juni 2009 mencapai Rp 67,40 miliar dari koperasi produksi dan kredit simpan pinjamnya dengan jumlah koperasi aktif 2.462 dengan jumlah anggota 554.635 orang. Tapi sekarang sudah tahun 2010 dan CAFTA sudah dijalankan pada awal tahun, artinya persaingan modal dan hasil produksi akan semakin keras. Dalam laporan Doing Business 2010 dibuat oleh Bank Dunia untuk mengukur kemudahan mendirikan usaha, Indonesia menempati urutan 122 dari 183 negara, lebih sulit daripada Singapura, Malaysia, Brunei dan China (negara-negara anggota CAFTA) tapi lebih mudah dalam hal Perdagangan Antar Negara (posisi 45), artinya Indonesia lebih potensial untuk menjadi basis konsumen barang impor dari pada menjadi basis produksi.

Walaupun koperasi konsumsi memiliki prospek yang cukup bagus, tapi sampai kapan rakyat hanya diposisikan sebagai konsumen sedangkan kekuatan produksinya terabaikan. Tapi setidaknya para anggota tidak hanya menjadi target pasar yang efektif untuk menambah kekayaan para kapitalis. CAFTA bukanlah pesta tahun baru yang selesai ketika pagi tiba. Ia adalah pasar bebas yang digunakan para kapitalis untuk mengeksploitasi sampai anak cucu kita.


* Penulis adalah anggota Komunitas Rakyat Biasa, sekaligus anggota Forum Belajar Bersama Prakarsa Rakyat dari Simpul Jawa Tengah.

** Siapa saja dipersilahkan mengutip, menggandakan, menyebarluaskan sebagian atau seluruh materi yang termuat dalam portal ini selama untuk kajian dan mendukung gerakan rakyat. Untuk keperluan komersial pengguna harus mendapatkan ijin tertulis dari pengelola portal Prakarsa Rakyat. Setiap pengutipan, penggandaan dan penyebarluasan sebagian atau seluruh materi harus mencantumkan sumber (portal Prakarsa Rakyat atau www.prakarsa-rakyat.org).

Oleh : Beno Widodo*

Mundurnya Sri Mulyani Indrawati (SMI) dari Menteri Keuangan untuk menerima tawaran menjadi Direktur Operasional-Bank Dunia menimbulkan kontroversi. Ada banyak suara protes, tetapi juga tidak sedikit yang menyatakan dukungannya. Tentu dengan berbagai dalih masing-masing.

Namun yang perlu dilihat lebih mendalam dalam naikknya SMI ke Bank Dunia adalah apakah negara ini mendapatkan keuntungan? Soal kemandirian bangsa ini yang terancam? Lalu, bagaimana kelanjutan pemberantasan korupsi di negeri ini karena SMI masih menyimpan dan terkait di dalamnya? Setelah kenaikan SMI ke Bank Dunia maka telah merubah konstelasi politik nasional, siapa yang diuntungkan?

Kemandirian Bangsa
Dalam sebuah pemberitaan di surat kabar, Burhanudin Muhtadi pernah mengatakan bahwa Bank Dunia melamar SMI sudah setahun yang lalu dan dijawab oleh SBY saat itu bahwa SMI masih dibutuhkan oleh Indonesia. Berita tersebut dikuatkan oleh Wimar Witoelar. Nah, kejadian dimana SMI diminta menjadi Direktur Operasional-Bank Dunia adalah permintaan SBY kepada Robert Zoelick (Presiden Bank Dunia), begitu berita tersebut dirillis.

Bila proses itu yang terjadi maka sungguh patut dipertanyakan motif SBY. Ini berkaitan dengan tugas SMI di Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) II dan proses pembongkaran kasus korupsi Bank Century serta mafia pajak. Motif yang paling sederhana adalah mencoba membuang sedikit kerikil dalam KIB II yang bisa menyasar ke SBY, karena bagaimanapun kasus Century sudah menggulir liar dan mengarah pada menyatakan pendapat dari anggota DPR.

Namun bila yang terjadi adalah Bank Dunia yang meminta kepada SBY melepas SMI, ini berarti sebuah intervensi Bank Dunia kepada otoritas Indonesia sebagai negara yang berdaulat. Bagaimanapun Bank Dunia tidak sembarangan dalam menarik orang untuk duduk mengurusi institusi finansial internasional tersebut. Kecendurangan proses kedua ini bisa bernilai politik dan ekonomi yang sangat tinggi, yakni Bank Dunia berharap bisa memaksakan program-programnya ke Indonesia melalui SMI. Seperti sudah menjadi rahasia umum, bahwa krisis ekonomi kapitalisme akhir 2008 akan berbuntut panjang dan salah satu proses pemulihannya adalah penataan kembali sistem perbankan di semua negara dan dunia. Persis di titik inilah SMI akan berperan.


Cederanya Proses Pemberantasan Korupsi
Sekelumit proses naiknya SMI menuju Bank Dunia, sebenarnya tidak akan heboh bila di dalam negeri Indonesia sedang tidak terjadi proses besar “membongkar mafia korupsi” yang secara langsung maupun tidak, telah menyeret SMI. Di tengah kasus Century yang semakin mendorong KPK memanggil Wapres Boediono dan SMI ketika anggota DPR menggunakan hak menyatakan pendapat, dengan mudahnya SBY melepas SMI ke Bank Dunia. Padahal SBY memahami proses pemeriksaan dan pemberantasan korupsi belumlah benar-benar selesai. Dan pemberantasan korupsi menjadi agenda besar bagi pemerintahan SBY sejak kampanye. Maka “restu” dari SBY kepada SMI menunjukkan bahwa pemberantasan korupsi hanya diperuntukkan bagi lawan politiknya.

Sesungguhnya ini menjadi cidera sangat parah bagi proses pemberantasan korupsi dan bisa menjadi contoh ke depan, bila ada pejabat yang tersangkut korupsi bisa dinaikkan ke tingkat internasional untuk menyelamatkannya. Atau bila ada pejabat daerah tersangkut kasus korupsi bisa dinaikkan jabatannya pada posisi strategis di tingkat nasional.

Konstelasi Politik Menyelamatkan SBY
Dengan hengkangnya SMI ke Bank Dunia, maka ada kekosongan menteri keuangan. Dan pada kenyataannya, tidak sekedar hanya mengganti menteri keuangan atau menutup proses-proses pemberantasan korupsi, dengan mata telanjang telah terjadi penataan konstelasi politik. Bila sebelumnya kelompok koalisi banyak yang ikut “menembak SBY melalui kasus Century,” dalam hal ini Golkar dan PKS, maka dengan kosongnya kursi Menkeu, situasi ini dimanfaatkan dengan baik untuk merapikan dan merapatkan koalisi pendukung SBY..

Fakta ini diperkuat dengan diberinya jabatan khusus kepada Aburizal Bakri (Ical) yang merupakan Ketua Umum Golkar, sebagai Ketua Dewan Harian Koalisi. Ia memiliki kewenangan memanggil menteri dan mengendalikan koalisi. Sesuatu kekuasaan yang cukup besar di bawah presiden dan setara dengan wakil presiden. Ironisnya setelah mendapat jabatan tersebut, pendapat partai golkar berubah drastis dan menjadi lembek terhadap penuntasan kasus Century. Dengan demikian serangan kepada SBY pun menjadi berkurang kekuatannya, karena Golkar memiliki suara signifikan di parlemen.

Dengan demikian, maka sudah jelas alur dari naik jenjangnya SMI ke Bank Dunia dan rangkulan SBY kepada Ical bersama Golkarnya sesungguhnya adalah untuk menyelamatkan SBY sendiri dari rongrongan. Tentu mahal harganya bagi rakyat. Penuntasan korban lumpur Lapindo di Sidoarjo akan semakin rumit. Penuntasan kasus Century semakin buram baik bagi nasabahnya maupun masyarakat dan rasa keadilan serta kasus korupsi lainnya. Kalau sudah begini rakyat mau di bawa kemana?

Pemerintah, sejak kepergian Sri Mulyani, mulai menganggap sepi persoalan. Kepergiannya tetap menyisakan ketidakpercayaan rakyat terhadap berbagai kasus korupsi yang datang silih berganti di negeri ini. Berita SMI dan kucuran dana talangan Century, dengan angka 6,7 triliun mulai menguap. Kini, beberapa pejabat di bawah kepemimpinan SBY sudah mengatakan kalau talangan dana Century tidak merugikan negara. Hendarman Supandji, seorang Jaksa Agung dalam KIB II, secara terbuka menyatakannya.

Kalau saja direnung-renungkan sejenak, bisakah kita menyebut kalau kepergian SMI sebenarnya adalah upaya SBY menyelamatkan dirinya?


* Penulis adalah Pengurus Pusat Konfederasi Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia, sekaligus Anggota Forum Belajar Bersama Prakarsa Rakyat dari Simpul Jabodetabek.

** Siapa saja dipersilahkan mengutip, menggandakan, menyebarluaskan sebagian atau seluruh materi yang termuat dalam portal ini selama untuk kajian dan mendukung gerakan rakyat. Untuk keperluan komersial pengguna harus mendapatkan ijin tertulis dari pengelola portal Prakarsa Rakyat. Setiap pengutipan, penggandaan dan penyebarluasan sebagian atau seluruh materi harus mencantumkan sumber (portal Prakarsa Rakyat atau www.prakarsa-rakyat.org).

Oleh : Hadi Purnomo*


Setiap tanggal 1 Juni selalu diperingati sebagai hari lahirnya Pancasila, ideologi dan dasar negara yang dirumuskan oleh para pendiri bangsa ini. Tanggal bersejarah ini diambil ketika waktu itu pada tanggal 1 Juni 1945, Soekarno berpidato dalam Sidang Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai atau BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia). Dalam pidatonya Soekarno mengusulkan Pancasila yang terdiri dari:
Pertama, Kebangsaan Indonesia
Kedua, Internasionalisme atau Peri Kemanusiaan
Ketiga, Mufakat atau Demokrasi
Keempat, Kesejahteraan Sosial
Kelima, Ketuhanan yang berkebudayaan (tidak egoisme dalam beragama)

Usulan rumusan Pancasila tersebut diajukan secara tertulis yang nantinya ditetapkan sebagai dasar negara. Dari kelima sila tersebut kemudian Soekarno memberikan pilihan lain dengan menyederhanakannya lagi menjadi Trisila yaitu (1) Sosio-Nasionalisme, (2) Sosio-Demokrasi, (3) Ketuhanan.

Ketiga substansi Trisila tersebut hanya bisa dilakukan dengan bergotong-royong atau persatuan dan kebersamaan untuk mewujudkannya. Maka atas dasar semangat untuk bersama-sama merdeka dan melawan penjajahan, Pancasila ditetapkan sebagai ideologi dan dasar negara kita.

Pancasila terdiri dari lima sila. Kelima sila yang telah disempurnakan itu adalah Ketuhanan yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, dan Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Dan dipilihlah burung Garuda (burung dalam mitologi Hindu) sebagai simbolnya.

Melihat penggalan sejarah lahirnya Pancasila jelas membuktikan cita-cita luhur para pendiri bangsa ini untuk membebaskan rakyat dari belenggu penjajahan yang tidak berperikemanusiaan dan tidak berkeadilan. Maka dibangunlah negara yang melindungi dan menjunjung tinggi kedaulatan di tangan rakyat atas dasar sosio-demokrasi yang ber-Ketuhanan. Tetapi dalam perjalanannya Pancasila hanya mampu diucapkan dan dihafal tetapi miskin dalam kenyataannya. Kita tentu masih ingat peristiwa tragedi pelanggaran HAM di tahun 1965 dimana jutaan rakyat dipenjara, diculik dan dibunuh tanpa adanya pengadilan. Pada Mei 1998 ketika kaum intelektual muda menggoyang parlemen dan memaksa pemerintah otoriter Soeharto, puluhan aktivis hilang diculik dan sampai kini belum jelas apakah mereka hidup ataukah sudah mati. Lantas apakah hal tersebut masih bisa dianggap berperikemanusiaan yang adil dan beradab?

Sudah lebih dari setengah abad bangsa ini telah memproklamirkan kemerdekaannya, tetapi masih kita temui juga dimana-mana tangisan korban-korban penggusuran hanya karena mereka berjualan di pinggir jalan sebagai upaya untuk bertahan dan berjuang untuk tetap bisa hidup di tengah ketidakpedulian negara terhadap nasib rakyatnya. Begitu pula dengan para petani yang berjuang mempertahankan tanahnya dari himpitan arus industrialisasi. Nasib serupa dialami oleh buruh kontrak yang lebih mirip disebut sebagai budak di tanah kelahirannya sendiri. Apakah ini cerminan praktek Pancasila yang selama ini diagung-agungkan oleh para pendiri bangsa ini? Di manakah letak Ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, permusyawaratan dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia? Semua itu tak lebih dari mantra-mantra yang mengilusi rakyat agar terbuai oleh sila-sila yang hanya bisa diucapkan tapi takkan pernah bisa dilaksanakan.

Sungguh ironis gambaran negara ini. Lihatlah lumpur Lapindo Sidoarjo sudah empat tahun banyak rakyat yang belum jelas nasibnya hanya karena rumah mereka tidak memenuhi persyaratan-persyaratan administratif untuk mendapat ganti rugi. Belum lagi ancaman bagi rakyat Jawa Timur akan tenggelamnya areal ini ketika diperkirakan lumpur Lapindo ini bisa terus keluar sampai 20 tahun ke depan. Sementara itu orang yang harusnya bertanggung jawab atas permasalahan ini sama sekali tak tersentuh hukum hanya karena ia ada dalam lingkaran kekuasaan. Kalau sudah begini bukan lagi keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia melainkan keadilan sosial bagi yang berduit atau kaum borjuasi.

Mungkin di alam sana para pendiri bangsa ini sedang menangisi masa depan bangsa ini yang semakin suram, terjauhkan dari nilai-nilai luhur Pancasila sebagai dasar negara yang anti penjajahan. Negara yang berkerakyatan telah dirubah sedemikian rupa menjadi negara liberalisme. Tak heran hukum-hukum dan norma-norma yang berlaku juga liberal. Sepatutnya kondisi ini semakin menguntungkan para pemilik modal/kapital karena dengan mengarahkan negara dalam pusaran pasar bebas berarti semakin mempercepat proses akumulasi modal mereka dan itu berarti mengantarkan kembalinya penjajah di negeri ini dan rakyat akan semakin dimiskinkan, terhisap dan terpinggirkan di tanah airnya sendiri.

Tentu saja kondisi ini tidak bisa dibiarkan begitu saja, semua rakyat yang tertindas harus dibangunkan dari mimpi panjang mereka tentang negara yang merdeka dan berkedaulatan. Karena penjajah atau kompeni (company/perusahaan) ternyata tidak betul-betul telah pergi. Yang terjadi justru sebaliknya, modal-modal asing semakin menggurita dan menghisap. Sudah saatnya kondisi ini harus dihentikan atau kalau tidak anak cucu kita hanya bisa mendengar dongeng tentang Indonesia yang kaya raya, rakyatnya sejahtera sementara kenyataannya tanpa sadar negeri ini telah dijajah kembali oleh modal asing. Tentu kita bukanlah bangsa yang pelupa atau bangsa yang mudah menyerah dan menerima nasibnya begitu saja. Oleh karena itu ideologi Pancasila harus dikembalikan sebagai dasar negara sebuah cita-cita luhur para pendiri bangsa ini dalam melawan penjajahan untuk mewujudkan masyarakat yang berkeadilan sosial.

Pancasila takkan berarti ketika hanya diucap bagai lafal-lafal mantra-mantra sakti melainkan untuk diperjuangkan agar dilaksanakan dalam sistem kehidupan berkebangsaan karena sejatinya ideologi Pancasila adalah ideologi gotong-royong yang anti kapitalisme (pemilik modal) yang menghisap.


* Penulis adalah Pengurus Serikat Buruh Kerakyatan - Surabaya, sekaligus Anggota Forum Belajar Bersama Prakarsa Rakyat dari Simpul Jawa Timur.

** Siapa saja dipersilahkan mengutip, menggandakan, menyebarluaskan sebagian atau seluruh materi yang termuat dalam portal ini selama untuk kajian dan mendukung gerakan rakyat. Untuk keperluan komersial pengguna harus mendapatkan ijin tertulis dari pengelola portal Prakarsa Rakyat. Setiap pengutipan, penggandaan dan penyebarluasan sebagian atau seluruh materi harus mencantumkan sumber (portal Prakarsa Rakyat atau www.prakarsa-rakyat.org).

Oleh : Bustamin Nanda*

Pencabutan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (UU BHP) yang dilakukan Mahkamah Konstitusi (MK), tidak begitu berpengaruh terhadap sistem pendidikan yang telah memeluk dan mempraktekkan sistem neoliberal.

Penolakan dan wacana-wacana baru bermunculan dengan argumentasi logis-rasional, merujuk pada pengalaman Perguruan Tinggi Badan Hukum Milik Negara (PT BHMN) seperti UI, UGM, IPB, ITB, USU dan UPI, yang sampai sekarang masih mahal. Para mahasiswa dan elemen gerakan rakyat lainnya berdemonstrasi menentang pendidikan mahal, anti demokrasi, diskriminatif dan masih dianggap melegitimasi praktek komersialisasi pendidikan tinggi.


Industri pendidikan

Biaya pendidikan tinggi yang selama ini sudah amat mahal dikhawatirkan bertambah mahal karena pengelola perguruan tinggi yang berafiliasi terhadap paham kapitalistik yang didorong motif ekonomi dan mengikuti hukum pasar. Situasi ini akan menjadikan pendidikan tinggi sebagai barang komersial, sama seperti barang dagangan lain dalam suatu transaksi perniagaan.

Lazimnya transaksi perniagaan, pertimbangan untung-rugi merupakan faktor penentu dalam pengelolaan perguruan tinggi dan ini sudah jelas-jelas dilakukan oleh rezim hari ini. Jika pendidikan tinggi sudah menjadi barang komersial berharga mahal, sudah pasti hanya konglomerat yang mampu menjangkaunya. Masyarakat miskin yang pendapatan orang tuanya sangat rendah, seperti buruh yang upahnya rendah, kian sulit mendapat akses ke layanan pendidikan tinggi karena tak mampu menjangkau mahalnya biaya pendidikan.

Hak dasar setiap warga negara untuk mendapat pendidikan bermutu seperti yang tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal 31 ayat 1 kian sulit dipenuhi, terlebih karena sejauh ini rezim SBY-Bodiono tidak pernah memihak dan melindungi rakyat miskin. Sebaliknya pemerintah justru berpihak kepada kaum pemodal, melalui aneka instrumen kebijakan yang menganut paham neoliberal yang tidak akan pernah memihak kepada rakyat tertindas.

Padahal, empat isu besar yaitu pendidikan gratis, ilmiah, demokratis, dan bervisi kerakyatan yang banyak diteriakkan oleh rakyat, mahasiswa dan elemen-elemen masyarakat lainnya justru merupakan persoalan utama yang tidak pernah mendapat perhatian khusus. Kejadian seperti ini dikarenakan sistem pendidikan kita ditangani oleh para perumus kebijakan neoliberal ditambah lagi pengelola perguruan tinggi yang pro terhadap sistem pasar industrial.

Kehadiran UU BHP yang disahkan pemerintahan razim SBY Jilid I tahun 2009, sejatinya hanya penegasan belaka atas kenyataan bahwa pendidikan tinggi di Indonesia telah berkembang menjadi industri. Seperti di negara-negara kapitalis, seperti AS, Kanada, Inggris, atau Australia, pendidikan tinggi memang merupakan lahan industri strategis yang menjadi bagian dari dan berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi negara bersangkutan.

Di negara-negara itu, industri pendidikan tinggi tumbuh pesat menjadi industri jasa dan perdagangan yang lain. Lihat sentra-sentra industri pendidikan tinggi dunia yang sungguh memikat seperti Boston, New York, California, Toronto, British Columbia, London, Manchester, Cambridge, Sydney, Melbourne, Canberra. Perkembangan industri pendidikan tinggi menuju komersialisasi pun tak terbendung, ditandai proses kapitalisasi ilmu pengetahuan terutama ketika pertumbuhan ekonomi digerakkan iptek.


Program pendidikan industrial

Dalam industri pendidikan di perguruan tinggi, baik itu swasta maupun negeri, perguruan tinggi gencar mempromosikan beberapa program unggulannya. Program unggulan ini dapat kita lihat seperti akreditasi program studi, jurusan di dalamnya seperti teknik, kedokteran dan ekonomi.

Akreditasi program studi dalam Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN-PT), merupakan syarat minimal, namun tidak cukup memadai untuk dijadikan daya jual pada perguruan tinggi. Kini perguruan tinggi berlomba mengemas dan menonjolkan beberapa program unggulan lain, seperti sertifikasi internasional melalui Association to Advance Collegiate Schools of Business (AACSB), sebuah lembaga pemberi akreditasi bertaraf internasional. Hal ini menunjukkan bahwa perguruan tinggi yang ada adalah industri yang mencari profit.

Dengan kutipan di atas menunjukkan bahwa, perguruan tinggi yang ada di negeri ini tidak ada satupun yang memikirkan peserta didik, mereka hanya memikirkan promosi yang menguntungkan bagi mereka. Pendidikan hari ini adalah lahan basah untuk meraup keuntungan. Adapun pelajaran yang didapat, itu tidak lain hanya memihak pada sistem yang mereka terapkan yaitu sistem kapitalistik.


Strategi pemasaran pada industri pendidikan

Kompetisi global sudah melanda dunia pendidikan. Setiap tahun, saat kelulusan SMA dan SMK, para lulusan bersaing untuk mendapatkan institusi pilihan. Perguruan tinggi pun berlomba-lomba mempromosikan diri dan menjaring calon-calon mahasiswa potensial. Potensial bisa berarti mampu secara akademis atau finansial. Perguruan tinggi dari luar negeri pun tidak mau kalah, dan gencar berpromosi. Begitu pula perguruan tinggi swasta (PTS) melakukan berbagai upaya pemasaran layaknya sebuah bisnis. Kini beberapa perguruan tinggi negeri (PTN) tidak mau ketinggalan dengan membuka jalur khusus atau ekstensi.

Perguruan tinggi negeri membuat langkah lebih cepat dari perguruan tinggi swasta dengan menggunakan negara sebagai alat yang berkuasa dalam proses pendidikan di negeri ini, memperkenalkan perguruan tingginya dengan berbagai macam fasilitas dan akreditasi lebih tinggi, bekerja sama dengan perusahan-perusahaan besar. Sudah sangat jelas orientasi pendidikan kita. Baik itu perguruan tinggi negri ataupun perguruan tinggi swasta sudah jelas-jelas mengejar keuntungan (profit), dalam bidang pendidikan yang berorientasi pada perusahan-perusahan yang bermodal besar.

Baru-baru ini kita sudah melihat berita-berita di berbagai media cetak maupun elektronik, kelulusan siswa dari berbagai sekolah yang ada. Pada standar kelulusan pada tahun 2010 yaitu, 5.50. standar nilai kelulusan dari semua mata pelajaran, yang masuk dalam ujian nasional (UN). Dengan standar nilai setinggi ini sangat memberatkan para siswa. Tidak ketinggalan para gurupun ikut tertekan oleh target agar para anak didik mereka bisa lulus ujian nasional.

Mengejar nilai yang telah disepakati sebagai standar kelulusan peserta ujian merupakan hasil dari kesepakatan beberapa perusahaan-perusahaan besar, karena dengan nilai yang sudah distandarkan dapat memikat hati para pengusaha (pemodal) dan menginvestasikan modalnya dalam bentuk bantuan kepada sekolah atau perguruan tinggi.

Dan banyak kalangan yang tidak bertanggung jawab mengambil kesempatan dengan nilai standar kelulusan ini. Praktek sogok-menyogokpun dilaksanakan dengan melakukan transaksi pada orang tua siswa agar anaknya diluluskan. Bagi orang tua siswa dari kalangan buruh, petani, nelayan yang tak mampu membayar sogokan menjadi korban transaksi ini. Meskipun anak dari kalangan yang tak mampu tadi ini, memiliki bakat, pintar, cerdas tetapi tidak memliki modal (uang) untuk menyogok, tidak akan diluluskan.

Dalam sistem pendidikan yang berorientasi kepada modal, sekolah bukan lagi semata-mata tempat menuntut ilmu, tetapi sekolah telah berputar arah menjadi ajang bisnis. Dengan kejadian di atas kita akan teringat pada masa penjajahan Belanda dimana kaum pribumi yang miskin dan melarat tidak dapat mengenyam yang namanya pendidikan. Hanya dari kalangan anak priyai yang bisa sekolah karena selain kaya mereka juga dekat dengan pemerintahan Hindia-Belanda pada waktu itu. Dan dari kalangan pribumi yang melarat kehidupannya dibiarkan terus-menerus bodoh dan patuh terhadap kemauan pemerintah Hindia-Belanda, dan menggunakan tenaga mereka secara gratis.


* Penulis adalah anggota Front Mahasiswa Demokratik (FMD) Makassar, sekaligus anggota Forum Belajar Bersama Prakarsa Rakyat dari Simpul Sulawesi Selatan.

** Siapa saja dipersilahkan mengutip, menggandakan, menyebarluaskan sebagian atau seluruh materi yang termuat dalam portal ini selama untuk kajian dan mendukung gerakan rakyat. Untuk keperluan komersial pengguna harus mendapatkan ijin tertulis dari pengelola portal Prakarsa Rakyat. Setiap pengutipan, penggandaan dan penyebarluasan sebagian atau seluruh materi harus mencantumkan sumber (portal Prakarsa Rakyat atau www.prakarsa-rakyat.org).

Oleh : Iqbal Pandji Putra *


Salah satu mandat dari UUD 1945 yang juga merupakan cita-cita didirikannya bangsa ini adalah mensejahterakan rakyat dan menciptakan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, namun dalam perjalanannya setelah 64 tahun bangsa ini merdeka cita-cita itu tidak pernah terwujud. Data BPS tahun 2006 menyebutkan bahwa jumlah penduduk miskin pada tahun 2006 adalah 39,05 juta jiwa. Jumlah ini mengalami peningkatan sebanyak 4 juta jiwa dari tahun sebelumnya yang hanya berkisar di angka 35 juta jiwa, dan semuanya berdomisili di wilayah pedesaan (petani).

Faktor penyebab dari kemiskinan yang melanda masyarakat pedesaan adalah akibat dari tidak meratanya penguasaan atau distribusi sumber-sumber agraria (tanah) yang berada di wilayah pedesaan. Banyak data yang membenarkan hal ini, salah satunya menyebutkan bahwa, rata-rata penguasaan tanah oleh petani di wilayah pedesaan tidak lebih dari 0,8 hektar/keluarga, atau secara keseluruhan kaum tani di Indonesia hanya menguasai sekitar 17 juta hektar lahan pertanian. Bahkan ada sekitar 12,5 juta rumah tangga petani gurem, yang di dalamnya ada sekitar 9,9 juta rumah tangga petani yang tidak bertanah (landless peasant) atau sekitar 32,6% dari jumlah keseluruhan rumah tangga tani di Indonesia.

Penguasaan oleh petani tersebut sebanding dengan penguasaan tanah oleh segelintir orang/pemilik modal, seperti tercatat dalam data yang dikeluarkan oleh Konsorsium Pembaharuan Agaria (KPA) tahun 1998, bahwa dari 666 unit produksi yang ada di Indonesia mengontrol sekitar 48,3 juta ha berstatus Hak Pengusahaan Hutan ( HPH)/ Hutan Tanaman Industri (HTI), dimana 16,7 juta ha diantaranya dikuasai oleh 12 konglomerat. Perhutani menyatakan menguasai 3 juta ha lahan hutan. Pada tahun 2000, diketahui terdapat 2.178 perusahaan yang menguasai perkebunan-perkebunan besar dengan total lahan seluas 3,52 juta ha. Sementara di bidang pertambangan hingga tahun 1999, terdapat 561 perusahaan yang menguasai 52,5 juta ha lahan konsesi pertambangan.

Pengusahaan lahan yang dilakukan oleh para pemilik modal telah memicu terjadinya konflik agraria yang tidak sedikit, dimana dalam kurun waktu antara tahun 1970 hingga 2001, setidaknya telah terjadi 1.753 konflik yang melibatkan 1.090.868 keluarga, dengan luas lahan konflik seluas 10,5 juta hektar. Sedangkan untuk data tahun 2009, KPA mencatat telah terjadi sedikitnya 89 kasus, dengan luas sengketa 133.278,79 ha dan menimbulkan korban sedikitnya sebanyak 7.585KK. Selain itu, akibat tidak meratanya kepemilikan, pemanfaatan, dan penguasaan tanah tersebut, menyebabkan pula munculnya persoalan-persoalan lingkungan hidup seperti bencana ekologis dan pemanasan global (global warming).

Persoalan-persoalan di atas yang terkait dengan ketimpangan sosial di masyarakat yang menyebabkan terjadinya konflik agraria dan persoalan lingkungan hidup, adalah dampak dari serangkaian kebijakan politik agraria yang dijalankan pemerintah masa Orde Baru sampai dengan masa Reformasi yang berwatak kapitalistik dengan menitikberatkan pada tanah sebagai objek penunjang pembangunan. Seharusnya pemerintah menjalankan mandat Undang-Undang No. 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Agraria (UUPA), yaitu melakukan penghapusan struktur politik agraria yang berwatak feodal dan kolonial, menjadi struktur penguasaan yang dapat menjamin terwujudnya kemakmuran rakyat, dengan cara menjalankan lima misi utama yang terkandung dalam UUPA, yaitu: (1) perombakan hukum agraria; (2) pelaksanaan land reform; (3) penataan penggunaan tanah; (4) likuidasi hak-hak asing dalam bidang agraria; dan (5) penghapusan sisa-sisa feodal dalam bidang agraria (agenda reforma agraria).

Selain itu pemerintah juga wajib mengevaluasi kebijakan yang telah dilakukan sebelumnya yang tidak selaras dengan UUPA sehingga berdampak pada bermunculannya konflik agraria dan persoalan lingkungan di Indonesia seperti yang diuraikan di atas. Pada tahun 2005 yang lalu pemerintah di bawah Presiden SBY melalui Badan Pertanahan Nasional (BPN) mencanangkan Program Pembaruan Agraria Nasional (PPAN). Melalui program tersebut pemerintah mengklaim telah menjalankan reforma agraria, dengan meredistribusikan tanah untuk rakyat miskin seluas 349.519 hektar dari jumlah total seluas 7,1 juta ha di wilayah hutan produksi. Akan tetapi, peraturan pemerintah terkait pembaruan agraria ini hingga sekarang pun belum juga ditandatangani oleh presiden.


Di dalam buku Reforma Agraria yang ditulis Gunawan Wiradi mengatakan bahwa sejak bulan Juli 1979, tonggak perjalanan penting dalam perjuangan yang panjang dan sulit, melawan kemiskinan dan kelaparan. Karena pada saat itu, Konferensi Sedunia mengenai Reforma Agraria dan Pembangunan Pedesaan (World Conference on Agrarian Reform and Rural Development-WCARRD), yang di selenggarakan oleh FAO-PBB di Roma, merumuskan Prinsip-Prinsip dan Program Kegiatan (Declaration of Principle and Programme of Action):

“Tujuan reforma agraria dan pembangunan pedesaan adalah tranformasi kehidupan dan kegiatan kegiatan pedesaan dalam semua aspeknya: aspek ekonomi, budaya, kelembagaan, lingkungan, dan kemanusian. Sasaran dan strategi untuk mencapai itu haruslah dipusatkan pada penghapusan kemiskinan....dan harus dikendalikan oleh kebijakan yang berusaha mencapai pertumbuhan dan pemerataan redistribusi kuasa-kuasa ekonomi dan politik, serta parisipasi rakyat” (The Peasants’ Charter, 1981;6).

Sebanyak 145 negara (termasuk Indonesia) yang ikut menandatangani deklarasi tersebut, kemudian memberikan mandat kepada FAO untuk membantu negara-negara anggota untuk melaksanakan mandat tersebut.

Masih banyaknya kebijakan yang tidak dilaksanakan secara benar dan tidak konsekuen oleh negara, menyebabkan persoalan pertanahan hingga saat ini menjadi bola salju yang terus membesar. Salah satu contohnya adalah rendahnya penyelesaian kasus pertanahan di Lampung yang membuktikan kinerja pemerintahan daerah masih kurang. Selain itu sikap pemihakan para wakil rakyat di DPRD terhadap kepentingan rakyat masih rendah. Dengan kata lain, para pimpinan lembaga eksekutif dan para legislatif masih disibukkan dengan urusan politik yang hanya berorientasi pada kepentingan mereka sendiri.

Menurut Dr.Sunarto (2005), konflik pertanahan merupakan masalah krusial. Penyelesaian terhadap kasus tersebut memerlukan penyelesaian yang komprehensif dan memuaskan semua pihak yang terlibat konflik. Hal tersebut terjadi bukan saja akibat dari substansi yang tidak jelas, tetapi berkaitan juga dengan watak bangsa, pandangan hidup, dan sistem sosial masyarakat.

Penelitian Dr.Sunarto di tahun 2005 mengenai konflik tanah di Propinsi Lampung, mencatat terjadinya 241 kasus sengketa tanah. Kasus tanah yang terjadi di 5 wilayah (4 wilayah Kabupaten dan 1 Kota Bandarlampung) telah dilaporkan ke pemerintah daerah untuk dimintakan penyelesaiannya. Dari 220 kasus tanah yang dimintai penyelesaian pada pemerintah daerah, dan DPRD Kota/Kabupaten dan Provinsi Lampung, hanya 71 kasus yang ditanggapi dan 17 kasus yang dapat diselesaikan. Sisa 44 kasus belum terselesaikan dan tidak ada penyelesaian yang jelas.

Dari 241 kasus tanah yang dilakukan masyarakat tersebut disebabkan oleh tiga hal: (1) Pembebasan tanah tanpa musyawarah; (2) Pembebasan mengabaikan hukum yang adil dan budaya; (3) Pembebasan tanah dengan paksaan.

Untuk menghadapi persoalan yang disebutkan di atas, maka perlu: pertama, ada kejelasan dalam pelaksanaan kebijakan politik pertanahan yang lebih berpihak pada masyarakat. Kedua, memberikan teguran yang tegas pada perusahaan yang melanggar Hak Guna Usaha (HGU) yang dibuat. Ketiga, pemerintah dan perusahaan memberikan kesempatan pada masyarakat untuk memanfaatkan dan mengelola lahan yang tidak produktif. Keempat, pendidikan politik, hukum dan ekonomi untuk rakyat dalam memperkuat persatuan kaum tani.


* Penulis adalah anggota Gerakan Rakyat Indonesia (GRI Lampung).

** Siapa saja dipersilahkan mengutip, menggandakan, menyebarluaskan sebagian atau seluruh materi yang termuat dalam portal ini selama untuk kajian dan mendukung gerakan rakyat. Untuk keperluan komersial pengguna harus mendapatkan ijin tertulis dari pengelola portal Prakarsa Rakyat. Setiap pengutipan, penggandaan dan penyebarluasan sebagian atau seluruh materi harus mencantumkan sumber (portal Prakarsa Rakyat atau www.prakarsa-rakyat.org).

Oleh : Wanma Yetty*


Pada bulan Mei ini, pemerintah melalui BPS akan melakukan sensus penduduk. Sensus penduduk kali ini merupakan sensus penduduk yang keenam. Sensus-sensus sebelumnya diselenggarakan pada tahun 1961, 1971, 1980, 1990 dan 2000.

Sensus penduduk 2010 yang dilaksanakan serentak selama bulan Mei di seluruh Indonesia ini, menurut Kepala Badan Pusat Statistik Rusman Heriawan menghabiskan dana sebesar Rp 3,3 Triliun. Pada tanggal 31 Mei 2010, nantinya akan dilakukan pembaharuan hasil pencacahan secara serempak dengan mencatat kejadian kelahiran, kematian, dan perpindahan penduduk yang terjadi selama bulan Sensus dan menyisir serta mencatat penduduk yang tidak bertempat tinggal tetap (homeless). (Kompas.com, 1 Mei 2010)

Tentunya data-data mutakhir yang dihasilkan dari Sensus Penduduk 2010 ini bisa menjadi dasar untuk mendukung program-program pemerintah, baik pemerintah pusat maupun daerah. Beberapa program pemerintah yang kita tahu seperti bantuan pendidikan, kesehatan dan yang lainnya diharapkan akan berimbas secara langsung kepada masyarakat yang membutuhkan ketika data-data mutakhir tersebut dapat dihasilkan dari Sensus Penduduk 2010.

Masyarakat bahkan telah diingatkan beberapa kali oleh pemerintah atau oleh Badan Pusat Statistik (BPS) untuk menyukseskan Sensus Penduduk 2010 ini. Kepala BPS Rusman Heriawan mengingatkan adanya kerugian-kerugian yang akan diderita oleh masyarakat jika tidak mengisi sensus. Kerugian-kerugian tersebut adalah tidak akan terekamnya secara baik bagi masyarakat yang tidak mengisi sensus, sehingga tidak terdaftar sebagai penduduk Indonesia. Hal ini akan menyebabkan penduduk tersebut tidak akan diketahui apakah masih menganggur dan membutuhkan pekerjaan atau tidak, apakah sudah seharusnya pensiun atau tidak. Yang lain adalah tidak akan terakomodirnya nama-nama yang tidak terdata dalam Sensus Penduduk 2010 ke dalam penerima bantuan pemerintah.


Orang Hilang

Telah disebutkan bahwa Sensus Penduduk ini menjadi hal yang sangat penting bagi masyarakat. Namun bagaimana dengan nasib orang-orang yang masih hilang hingga saat ini?

Hal ini tentunya menjadi permasalahan tersendiri bagi keluarga korban penghilangan paksa. Beberapa kali, keluarga korban penghilangan paksa terbentur dengan masalah administrasi kependudukan di wilayahnya masing-masing. Sebut saja contohnya Sipon (istri Wiji Thukul), yang mengalami hambatan ketika ingin melakukan aplikasi kredit komputer. Pihak toko tetap berkeras bahwa dibutuhkan identitas suami (Wiji Thukul) dan status Sipon saat ini (janda atau tidak).

Sementara kita tahu bahwa perihal kasus penghilangan paksa menjadi permasalahan yang berimplikasi langsung kepada keluarga korban. Masalah status keluarga menjadi salah satu permasalahan yang tidak bisa diselesaikan hingga kini. Kasus penghilangan paksa merupakan kasus pelanggaran HAM yang masih berkelanjutan, selama korban penghilangan paksa belum ditemukan. Artinya korban penghilangan paksa tidak bisa dianggap telah meninggal selama jasadnya belum ditemukan. Korban penghilangan paksa harus dinyatakan masih hidup dan dianggap masih disekap di suatu tempat oleh para penculiknya.

Karena masalah inilah maka status orang hilang tidak bisa dinyatakan telah meninggal. Namun beberapa kali, status tersebut menjadi kendala ketika keluarga korban penghilangan paksa mencoba mengurus sesuatu yang berhubungan dengan administrasi kependudukan. Berlarut-larutnya penuntasan kasus penghilangan paksa, jelas akan mempengaruhi kondisi keluarga korban penghilangan paksa. Status perkawinan dan persoalan administrasi kependudukan hanya menjadi salah satu contoh kecil yang dialami oleh keluarga korban penghilangan paksa.

Apakah orang-orang yang masih hilang hingga saat ini akan didata dalam Sensus Penduduk 2010? Ini jelas menjadi pertanyaan besar yang seharusnya segera dijawab oleh pemerintah. Penuntasan kasus penghilangan paksa dan pengungkapan kebenaran akan kasus tersebut menjadi satu-satunya solusi untuk mengakhiri kebimbangan yang selama ini dialami oleh para keluarga korban penghilangan paksa.

Penuntasan kasus penghilangan paksa tentunya juga akan memperjelas nasib dari korban itu sendiri. Keinginan para keluarga korban penghilangan paksa pun sebenarnya sederhana untuk saat ini. Mereka hanya ingin mengetahui nasib keluarganya yang masih hilang. Jika mereka masih hidup, kembalikan mereka dan jika sudah meninggal, tunjukkan di mana makamnya.


* Penulis adalah Sekretaris Umum Federasi IKOHI, sekaligus anggota Forum Belajar Bersama Prakarsa Rakyat dari Simpul Jabodetabek.

** Siapa saja dipersilahkan mengutip, menggandakan, menyebarluaskan sebagian atau seluruh materi yang termuat dalam portal ini selama untuk kajian dan mendukung gerakan rakyat. Untuk keperluan komersial pengguna harus mendapatkan ijin tertulis dari pengelola portal Prakarsa Rakyat. Setiap pengutipan, penggandaan dan penyebarluasan sebagian atau seluruh materi harus mencantumkan sumber (portal Prakarsa Rakyat atau www.prakarsa-rakyat.org).

;;