Oleh : Komang Sastrawan, S.Pd *


Penataan ruang di Bali sekarang sudah ada pada posisi mengkhawatirkan. Perda 16/2009 tentang RTRW Provinsi Bali yang belum sempat diterapkan, sudah hendak direvisi. Hal ini terlihat dari dibentuknya Panitia Khusus (Pansus) pengkajian Perda RTRW dengan proses sangat kilat. Nampaknya, dengan dalil menimbulkan gejolak sosial Bali, perda ini terancam untuk dirombak.

Berawal dari berbagai isu yang dilempar ke masyarakat oleh para penguasa daerah, baik itu DPRD, Bupati/Walikota, memberikan pencitraan negatif terhadap diberlakukannya Perda RTRW Provinsi Bali. Dalil yang paling sering disampaikan adalah timbulnya kepanikan di dalam masyarakat yang dapat mengakibatkan gejolak sosial apabila penegakan Perda RTRW Provinsi Bali dilakukan.

Dilihat secara cermat, pelemparan isu-isu tersebut hanya berupa tuduhan dan asumsi-asumsi tanpa analisis yang jelas dan cenderung merupakan manipulasi informasi yang membuat sebagian masyarakat menjadi sesat pikir terhadap perda tersebut. Berbagai manipulasi informasi yang dilontarkan oleh para penguasa daerah tentunya mendapat reaksi keras dari berbagai kalangan. Kalangan agamawan, lembaga-lembaga non pemerintah serta dari kalangan akademisi membantah isu tersebut dengan berusaha meluruskan posisi perda.

Situasi ini dimaknai sebagai disharmoni oleh DPRD Bali terutama oleh Badan Legislatif yang dengan gerak cepat melakukan tindakan roadshow penyerapan aspirasi ke seluruh pemerintah kabupaten/kota. Suatu tindakan yang dari awal cukup aneh mengingat perda tersebut belum diimplementasikan dan belum ada uji materiil yang dapat secara kuat untuk dijadikan alasan dilakukan penyerapan aspirasi. Dapat ditebak pada akhir kesimpulan kegiatan dari baleg tersebut menghendaki adanya revisi atas perda. Selanjutnya dengan proses politik yang sangat cepat, terbentuk tim pansus dengan agenda mengevaluasi Perda RTRW Provinsi Bali.


Pengabaian Tanggungjawab Politik

Pertanyaan yang menuntun kita dari permasalahan ini adalah bagaimanakah telaah DPRD dalam menyerap aspirasi-aspirasi masyarakat kabupaten/kota, menghendaki revisi perda. Sedangkan perda tersebut belum sempat dipertangungjawabkan, disosialisasikan dan terlebih lagi diimplementasikan.

Pertama, pemerintah legislatif dalam hal ini, tercermin tidak mempunyai tanggung jawab terhadap perda. Padahal dikaji secara langsung perda tersebut adalah produk politik DPRD Provinsi Bali. Dari berbagai macam tuduhan negatif yang ditujukan kepada perda itu, pihak DPRD Provinsi tidak memberikan argumen pembelaan (obyektif), baik dari segi historis proses maupun dari esensi yang ada di dalam perda tersebut.

Melihat kejadian penyerapan aspirasi oleh pihak baleg, pihak DPRD Provinsi malah sekilas terlihat “seolah-olah” membuka diri untuk argumentasi-argumentasi perevisian tanpa ada penyangkalan balik.

Sikap dari DPRD Bali, penulis analogikan seperti halnya seorang mahasiswa yang sudah meyelesaikan skripsi pada saat dipertangungjawabkan ke hadapan penguji, dia malah memberikan peluang kepada pihak penguji untuk mematahkan segala obyektivitas dalam skripsi tersebut dan sama sekali tidak memberikan argumen analisis pembelaan.

Malah sebaliknya membuka diri untuk direvisi. Apakah mahasiswa itu mampu bertangungjawab dari apa yang telah disusunnya? Terkait dengan DPRD Provinsi dengan produk politiknya, seperti itulah yang terjadi saat ini. DPRD Provinsi bukannya memberikan argumentasi sebagai bentuk pertanggungjawaban apa yang telah mereka hasilkan dan tetapkan melainkan melepaskan tanggungjawab politiknya dengan “ikut” menggugat perda tersebut. Jika tanggungjawab awal untuk mempertahankan perda sebagai produk politiknya sudah terabaikan, masih percayakah kita dengan mereka yang akan mengemban tanggungjawab baru?

Kedua, terdapat kejanggalan pada proses penyerapan aspirasi yang dilakukan oleh baleg. Carut-marutnya pemahaman perda ini di tingkat masyarakat justru karena lemahnya sosialisasi atas muatan dalam perda tersebut dan di sisi lain terdapat arus kuat manipulasi informasi atas substansi perda tersebut. Jika perda belum disosialisasikan, bagaimana mungkin masyarakat dapat memberikan penilaian terhadap perda tersebut? Bagaimana mungkin masyarakat bisa berkesimpulan dan menghendaki revisi?

Ketiga, keanehan yang lain adalah terbentuknya Pansus Pengajian Perda RTRW Propinsi Bali dengan rekomendasi dari kerja-kerja peneyerapan aspirasi oleh Baleg DPRD Bali. Pertanyaan yang muncul adalah bagaimana sebuah perda yang belum diterapkan hendak dievaluasi, sedangkan materi pengevaluasiannya hanya bisa didapat dari hasil penerapan perda tersebut? Sehingga patut kiranya dipertanyakan parameter yang digunakan oleh Baleg DPRD untuk merekomendasikan pembentukan pansus termasuk parameter yang digunakan oleh rapat gabungan DPRD Bali untuk menyetujui usulan Baleg DPRD Bali guna membentuk Pansus Pengkajian Perda RTRW Propinsi Bali.


Politik Simplifikasi DPRD Bali

Dari apa yang disampaikan di atas, penulis berpendapat bahwa DPRD Bali sesungguhnya lembaga yang tidak mampu mempertanggungjawabkan produk politiknya secara sehat terutama Perda RTRW Propinsi Bali. Padahal proses legislasi tersebut sangat memakan banyak biaya serta sumber daya.

Sangat disayangkan, lembaga politik justru tidak percaya dengan produk politiknya dan bahkan turut larut dalam gugatan-gugatan tidak berdasar untuk merevisi perda tersebut. Seharusnya DPRD Provinsi Bali ada di garda depan untuk mempertahankan produk politiknya dengan mengklarifikasi segala tuduhan negatif yang ditujukan kepada perda tersebut. Tindakan ini minimal dilakukan sampai ada satu anti tesis yang mampu menggugurkan argumentasi politik DPRD Bali atas muatan perda tersebut.

Alih-alih bertahan dan pasang badan, DPRD Bali malah berupaya untuk “membongkar” perda RTRW Propinsi Bali sebelum perda tersebut diterapkan. Pembentukan pansus tersebut sesungguhnya adalah bentuk simplifikasi DPRD dalam melihat masalah dan memberi solusi.

Sungguh ironis ibarat salah diagnosis lalu mengamputasi kaki seorang bayi yang baru lahir karena menganggap bayi itu tidak bisa berjalan padahal belum pernah berjalan.


* Penulis adalah aktivis Walhi Bali, sekaligus Anggota Forum Belajar Bersama Prakarsa Rakyat dari Simpul Bali.

** Siapa saja dipersilahkan mengutip, menggandakan, menyebarluaskan sebagian atau seluruh materi yang termuat dalam portal ini selama untuk kajian dan mendukung gerakan rakyat. Untuk keperluan komersial pengguna harus mendapatkan ijin tertulis dari pengelola portal Prakarsa Rakyat. Setiap pengutipan, penggandaan dan penyebarluasan sebagian atau seluruh materi harus mencantumkan sumber (portal Prakarsa Rakyat atau www.prakarsa-rakyat.org).

Oleh : Andika *


“Sejak tanggal 10 Februari 2011 masyarakat Peura bersama-sama membangun tenda di lokasi tower sutet sebagai bentuk penyampaian aspirasi. Selain itu, pembangunan tenda tersebut juga dimaksudkan untuk menjaga dan memastikan tidak ada pekerjaan yang dapat dilakukan pihak kontraktor di lokasi. Baik pengangkutan material, pekerjaan pondasi apalagi pendirian tower. Setiap hari tenda berukuran 3 x 6 meter ini dijaga oleh 15–20 orang laki-laki dan perempuan secara bergantian dan diatur jadwalnya baik siang dan malam. Warga merelakan meninggalkan kebun dan sawahnya untuk perjuangan penolakan pembangunan tower ini yang memang sangat beralasan.” (Betti, Petani Peura)

Bukan hanya minggu, juga bulan, tapi telah bertahun-tahun perempuan itu tak lagi tidur nyenyak di malam hari. Siang pun demikian, wajahnya yang nampak pucat mewakili tubuhnya yang tak terlalu kekar telah menitipkan tanah garapannya pada seorang  lelaki, saudara kandung. Lantaran, separuh penduduk desa menitipkan “segunung tanggung jawab” padanya. Ia adalah Betti, perempuan ini sedang berusaha jadi penyambung lidah keresahan warga sekampung, desa Peura. Lantaran itu, ia pun kini telah pandai menulis surat, menyatakan kecaman moral, walaupun mungkin, tak terlalu memikat bagi para akademisi, apalagi si pembuat Amdal (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan).

Betti sebutan wanita di atas tentu jadi pertanyaan? Yang tak mungkin bersaudara dengan kabel listrik, apalagi tower, yang senyawa baja. Orang lain boleh berkata dan membicarakan adanya manfaat atau tidak. Bagi warga Peura, menolak pembangunan tower yang melintasi desa mereka merupakan manifestasi hidup, yang secara sederhana tak memerlukan banyak teori, apalagi fatwa untuk membenarkannya. Lebih jelas lagi, Ibu Betti berkata, ”Tanam tower tidak sama dengan tanam pohon pisang. Kalau pohon pisang sewaktu-waktu bermasalah, atau berdampak, dengan mudah saja pindahkan, kalau tower sutet yang sudah beraliran listrik bermasalah, bagaimana cara memindahkannya?”

Sembari mengusap-ngusap matanya yang digenangi air, sesekali juga memijit jidat. Itu bukan sebuah pandangan drama, malam itu bersama Sinto, Betti mendatangi kami yang tengah berkumpul di sebuah kantor LSM lokal Tentena. Kebetulan drama menegangkan sedang berusaha diorbitkan oleh para tetua mesin, calon-calon juragan listrik, yang tanpa permisi seenaknya menganiaya sungai Sulewana. Siang hari pertemuan kesekian kalinya antara pihak PT Poso Energy dengan masyarakat Peura dilakukan.

Naasnya, kali ini perusahaan tak lagi berbujuk rayu dan bermanis komitmen, tapi justru berusaha membangun suasana tak sedap. Warga diprovokasi dengan upah Rp 35.000 untuk sehari angkat material, yang ditahan warga di pintu desa. Bukan hanya itu, uang ini juga telah berhasil membangun kelompok drum band tanpa latihan, berjalan seirama, sambil memukul ember. Sebagai sebuah petanda konfrontasi pada kelompok penolak pembangunan tower. Tidak hanya itu, di pintu desa juga dipasang sebuah spanduk atas nama warga Peura, cetakan printing bertulis, ”LSM dilarang masuk karena telah menciptakan dishamorniasi dan memecah persatuan antar warga.”

Sejak tahun 2006, saat masa-masa konflik bermasker agama mulai reda, di tanah Poso kawat-kawat telah diulur memanjang dari arah hulu sungai. Melintasi pepohonan khas hutan tropis, yang nampak seakan-akan jadi spesies baru di bibir danau Poso. Itu adalah instalasi listrik, Poso Energy memilikinya secara mutlak setelah para pejabat Sulawesi Tengah memberikan konsesi bendung air (DAM) bagi produksi energi perusahaan keluarga Kalla tersebut.

Dan sejak itu pula, rencana pelintasan transmisi di dalam perkampungan Peura dipaksakan oleh Poso Energy. Alasan ekonomi tentu saja, konon kabarnya miliaran rupiah akan ditelan percuma oleh Poso Energy jika hendak memindahkan tower seperti saran warga Peura. Inilah ciri khas investasi yang katanya padat modal, tak ingin berencana rugi, sekalipun jiwa penduduk dianggap tak lebih mahal apalagi sepadan dengan gulungan kawat, atau pun rangka baja yang menuding ke langit.

Proyek yang telah memperkosa hak ulayat warga Pamona secara murah tanpa kompensasi ini, tak pernah menyodorkan fakta temuan Amdal, apalagi memberikan pengakuan aspirasi pada warga Peura. Sejauh ini Ibu Betti dan kawan-kawan dibawa dalam komunikasi negatif khas Public Relations (PR) meliputi: pertemuan ke pertemuan, ancaman pidana, pencemaran nama baik, dan saling sikut antar warga. Dan sama sekali tidak peduli dengan alasan-alasan sosial penolakan warga.

Bagaimana dengan pemangku jabatan pemerintahan? Mungkin ini sudah pertanyaan usang bagi pencari keadilan seperti Ibu Betti. Ke mana lagi aspirasi ini akan dibawa? Jika saja tak dituduh sebagai provokator dengan ancaman pasal-pasal, mungkin negara tak lagi merasa punya hubungan dengan rakyat. Sebab, tanggal 2 Maret yang lalu, Bupati Poso beserta 10 anggota TNI dan beberapa anggota kepolisian serta Polisi Pamong Praja membersihanka aksi protes warga. Para kaum ibu yang sudah tua renta duduk di jalan menghadang mobil material, diseret-seret oleh aparat keamanan. Sebuah tindakan brutal yang tak perlu pembuktian untuk menunjuknya sebagai bentuk pelanggaran HAM.

Untung sekali bagi mereka yang dilahirkan di tanah itu, desa Peura, mereka telah memahami betapa penguasa (modal-politik) negeri ini setiap waktu hanya menyuburkan penderitaan. Maka kita yang masih menjadi manusia tak perlu banyak analisis untuk mendukung perjuangan ini, cukup bertanya saja, solidaritas apa yang sudah kita lakukan bagi warga Peura?


* Penulis adalah Manager Kampanye dan Riset Jaringan Advokasi Tambang Sulawesi Tengah, sekaligus Anggota Forum Belajar Bersama Prakarsa Rakyat dari Simpul Sulawesi Tengah.

** Siapa saja dipersilahkan mengutip, menggandakan, menyebarluaskan sebagian atau seluruh materi yang termuat dalam portal ini selama untuk kajian dan mendukung gerakan rakyat. Untuk keperluan komersial pengguna harus mendapatkan ijin tertulis dari pengelola portal Prakarsa Rakyat. Setiap pengutipan, penggandaan dan penyebarluasan sebagian atau seluruh materi harus mencantumkan sumber (portal Prakarsa Rakyat atau www.prakarsa-rakyat.org).

Oleh : Fitriyanti*


Kemiskinan dapat menimpa siapa pun di muka bumi ini, baik laki-laki maupun perempuan. Namun relitas kemiskinan yang sedang menimpa Indonesia memperlihatkan bahwa yang menjadi korban kemiskinan adalah orang-orang yang lemah. Lebih tepatnya dilemahkan oleh sistem.

Seperti yang kita lihat saat ini dengan dampak krisis global yang menimpa negara adi kuasa memberikan efek terhadap negara-negara berkembang. Perempuan dan anak adalah urutan yang paling lemah yang diposisikan oleh struktur sosial masyarakat. Dalam stuktur sosial yang seperti ini, perempuan akan selalu tergantung kepada laki-laki (suami). Sehingga pada gilirannya mereka lalu dipandang rendah dan didiskriminasikan dalam ruang akses ekonomi.

Stuktur sosial patriarkis selalu menciptakan kemiskinan dan kebodohan perempuan jauh lebih besar dibandingkan laki-laki. Hal ini bisa dilihat dalam sebuah keluarga yang umum nya selalu mendahulukan pendidikan yang lebih tinggi untuk anak laki-laki ketimbang untuk anak perempuan. Sepanjang struktur ini masih dilanggengkan oleh masyarakat maka sepanjang itu pula kemiskinan dan kebodohan perempuan menjadi suatu yang niscaya.

Dalam konteks Indonesia yang konon katanya terkena dampak dari krisis global, kita melihat dengan jelas bagaimana kemiskinan yang cukup massif dan terus bertambah dengan ketidakpastian kerja dan jaminan sosial untuk kehidupan. Ketika laki-laki atau suami miskin karena ketiadaan pekerjaan atau di PHK, maka kaum perempuan paling banyak yang menderita dari pada kaum laki-laki.

Kecintaan perempuan terhadap anak-anaknya lah yang mendorong perempuan untuk bekerja keras. Mereka harus bekeja ganda. Fungsi pemberi nafkah keluarga yang selama ini menjadi kewajiban laki-laki/suami mengalami perubahan karena kondisi yang ada. Semakin hari semakin banyak perempuan yang bertugas mencari nafkah dengan bekerja di luar rumah. Kita mendapati mereka dengan berjualan di pasar tradisional, buruh pabrik, berjualan makanan. Kaum perempuan menerima kenyataan ini bukan semata-mata untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri, tetapi juga untuk keluarganya.

Ketimpangan stuktur ini yang mengakibatkan keterpurukan perempuan dalam segala sektor kehidupan baik ekonomi, sosial, politik, dan pendidikan. Perempuan tidak memiliki daya tawar yang sama ketika memasuki dunia pekerjaan, ketika memilih jenis pekerjaan, jabatan. Selalu saja perempuan ditempatkan pada posisi yang lebih rendah dan dihargai lebih rendah pula. Misalnya yang paling nyata adalah pekerjaan pembantu rumah tangga, pasti yang akan dipilih adalah perempuan.

Kondisi yang timpang ini, pada prakteknya membuat banyak persoalan bahkan kekerasan terhadap perempuan, baik yang fisik maupun non fisik. Pelecehan-pelecehan seksual terhadap perempuan lebih banyak terjadi karena persoalan daya tawar yang lemah dan dilemahkan. Para pelaku kekerasan biasanya berangkat dari motivasi untuk membuktikan bahwa dirinya kuat, jantan, perkasa dan sanggup menundukkan perempuan.

Pada perkembangan terakhir, problem kemiskinan telah mendorong perempuan untuk bekerja di luar negeri karena keterbatasan akses lapangan kerja serta tingkat pendidikan mereka yang rendah. Mereka mencari sumber-sumber ekonomi dengan merantau ke negeri orang walaupun bahaya menghadang di depan mata, tetapi tetap mereka lakukan untuk mencukupi kebutuhan hidup keluarga.

Para perempuan yang bekerja ke luar negeri menjalani pekerjaan nya penuh dengan resiko yang mungkin mereka akan mendapatkan kekerasan baik secara fisik maupun seksual yang tak jarang akhirnya menuju kepada kematian. Kasus lain yang menimpa perempuan adalah perdagangan manusia yang dilakukan oleh calo-calo yang mengaku akan menyalurkan pekerjaan di luar negeri, padahal meeka akan dijual dan dipekerjakan sebagai pekerja seks komersial. Beberapa penyeban hal ini adalah karena faktor pendidikan yang rendah akibat dari ketiadaan biaya untuk mengenyam bangku pendidikan yang lebih tinggi.

Kita telah melihat dengan jelas bahwa faktor utama yang menyebabkan perempuan menjadi korban perdagangan dan kejahatan kesusilaan lainnya adalah faktor kemiskinan dan pendidikan perempuan yang rendah. Maka cara yang harus dilakukan adalah dengan menghapuskan kemiskinan dan menyediakan akses pendidikan, membuka lapangan kerja bagi mereka dan seterusnya. Tugas ini petama-tama harus di lakukan oleh pemerintah dan pemerintah harus konsisten dalam melakukan program tersebut. Bukan saja menjadi tugas pemerintah pusat, pemerintah daerah pun turut bertanggung jawab atas sarana tersebut untuk menangani sumber perdagangan manusia.

Persoalannya adalah pada stuktur yang tidak memihak terhadap perempuan. Sehingga semua kebijakan, tatanan, dan aturan yang dilahirkan belum berpihak terhadap perempuan. Upah pekerjaan perempuan dan laki-laki harus dihargai sama. Akses untuk pendidikan, kesehatan, pekerjaan, dan kesempatan yang sama. Jangan biarkan perempuan tidak memperoleh akses pendidikan, pekerjaan, dan kesehatan reproduksi. Membiarkan kebodohan, kemiskinan dan kesakitan perempuan sama artinya dengan mempersiapkan generasi yang bodoh dan miskin.

Permasalahannya menjadi semakin jelas bagi kita, bahwa perempuan ditindas atau berada pada posisi politik yang lemah bukan semata-mata karena kelemahan yang ada pada diri mereka, namun sistem ekonomi politik yang hari ini ada, adalah sebuah sistem yang memang sama sekali tidak berpihak pada mereka kaum perempuan. Dan ini, adalah masalah utama yang sebenarnya terjadi dari masa ke masa. Tidak ada jalan lain selain kekuatan dari tangan-tangan kaum perempuan sendiri untuk merubah sistem yang ada. Perempuan Indonesia, ayo bangkit!


* Penulis adalah aktivis perempuan di Karawang, sekaligus Anggota Forum Belajar Bersama Prakarsa Rakyat dari Simpul Jabodetabek.

** Siapa saja dipersilahkan mengutip, menggandakan, menyebarluaskan sebagian atau seluruh materi yang termuat dalam portal ini selama untuk kajian dan mendukung gerakan rakyat. Untuk keperluan komersial pengguna harus mendapatkan ijin tertulis dari pengelola portal Prakarsa Rakyat. Setiap pengutipan, penggandaan dan penyebarluasan sebagian atau seluruh materi harus mencantumkan sumber (portal Prakarsa Rakyat atau www.prakarsa-rakyat.org).
Sumber: PrakarsaRakyat:

Sinopsis:

Para pemikir dan aktivis Islam politik meyakini bahwa pengorganisasian masyarakat Muslim Arab di Madinah pada masa Rasulullah saw dan Khulafaur Rasyidin merupakan wujud Negara Islam. Keyakinan ini lebih didasarkan pada pemahaman normatif-ideologis atas sejarah Islam awal. Pemahaman seperti ini ini menempatkan Negara Islam pada posisi sakral, bahkan dianggap tipe ideal (ideal type) bentuk negara yang wajib dibangun kembali oleh umat Islam dewasa ini.

Pemahaman ini perlu diuji kesahihannya. Dengan pendekatan dan metode interpretasi historis-sosiologis, buku ini menyuguhkan pandangan baru yang memaparkan secara proporsional kontribusi Islam bagi pembentukan negara (state formation) pada masa-masa awal. Pendekatan ini membuka ruang pemahaman yang lebih mendekati realitas sebenarnya kehidupan masyarakat Muslim Arab masa itu.

Dalam buku ini, penulis menyatakan bahwa Islam dan tradisi Arab jahiliah sama-sama memberi andil bagi kemunculan “Chiefdom Madinah”, yakni sebentuk pranata kekuasaan terpusat pra-negara (pre-state) yang jadi sumbu tata kelola masyarakat Muslim Arab di Madinah dan wilayah taklukannya di masa Rasulullah saw dan keempat khalifah penggantinya. Praktik pengorganisasian kekuasaan kala itu memang menyerap banyak elemen sosial-budaya setempat, bersifat sementara, ad hoc, dan belum menampakkan bentuknya yang matang. Jadi, tidaklah tepat menganggap praktik pengorganisasian Chiefdom Madinah sebagai Negara Islam.

* * * * *
“Studi tentang Negara Madinah tak pernah habis-habisnya dikaji. Berbagai pendekatan telah dilakukan, ada yang bersifat kritis-historis, ada pula yang bersifat teologis-normatif. Adakah Negara Madinah itu sebuah doktrin teologis yang bersifat finalistis ataukah eksperimentasi sejarah yang bersifat kondisional? Buku ini menarik dimiliki dan dibaca, Saudara Abdul Aziz menyajikan hasil penelitian ilmiahnya seputar proses pembentukan Negara Madinah yang sangat kaya dengan inspirasi, aspirasi, dan nilai-nilai bagi pembentukan negara modern.”
—Prof. Dr. Komaruddin Hidayat, Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

“Buku ini merupakan hasil kajian yang sangat penting bagi khazanah politik Islam, khususnya dalam konteks Indonesia yang sesekali masih berlangsung tarik-menarik antara negara agama dan negara sekuler.”
—Prof. Dr. M. Bambang Pranowo

Pentang Penulis:

ABDUL AZIZ bin Ahmad Junaidi (lahir di Cianjur pada 24 September 1954) adalah anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI masa bakti 2007-2012. Sebelumnya, karier kerjanya di Departemen Agama RI pun sangat gemilang. Berbagai posisi penting pernah ia jabat, antara lain sebagai Direktur Direktorat Madrasah dan Pendidikan Agama Islam pada Sekolah (Ditmapenda), Ditjen Bagais (2002-2005); Direktur Direktorat Pendidikan Keagamaan dan Pondok Pesantren (Ditpekapontren), Ditjen Bagais (2001-2002); Direktur Direktorat Pembinaan Pendidikan Agama Islam di Sekolah Umum Negeri (Ditbinpaisun), Ditjen Binbaga (2000-2001); dan Sekretaris Ditjen Binbaga (2000).

Di organisasi kemasyarakatan dan kepemudaan, kiprahnya tak kalah hebat. Mantan Sekretaris Bidang Kekaderan PB PMII (1974-1977) ini pada 2005-2010 menjabat sebagai Ketua PBNU, setelah sebelumnya menjadi Wakil Sekretaris Jenderal PBNU (2000-2005), Dewan Pembina PP GP Ansor (1995-2000), Ketua PP GP Ansor (1990-1995), Ketua DPP KNPI (1987-1990), dan Sekretaris Jenderal PP GP Ansor (1985-1990).

Alumni Jurusan Bahasa dan Kebudayaan Arab, IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta (1981), ini meraih gelar MA dari Department of Anthropology and Sociology, Monash University, Australia (1992), serta menuntaskan studi doktoralnya di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta (2007). Mantan Ketua Dewan Redaksi Jurnal Penamas (1994-1996) ini telah menulis banyak buku, antara lain Varian-Varian Fundamentalisme Islam di Indonesia (2004), Esai-Esai Sosiologi Agama (2003), serta Islam dan Masyarakat Betawi (1998). Beragam artikelnya juga dimuat di jurnal Penamas dan Dialog rentang masa 1986-1996 serta di jurnal Harmoni dan Edukasi sepanjang 2005-2006.

Data Buku:

Judul: Chiefdom Madinah: Salah Paham Negara Islam
Penulis: Dr. Abdul Aziz, MA
Editor: Ahmad Baedowi
Genre: Sosial/Politik
Cetakan: I, Maret 2011
Ukuran: 15 x 23 cm
Tebal: 424 halaman
ISBN: 978-979-3064-98-7
Harga: Rp. 64.500,-

=============================
PT Pustaka Alvabet (Penerbit)
Jl. SMA 14 No. 10, Cawang, Kramat Jati,
Jakarta Timur, Indonesia 13610
Telp. +62 21 8006458
Fax.  +62 21 8006458
www.alvabet.co.id

Oleh : Kusrinani*

Baru-baru ini dunia pendidikan dikagetkan dengan terkuaknya salah satu bentuk praktek komersialisasi pendidikan di kampus Universitas Airlangga (Unair). Kampus ternama di Surabaya yang berdiri sejak tahun 1954 ini telah semakin komersil dan mahal. Hal ini dibuktikan dengan adanya kebijakan tentang kewajiban pembayaran sumbangan Ikoma (Ikatan Orang Tua Mahasiswa) di luar beban biaya SPP.

Praktek komersialisasi ini terlihat nyata saat kita membahas tentang keberadaan sumbangan Ikoma. Sebagai contohnya seperti di Fakultas Hukum setiap mahasiswa yang melalui jalur Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) wajib membayar Ikoma sebesar Rp 4.000.000 dan dibebankan lagi biaya per semester Rp. 200.000 pada tahun angkatan 2010.

Di Fakultas Ilmu Budaya yang awalnya tahun 2006 masih sebesar Rp. 60.000/semester, pada tahun 2007 naik menjadi Rp. 100.000/semester dan yang sungguh menakjubkan pada tahun 2008-2010 naik 450%, mencapai sebesar Rp. 450.000/semester.

Kondisi sama juga terjadi di Fakultas Sains dan Teknologi yang awalnya tahun 2005-2009 hanya sebesar Rp. 50.000/semester, pada tahun 2010 mengalami kenaikan yang drastis mencapai 600% yaitu, Rp. 300.000/semester. Dan kejadian ini merata terjadi di semua fakultas yang ada di Unair.

Sumbangan Ikoma ini pada dasarnya bersifat sukarela, namun dalam prakteknya kemudian di sebagian besar Fakultas di Unair berubah menjadi sumbangan “wajib.” Pergeseran dari sukarela menjadi wajib ini merupakan buah rekayasa Birokrasi Unair dengan segenap kekuasaan yang mereka miliki membuat aturan bahwa bagi para mahasiswa yang belum membayar Ikoma tidak diperbolehkan untuk mengurus Kartu Hasil Studi (KHS), Kartu Rencana Studi (KRS), serta tidak akan bisa mengambil ijasah ketika nantinya telah lulus menyelesaikan studi di Unair.

Kesepakatan penetapan besaran nominal sumbangan Ikoma yang harus dibayarkan oleh mahasiswa tersebut juga tidak melibatkan secara menyeluruh para orang tua mahasiswa. Kalaupun terdapat orang tua mahasiswa yang diundang rapat dan kemudian menghadiri pertemuan yang diadakan oleh Birokrasi Kampus, posisi mereka sangat lemah. Para orang tua mahasiswa yang datang secara umum langsung disodori dengan beberapa pilihan nominal pembayaran yang sebelumnya secara sepihak sudah ditentukan oleh Pengurus Ikoma dan Birokrasi Kampus.

Bahkan parahnya, dari segi hukum, keorganisasian dan juga pengelolaan dana Ikoma ini sangat tertutup sekali. Dari segi hukum, keberadaan organisasi dan sumbangan Ikoma ini juga tidak ada kejelasan payung hukumnya. Dari segi keorganisasian, struktur Ikoma sangat tertutup dan cenderung para orang tua mahasiswa dan para mahasiswa sendiri tidak mengetahui secara jelas siapa saja pegurusnya, apa programnya dan juga kapan rapat organisasi ini. Serta dari segi pengelolaan, selama ini transparansi anggaran terkait jumlah sumbangan yang terkumpul dan juga kemana saja aliran dana IKOMA ini juga tidak ada. Sehingga tidaklah terlalu mengherankan kalau kemudian banyak muncul berbagai keluhan, keresahan dan pertanyaan dari sebagian besar mahasiswa Unair terkait keberadaan organisasi dan sumbangan Ikoma ini.

Selama ini, birokrasi kampus secara terang memang telah berhasil mengelabui para orang tua mahasiswa dan juga mahasiswa dengan dalih kampus ini kekurangan dana, sehingga penarikan sumbangan Ikoma selama ini tidak banyak menimbulkan penentangan serta perlawanan yang luas dari kalangan mahasiswa. Padahal dalih yang disampaikan birokrasi kampus itu pun belum tentu kebenarannya pula, karena selama ini mahasiswa Unair tidak pernah diberi transparansi terkait anggaran pendidikan yang ada di Unair.

Seandainya pun kampus Unair kekurangan dana tentunya birokrasi bisa tegas menyampaikan kepada pemerintah untuk menambah anggaran pendidikan, bukan sebaliknya membebankan kepada para mahasiswa. Apalagi hal ini secara jelas sudah diatur dan ditegaskan dalam Pasal 31 UUD 1945 bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan yang layak dan negara wajib untuk membiayainya.

Kampus yang diharapkan sebagai bangunan alat untuk mencerdaskan rakyat yang mudah untuk diakses oleh rakyat dan tentunya hasil-hasil akademisnya mampu berguna untuk kepentingan kesejahteraan rakyat tapi nyata-nyatanya telah berubah menjadi praktek bisnis.  Praktek seperti ini  hanya menguntungkan sekelompok orang dan menjadikan pendidikan sebagai barang mewah yang tidak semua kelas masyarakat bisa mengakses pendidikannya dengan murah .    Hal ini berarti pemerintah telah gagal menjalankan amanat dan tujuan konstitusi kita UUD 45 untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan negara.

Alih-alih otonomi kampus padahal sebenarnya ini adalah praktek swastanisasi dan liberalisasi di dunia pendidikan dan celakanya lagi hal ini dilindungi olek praktek legal Undang-Undang Badan Hukum Milik Negara (BHMN) yang tentu saja bertentangan dengan prinsip-prinsip dalam konstitusi dasar negara ini.


Saatnya Melawan Penindasan

Gerakan perlawanan di kampus Unair telah mulai dilakukan oleh mahasiswa-mahasiswa progresif yang sadar akan pembodohan dan penindasan pendidikan di kampusnya. Mereka tergabung dalam FAM Unair (Forum Advokasi Mahasiswa Universitas Airlangga). Kawan-kawan mahasiswa inilah yang siap menjadi pelopor dan martir perubahan untuk penghapusan kebijakan pembayaran Ikoma meski konsekuensinya mereka terancam terhambat bahkan sampai tidak bisa meneruskan proses akademiknya.

Dengan melakukan kampanye, propaganda di dalam kampus dengan menggelar aksi sejuta tanda tangan dukungan untuk menghapus Ikoma dan aksi boikot untuk tidak membayar Ikoma membuat mata dan telinga birokrasi di kampus Unair pun terganggu. Hal ini membuat para pejabat-pejabat Unair ini saling lempar tanggung jawab antara pihak rektorat dengan fakultas. Tentu saja ini adalah preseden yang buruk dalam dunia pendidikan, kampus tempat kaum intelektual tetapi prakteknya menjalankan pungli layaknya preman.

Aksi kawan-kawan mahasiswa ini pun membuahkan hasil dengan dikeluarkannya SK Rektor yang menghapuskan kewajiban unutk membayar sumbangan Ikoma. Lantas bagaimana dengan pungli Ikoma yang terlanjur masuk? SK Rektor memang telah keluar, tapi di salah satu butirnya melegalisasi pungli yang selama ini terlanjur masuk dan menyatakan bahwa hal itu dibenarkan dan artinya tidak akan ada pengembalian atas restribusi pungli Ikoma tersebut.

Perjuangan belum usai saatnya membawa hal ini ke dalam wilayah hukum dan tetap harus dikawal dengan aksi-aksi mahasiswa yang revolusioner dan didukung oleh gerakan rakyat seperjuangan untuk menghapus praktek-praktek korupsi dan pungli yang nyata-nyata telah meracuni dunia pendidikan kita.


* Penulis adalah pemerhati pendidikan, sekaligus Anggota Forum Belajar Bersama Prakarsa Rakyat dari Simpul Jawa Timur.

** Siapa saja dipersilahkan mengutip, menggandakan, menyebarluaskan sebagian atau seluruh materi yang termuat dalam portal ini selama untuk kajian dan mendukung gerakan rakyat. Untuk keperluan komersial pengguna harus mendapatkan ijin tertulis dari pengelola portal Prakarsa Rakyat. Setiap pengutipan, penggandaan dan penyebarluasan sebagian atau seluruh materi harus mencantumkan sumber (portal Prakarsa Rakyat atau www.prakarsa-rakyat.org).

Oleh : Oki Hajiansyah Wahab*


Sudah 22 hari Sugeng meringkuk di sel Polsek Gedongtataan, Pesawaran, atas sangkaan mengambil scrap (karet kering) sekitar 1 kg milik di PTPN VII Way Lima,Lampung. Polisi menjeratnya dengan Pasal 374 KUHP tentang Penggelapan dengan ancaman pidana lima tahun penjara. Sejak Sugeng ditangkap, perekonomian rumah tangganya praktis morat-marit. Ngatiyem, istri Sugeng hanyalah seorang tukang pembersih kebun dengan upah Rp15 ribu/hari. Sugeng yang telah bekerja selama puluhan tahun, sejatinya merupakan tulang punggung keluarga yang menanggung kebutuhan lima anaknya. Ngatiyem, istri Sugeng juga mempertanyakan mengapa suaminya bisa dipenjara karena mengambil scrap padahal, karyawan PTPN VII lainnya juga kerap membawa scrap. Menurut Ngatiyem scrap tersebut biasanya digunakan untuk membuat api saat memasak. Kalaupun memang bisa dijual, sangat sulit mencari orang yang mau membeli scrap seberat 1 kg. Lebih lanjut Ngatiyem juga mengungkapkan bahwa karyawan lainnya juga biasa mengambil scrap sebagai bahan untuk menghidupkan api di tungku masak.

Demikianlah penggalan tulisan berseri yang ditulis Hendry Sihaloho Wartawan Lampung Post, 22-24 Februari 2011 lalu. Penulis yang penasaran mencoba menyimak tulisan berseri tersebut. Hendry dengan instingnya sebagai jurnalis mengangkat kasus ini sebagai potret buramnya penegakan hukum bagi masyarakat miskin. Hendry yang sesungguhnya bertugas di liputan kriminal wilayah kota Bandar Lampung rela pergi keluar wilayah liputannya ketika mendengar kasus ini.

Kasus yang dialami Sugeng ini segera mengingatkan penulis pada kasus Minah seorang nenek tua dari Desa Darmakradenan, Kecamatan Ajibarang, Banyumas, Jawa Tengah yang dibawa ke Pengadilan karena mengambil beberapa buah coklat milik PT Rumpun Sari Antan (PT RSA). Nenek Minah kemudian didakwa melanggar pasal 362 KUHP yang secara legal-formal dikategorikan sebagai tindak pidana pencurian oleh Jaksa. Meskipun pada akhirnya, Minah dinyatakan hakim terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah dan dijatuhi vonis pidana satu bulan 15 hari, dengan masa percobaan, Hakim Muslich Bambang Luqmono yang memimpin persidangan kasus tersebut sempat menangis saat membaca putusan.

Kasus Minah dan Sugeng sekilas memang kelihatan sepele -hanya tiga kakao dan 1 kg scrap- tetapi sesungguhnya di balik itu sarat dengan perselisihan paradigma sehingga mudah terjadi ketegangan antara tuntutan kepastian hukum dengan keadilan. Jika kita cermati Nenek Minah saat itu dipidana karena PT RSA tetap bersikeras agar kasus ini tetap diteruskan ke Pengadilan agar menjadi shock therapy. Hal yang sama juga dialami oleh Sugeng, dalam tulisan berseri tersebut juga dituliskan Humas PTPN VII mengatakan terpaksa mengambil tindakan tegas agar karyawan lain tidak mengikutinya.

Sejarawan, Michael Zinn mengungkapkan hukum sangat berpotensi mereproduksi sumber‐sumber alienasi (alienation) dan tekanan (oppression). Konteks ini yang sesungguhnya bisa menjelaskan karakter hukum yang tampak congkak dan kejam di mata orang‐orang miskin. Kasus Minah, Sugeng dan banyak masyarakat miskin yang sejatinya hanyalah korban pemiskinan struktural tentunnya mengusik rasa keadilan publik. Hukum tampak begitu garang bagi masyarakat miskin namun tampak lembek bagi para koruptor yang jelas-jelas telah merugikan negara.

Sebagai bahan kajian komparatif KUHP asing di beberapa negara (antara lain di Armenia, Belarus, Brunei, Bulgaria, China, Jerman, Latvia, Macedonia, Perancis, Romania, Swedia, dan Yugoslavia) bahwa suatu perbuatan -misalnya pencurian- walaupun telah memenuhi rumusan delik dalam UU dapat dinyatakan tidak merupakan tindak pidana (asas Judicial Pardon), apabila: (a) tidak menimbulkan bahaya publik atau sangat kecil bahaya sosialnya; (b) tidak ada bahaya sosialnya; (c) tidak berbahaya bagi masyarakat atau sifat bahayanya sangat kecil; (d) bahayanya sangat kecil atau tidak besar; (e) ada keadaan-keadaan yang meniadakan/menghapus pertanggungjawaban pidana (Barda Nawawi Arief, 2006).

Suatu perbuatan walaupun telah memenuhi rumusan delik dalam undang-undang dapat dinyatakan tidak merupakan tindak pidana (maksimal tindak pidana ringan), apabila tidak menimbulkan bahaya terhadap individu/publik atau tidak ada bahaya sosialnya. Dalam kasus Sugeng kita akan melihat apakah hukum akan ditegakkan dalam bentuknya yang paling kaku atau justru sebaliknya.

Hal yang harus kita ingat adalah bahwasannya dalam pengadilan, yang mengadili dan diadili bukan benda mati, sesungguhnya bukan totalitas kognitif dan logika tetapi juga tak terhindarkan hubungan kemanusiaan. Seharusnya dalam Kasus Sugeng dapat diselesaikan melalui proses restorative justice atau penyelesaian secara damai di luar pengadilan. Terlebih lagi, dalam Rancangan KUHP yang baru sudah diatur model penyelesaian restorative justice atau penyelesaian secara damai di luar pengadilan untuk kasus-kasus yang implikasi sosialnya kecil dan tidak membahayakan individu/publik (Widodo Dwi Putro, 2010).

Satu hal yang tak boleh dilupakan bahwa fakta yuridis, yakni fakta-fakta dari sebuah kasus dalam masalah hukum, juga tidak begitu saja terberi, melainkah harus dipersepsi dan dikualifikasi dalam konteks aturan hukum yang relevan, untuk kemudian diseleksi dan diklasifikasi berdasarkan kategori-kategori hukum. Jadi, fakta yuridis bukanlah “bahan mentah,” melainkan fakta yang sudah diinterpretasi dan dievaluasi (Sidharta, 2008).

Dalam kasus Nenek Minah, Polisi dan Jaksa membawa kasusnya ke pengadilan karena hanya memahami teks hukum dengan logika tertutup. Disebut tertutup karena teks hukum itu harus dibersihkan dari anasir-anasir ekonomis, sosiologis, dan sebagainya. Sistem logika tertutup memiliki karakter hanya mengejar kebenaran formal prosedural (Sidharta, 2007). Apakah hal yang sama akan dialami oleh Sugeng, kita masih akan menunggu perkembangannya.

Hukum sesungguhnya adalah pergulatan manusia tentang manusia, keadilan adalah suatu konsep yang jauh melampaui hukum. Keadilan itu berada dalam wilayah nomena, dan hukum itu adalah fenomena. Hukum tanpa keadilan kurang layak disebut hukum, tetapi keadilan tanpa hukum tetaplah keadilan. (Widodo Dwi Putro, 2010). Kasus Sugeng dan banyak masyarakat miskin lainnya bisa menjadi refleksi bahwa penegakan hukum di negeri ini seringkali masih berlangsung tanpa mendengarkan hati nurani, yaitu rasa keadilan dan kemanusiaan. Akhirnya Roscou Pond pernah mengatakan “mari kita tidak jadi biarawan hukum, yang hanya menikmati atmospir kemurnian hukum dengan memisahkan hukum dari kehidupan keseharian dan elemen kemanusiaan.”


* Penulis adalah peminat masalah hukum, sekaligus Anggota Forum Belajar Bersama Prakarsa Rakyat dari Simpul Jabodetabek.

** Siapa saja dipersilahkan mengutip, menggandakan, menyebarluaskan sebagian atau seluruh materi yang termuat dalam portal ini selama untuk kajian dan mendukung gerakan rakyat. Untuk keperluan komersial pengguna harus mendapatkan ijin tertulis dari pengelola portal Prakarsa Rakyat. Setiap pengutipan, penggandaan dan penyebarluasan sebagian atau seluruh materi harus mencantumkan sumber (portal Prakarsa Rakyat atau www.prakarsa-rakyat.org).

Oleh : Yustira Dicky*


Polemik antara PSSI dengan pengurus Liga Primer Indonesian (LPI) belum usai hingga saat ini. Adu pendapat dan argumen terus bermunculan di berbagai media massa demi mempertahankan sikap masing-masing. Sebelumnya, LPI bersikukuh tetap menjalankan pertandingan meski tidak mendapatkan persetujuan dari pihak kelembagaan resmi persepakbolaan di Indonesia, PSSI. Di lain pihak, PSSI mengecam tindakan LPI. Polemik yang tanpa pertemuan kedua belah pihak seolah-olah menjadi permainan opera rakyat, hanya adu pendapat tanpa pertemuan yang pasti dari kedua belah pihak.

Ada dua kemungkinan asumsi yang dapat disimpulkan oleh publik atas polemik seperti itu. Pertama, kemungkinan bagian dari tindak politik partai. Asumsi ini terkait dengan latar individu masing-masing atas keikutsertaannya pada suatu partai politik tertentu. Artinya, pimpinan PSSI memiliki relasi terdekat dengan suatu partai apa, begitu pula halnya dengan LPI.

Kedua, kemungkinan dijadikan sebagai ranah yang potensial terhadap bisnis. Asumsi ini terkait dengan kedua pimpinan PSSI dan penggagas LPI merupakan dua pebisnis yang cukup diakui di dalam negeri. Sepak bola merupakan suatu sarana olah raga yang diikuti banyak partisipasi dari berbagai kalangan, baik partisipan sebagai pemain maupun partisipan suporter. Oleh karena itu, sepak bola diproyeksikan sebagai ranah yang potensial.

Ketiga, kemungkinan perebutan jabatan tertinggi PSSI. Setelah pengesahan Nurdin Halid sebagai pemimpin PSSI, pada 17 November 2003, di tahun 2011 akan muncul calon-calon ketua baru.


Industrialisasi

Polemik sepak bola yang terjadi belakangan ini justru terarah pada satu pilihan sebagai jalan tengah. Jalan tengah tersebut dianggap terbaik. Terbaik karena perseteruan LPI dengan PSSI tidak saling dirugikan, justru akan menguntungkan bagi pretasi sepak bola di Indonesia. Opsi tersebut adalah indutrialisasi sepak bola.

Menengahi polemik antara PSSI dengan LPI cukup mudah. Di satu sisi LPI jelas kalah oleh legitimasi, karena legislator pengadaan pertandingan sepak bola ada pada PSSI. Dan secara internasional ada pada FIFA. Namun, keunggulan LPI sebagai penggagas tradisi sepak bola yang bersih, sportivitas tinggi, dan menjungjung tinggi fairplay. Di Liga Super Indonesia (LSI), sebagai kelembagaan liga profesional yang diakui oleh PSSI, belum dan bahkan sering dikeluhkan masyarakat mengenai kinerja instrumen tiap pertandingan serta nilai-nilai sportivitasnya. Tanpa saling menuding satu kelembagaan, lebih baik kita menjalankan LSI di bawah naungan PSSI secara profesional.

Dengan diteruskannya tradisi LSI di bawah naungan PSSI, maka sepak bola (liga) akan jauh dari intervensi pengusaha. Intervensi pengusaha terjadi bila sepak bola kita telah resmi diakui sebagai suatu wadah industrial, atau dikenal dengan industrialisasi sepak bola. Intervensi pengusaha sebagai pemilik saham (terbesar) pada badan kelembagaan club hanya berpretensi terhadap “nilai tambah” –atau istilah Adorno, nilai-guna berubah menjadi nilai-tukar di dalam industri- yang berpotensi pada tindakan semena-mena pemilik badan club. Meskipun kita akui, kadang tujuan pemilik club selalu ingin membangun perbaikan sepak bola. Seperti yang diagung-agungkan oleh LPI belakangan ini, yakni LPI dengan industrialisasi sepak bola bertujuan memperbaiki sistem sepak bola di Indonesia.

Industri sepak bola pada dasarnya adalah sistem nilai jual-beli. Di dalamnya diperioritaskan nilai untung-ruginya yang bertujuan mengumpulkan keuntungan sebesar-besarnya. Kita lihat acuan beberapa club Liga di Eropa yang memiliki nama, seperti Chelsea, Inter Milan, Real Madrid, dan Manchester. City. Club-club tersebut dengan “tangan dingin” pemilik club memutuskan pelatih di tengah kontrak berjalan karena hasil yang kurang memuaskan. Selain itu, pembelian para pemain tidak lagi berorientasi pada potensi pemain semata, melainkan pertimbangan-pertimbangan untung-rugi yang didapatkan dari bakal pemain.

Seolah-olah industrialisasi sepak bola akan memajukan persepakbolaan di masa depan, baik itu bagi Tim Nasional maupun club-club di dalam negeri. Industrialisasi hanya suatu praktek perdagangan. Salah satu dampak sosialnya adalah, sepak bola bukan lagi sebagai sarana olah raga yang murni, melainkan sarana peluang kerja. Oleh karena itu, tidak dapat dijamin bahwa industrialisasi sepak bola akan memajukan tradisi sepak bola di Indonesia. Apalagi kita akan kalah saing dengan liga-liga yang telah mapan di Eropa. Analoginya adalah persaingan mall dengan pedagang kaki lima.

Adanya berbagai alasan, cukup bahwa liga di Indonesia hanya berada dan dikelola sepenuhnya oleh PSSI. Dengan syarat tertentu demi kemajuan bersama. PSSI dan polanya bukanlah suatu kesalahan atas kebobrokan sepak bola di Indonesia. Kesalahan ada pada pengurus PSSI tersebut, bukan karena sepak bola dikelola oleh negara. Oleh karena itu, pengurus PSSI harus direformasi dan LSI tetap berjalan dengan restorasi instrumennya. Jawabannya bukan industrialisasi sepak bola, tetapi reformasi segera pengurus PSSI.


* Penulis adalah Mahasiswa Universitas Padjajaran (Unpad) penikmat sepak bola, sekaligus Anggota Forum Belajar Bersama Prakarsa Rakyat dari Simpul Bandung.

** Siapa saja dipersilahkan mengutip, menggandakan, menyebarluaskan sebagian atau seluruh materi yang termuat dalam portal ini selama untuk kajian dan mendukung gerakan rakyat. Untuk keperluan komersial pengguna harus mendapatkan ijin tertulis dari pengelola portal Prakarsa Rakyat. Setiap pengutipan, penggandaan dan penyebarluasan sebagian atau seluruh materi harus mencantumkan sumber (portal Prakarsa Rakyat atau www.prakarsa-rakyat.org).

Sumber: PrakarsaRakyat

Oleh : Khamid Istakhori *


Kemenangan Serikat Karyawan Indosiar (SEKAR INDOSIAR) dalam persidangan perdata kasus Union Busting yang menyatakan bahwa PT. Indosiar Visual Mandiri bersalah telah melakukan pelanggaran Union Busting dan mewajibkan direksinya untuk membayar denda sebesar 2 juta rupiah per hari serta meminta maaf selama dua hari berturut-turut di media cetak nasional adalah kemenangan gerakan buruh Indonesia secara luas. Kita bersepakat untuk tidak mengklaim sebagai kemenangan SEKAR INDOSIAR, Federasi, maupun Komite. Karena sejatinya dalam kapasitasnya masing-masing gerakan buruh Indonesia secara luas memberikan kontribusinya masing-masing.

Hanya dengan cara seperti inilah, setiap “kemenangan kecil” akan menjadi inspirasi dan memiliki arti sejati . Mengklaim atau mempatenkan kemenangan menjadi milik satu kelompok bukan saja menciderai kesatuan gerak kaum buruh Indonesia tetapi juga akan menjadikan kemenangan ini tidak berarti apa-apa.

(Catatan kecil dari Malam Refleksi Kemenangan SEKAR INDOSIAR, di kantor LBH PERS, 31 Januari 2011)


Perkara Union Busting, adalah perkara yang gawat saat ini. Perkara yang sudah tidak bisa lagi kita tolerir karena dia sudah seperti gurita yang menjeratkan kakinya dan menyerangkan racun hitamnya ke dalam sendi kehidupan kaum buruh Indonesia. Ungkapan ini, mungkin tak mampu mewakili kondisi yang sebenarnya terjadi tetapi setidaknya memberikan penyadaran kepada kita bahwa kini, kita sedang berhadapan dengan puncak keburukan Union Busting. Dalam istilah keseharian, Union Busting dapat dijelaskan dengan sederhana sebagai sebuah upaya (oleh siapapun) secara tersistematis untuk memberangus serikat buruh.

Memberangus, berarti membuatnya rusak, membuatnya tak berfungsi, membuatnya lemah dan tak berdaya. Dengan cara halus sampai cara yang paling kasar, baik dilakukan oleh pengusaha kelas kacangan sampai negara sebagai aktornya. Intinya Union Busting adalah upaya untuk melemahkan dan bahkan membunuh serikat, kalau perlu dengan membunuh pimpinan dan anggotanya sebagaimana yang kita kenal dalam sejarah perjuangan Marsinah, terbunuh karena membela haknya, hak kaum buruh.


Kemerdekaan Berserikat dan Konstitusi

Konstitusi negara yang diamanahkan oleh para pendiri bangsa telah dengan tegas, memberikan rambu-rambu dan bahkan sebenarnya inilah ruh dari undang-undang dasar kita: kemerdekaan secara hakiki kepada seluruh warga negara. Konstitusi ini, disusun dalam suasana revolusioner ketika bangsa ini lepas dari cengkeraman penjajah, maka sangat tegas memberikan jaminan agar kemerdekaan itu menjadi milik sebenarnya seluruh rakyat. Seperti yang dikatakan Ami dari Komite Solidaritas Nasional, “Kemerdekaan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat dijamin dalam konstitusi kita, artinya tidak ada satupun pihak di republik ini dengan kekuasaannya merasa berhak melakukan pencabutan hak itu demi dan atas nama kepentingan apapun, apalagi demi kepentingan modal, investasi dan stabilitas.”

Konstitusi yang sangat gamblang tersebut, kemudian dipertegas dengan undang-undang yang telah berusia satu dekade lebih, UU 21 tahun 2000. Undang-undang ini memberikan rambu-rambu yang lebih tegas, bahkan kemudian memberikan sanksi bagi siapapun yang melanggar ketentuan pidana di dalamnya. Tetapi, sepertinya UU ini juga hanya macan kertas karena meskipun telah memasuki tahun kesebelas sejak ditandatangai oleh presiden, tetap saja tidak mampu memberikan jaminan keamanan bagi seluruh buruh untuk bisa bebas berserikat tanpa tekanan.

Dalam refleksi kemenangan SEKAR INDOSIAR kemudian Ichsan Malik dari Titian Perdamaian memberikan sebuah gambaran yang lebih konkrit terkait dengan kondisi tanpa kepemimpinan hukum ini, sebuah kondisi yang gelap gulita. Ichsan Malik menegaskan bahwa apabila tidak segera diupayakan perubahan mendasar atas gerakan kita dalam melawan pemberangusan serikat bukan tidak mungkin kondisi gelap tanpa lentera hukum ini akan bertahan 50 tahun lagi, bahkan lebih panjang. Upaya yang ditumbuhkan harus mencakup sebuah gerakan yang meluas bagi seluruh kalangan terutama buruh untuk menjadikan kesadaran terhadap hukum sebagai “panglima” bagi gerakan kita. Kesadaran hukum yang kuat pada masyarakat akan memberikan tekanan yang kuat bagi negara untuk bertindak ketika terjadi pelanggaran.

Bahkan dalam keadaan tanpa undang-undang yang baik sekalipun tetapi ketika tekanan masyarakat kuat, niscaya akan terjadi perubahan secara signifikan. Sebagai contoh lihatlah apa yang terjadi di Indonesia pada kurun waktu tahun 1998 dan awal kemenangan Hugo Chavez di Venezuela. Dalam kasus Venezuela, begitu memenangkan revolusi di Venezuela, Chavez langsung “mewajibkan” seluruh rakyatnya untuk melek konstitusi. Chavez sadar bahwa hanya dengan rakyat yang melek dan sadar akan nilai-nilai konstitusi sajalah maka kesadaran hukum akan terwujud. Dengan kesadaran hukum yang kuat maka kontrol terhadap kekuasaan dan juga kontrol terhadap upaya penyelewengan kekuasaan atau rongrongan pihak yang kontra revolusi dapat dikalahkan.

Jadi meskipun Undang-Undang Dasar 1945 dan Undang-Undang 21 tahun 2000 telah memberikan dasar dan legitimasi bagi kita untuk berserikat tetapi kalau pemahaman dan kesadaran masyarakat belum tumbuh, bagai jauh panggang dari api.


Perlawanan Union Busting dan Gerakan Massa

Kemenangan SEKAR INDOSIAR memberikan sebuah pelajaran berharga kepada kita bahwa kekuatan kolektif dan kesatuan gerak merupakan kunci kemenangan. Bukan saja mempersiapkan gugatan yang disusun secara detil dengan fakta-fakta yang kuat tetapi juga pengawalan secara ketat dalam persidangan. Tercatat bahwa setiap kali persidangan digelar, tak pernah absen mereka hadir dalam jumlah yang besar.

Pengerahan massa dalam persidangan memiliki arti penting, setidaknya akan memberikan dampak psikologis bagi para hakim dan lembaga peradilan bahwa apabila mereka melakukan kesalahan fatal dengan memenangkan pihak pengusaha yang seharusnya kalah, maka akan terjadi gejolak, minimal kantor pengadilan akan berubah menjadi ajang demonstrasi. Pengalaman demikian juga dilakukan oleh Serikat pekerja Angkasa Pura 1 dalam menghadpi persidangan di Pengadilan Hubungan industrial Jakarta dengan keputusan memenangkan para pekerja.

“Gugatan yang sempurna dan detil bukti yang kuat akan memudahkan kita memenangkan tuntutan, tetapi itu saja tidak cukup. Dibutuhkan kekuatan penekan lainnya yaitu gerakan massa yang solid dan terus menerus melakukan tekanan,” kata Aben, pengacara dari LBH Jakarta. “Salah besar kalau kita mengharapkan keadilan di pengadilan, karena di Indonesia, negara yang sangat korup ini, prinsip pengadilan yang berpihak kepada kebenaran bagi rakyat sudah bergeser, di sini yang ada adu kuat bukti,” lanjut Aben sambil memberikan penekanan bahwa kekuatan massa yang solid merupakan alat tekan yang efektif.

Sejarah telah memberikan pelajaran berharga bagi kita, betapa gerakan massa tahun 1998 telah sangat efektif menumbangkan kekuasaan rezim otoriter dan bagaimana kekuatan massa aksi buruh yang bergelombang mampu menahan keinginan rezim untuk merevisi UU 13 tahun 2003 menjadi lebih buruk lagi pada tahun 2006. Maka, terkait dengan perlawanan terhadap Union Busting, selayaknya kita harus bekerja sangat keras untuk mampu memobilisasi perlawanan secara lebih besar lagi. Tanpa itu semua, maka jangan pernah berharap keadilan dan kemenangan akan datang dengan sendirinya, meskipun hukum ditulis dengan keberpihakan kepada kaum buruh.


2011, Tahun Perlawanan Terhadap Union Busting

Melalui Raker yang berlangsung selama dua hari, pada akhir Desember 2010, Komite Solidaritas Nasional (KSN) telah mengambil sebuah keputusan besar dengan menetapkan tahun 2011 sebagai tahun perlawanan terhadap Union Busting. Keputusan ini diambil dengan pertimbangan utama bahwa Union Busting telah menjadi musuh utama bagi gerakan buruh Indonesia dan menunjukkan kondisi yang memburuk. “Jangankan serikat yang baru terbentuk, serikat yang sudah bertahun-tahun terbentukpun menghadapi ancaman yang besar dan modus yang paling sering digunakan adalah memecah belah buruh dengan membentuk serikat tandingan!“ kata Sulistiani, Sekretaris KSN, memberikan alasan.

Fenomena yang luar biasa terkait dengan union busting membuat semua pihak semestinya bersatu melakukan perlawanan, dan setelah satu dekade UU 21 tahun 2000 diberlakukan, justru kondisinya semakin memburuk. KSN menemukan setidaknya 25 pola terkait dengan upaya untuk melakukan pemberangusan serikat buruh, dari cara yang paling halus dengan tawaran naik jabatan bagi pengurus serikat, sampai membentuk serikat tandingan dan kemudian dengan memecat ketua merupakan modus yang dilakukan oleh para pengusaha. Ada semacam ketetapan tidak tertulis yang dibela dengan sangat serius oleh para pengusaha, bahwa mereka akan ngotot berusaha sampai titik darah penghabisan agar seluruh kasus union busting dapat mereka menangkan.

Tak terbilang berapa besar uang yang harus mereka keluarkan untuk membayar preman, membayar aparat penegak hukum sampai memberikan sogokan kepada pimpinan serikat gadungan yang mereka bentuk agar menuruti semua skenario yang telah mereka rancang. Bahkan, kemudian negara abai terhadap tanggung jawab mereka untuk melindungi rakyatnya. Keterlibatan negara, dalam pandangan KSN telah dimulai dengan menetapkan ketentuan yang sangat liberal dalam hal kebebasan berserikat di antaranya dengan menetapkan persyaratan pembentukan serikat buruh yang hanya memerlukan 10 orang. Tampak seakan-akan memberikan kemudahan bagi buruh untuk mengekspresikan kebebasannya dengan membentuk serikat, tetapi sejatinya inilah cara pemerintah atas pesanan lembaga donor internasional melakukan politik pecah-belah terhadap buruh.

Pasca UU ini diberlakukan, kondisi yang sangat ironis terjadi, jumlah serikat buruh bertambah sangat pesat tetapi jumlah buruh yang berserikat justru mengalami penurunan yang cukup besar. Ini artinya menunjukkan bahwa UU 21 tahun 2000 telah sangat ampuh melakukan politik pecah-belah bagi buruh.

Di samping itu, kemudian melalui UU 02 tahun 2004 tentang PPHI, negara memasukkan perselihan antar serikat buruh sebagai materi yang akan dapat disidangkan secara perdata. Inilah bukti konkrit bahwa negara memang membuat skenario untuk melemahkan serikat buruh. Maka tepatlah ketika KSN membuat prioritas program dengan menjadikan tahun 2011 sebagai tahun perlawanan terhadap union busting. Pilihan ini didasarkan pada kondisi yang semakin memburuk dan harus secepatnya dilakukan penggalangan dan mobilisasi yang sangat besar untuk melakukan gugatan kepada negara yang telah abai kepada rakyatnya.

Ichsan Malik memberikan catatan penting, bahwa perubahan akan terjadi dengan terciptanya konflik yang besar, yang berarti terjadinya perlawanan. “Sebagai perumpamaan dapat digambarkan bahwa tiga syarat untuk menjadikan perlawanan kita terhadap union busting ini membesar adalah terjadi titik api yang menyebar di banyak tempat, ada angin yang menghembus dan ada rumput kering,” katanya. Artinya perlawanan terhadap union busting harus dilakukan dengan sistematis. Banyaknya kasus-kasus union busting berupa pemecatan ketua serikat, memecah-belah serikat dan tindakan represi merupakan titik api yang harus tetap dijaga sebagai momentum perlawanan. Tetapi itu semua tak berarti apa-apa dan hanya akan membakar diri kita kalau tidak dibarengi dengan hembusan angin besar berupa konsolidasi dan penguatan secara terus-menerus melalui pendidikan, penyadaran dan aktivitas membangun perlawanan lainnya. Maka, apabila syarat pertama dan kedua sudah terpenuhi, bersiaplah untuk berlawan karena lahan dengan rumput kering berupa mandegnya hukum akan menjadi pemicu perlawanan yang sangat dahsyat.

Apakah upaya ini akan menjadi kenyataan ditandai dengan kebangkitan gerakan buruh Indonesia terutama dalam upaya melakukan perlawanan terhadap union busting? Semua berpulang pada kita semua, maukah kita secara bersama, dengan kesatuan gerak dan kesamaan cita-cita menjadikan upaya perlawanan tidak terpisah sendiri-sendiri tetapi menjadikannya sebagai agenda bersama menuju perubahan.

Sebagaimana ditulis dalam awal tulisan ini, kita seharusnya tidak menjadikan perlawanan dan memaknai setiap kemenangan yang sudah kita capai sebagai milik diri sendiri, tetapi mendedikasikannya untuk kemenangan sejati gerakan buruh Indonesia.

Ayo berlawan, jadikan 2011 sebagai tahun perlawanan terhadap union busting!


* Penulis adalah anggota serikat buruh FSPEK Karawang, sekaligus Anggota Forum Belajar Bersama Prakarsa Rakyat dari Simpul Jabodetabek.

** Siapa saja dipersilahkan mengutip, menggandakan, menyebarluaskan sebagian atau seluruh materi yang termuat dalam portal ini selama untuk kajian dan mendukung gerakan rakyat. Untuk keperluan komersial pengguna harus mendapatkan ijin tertulis dari pengelola portal Prakarsa Rakyat. Setiap pengutipan, penggandaan dan penyebarluasan sebagian atau seluruh materi harus mencantumkan sumber (portal Prakarsa Rakyat atau www.prakarsa-rakyat.org).

Sumber: PrakarsaRakyat

;;