Oleh : Edwin Partogi*


Majalah Tempo 4 Juli 2010, telah membuka ruang keingintahuan publik atas kekayaan para perwira polisi yang telah menjadi rahasia umum. Dari 21 rekening tidak wajar yang dimiliki para perwira itu, 6 di antaranya diulas secara gamblang.

Dari ulasan Tempo itu ada dugaan bahwa uang itu diperoleh dari berbagai permainan perkara yang melibatkan dunia usaha. Namun bila kita telisik lebih jauh maka akan muncul pertanyaan-pertanyaan yang butuh jawaban mendalam. Misal, mengapa rekening para perwira yang gendut? Bila itu diperoleh dari jalan yang tidak halal, apakah rekening gendut itu an sich berasal dari penanganan perkara? Bila kepentingan pemberi suap melampaui penanganan perkara, lalu kepentingan apa lainnya? Siapa saja yang memiliki kepentingan mempengaruhi para perwira itu? Lalu dengan jalan apa suap berlangsung?

Tulisan ini fokus pada modus para penyuap menggoda hingga dapat membuat rekening sejumlah aparat gendut. Tentu banyak pihak yang ingin mempengaruhi polisi yang memiliki kewenangan besar menentukan nasib orang lain. Karena itu suap mudah mengalir baik diminta maupun tidak diminta agar kewenangan yang dimiliki polisi tersebut mengikuti kemauan penyuap. Suap itu dimaksudkan agar polisi tidak melakukan apa yang mestinya mereka lakukan, tidak melakukannya dengan benar, dan melakukan apa yang tidak seharusnya mereka lakukan.

Modus Suap

Dari pengaduan kasus baik warga biasa maupun dari kalangan aparat yang masuk di KontraS, yang kemudian didalami dengan investigasi. KontraS mendapatkan temuan menarik terkait modus suap yang berlangsung.

Dalam praktek konvensional suap biasa diberikan pihak berperkara agar penyidik menghentikan suatu perkara. Bila tidak bisa dihentikan setidaknya dapat membuat pasal yang disangkakan menjadi ringan dan menghilangkan sejumlah sangkaan kumulatif yang memberatkan. Bisa pula dengan motif agar sangkaan yang dibuat lemah pembuktiaannya hingga akhirnya berujung pada dibebaskannya terdakwa dari tuntutan. Pada kasus Gayus yang dipersoalkan Susno Duadji, hal ini mengemuka.


Pada motif lain, suap diberikan agar polisi melakukan kegiatan lidik/sidik untuk menjerat lawan dari pihak penyuap. Menetapkan pihak lawan menjadi tersangka sebagai hukuman atau dapat pula sebagai alat tawar-menawar agar lawan itu mengikuti kemauan penyuap.

Kepentingan konvensional lainnya dari pihak penyuap yaitu menyangkut jaminan keamanan. Penyuap dalam konteks ini mendapat fasilitas pengaman eksklusif dengan memiliki pengawal pribadi dari pihak aparat keamanan. Pemberian fasilitas VIP keamanan tersebut meliputi juga pengamanan rumah dan tempat usaha dari pemberi suap.

Pemberi suap potensial pada level konvensional ini adalah pihak berperkara, pengacara hitam dan pengusaha.

Mencengkeram Kendali Institusi

Kenapa hal-hal tersebut di atas masih dikategorikan kepentingan konvensional? Karena kepentingan penyuap pada level tertinggi yaitu memegang kendali institusi penegak hukum. Pada level ini penyuap pantas disebut mafia. Dengan memegang kendali atas instansi penegak hukum, maka selain segala kepentingan konvensional didapatkan, jaminan kelancaran bisnis penyuap pun diperoleh. Pengaruh yang ingin dibangun mafia ini cukup besar, yaitu hingga dapat menentukan siapa pada jabatan apa orang-orang akan ditempatkan pada institusi itu. Sehingga kendali atas institusi tersebut terjaga.

Pihak yang potensial melakukan kegiatan mafia ini adalah pengusaha hitam. Yaitu pengusaha yang memiliki banyak bisnis legal, namun bisnis legal tersebut dijalankan dengan berbagai kecurangan. Transaksi ekspor/impor fiktif, manipulasi pajak, penyeludupan barang, monopoli pasar, memperkarakan kompetitor bisnis dan lain sebagainya.

Bagaimana bisa mereka kendalikan instansi penegak hukum? Suap kepada pemegang kendali institusi penegak hukum, misal para perwira telah membuat para pejabat tanpa sadar menyerahkan kunci kendali pada mafia. Mafia ini berlaku royal bak sinterkelas. Penyuap sadar betul kekuatan materi mereka berikan. Sebagaimana pepatah Yahudi Kuno, “Jika anda memiliki uang, pendapat anda akan diterima” (if you have money, your opinions will be received).

Seroyal apakah mafia ini? Mafia ini melayani sasarannya bak raja. Penerima suap menerima gaji buta bulanan yang nilainya variatif tergantung pada posisi jabatannya. Di luar gaji buta itu, mereka mendapatkan fasilitas pribadi yang mumpuni. Sebut saja rumah, kendaraan motor, kartu kredit, asuransi, wisata bahkan biaya pernikahan. Selain itu, mafia mengikat penerima suap dengan cara memberi saham di perusahaan termasuk memasukkan keluarga penerima suap sebagai karyawan di perusahaannya.

Tidak hanya itu, baik untuk biaya peribadatan seperti haji atau biaya hiburan macam apapun ditanggung mafia ini. Tak lupa THR setiap hari raya. Bagi mafia ini, perilaku ala malaikat atau setan pun dari si penerima suap akan dilayani.

Menanggung segala kebutuhan di atas bukan hal yang sulit bagi si mafia. Karena umumnya mereka memiliki banyak unit usaha sebut saja properti, perbankan, otomotif, pesawat komersil, perkebunan dan banyak macam lainnya.

Bukan hanya kepentingan pribadi yang dipenuhi. Bantuan untuk kepentingan kedinasan juga menjadi konsens dari mafia ini. Dari kebutuhan pembangunan/renovasi kantor, peralatan kantor, perjalanan dinas, biaya operasi, kendaraan dinas dan lain sebagainya mereka siap menyalurkan tangan.

Siapa yang dibidik untuk dipelihara oleh mafia ini? Orang-orang jabatan strategis menjadi target utama dari mafia. Selanjutnya, para pelaksana operasi tidak lepas dari bidikan mereka. Namun lebih jauh dari itu, para mafia ini memiliki pandangan yang visioner. Mereka telah membidik setiap orang yang lulus berprestasi dari pendidikan dinas. Mafia ini sadar betul bahwa lulusan berprestasi itu berpotensi memiliki jabatan penting di kemudian hari.

Bagi kepentingan karir, mafia ini akan memberikan beasiswa penuh atas jenjang pendidikan karir jaringannya.

Bagaimana suap diberikan? Suap bisa diberikan dalam bentuk barang misal kendaraan, rumah dan lainnya. Dapat pula reimbursement setelah si perima suap menikmati jasa yang digunakan. Umumnya diberikan via transfer antar bank. Pada teknis transfer ini baik pihak pengirim maupun penerima dapat saja menggunakan perantara. Bentuk lain adalah cek yang dapat dicairkan penerima kapan saja. Namun pilihan memberi uang secara tunai masih menjadi primadona, mengingat transfer antar bank dapat terpantau oleh pihak lain.

Lalu di mana uang suap disimpan? Umumnya uang suap disimpan dalam rekening keluarga. Atau sebagian dialihkan dalam unit-unit usaha. Pilihan penyimpanan terhadap uang atau benda berharga yaitu disimpan di safe deposit box. Pilihan terhadap safe deposit box ini karena barang yang disimpan tidak berhak diketahui oleh bank, sehingga apa yang tersimpan di dalamnya tidak dapat diaudit. Apalagi bila penyuap menyimpan di safe deposit box bank milik si mafia.

Tuan Jadi Pelayan

Konsekuensi dari hubungan antara mafia dan penerima suap ini merubah hubungan antara pelayan dan tuan. Pada pola hubungan awal pemberi suap selaku pelayan. Namun dalam perjalanan waktu, si penerima suap tanpa sadar menghamba pada pemberi suap. Pola hubungan penghambaan ini bukan hanya dikarenakan balas jasa, namun karena penerima suap pun makin sadar power jaringan yang dimiliki si tuan amat besar. Jaringan mafia besar ini lintas instansi dan lintas sektor. Sehingga ia mendapat legitimasi untuk dilindungi kepentingannya baik diminta maupun tindak diminta.

Bila berkaca pada kasus 21 perwira polisi yang memiliki rekening gendut. Tentu rasanya ganjil bila Polri mengambil sikap yang lembut terhadap mereka. Penggunaan proses klarifikasi bukan penyidikan seolah membuat perbedaan perlakuan antara polisi dan bukan polisi. Karena di lain sisi, bila rekening gendut itu subyeknya di luar polisi, polisi seolah tanpa beban melakukan penyidikan atasnya, kasus Gayus misalnya.

Sebaiknya Polri kembali ke masalah utama, yaitu mengungkap asal rekening gendut itu, bukan alih-alih mempersoalkan ilustrasi celengan babi yang tidak penting. Penting kembali mengingatkan Polri bahwa problem kepercayaan masyarakat terhadap polisi belum sepenuhnya pulih. Polri harus dapat menunjukkan pada publik bahwa mereka dengan keras melawan dan memerangi korupsi di tubuhnya. Dan jauh lebih itu patut dipertimbangkan bahwa ratusan ribu anggota polisi lainnya yang menyadari pilihan karir ini sebagai pengabdian kepada negara tidak ikut tercoreng oleh perilaku korup plus tamak sebagian kecil rekan mereka. Karena perilaku korup itu seolah melempar kotoran di wajah institusi.

Momentum ini saatnya digunakan untuk memurnikan sumpah/janji pengabdian kepada negara dan mengakhiri loyalitas ganda yang merusak sendi-sendi pengabdian itu. Anggaplah kasus bukan sebagai kiamat, namun hanya satu-dua apel busuk dalam pohon yang rindang.


* Penulis adalah Badan Pekerja KontraS, sekaligus anggota Forum Belajar Bersama Prakarsa Rakyat dari Simpul Jabodetabek.

** Siapa saja dipersilahkan mengutip, menggandakan, menyebarluaskan sebagian atau seluruh materi yang termuat dalam portal ini selama untuk kajian dan mendukung gerakan rakyat. Untuk keperluan komersial pengguna harus mendapatkan ijin tertulis dari pengelola portal Prakarsa Rakyat. Setiap pengutipan, penggandaan dan penyebarluasan sebagian atau seluruh materi harus mencantumkan sumber (portal Prakarsa Rakyat atau www.prakarsa-rakyat.org).

Sumber:

 kaligrafi by. akhi "Abdul Gani" (Pemilik Sanggar Alif Kaligrafi - Matraman)
 
بسم الله الرّحمن الرّحيم

حم (۱) والكتاب المبين (۲) اناّانزلنه في ليلةمّباركة انّاكنّامنذرين (۳)ه

Haa Miim(1) Demi kitab Al Qur`an yang jelas(2) Sesungguhnya kami menurunkannya pada malam yang diberkahi, sesungguhnya kamilah yang memberi peringatan(3)

(QS. Ad Dhuhaan 1-3.)

Dalam Tafsir Munir “Imam Muhammad Nawawi Al Bantani” menerangkan:
قال عكرمة وطائفة اخرى انّها ليلة البرائة وهي ليلة النّصف من شعبان

Berkata Ikramah dan segolongn Mufasir yang lain menjelaskan bahwa malam yang barokah adalah Lailatul Baraah yaitu malam 15 Sya`ban.
وقيل بيداء فى استنساخ ذالك من الّلوح المحفوظ فى ليلةالبرائة ويقع الفراغ فى ليلةالقدرفتدفع نسخةالارزاق الى مكائيل ونسخةالحروب الى جبريل وكذالك الزّلازل والصّواعق والخسف ونسخةالاعمال الى اسرافيل صاحب سماءالدّنيا ونسخةالمصائب الى ملك الموت

Dikatakan bahwa permulaan penyalinan Al Qur`an dari Lauhilmahfud ke Baitul `Izzah dilangit dunia adalah Lailatul Baraah dan berakhir pada Lailatul Qadar. Maka diserahkanlah salinan Rizqi pada Malaikat Mikail, salinan tentang peperangan, kegoncangan, petir dan penghancuran kepada Malaikat Jibril. Salinan tentang amal perbuatan kepada Malaikat Isrofil dan salinan tentang musibah- musibah kepada Malaikat Izroil.
انّنما سمّيت براءة لانّ الله تعالى يعطا في هذه الليلة, فى اعدائه والاشقياءبرائةمنّ الحنّةكما قال الله تعالى برائةمّن الله ورسوله ويعطى الاصفياءوالاتقياء برائةمن النّار

Malam Nisfu Sya`ban disebut malam Lailatul Braah, karena malam tersebut semua musuh Allah SWT dan kaum yang celaka dilepaskan dari Surga sebagaimana Firman Allah SWT dalam Surah At Taubah ayat 1: Allah dan Rasulnya berlepas diri dari orang-orang musyrik. Dan pada malam itu diputuskan juga kaum Muttaqin terlepas dari api Neraka dan menjadi penghuni surga abadi.

Malam Nisfu Sya`ban menjadi mulia karena menjadi awal segala urusan Ilahiah tentang tatanan kemahlukan yang termaktub dalam kitab suci Al Qur`an. Didalam kitab “Durratun Nasihiin” oleh Syeh Utsman bin Syakur Al Khubbawi diterangkan bahwa: Rasulullah SAW yang sangat cinta kepada umatnya, beliau SAW tidak pernah rela jikalau seorang saja dari umatnya masuk Neraka. Beliau SAW manjadikan bulan Sya`ban sebagai bulan Munajat untuk keselamatan dan kebahagiaan umat islam dengan memperbanyak puasa.

Dalam kitab “Nuzhatulmajalis Wamuntakhobatul Anfas” oleh Syeh Abdurrahman bin Abdussalam Ashofuriy dijelaskan bahwa Rasulullah SAW bersabda:

الشّعبان جنّة فمن ارادان يلقانى فليصمه ولو ثلاثة ايّام

Bulan Sya`ban adalah benteng, maka barang siapa ingin bertemu denganku hendaklah dia berpuasa didalamnya walapun hanya tiga hari.

Pada malam Nisfu Sya`ban ada 300 pintu kerohmatan dibuka dan para Malaikat bersujud dan berdo`a untuk keselamatan umat Nabi Muhammad SAW. Disetiap pintu langit, mulai dari pintu langit Pertama, para Malaikat berseru “Berbahagialah meraka yang sedang ruku` pada malam ini”, dipintu kedua para Malaikat berseru “berbahagialah orang-orang yang sedang bersujud”, dipintu ke tiga berseru” berbahagialah orang-orang yang sedang berdizkir” dipintu ke empat berseru” berbahagialah orang-orang yang sedang berdo`a”, dipintu ke lima berseru” berbahagialah orang-orang yang sedang menangis”, dipintu ke enam berseru” berbahagialah orang-orang yang sedang beramal kebajikan”, dan dipintu ke tujuh berseru” berbahagialah orang-orang yang sedang membaca Al Qur`anulKarim”.

Rasulullah SAW suatu saat pada malam Nisfu Sya`ban pergi dari tempat tidurnya, dan istri beliau Sayidah `aisyah, bersama putri beliau tercinta Sayidah Fatimah Azzahra bersama suaminya Sayidina Ali bin Abi Thalib, melihat Rasul SAW sedang tenggelam dalam sujud, menangis penuh kesedihan yang amat sangat, Sayidah Fatimah Azzahra mendekati beliau, dengan penuh kelembutan dan kecintaan kepada beliau SAW Sayidah Fatimah bertanya pelan:
ياابى؟ماذااصابك اعدوّوحضراموحي نزل

Wahai Ayahanda? apakah yang sedang menimpa, apakah kedatangan musuh atau Wahyu Allah SWT yang turun.

Rasulullah SAW yang sedang tenggelam dikedalaman mujahadah dan kedekatan kepada Rabbul`Izzah terdengar membaca Surah Al-Maidah ayat 118:
ان تعذّبهم فانّهم عبادك,وان تغفرلهم فانّك انت العزيزالحكيم

Jika Engkau menyiksa mereka, maka sesungguhnya mereka itu hamba-hamba-Mu dan jika Engkau ampuni mereka, sesungguhnya Engkau Maha Mulia lagi Maha Bijaksana.

Kemudian Rasulullah SAW bangun dan berkata:
يافاطمةماحضرالعدوّوماانزل الوحي ولكن هذهاللّيلةاكون ساجداواطلب من ربّىواشفع

Wahai Fatimah, tiadalah musuh yang datang atau wahyu yang turun, melainkan aku bersujud dan mencari kerohmatan dari Tuhanku dan aku bisa memberi syafa`at kepada umatku.

Malam Nisfu Sya`ban disebut juga Lailatussyafa`ah, karena Allah SWT berkenan memberikan anugerah kerohmatan kepada umat islam dalam ujud syafa`t Rasulullah SAW kepada seluruh umat beliau SAW.

Dalam kitab”Mukasyafatul Qulub” oleh Imam Al Ghazali disebutkan:
لماروي انّه صلّىالله عليه وسلّم سال الله تعالى ليلة الثّالث عشرالشّفاعة فى امّته فاعطاه الثّالث وساله ليلةالرّبع عشر فاعطاه الثّلثين وساله ليلةالخامس عشرفاعطاه الجميع الاّمن شردعلى الله شردالبعيريعنى من فرّمن الله وتباعدعنه باالاصرارعلى المعصية

Bahwa sesungguhnya pada 13 Sya`ban, Rasulullah SAW bermohon kepada Allah SWT akan Syafa`t bagiumatnya, maka diberikanlah Syafa`at itu sepertiga bagi umatnya, kemudian pada malam 14 Sya`ban, Rasulullah SAW bermohon kembali, maka Allah SWT memberikan untuk dua pertiga bagi umatnya dan akhirnya pada malam 15 Sya`ban Allah SWT memberikan untuk seluruh umat islam kecuali mereka yang lari dan menjauh dari Allah SWT dengan segala rutinitas kemaksiatan.

Berarti menjalankan amal shalih berupa ruku`, sujud, dzikir, do`a ataupun yang lainnya dimalam Nisfu Sya`ban adalah keutamaan yng dianjurkan, bukan bid`ah apalagi sesat. Jangankan dimalam yang penuh kemuliaan, dimana keutamaan-keutamaannya diajarkan oleh Salafunashalihin, dimalam-malam biasa saja umat islam dianjurkan untuk senantiasa Istiqomah dalam ibadah. Umat islam hendaklah kembali pada ajaran Salafunasshalihin dengan keyakinan bahwa merekalah para pembimbing umat. Maka tidaklah mungkin seorang Hujjatul islam Wabarakatul anam Imam Al Ghazali akan menyesatkan umat islam. Justru merekalah yang berkata bahwa Imam Al Ghazali itu sesat berarti merendahkan para ulama salaf, apakah mereka mengenal siapa Imam Al Ghazali? Dan juga pernah membaca kitab-kitab beliau? Mereka itulah yang harus diwaspadai sebagai provokator dan kelemahan serta penghancur umat islam.


Semoga tulisan ini memberi kemanfaatan bagi seluruh umat islam yang rindu akan syafa`t Rasulullah SAW. Amiin ya Rabbal `Alamin.


Sumber:
Ahlukisa



http://www.ruangmuslim.com/

“Allah swt. berfirman: “Aku adalah Allah, Aku ar-Rahman, Aku ciptakan ar-rahim, dari kata itu berasal salah satu namaKu. Barangsiapa yang menyambung rahim itu (silaturahim) maka Aku akan menyambungnya, tetapi siapa yang memutuskan rahim itu (silaturahim) maka Aku akan memutuskannya”
(HR Abu Daud dan Tirmizi, hadits hasan).


Jejaring sosial adalah inovasi sekaligus fenomena abad ini. Diawali dari kemampuan sederhananya dalam menghubungkan orang-orang, dengan semakin banyaknya pengguna kini jejaring sosial bahkan memiliki kekuatan untuk menggalang opini massa. Akan tetapi teknologi selalu bagai pedang bermata dua. Meski di satu sisi manusia bisa saling terhubung dengan cara yang unik, sering pula ditemukan muatan muatan yang berisi maksiat, penghinaan terhadap golongan lain, bahkan terdapat beberapa kasus retaknya keluarga karena terlalu luwesnya interaksi di jejaring sosial ini. Belum lagi efek psikologis yang serius seperti adiksi yang menyebabkan terbuangnya waktu hidup yang berkualitas.


Bagi kami, silaturahim di dalam kerangka nilai-nilai Islam mengandung prinsip yang dapat menghalangi dampak-dampak negatif ini, sebagaimana tertera dalam surat Al-Ashr : 1-3
Demi masa.
Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian,
kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat-menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat-menasehati supaya menetapi kesabaran.
QS. al-Ashr (103) : 3


Indonesia adalah Negara yang dihuni sejumlah besar Muslim, bahkan yang terbanyak di dunia. Tak dapat dipungkiri juga bahwa tiap muslim ini memiliki preferensinya sendiri tentang bagaimana berislam. Ini tergambar dari banyaknya golongan dan organisasi, termasuk mereka yang tidak menisbahkan dirinya dalam golongan maupun organisasi apapun. Perbedaan dalam persamaan ini akan menjadi potensi kekuatan yang luar biasa saat diikat dalam semangat Silaturahim.


Untuk itu semua, kami merancang RuangMuslim.com sebagai sebuah situs jejaring sosial untuk silaturahim umat Muslim. RuangMuslim.com diperkaya dengan fitur-fitur khas Islam yang bernilai ibadah sehingga waktu yang dihabiskan di dalamnya tidaklah sia-sia. Siapapun, dari golongan manapun, dan latar belakang apapun, sejauh beritikad baik untuk menghidupkan Silaturahim diundang untuk bergabung dan beraktivitas dalam situs ini. RuangMuslim.com akan hidup, tumbuh, dan berkembang seiring pemikiran dan aktivitas anggota-anggotanya. Sebuah miniatur akan harmoni kompleksitas Muslim Indonesia.

Sumber: RuangMuslim

Oleh: Aribowo

Akhlak berasal dari kata “akhlaq” yang merupakan jama’ dari “khulqu” dari bahasa Arab yang artinya perangai, budi, tabiat dan adab. Akhlak itu terbagi dua yaitu Akhlak yang Mulia atau Akhlak yang Terpuji (Al-Akhlakul Mahmudah) dan Akhlak yang Buruk atau Akhlak yang Tercela (Al-Ahklakul Mazmumah).

Akhlak yang mulia, menurut Imam Ghazali ada 4 perkara; yaitu bijaksana, memelihara diri dari sesuatu yang tidak baik, keberanian (menundukkan kekuatan hawa nafsu) dan bersifat adil. Jelasnya, ia merangkumi sifat-sifat seperti berbakti pada keluarga dan negara, hidup bermasyarakat dan bersilaturahim, berani mempertahankan agama, senantiasa bersyukur dan berterima kasih, sabar dan rida dengan kesengsaraan, berbicara benar dan sebagainya. Masyarakat dan bangsa yang memiliki akhlak mulia adalah penggerak ke arah pembinaan tamadun dan kejayaan yang diridai oleh Allah Subhanahu Wataala. Seperti kata pepatah seorang penyair Mesir, Syauqi Bei: "Hanya saja bangsa itu kekal selama berakhlak. Bila akhlaknya telah lenyap, maka lenyap pulalah bangsa itu".

Akhlak yang mulia yaitu akhlak yang diridai oleh Allah SWT, akhlak yang baik itu dapat diwujudkan dengan mendekatkan diri kita kepada Allah yaitu dengan mematuhi segala perintahnya dan meninggalkan semua larangannya, mengikuti ajaran-ajaran dari sunnah Rasulullah, mencegah diri kita untuk mendekati yang ma’ruf dan menjauhi yang munkar, seperti firman Allah dalam surat Al-Imran 110 yang artinya “Kamu adalah umat yang terbaik untuk manusia, menuju kepada yang makruf dan mencegah yang mungkar dan beriman kepada Allah”

Akhlak yang buruk itu berasal dari penyakit hati yang keji seperti iri hati, ujub, dengki, sombong, nifaq (munafik), hasud, suudzaan (berprasangka buruk), dan penyakit-penyakit hati yang lainnya, akhlak yang buruk dapat mengakibatkan berbagai macam kerusakan baik bagi orang itu sendiri, orang lain yang di sekitarnya maupun kerusakan lingkungan sekitarnya sebagai contohnya yakni kegagalan dalam membentuk masyarakat yang berakhlak mulia samalah seperti mengakibatkan kehancuran pada bumi ini, sebagai mana firman Allah Subhanahu Wataala dalam Surat Ar-Ruum ayat 41 yang berarti: "Telah timbul pelbagai kerusakan dan bencana alam di darat dan di laut dengan sebab apa yang telah dilakukan oleb tangan manusia. (Timbulnya yang demikian) karena Allah hendak merusakan mereka sebagai dari balasan perbuatan-perbuatan buruk yang mereka lakukan, supaya mereka kembali (insaf dan bertaubat)".


ISLAM MENGUTAMAKAN AKHLAK


Mungkin banyak diantara kita kurang memperhatikan masalah akhlak. Di satu sisi kita mengutamakan tauhid yang memang merupakan perkara pokok/inti agama ini, berupaya menelaah dan mempelajarinya, namun disisi lain dalam masalah akhlak kurang diperhatikan. Sehingga tidak dapat disalahkan bila ada keluhan-keluhan yang terlontar dari kalangan awam, seperti ucapan: “Wah udah ngerti agama kok kurang ajar sama orang tua.” Atau ucapan: “Dia sih agamanya bagus tapi sama tetangga tidak pedulian…”, dan lain-lain.

Seharusnya ucapan-ucapan seperti ini ataupun yang semisal dengan ini menjadi cambuk bagi kita untuk mengoreksi diri dan membenahi akhlak. Islam bukanlah agama yang mengabaikan akhlak, bahkan islam mementingkan akhlak. Yang perlu diingat bahwa tauhid sebagai sisi pokok/inti islam yang memang seharusnya kita utamakan, namun tidak berarti mengabaikan perkara penyempurnaannya. Dan akhlak mempunyai hubungan yang erat. Tauhid merupakan realisasi akhlak seorang hamba terhadap Allah dan ini merupakan pokok inti akhlak seorang hamba. Seorang yang bertauhid dan baik akhlaknya berarti ia adalah sebaik-baik manusia. Semakin sempurna tauhid seseorang maka semakin baik akhlaknya, dan sebaliknya bila seorang muwahhid memiliki akhlak yang buruk berarti lemah tauhidnya.


RASUL DIUTUS UNTUK MENYEMPURNAKAN AKHLAK

Muhammad shalallahu ‘alaihi wa salam, rasul kita yang mulia mendapat pujian Allah. Karena ketinggian akhlak beliau sebagaimana firmanNya dalam surat Al Qalam ayat 4. bahkan beliau shalallahu ‘alaihi wa sallam sendiri menegaskan bahwa kedatangannya adalah untuk menyempurnakan akhlak yang ada pada diri manusia, “Hanyalah aku diutus (oleh Allah) untuk menyempurnakan akhlak.” (HR.Ahmad, lihat Ash Shahihah oleh Asy Syaikh al Bani no.45 dan beliau menshahihkannya).

Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu seorang sahabat yang mulia menyatakan: “Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam adalah manusia yang paling baik budi pekertinya.” (HR.Bukhari dan Muslim).

Dalam hadits lain Anas memuji beliau shalallahu ‘alahi wasallam: “Belum pernah saya menyentuh sutra yang tebal atau tipis lebih halus dari tangan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam. Saya juga belum pernah mencium bau yang lebih wangi dari bau Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam. Selama sepuluh tahun saya melayani Rasulullah shalallahu ‘alahi wa sallam, belum pernah saya dibentak atau ditegur perbuatan saya : mengapa engkau berbuat ini ? atau mengapa engkau tidak mengerjakan itu ?” (HR. Bukhari dan Muslim).

Akhlak merupakan tolak ukur kesempurnaan iman seorang hamba sebagaimana telah disabdakan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam: “Orang mukmin yang paling sempurna imannya ialah yang terbaik akhlaknya.” (HR Tirmidzi, dari abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, diriwayatkan juga oleh Ahmad. Disahihkan Al Bani dalam Ash Shahihah No.284 dan 751). Dalam riwayat Bukhari dan Muslim dari Abdillah bin amr bin Al ‘Ash radhiallahu ‘anhuma disebutkan: “Sesungguhnya sebaik-baik kalian ialah yang terbaik akhlaknya.”


KEUTAMAAN AKHLAK


Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu mengabarkan bahwa suatu saat Rasulullah pernah ditanya tentang kriteria orang yang paling banyak masuk syurga. Beliau shalallahu ‘alaihi wasallam menjawab : “Taqwa kepada Allah dan Akhlak yang Baik.” (Hadits Shahih Riwayat Tirmidzi, juga diriwayatkan oleh Imam Ahmad. Lihat Riyadus Sholihin no.627, tahqiq Rabbah dan Daqqaq).

Tatkala Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam menasehati sahabatnya, beliau shalallahu ‘alahi wasallam menggandengkan antara nasehat untuk bertaqwa dengan nasehat untuk bergaul/berakhlak yang baik kepada manusia sebagaimana hadits dari abi dzar, ia berkata bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Bertaqwalah kepada Allah dimanapun engkau berada dan balaslah perbuatan buruk dengan perbuatan baik niscaya kebaikan itu akan menutupi kejelekan dan bergaullah dengan manusia dengan akhlak yang baik.” (HR Tirmidzi, ia berkata: hadits hasan, dan dishahihkan oleh syaikh Al Salim Al Hilali).

Dalam timbangan (mizan) amal pada hari kiamat tidak ada yang lebih berat dari pada akhlak yang baik, sebagaimana sabda Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam : “Sesuatu yang paling berat dalam mizan (timbangan seorang hamba) adalah akhlak yang baik.” (HR. Abu Daud dan Ahmad, dishahihkan Al Bani. Lihat ash Shahihah Juz 2 hal 535). Dari Jabir radhiallahu ‘anhu berkata: Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya orang yang paling saya kasihi dan yang paling dekat padaku majelisnya di hari kiamat ialah yang terbaik budi pekertinya.” (HR. Tirmidzi dengan sanad hasan. Diriwayatkan juga oleh Ahmad dan dishahihkan oleh Ibnu Hibban. Lihat Ash shahihah Juz 2 hal 418-419).

Dari hadits-hadits di atas dapat dipahami bahwa akhlak yang paling baik memiliki keutamaan yang tinggi. Karena itu sudah sepantasnya setiap muslimah mengambil akhlak yang baik sebagai perhiasannya. Yang perlu diingat bahwa ukuran baik atau buruk suatu akhlak bukan ditimbang menurut selera individu, bukan pula hitam putih akhlak itu menurut ukuran adat yang dibuat manusia. Karena boleh jadi, yang dianggap baik oleh adat bernilai jelek menurut timbangan syari’at atau sebaliknya.

Jelas bagi kita bahwa semuanya berpatokan pada syari’at, dalam semua masalah termasuk akhlak. Allah sebagai Pembuat syari’at ini, Maha Tahu dengan keluasan ilmu-Nya apa yang mendatangkan kemashlahatan/kebaikan bagi hamba-hamba-Nya. Wallahu Ta’ala a’lam.


Oleh: Abdul Hadi WM.
(disarikan dari hasil wawancara mendalam oleh Franditya Utomo)
Budaya: Sekedar Wawasan Sejarah



Carok dan celurit laksana dua sisi mata uang. Satu sama lain tak bisa dipisahkan. Hal ini muncul di kalangan orang-orang Madura sejak zaman penjajahan Belanda abad 18 M. Carok merupakan simbol kesatria dalam memperjuangkan harga diri (kehormatan).

PADA zaman Cakraningrat, Joko Tole dan Panembahan Semolo di Madura, tidak mengenal budaya tersebut. Budaya yang ada waktu itu adalah membunuh orang secara kesatria dengan menggunakan pedang atau keris. Senjata celurit mulai muncul pada zaman legenda Pak Sakera. Mandor tebu dari Pasuruan ini hampir tak pernah meninggalkan celurit setiap pergi ke kebun untuk mengawasi para pekerja. Celurit bagi Sakera merupakan simbol perlawanan rakyat jelata. Lantas apa hubungannya dengan carok?Carok dalam bahasa Kawi kuno artinya perkelahian. Biasanya melibatkan dua orang atau dua keluarga besar. Bahkan antarpenduduk sebuah desa di Bangkalan, Sampang, dan Pamekasan. Pemicu dari carok ini berupa perebutan kedudukan di keraton, perselingkuhan, rebutan tanah, bisa juga dendam turun-temurun selama bertahun-tahun.Pada abad ke-12 M, zaman kerajaan Madura saat dipimpin Prabu Cakraningrat dan abad 14 di bawah pemerintahan Joko Tole, istilah carok belum dikenal. Bahkan pada masa pemerintahan Penembahan Semolo, putra dari Bindara Saud putra Sunan Kudus di abad ke-17 M tidak ada istilah carok.Munculnya budaya carok di pulau Madura bermula pada zaman penjajahan Belanda, yaitu pada abad ke-18 M. Setelah Pak Sakerah tertangkap dan dihukum gantung di Pasuruan, Jawa Timur, orang-orang bawah mulai berani melakukan perlawanan pada penindas. Senjatanya adalah celurit. Saat itulah timbul keberanian melakukan perlawanan.Namun, pada masa itu mereka tidak menyadari, kalau dihasut oleh Belanda. Mereka diadu dengan golongan keluarga Blater (jagoan) yang menjadi kaki tangan penjajah Belanda, yang juga sesama bangsa. Karena provokasi Belanda itulah, golongan blater yang seringkali melakukan carok pada masa itu. Pada saat carok mereka tidak menggunakan senjata pedang atau keris sebagaimana yang dilakukan masyarakat Madura zaman dahulu, akan tetapi menggunakan celurit sebagai senjata andalannya.Senjata celurit ini sengaja diberikan Belanda kepada kaum blater dengan tujuan merusak citra Pak Sakera sebagai pemilik sah senjata tersebut. Karena beliau adalah seorang pemberontak dari kalangan santri dan seorang muslim yang taat menjalankan agama Islam. Celurit digunakan Sakera sebagai simbol perlawanan rakyat jelata terhadap penjajah Belanda. Sedangkan bagi Belanda, celurit disimbolkan sebagai senjata para jagoan dan penjahat.Upaya Belanda tersebut rupanya berhasil merasuki sebagian masyarakat Madura dan menjadi filsafat hidupnya. Bahwa kalau ada persoalan, perselingkuhan, perebutan tanah, dan sebagainya selalu menggunakan kebijakan dengan jalan carok. Alasannya adalah demi menjunjung harga diri. Istilahnya, daripada putih mata lebih baik putih tulang. Artinya, lebih baik mati berkalang tanah daripada menanggung malu.Tidak heran jika terjadi persoalan perselingkuhan dan perebutan tanah di Madura maupun pada keturunan orang Madura di Jawa dan Kalimantan selalu diselesaikan dengan jalan carok perorangan maupun secara massal. Senjata yang digunakan selalu celurit. Begitu pula saat melakukan aksi kejahatan, juga menggunakan celurit.Kondisi semacam itu akhirnya, masyarakat Jawa, Kalimantan, Sumatra, Irian Jaya, Sulawesi mengecap orang Madura suka carok, kasar, sok jagoan, bersuara keras, suka cerai, tidak tahu sopan santun, dan kalau membunuh orang menggunakan celurit. Padahal sebenarnya tidak semua masyarakat Madura demikian.Masyarakat Madura yang memiliki sikap halus, tahu sopan santun, berkata lembut, tidak suka bercerai, tidak suka bertengkar, tanpa menggunakan senjata celurit, dan sebagainya adalah dari kalangan masyarakat santri. Mereka ini keturunan orang-orang yang zaman dahulu bertujuan melawan penjajah Belanda.Setelah sekian tahun penjajah Belanda meninggalkan pulau Madura, budaya carok dan menggunakan celurit untuk menghabisi lawannya masih tetap ada, baik itu di Bangkalan, Sampang, maupun Pamekasan. Mereka mengira budaya tersebut hasil ciptaan leluhurnya, tidak menyadari bila hasil rekayasa penjajah Belanda.


Simbol Perlawanan Rakyat Jelata ? Tabloid Posmo




Perempuan seni dalam dimensi patriarki masyarakat Madura, telah menciptakan kelonggaran relasi gender. Seni pertunjukan yang tidak meninggalkan tradisi diasporik masyarakat Madura telah memposisikan perempuan dan laki-laki sebagai elemen pembentuk harmonisasi.

Dengan demikian, rentang sejarah yang panjang telah menjadikan perempuan seni di Madura teruji menjadi subjek dalam formasi sosial masyarakat Madura.

Terkadang, faktor ekologis sebuah wilayah bisa menjadi faktor utama pembentukan kultur sebuah masyarakat. Tradisi diasporik masyarakat Madura, berawal dari sejarah kelangkaan ekologis (ecological scarcity) yang panjang pada abad ke-18, yang memaksa penduduknya untuk berimigrasi ke daerah lain terutama pulau Jawa. Jika melakukan pendekatan sejarah ekologi (eko-historikal) pada masyarakat Madura untuk menemukan pola atau formasi sosial serta perubahan sosialnya, maka motif ekonomi terlihat sebagai sebuah kesadaran yang mengembalikan sentimen kooperatif masyarakat Madura pada awal abad ke-20.


Migrasi dan Pembentukan Tradisi

Sejarah Madura selama hampir seabad (1850-1940) memperlihatkan saling keterkaitan antara pengaruh faktor ekologis dengan pelaku sejarah dalam membentuk sebuah masyarakat dan nasib masyarakat itu. Ekotipe ladang kering yang menetap atau ekotipe tegal telah menghasilkan unit eko-historikal tersendiri, berbeda dengan ekotipe sawah di Jawa dan ekotipe perladangan di Indonesia bagian Timur (Kompas, 24 Februari 2005).

Penelitian Kuntowijoyo (2002) tentang pengaruh ekologi pada formasi sosial di Madura, melihat bahwa migrasi ke pulau Jawa merupakan bagian dari sejarah orang Madura. Dibukanya perkebunan di Jawa Timur menarik orang Madura untuk menjadi buruh di perkebunan. Pada tahun 1930, lebih dari separuh keseluruhan etnis Madura tinggal di Jawa, kebanyakan di pojok bagian Timur. Di Jawa Timur, sebagai kelompok mayoritas (kecuali Banyuwangi), orang Madura aktif berperan dalam pergerakan nasional di kota dan di lingkungan kelompok etnis Madura umumnya (Kuntowijoyo, 2002: 75-81).

Salah satu penyebab mobilitas orang Madura yang didasari oleh kondisi pertanian yang miskin adalah, dibentuknya organisasi militer dengan nama barisan yang memiliki misi mendampingi Belanda dalam berbagai perang dan ekspedisi untuk melawan pemberontakan-pemberontakan yang muncul di kepulauan Indonesia. Barisan adalah sebuah kekuatan militer kerajaan-kerajaan Madura yang ditujukan untuk melayani kepentingan-kepentingan penguasa Kolonial. Organisasi militer yang berbasis pada kekuatan rakyat Madura itu merupakan manifestasi politik para penguasa Madura (aliansi militer antara madura dan Belanda) atas jasa Belanda yang melindungi Madura melepaskan diri dari hegemoni Mataram.

“…tetapi dalam kondisi tanah pertanian yang miskin itu, barisan juga merupakan sebuah lapangan pekerjaan yang mendatangkan penghasilan pokok bagi orang-orang kebanyakan, bergabung dalam barisan berarti pula: pekerjaan, penghasilan, penghargaan, dan yang terpenting berkesempatan untuk mobilitas sosial…” (Kuntowijoyo 2002: 145-150).

Karena perubahan struktur sosial dan ekonomi, masyarakat Madura bermata pencaharian sebagai pedagang, bukan petani. Karena para pedagang itu tipologinya suka bepergian, maka masyarakat Madura tidak terlampau memerlukan seni pertunjukan dalam budayanya. Berbeda dengan masyarakat Jawa yang lebih banyak menetap dan bertani. Sehingga artikulasi kesenian masyarakat Madura tertuang dalam bentuk kerajinan lukisan dan patung.

Untuk memahami posisi kesenian di Madura, pertama-tama kita harus memahami bahwa tradisi Islam dalam melihat seni (pertunjukan) tidak terlalu penting, selayaknya kaum Hindu yang mengadopsi unsur-unsur kesenian di dalam melakukan upacara keagamaan. Karena seni pertunjukan tidak menjadi bagian dari agama, maka orang Madura lebih melihat agama ketimbang tradisi. Agama lebih mengikat daripada tradisi, kalau bicara tradisi orang Madura bisa saja mengikuti tradisi Jawa. Berbeda dengan masyarakat Bali, yang memiliki pelindung dari kepunahan budaya, karena tradisi Bali sudah lebur menjadi tradisi Hindu. Sebaliknya, masyarakat Madura bisa menjadi orang lain ketika budayanya musnah.

Orang Madura bisa menjadi siapa saja, karena yang menjadi tolok ukur orang Madura adalah agama (Islam). Syarat menjadi orang Madura itu adalah, ia harus Islam. Bukan hanya identik tapi harus mutlak Islam. Lain dengan masyarakat Jawa, yang bisa memeluk berbagai macam agama dan kepercayaan. Hal inilah yang menjadi masalah pada masyarakat Madura. Tradisi itu dibentuk oleh mazhab Syafii sebagai mazhab dominan yang bersumber dari dalil akal dan dalil fikih. Ketika sebuah permasalahan muncul dan tidak bisa diselesaikan secara akal maka mekanisme penyelesaian dikembalikan pada kitab fikihnya. Mazhab Syafii mengutamakan dalil fikih yang sarat dengan kultur agraris feodal, hal ini lebih disebabkan pembentukan budaya masyarakat Jawa Timur pasca jatuhnya kerajaan Mataram yang kemudian dilanjutkan oleh VOC. Saat itu sempat ada kekosongan kekuasaan, sehingga tidak ada sosok di dalam masyarakat feodal yang bisa dijadikan pimpinan, kecuali ulama. Hukum yang bersumber pada mazhab Syafii dibuat untuk masyarakat agraris feodal. Mazhab Syafii ini tidak terlalu memperdulikan seni. Bagi mereka seni itu hanya untuk hiburan saja, bukan sebagai kontemplasi. Kalau di Jawa bagian tengah, orang berkesenian sebagai sarana kontemplasi, yang sifatnya sangat meditatif. Kebanyakan kesenian Jawa bagian timur berfungsi sebagai media hiburan. Jadi di Madura hanya ada kesenian rakyat yang bersifat populis. Pada tingkatan ini agama tidak campur tangan, agama hanya memberikan larangan, misalnya, karena perempuan tidak boleh tampil di depan umum maka kesenian-kesenian ini pada umumnya ditampilkan oleh laki-laki. Namun sekarang sudah berubah, inilah yang kemudian menimbulkan masalah gender.

Kenyataan bahwa seorang kiai (ulama) mampu memobilisasi pengikutnya, menunjukkan bahwa kedudukan kiai bertambah penting menjelang abad ke-20. Peran kiai mengalami evolusi, dari pemimpin ritual keagamaan semata-mata, kemudian menjadi pemimpin masyarakat ke pemimpin politik (Kuntowijoyo, 2002). Hal ini sangat berbeda dengan tradisi kepemimpinan di Mataram, di Jawa bagian timur pada abad ke-17 tidak ada keraton yang mendominasi, maka pada saat itu ketundukan orang Madura adalah pada kiai atau ulama. Sesudah direbutnya Madura, baik barat maupun timur, banyak sekali tawanan perang pria, wanita, dan anak-anak yang diangkut dari pulau Madura ke Gersik dan Jawa bagian tengah untuk dipekerjakan oleh para pemenang. Raja-raja Mataram memerintahkan dan melaksanakan pemindahan secara besar-besaran kelompok petani dan buruh dari daerah-daerah pendudukan ke pusat kerajaan mereka. Pemindahan penduduk dalam negeri, yang berabad-abad telah dilakukan oleh para raja terhadap kelompok-kelompok suku di Jawa dan Madura itu, berakibat leburnya tradisi lama suku-suku setempat maupun hubungan perkawinan penduduk desa (De Graaf 2003: hal. 195-199).

Di beberapa daerah di Madura bagian utara, dominasi kiai pada kesenian tradisional pada umumnya kurang kuat, dan ada sisa-sisa kekuatan keraton yang membatasi pengaruh ulama. Sejak lama keraton didominasi oleh kekuatan gabungan antara santri dan kaum feodal. Suami dari pemimpin saat itu rata-rata adalah kiai, jadi di Madura tidak ada permasalahan dengan santri dan abangan seperti di Jawa.

Di Madura itu sudah lama tidak ada feodalisme. Mereka mengenal pemimpin administratif seperti bupati yang merupakan warisan kolonial Belanda. Di Madura tidak ada yang bisa dieksploitasi oleh Belanda, karena untuk itu sebagian besar penduduk Madura dijadikan pekerja perkebunan. Kesenian tradisional di Madura hidupnya di desa, bukan di kota. Ludruk adalah salah satu kesenian rakyat yang hidup di desa. Kesenian Madura mengalami puncaknya di bidang seni rupa dan seni sastra, misalnya kaligrafi atau seni hias.

Meski pernah mengalami puncak di bidang seni rupa dan sastra, saat ini sastra Madura itu sudah terbunuh oleh budaya modern. Sastra Madura mengalami puncak pencapaian tertinggi ketika keraton Sumenep belum menjadi keresidenan. Namun kemudian mengalami kemunduran. Meskipun demikian orang Madura tidak merasa kehilangan karena bagi mereka yang disebut sebagai budaya Madura itu adalah gabungan antara budaya Jawa dan Melayu. Jadi untuk mendeteksi kebudayaan Madura, tinggal melihat kebudayaan Jawa dan Melayu saja, inilah keuntungan orang Madura.

60 persen kosa-kata bahasa Madura berasal dari bahasa Melayu. Sementara tata bahasanya serupa dengan bahasa Jawa. Meski begitu, dibandingkan dengan bahasa Using, bahasa Madura lebih jelas tatanannya. Sampai pertengahan abad ke-18, sastra Madura masih memakai bahasa Jawa madya. Barulah kemudian pada akhir abad ke-18 menggunakan bahasa Madura tinggi, dan itupun tidak begitu berbeda dengan bahasa Jawa. Bedanya hanya cara mengucapkan saja. Bangsawan-bangsawan di sana rata-rata mengetahui bahasa Jawa.

Bukti-bukti otentik mengenai sejak kapan sastra Madura berkembang masih belum ditemukan. Sebuah bukti yang terdapat di Kebon Agung, sebelah Barat Sumenep, hanya menunjukkan bahwa pada zaman kerajaan Singasari di Madura sudah dikenal tulis menulis. Inskripsi menunjukkan angka tahun 1280 atau tahun saka 1212, dan tahun 1438 atau tahun saka 1360 (Zawawi Imron dalam Huub de Jonge (ed.), 1989: 181-205). Ada beberapa jenis bentuk sastra Madura, antara lain: Dungngeng, berisi tentang budi pekerti, cerita fabel, dan legenda serta cerita kepahlawanan seperti, Joko Tole, dan Trunojoyo. Lok-Alok, sebuah jenis sastra lisan yang terdapat pada pacuan sapi atau karapan sapi. Kemudian sastra lisan berbentuk puisi mainan anak-anak, yang berupa kumpulan kata-kata yang bisa ditafsirkan bebas dengan unsur bunyi yang cukup dominan, mensaratkan lompatan-lompatan imajinasi. Selain itu sastra lisan Madura juga tertuang di dalam puisi ritual, yang digunakan sebagai sarana tolak bala, biasanya terdapat di desa-desa terpencil atau tepi pantai. Sampai pada tembang, pengaruh kesusasteraan Jawa pada awal abad ke-20 terlihat sangat kental. Tembang biasanya berisi tentang kisah atau hikayat zaman dahulu.


Perempuan Seni di Madura

Perempuan merupakan bagian dari masyarakat. Kalau tidak ada perempuan maka tidak akan ada masyarakat. Namun demikian kalau tidak ada laki-laki juga tidak akan ada masyarakat. Jadi keduanya merupakan sesuatu yang inklusif dan merupakan bagian integral dari masyarakat.

Untuk konteks Indonesia, jika kita lihat sebagian sejarah Indonesia, perempuan memegang peranan penting. Misalnya, Teuku Malahayati pada abad ke-7 sudah menjadi panglima angkatan laut di Aceh. Selanjutnya, lima orang raja Aceh itu adalah perempuan. Melayu juga punya raja perempuan yang punya kekuasaan. Sehingga permasalahan ketimpangan gender bukanlah menyoal tentang ketertidasan perempuan oleh patriarki (laki-laki) saja, akan tetapi lebih pada penindasan antara kasta yang satu dengan kasta yang lain.

Misalnya saja di keraton-keraton Jawa, perempuan-perempuan bangsawan itu juga menindas perempuan lainnya. Jadi persoalannya bukan gender, melainkan kelas. Di Eropa memang pernah mengalami fase penindasan yang berbasis pada gender, karena setelah revolusi industri timbul suatu masalah ketika lapangan perkerjaan yang seharusnya dikerjakan bersama (perempuan), malah dipegang oleh laki-laki. Hal tersebut terjadi karena masih ada anggapan yang bias gender, karena laki-lakilah yang bisa melakukan pelayaran jauh, bisa kemana-mana. Sementara perempuan tidak bisa, karena perempuan tugasnya adalah reproduksi. Di dalam perang juga demikian, kalau perempuan ikut berperang, maka habislah penduduk. Jadi karena perempuan jarang yang ikut berperang, maka proses reproduksi tetap berlanjut.

Dikaitkan dengan permasalahan di atas, perempuan di Madura juga tidak sepenuhnya mengalami masalah ketimpangan gender. Perempuan di Madura memang tidak dijunjung seperti di Bugis, tapi dia punya hak yang tinggi. Seorang istri bahkan bisa mengusir suami ketika misalnya si suami ini tidak pernah memberi nafkah dan pergi selama tiga bulan. Selain itu dia juga punya ilmu santet, sehingga kalau seorang suami pergi jauh dan berhubungan dengan perempuan lain, sang istri bisa membuatnya menjadi impoten. Jadi perempuan dan laki-laki di Madura sangat berbeda daya seksnya. Perempuan Madura lebih tinggi daya seksnya. Hal ini disebabkan karena adanya pendidikan seks yang diberikan sedari kecil. Anak-anak perempuan usia 12 tahun menjelang pernikahan sudah tahu ramuan-ramuan, serta pola gaya berhubungan seks. Pendidikan ini memang sifatnya informal dari nenek atau ibu. Mereka punya konsep kering atau basah. Kalau kering itu dianggap sehat, kalau basah atau becek itu malah tidak sehat. Jadi perempuan yang akan menikah jangan makan timun atau makanan yang mengandung banyak air karena tidak bagus. Jadi daya seksnya dijaga.

Selain itu, perempuan Madura juga bekerja. Kalau misalnya suaminya berlayar, maka istrinya di rumah akan membatik. Inilah yang kemudian berkembang jadi seni rupa. Perempuan juga mengukir, sebagai aktifitas seni dan produksi. Persentase laki-laki Madura yang menikah dengan perempuan dari luar jauh lebih banyak dibandingkan dengan perempuan Madura yang menikah dengan laki-laki dari luar. Perempuan itu adalah tempat pemurnian, kalau ibunya orang Madura, maka dia akan dikatakan sebagai orang Madura murni. Kalu ibunya Jawa maka artinya tidak murni berdarah Madura. Jadi kebudayaannya lebih bersifat matrilinial. Kalau menikah maka pasangan itu akan tinggal di rumah orang tua perempuan. Pengawasan yang ketat pada perempuan di Madura, menyebabkan perempuan kurang bisa berpartisipasi dalam seni pertunjukan. Dalam hal ini, sinden dan tandha’ muncul sebagai anomali dalam ruang tradisi patriarki yang kaku di Madura.

Kekakuan masyarakat patriarki Madura, salah satunya ditunjukkan dengan pola kekerasan, carok, yang dilegitimasi secara kultural untuk menjadi sebuah jalan peneyelesaian masalah. Carok sendiri biasanya disebabkan oleh tiga hal. Pertama masalah perempuan, istri atau tunangan. Kedua adalah soal tanah dan ketiga adalah soal ternak. Tradisi carok ini berawal pada zaman kerajaan di Sumenep, ketika setiap orang diharuskan untuk memelihara ternak. Kalau ternaknya diganggu dia akan kena sanksi pajak. Kemudian pada saat itu jumlah laki-laki jauh lebih banyak dari perempuan, sehingga konflik yang dipicu oleh harga diri terhadap perempuan sering memunculkan carok. Yang ketiga, jumlah tanah sangat sedikit sehingga menjadi sangat berharga. Jadi carok juga disebabkan oleh kondisi politik dan kondisi ekonomi. Dalam Islam sendiri carok tidak diperbolehkan. Tapi kenapa dilakukan, karena ini adalah soal tradisi bukan agama. Persoalan tradisi itu, kadang-kadang bisa merembes ke permasalahan yang lebih konkrit, seperti seorang perempuan yang memilih profesi tandha’ yang cukup stigmatis, lantaran dorongan ekonomi.

Kalau kita lihat kesenian-kesenian yang ada di kota, pada umumnya yang menyanyi perempuan, hal itu tidak menjadi masalah karena tidak ada larangan agama. Begitu juga dengan sinden. Bahkan ada tempat pelacuran yang terdiri dari bekas tandha’ yang sengaja dilokalisasikan. Masyarakat tidak merasa khawatir karena aktifitas yang berbau seksual tersebut sudah dilokalisasi. Fenomena ini sudah terjadi dari zaman raja-raja dulu dan ditaati sampai sekarang, masyarakat pun tidak akan terganggu. Jadi hal ini dilindungi secara kultur sehingga tidak diapa-apakan. Mereka biasanya punya rumah sendiri yang jauh dari masyarakat. Kemudian di rumah itu juga ada penjaganya. Tempatnya berada di satu kompleks kecil dan sudah berlangsung turun temurun. Mereka umumnya bekas tandha’ dan profesional sehingga dibayar mahal. Mereka betul-betul dididik seperti Geisha di Jepang, mereka bisa bermain gamelan dan nyinden.

Sejarah masyarakat Madura telah menunjukkan betapa mereka begitu tangguh, bertahan hidup (meski harus berimigrasi) dalam menghadapi kondisi alam dan ekologinya. Sehingga kesenian dan karya sastra yang menjadi produk kebudayaannya, telah meletakkan perempuan pada posisi tinggi dan memiliki peran vital dalam formasi sosial masyarakat Madura. Dalam hal ini, sejarah pergulatan perempuan seni tradisi di Madura bisa menjadi sebuah blue print perjuangan pembebasan perempuan dari kungkungan patriarki yang multiface.

Oleh : Fredy Wansyah*


Media Informasi dan Masyarakat

Sebelum zaman kemerdekaan Indonesia media-media massa telah lahir. Media massa dijadikan sebagai media informasi oleh publik, baik dalam bidang politik, ekonomi, sosial, maupun budaya. Namun, sejak zaman sebelum kemerdekaan itu hingga saat ini media massa kita belum dapat dikatakan dalam keadaan baik. Padahal pembangunan suatu negara yang mencapai taraf kesejahteraan adalah, salah satunya, perbaikan informasi secara menyeluruh ke bebagai daerah.

Pada tahun 80-an pemerintahan rezim Soeharto pernah mencanangkan Koran Membangun Desa (KMD). Namun buruknya orientasi dari KMD tersebut adalah modernisasi di desa-desa sebagai orientasi pembangunan, tidak dapat dibenarkan sesuai keadaan ekonomi maupun sosial pada saat itu. Penyuplaian koran ke desa-desa sebenarnya suatu langkah menyebarkan informasi secara menyeluruh di berbagai daerah, tetapi KMD tidak tepat karena orientasi tersebut dan mungkin dapat dikatakan gagal. Kegagalan ini dapat dibuktikan, misalnya di Cianjur Selatan, seperti yang dialami penulis di tahun 2009, media massa cetak hanya ada seminggu sekali di suatu kecamatan kabupaten Cianjur.

Tidak beberapa lama sejak program pemerintah tersebut berjalan muncul pula media elektronik, yakni televisi. Media ini dijadikan sarana utama oleh banyak keluarga, yang dinilai lebih canggih dari media non-elektronik, khususnya adalah media massa. Masa-masa transisi dari media non-elektronik ke media elektronik, di akhir tahun 80-an dan 90-an, saluran televisi masih ditangani oleh pemerintah dengan satu saluran sentral, yakni TVRI.

Hadirnya media massa elektronik ini memperlihatkan prioritas dalam tradisi masyarakat Indonesia. Dapat disimpulkan bahwa masyarakat Indonesia tidak sesuai dengan tradisi baca dan tulis. Efesiensi adalah faktor utamanya bila dibandingkan dengan tradisi dengar dan tutur. Tradisi baca dan tulis sejak zaman sebelum kemerdekaan di Indonesia pun tidak berkembang di masyarakat, sehingga hal ini mempengaruhi budaya masyarakat saat ini. Pun secara otomatis mempengaruhi tradisi penerimaan informasi saat ini, bahwa masyarakat lebih memilih media televisi. Padahal dengan tradisi baca dan tulis dalam pengembangan informasi akan berdampak pada daya intelektualitas yang didasari oleh penalaran. Seperti terlihat pada statistik BPS di tahun 1993, sebanyak 66% masyarakat kita memilih tontonan televisi, sementara yang memilih baca koran/majalah hanya 22,25%.


Informasi dan Aspeknya

Hingga kini perkembangan media massa belum disesuaikan dengan berbagai aspek yang berdasarkan kondisi masyarakatnya. Ekonomi masyarakat masih dominan di bawah garis kemiskinan, namun perkembangan media massa justru media elektroniklah yang berkembang. Selain televisi, media elektronik kini telah memasuki “digitalisasi-informasi” yang lebih banyak mengeluarkan biaya.

Meskipun akibat baiknya dari perkembangan tersebut adalah terciptanya variasi perspektif informasi, tetapi dampaknya mengakibatkan ketidakmerataan penerimaan informasi di masyarakat. Aksesnya terlalu membatasi, belum terjadi sinkronisasi dengan latar pendidikan, dan apatisme masyarakat merupakan beberapa hal kendala perbaikan dalam perkembangan informasi. Aspek-aspek kehidupan pun, seperti ekonomi, politik, dan budaya, hanya menjadi kepentingan sekelompok masyarakat tertentu yang justru memiliki kepentingan ekonomis di balik tindakannya.

Melihat konteks masyarakat saat ini, maka pemerintah harus berani menekan pemilik (owner) media-media massa, khususnya media elektronik (televisi/internet) untuk menciptakan biaya akses yang sesuai kondisi masyarakat keseluruhan. Selain itu, beberapa pihak non-pemerintah pun harus mampu menciptakan media massa yang mencerdaskan masyarakat. Upaya oleh non-pemerintah ini pun diharapkan justru akan lebih menciptakan perkembangan informasi yang partisipatif, kontributif, obyektif, dan apresiatif dalam aspek-aspek sosial, budaya, politik, dan ekonomi terhadap kehidupan bernegara.


* Penulis adalah Mahasiswa Sastra Indonesia-Unpad, sekaligus anggota Forum Belajar Bersama Prakarsa Rakyat dari Simpul Bandung.

** Siapa saja dipersilahkan mengutip, menggandakan, menyebarluaskan sebagian atau seluruh materi yang termuat dalam portal ini selama untuk kajian dan mendukung gerakan rakyat. Untuk keperluan komersial pengguna harus mendapatkan ijin tertulis dari pengelola portal Prakarsa Rakyat. Setiap pengutipan, penggandaan dan penyebarluasan sebagian atau seluruh materi harus mencantumkan sumber (portal Prakarsa Rakyat atau www.prakarsa-rakyat.org).

Oleh : Musrianto*


Jika saja Benyamin S masih hidup dan tetap berkiprah di industri musik Indonesia, mungkin beliau akan mengaransemen ulang syair lagunya, bukan lagi “Awas Kompor Bledug,” tapi menjadi “Awas Tabung Gas Bledug.”

Sebagaimana telah kita ketahui bersama, bahwa masa kepemimpinan periode lima tahun pertama Susilo Bambang Yudhoyono sebagai Presiden yang didampingi oleh Yusuf Kalla sebagai wakilnya, telah membuat kebijakan konversi energi. Kebijakan itu adalah konversi bahan bakar minyak (minyak tanah) yang banyak dipergunakan oleh rakyat miskin ke bahan bakar gas (elpiji) untuk keperluan sehari-hari. Argumentasinya adalah dalam rangka penghematan dan mengurangi subsidi bahan bakar minyak yang cukup besar dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN).

Dengan program pemerintah yang dipimpin oleh SBY-JK mengenai konversi dari bahan bakar minyak ke gas secara gratis yang diberikan kepada rakyat miskin dalam bentuk tabung 3 kilogram, selang, regulator dan kompor gas. Dari awal mulanya sudah menuai permasalahan, khususnya pada saat pembagian yang tidak merata (ada rakyat miskin yang tidak mendapat) dan dengan sangat terpaksa harus membeli karena disusul dengan mulainya kelangkaan bahan bakar minyak tanah di pasaran.

Ternyata permasalahan tidak berhenti kepada soal pembagian yang tidak merata, muncul kemudian masalah lainnya yang hingga saat ini terus terjadi, yakni terjadinya ledakan-ledakan tabung gas tersebut di beberapa daerah. Dengan mulainya bermunculan ledakan tabung gas dimaksud, pun mulai bermunculan beragam pendapat atau komentar atas faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya ledakan.

Beberapa sebab yang menyebabkan terjadinya ledakan tabung gas tersebut adalah mulai dari pemasangan regulator ke tabung yang kurang tepat, selang yang bocor, tabungnya sendiri yang bocor dan ada pula yang berkomentar ketidakpahaman masyarakat mengenai cara-cara penggunaan kompor gas yang baik. Jika kita dengan lugu menilai pendapat serta komentar tentang penyebab terjadinya ledakan kompor gas tersebut (mencakup seluruh perangkat kompor gas), mungkin kita akan mengamininya begitu saja dan bisa jadi turut serta menyalahkan masyarakat yang dikesankan “bodoh” karena tidak memahami penggunaan seluruh perangkat kompor gas. Namun jika kita bisa dengan bijak menilai serta mencoba untuk menelusuri kenapa bisa terjadi ledakan pada tabung gas yang rata-rata di tabung 3 kilogram, tentu kita akan memiliki penilaian secara obyektif dan siapa yang sesungguhnya bertanggung jawab.

Mengenai hal ini penulis akan mencoba dan berusaha mengurai mengapa masalah tersebut terjadi menimpa masyarakat, kemudian siapa sesungguhnya yang paling bertanggung jawab.

Pertama, tentang pemahaman dan pengetahuan masyarakat (khususnya rakyat miskin), atas penggunaan kompor gas dan perangkatnya. Bisa dibenarkan bahwa pemahaman masyarakat masih sangat kurang dalam hal menggunakan kompor gas secara baik, karena sejak lama dan sudah terbiasa menggunakan kayu bakar atau menggunakan kompor minyak tanah.

Jadi tidak mudah bagi masyarakat untuk bisa dengan cepat beradaptasi dan mampu mendeteksi kemungkinan-kemungkinan bahaya yang ditimbulkan oleh penggunaan kompor gas. Sementara pemerintah sendiri yang memiliki kepentingan besar demi lancarnya program konversi minyak tanah ke gas, sangat jarang melakukan sosialisasi kepada masyarakat. Kalaupun pemerintah melakukan sosialisasi, hal itu dilakukan tidak langsung di masyarakat secara menyeluruh dan merata.

Kita bisa ungkap kembali ketika awal-awal program konversi ini digulirkan, apakah pemerintah secara terus-menerus melakukan sosialisasi di tengah-tengah masyarakat cara menggunakan kompor gas secara baik, deteksi dini dan cara menanggulanginya?

Setidaknya sebelum program konversi ini digulirkan, pemerintah jauh-jauh hari sudah harus melakukan sosialisasi ke masyarakat. Setidaknya satu tahun sebelum program konversi direalisasikan, sosialisasi harus dilakukan secara bertahap pada waktu itu, bukan justru kampanye mengapa pemerintah melahirkan program konversi minyak tanah ke gas.

Kedua, tentang pengadaan barang seperti tabung, regulator, selang dan kompornya. Kita pun tahu bahwa untuk pengadaan barang tersebut, pemerintah (dalam hal ini PT.Pertamina) melakukan outsourcing dengan lelang tender kepada perusahaan swasta atau perusahaan yang menjadi rekanan (vendor). Kalau pun pemerintah memberikan persyaratan-persyaratan yang mungkin ketat kepada perusahaan rekanan untuk pengadaan barang tersebut, namun bukan berarti kemungkinan persyaratan tersebut tidak dilanggar.

Oleh karena pengadaan barang-barang tersebut pun pada awalnya dalam jumlah yang sangat banyak (partai besar), maka sangat dimungkinkan kualitas dan mutu dari barang-barang yang diproduksi tersebut tidak menjadi prioritas utama bagi perusahaan yang memenangkan tender untuk pengadaannya. Katakanlah pemerintah atau dalam hal ini PT. Pertamina membantah dengan tetap melakukan pengawasan mutu terhadap pengadaan barang-barang tersebut, namun fakta di lapangan berkata lain.

Mungkin benar pemerintah atau PT. Pertamina melakukan pengawasan, namun pertanyaannya seberapa jauh pengawasan tersebut dilakukan. Sementara barang-barang tersebut diproduksi dalam jumlah yang besar, apakah quality control yang dilakukan mencapai 50% dari total jumlah tender yang diberikan dan apakah pemerintah juga bisa memastikan perusahaan-perusahaan rekanan yang diberikan tender tersebut tidak memproduksi lebih dari total yang ditenderkan. Mengapa pertanyaan tersebut di munculkan? pertanyaan tersebut muncul karena mengingat bahwa setiap pengusaha akan berusaha meraup keuntungan yang sebesarnya, dengan melihat peluang bisnis besar dan menjanjikan serta mudah di terima di pasaran.

Ketiga, tentang pemasaran paska konversi gratis. Pada prakteknya di lapangan banyak tabung gas 3 kilogram dijual dengan bebas. Sampai-sampai warga pun yang tinggal di tengah-tengah pemukiman penduduk bisa menampungnya dalam jumlah banyak antara 20-30 tabung. Dengan begitu kita pun tidak bisa mengetahui, apakah barang (tabung) tersebut memiliki standar atau kualitas yang baik dan dari mana diperolehnya. Artinya bahwa, selain lemahnya pengawasan mutu oleh pemerintah dalam hal pembuatan produk, pemerintah juga lemah dalam mengawasi penjualan yang terjadi di masyarakat.

Sehingga orang yang tanpa memiliki ijin penjualan, dapat dengan bebas menjualnya. Dalam hal ini, masyarakat yang datang ke salah satu warga terdekat (sebagai penjual gas) untuk membeli gas pun tidak bisa disalahkan. Karena masyarakat tidak pernah berfikir bahwa barang yang dibeli tersebut resmi atau tidak, karena pada umumnya masyarakat percaya bahwa gas berikut tabungnya dibuat oleh PT. Pertamina yang mutu dan kualitasnya baik.

Keempat, solusi pemerintah mengganti selang dan regulator dengan tetap membayar sebesar Rp. 35.000, merupakan solusi yang kembali membebani rakyat miskin, pun tidak memberikan garansi tidak lagi terjadi ledakan di kemudian hari. Karena solusi tersebut hanya sekedar mengganti barang lama dengan barang yang baru, namun tidak diikuti dengan penjelasan mengenai perbandingan selang dan regulator yang bermutu dengan yang tidak memiliki kualitas standar.

Lalu bagaimana dengan tabungnya? Tabung gas pun juga bermasalah, salah satunya adalah karet seal yang menghubungkan dengan regulator. Dalam hal masyarakat yang akan menukarkan regulator dan selang dengan menambah biaya, harusnya pemerintah tetap menggratiskan. Karena pemberian paket kompor gas, merupakan program konversi yang dananya diambil dari anggaran negara. Sehingga kewajiban pemerintah juga untuk menganggarkannya sebagai bentuk tanggung jawab pemerintah dari program konversi.

Dengan uraian di atas, tampak jelas bahwa pemerintah sesungguhnya tidak siap 100% dalam hal konversi minyak tanah ke gas. Dan dengan beberapa kejadian ledakan di tengah masyarkat, solusi pastinya adalah pemerintah membuat tim kerja secara luas sampai dengan tingkat Rukun Tetangga (RT) atau Dusun dan melibatkan peran serta lembaga swadaya masyarakat. Kepentingannya adalah untuk melakukan investigasi keberadaan perangkat kompor gas ilegal (palsu) atau tidak laik pakai. Dapat dilakukan dari pintu ke pintu atau meminta masyarakat membawanya ke satu tempat untuk diperiksa.

Jika diketemukan yang tidak laik atau barang ilegal, kemudian ditukarkan secara langsung secara gratis dengan barang yang laik pakai dan memenuhi ketentuan standar yang di tetapkan. Kemudian pemerintah melakukan penyelidikan dan bertindak tegas, atas laporan dan hasil kerja tim yang dibentuk. Dengan begitu, barang-barang ilegal atau tidak laik pakai dapat ditarik dari pasaran dan dari warga serta warga bisa mendeteksi lebih awal.


* Penulis adalah warga Sunter-Jakarta, sekaligus anggota Forum Belajar Bersama Prakarsa Rakyat dari Simpul Jabodetabek.

** Siapa saja dipersilahkan mengutip, menggandakan, menyebarluaskan sebagian atau seluruh materi yang termuat dalam portal ini selama untuk kajian dan mendukung gerakan rakyat. Untuk keperluan komersial pengguna harus mendapatkan ijin tertulis dari pengelola portal Prakarsa Rakyat. Setiap pengutipan, penggandaan dan penyebarluasan sebagian atau seluruh materi harus mencantumkan sumber (portal Prakarsa Rakyat atau www.prakarsa-rakyat.org).

Oleh : D.P. Apri Nugroho*


Lagi dan lagi, tercium aroma yang kurang segar dari gempita demokrasi kita. Setelah melalui masa tenang paska kongres II di Bandung, tim formatur Partai Demokrat (PD) mengumumkan anggota Dewan Pimpinan Pusat (DPP) baru di bawah pimpinan Anas Urbaningrum. Akan tetapi susunan Pengurus Pusat PD yang baru menuai kecaman, pasalnya nama Andi Nurpati masuk dalam jajaran pengurus baru bentukan Anas Urbaningrum. Andi merupakan anggota aktif Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang haram hukumnya berdasar undang-undang dan etika politik untuk bergabung dalam sebuah partai politik. Masuknya Andi dalam jajaran kepengurusan Anas Urbaningrum semakin menguatkan indikasi adanya “main mata” antara KPU dan kubu Anas dalam pemilu 2009.


Sepak Terjang Politisi KPU

KPU sebagai lembaga penyelenggara pemilu mutlak hukumnya untuk netral dan independen serta tidak terlibat dalam politik praktis, akan tetapi keberadaan Andi dalam kepengurusan PD menunjukkan hal yang sebaliknya. Hal ini menguatkan dugaan bahwa anggota KPU juga merupakan politisi yang secara aktif terlibat dalam pergulatan politik nasional, lebih dari itu KPU secara institusi seperti lembaga politik yang menjadi senjata partai.

Indikasi politik balas budi tercium menyusul masuknya Andi dalam kepengurusan PD. Sebagai anggota KPU aktif, keberadaan Andi Nurpati di DPP PD seolah merupakan reward yang diberikan oleh partai atas kerja-kerja Andi selama di KPU –tentu kerja yang menguntungkan PD. Indikasi ini diperkuat oleh berbagai kasus yang mewarnai pelaksanaan pemilu 2009, seperti kasus Daftar Pemilih Tetap (DPT) atau spanduk pencontrengan, kesemuanya menciptakan perspektif publik yang melihat bahwa KPU “main mata” dengan kubu Yudhoyono.

Pernyataan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) bahwa kualitas pemilu 2009 menurun dibandingkan pemilu 2004 tentu bukan tanpa alasan. Hal ini menguatkan dugaan akan adanya “sesuatu” antara KPU dan PD. Indikasi politik balas budi PD ini memang perlu pembuktian lebih lanjut, akan tetapi seandainya hal ini benar tentu sangat mencederai kehidupan berdemokrasi yang kita bangun bersama.

Sejak awal banyak kalangan yang meragukan independensi KPU sebagai penyelenggara pesta demokrasi, karena rentan sekali KPU dipolitisasi oleh elit parpol. KPU merupakan pintu masuk menuju tangga kekuasaan, oleh karena itu KPU merupakan kereta express untuk mengembangkan karir politik seseorang. Posisi strategis KPU sebagai penyelengara pemilu bisa menjadi CV yang menarik agar seseorang dipinang parpol.

Selain mudah dipolitisasi ternyata indikasi kuat menunjukkan bahwa KPU memang diisi oleh politisi karir, yang dicurigai secara sembunyi-sembunyi terlibat dalam politik praktis. Perlu dicatat posisi keanggotaan di KPU juga merupakan nilai tawar tersendiri, karena sebagai anggota KPU seseorang mengetahui rahasia maupun trick partai-partai politik. Hal inilah yang menjadikan posisi di KPU sangat politis dan rentan dipolitisasi karena rahasia pelaksanaan pemilu tentu merupakan senjata pemenangan pemilu yang ampuh. Meskipun hipotesa ini masih prematur tetapi melesatnya karir politisi eks-KPU seperti Anas Urbaningrum yang kini menjadi Ketua Umum Partai Demokrat menguatkan sinyalemen itu.


Lemahnya UU Pemilihan Umum

Rentannya politisasi KPU tidak terlepas dari lemahnya undang-undang yang melandasinya. Begitu mudahnya Andi Nurpati masuk di jajaran pengurus PD membuktikan lemahnya UU 22/2007 tentang Penyelenggaraan Pemilu. Dalam pasal 11 huruf (i) disebutkan, “…sekurang-kurangnya dalam jangka waktu 5 (lima) tahun tidak lagi menjadi anggota partai politik..,” tetapi tidak ada klausul yang mengatur mengenai larangan bagi eks anggota KPU memasuki jabatan-jabatan publik apalagi parpol dalam jangka waktu tertentu setelah berhenti atau diberhentikan dari KPU. Tiadanya klausul ini merupakan celah hukum yang memudahkan KPU untuk dipolitisasi elit-elit parpol juga dimanfaatkan politisi karir untuk memperoleh posisi strategis dalam partai.

Kasus ini harus menjadi pelajaran berharga bagi proses demokratisasi kita, penyelenggara pemilu harus independen dan bisa dipercaya. Setelah mendapat sorotan tajam dari publik, akhirnya Andi Nurpati mengundurkan diri. Walaupun dalam penjelasan pasal 29 ayat 1 huruf (b), UU 22/2007 berbunyi, “Yang dimaksud 'mengundurkan diri' adalah mengundurkan diri karena alasan kesehatan dan/atau karena terganggu fisik dan/atau jiwanya..,” tidak ada alasan pengunduran diri karena masuk partai politik.

Selain itu, UU 22/2007 harus segera direvisi agar setidaknya netralitas dan independensi KPU di atas kertas lebih terjamin, karena kita juga sebenarnya juga sadar elit politik kita akan melakukan apa saja asal bisa menang, termasuk membajak KPU.


* Penulis adalah Divisi Media dan Informasi-Komite Mahasiswa Universitas Padjadjaran, sekaligus anggota Forum Belajar Bersama Prakarsa Rakyat dari Simpul Bandung.

** Siapa saja dipersilahkan mengutip, menggandakan, menyebarluaskan sebagian atau seluruh materi yang termuat dalam portal ini selama untuk kajian dan mendukung gerakan rakyat. Untuk keperluan komersial pengguna harus mendapatkan ijin tertulis dari pengelola portal Prakarsa Rakyat. Setiap pengutipan, penggandaan dan penyebarluasan sebagian atau seluruh materi harus mencantumkan sumber (portal Prakarsa Rakyat atau www.prakarsa-rakyat.org).

Oleh : Muhammad Haedir*

Peran buruh dalam pembangunan negeri ini tidak dapat dipungkiri. Sayangnya pemerintah hanya melihat bahwa kekuatan utama penggerak ekonomi negeri ini adalah investor. Pemerintah tidak pernah menganggap bahwa investor tersebut tidak akan berdaya tanpa tenaga buruh, karena para investor tersebut tidak akan mampu mengelola segala sumber daya (modal) yang dimilikinya tanpa buruh. Artinya, sebuah perusahaan tidak akan berdaya apa-apa, mereka tidak akan mampu mengubah benang menjadi kain tanpa tenaga dan keringat buruh.

Data yang ditunjukkan oleh Badan Pusat Statistik bahwa Produk Domestik Bruto Indonesia tahun 1999 menunjukkan bahwa sektor pertanian hanya menyumbang 19,5% dari PDB. Sektor industri manufaktur menyumbang 25,9%; Sektor pertambangan, energi dan konstruksi menyumbang 17,8%; Perdagangan dan perbankan menyumbang 11,3%. Sisanya yang 25,5% disumbangkan oleh sektor jasa, termasuk transportasi.

Data ini menunjukkan bahwa penduduk Indonesia sekarang ini tidak lagi bekerja di sektor pertanian tapi industri, entah itu industri manufaktur, perbankan, jasa dan lain-lain. Artinya bahwa penyumbang terbesar pendapatan negara adalah buruh yang setiap harinya bekerja untuk kepentingan perusahaan, dan kemudian dianggap bahwa perusahaanlah yang paling besar peranannya dalam menghasilkan pundi-pundi pendapatan negara. Negara ini lupa bahwa mesin yang dimiliki oleh pengusaha tidak akan berjalan tanpa buruh.

Sementara, kepedulian pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan buruh masih sangat rendah, bahkan setiap buruh melakukan protes terhadap parahnya kondisi ketenagakerjaan di negeri ini, saat itu pula pemerintah dan pengusaha berusaha untuk tidak memberikan peluang kepada mereka. Beberapa contoh telah kita saksikan dalam konflik ketenagakerjaan yang dialami oleh buruh dan pengusaha yang berakhir ricuh dan bahkan banyak pengusaha yang menggunakan tenaga preman, tapi pihak yang berwenang tidak mampu berbuat apa-apa untuk menindak tegas perlakuan teror semacam itu.

Sekali lagi ini diakibatkan oleh perspektif pemerintah yang menganggap bahwa penggerak utama perekonomian negara adalah investor, sehingga mereka berusaha dengan sekuat tenaga melindungi kepentingan pengusaha/investor, walaupun harus merugikan buruh.


Outsourching dan PHK

Belakangan ini, pemerintah kembali akan merevisi Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Pemerintah sepakat dengan tuntutan buruh untuk menghapus sistem kerja kontrak dan outsourcing, namun di sisi lain pemerintah akan mengurangi persentase pesangon yang diterima saat buruh di-PHK bahkan meniadakannya sama sekali.

Pemerintah lupa bahwa buruh selama ini menolak sistem kerja kontrak dan outsourcing karena begitu mudahnya buruh di-PHK akibat tidak ada kewajiban pengusaha untuk membayar pesangon apabila telah lepas kontrak.

Pemerintah sepertinya hendak menipu pekerja dengan menghapus sistem kerja kontrak dan menukarnya dengan penghilangan pesangon apabila pekerja di-PHK. Bersyukurlah bahwa beberapa serikat buruh di Indonesia (salah satu di antaranya adalah Konfederasi Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia-Konfederasi KASBI) menolak revisi undang-undang ketenagakerjaan tersebut. Dengan tetap menyatakan bahwa undang-undang tersebut adalah undang-undang yang tidak berpihak pada buruh, untuk itu harus dicabut dan diganti dengan undang-undang yang dirumuskan sendiri oleh buruh.

Walaupun dalam undang-undang telah diatur bahwa hanya jenis pekerjaan tertentu saja yang dapat dikerjakan oleh buruh yang memiliki status outsourcing, tapi realitas di lapangan ada banyak perusahaan bahkan lembaga-lembaga pemerintah yang mempekerjakan tenaga outsourcing dan kontrak yang tidak termasuk pada jenis pekerjaan yang boleh dikerjakan oleh buruh kontrak dan outsourcing. Konflik yang terjadi antara Pekerja Pertamina Balongan dan pihak Pertamina di Surabaya adalah satu contoh dari sekian banyak kasus lainnya.


Outsourcing dan Union Busting

Persoalan lain dari sistem kerja kontrak dan outsourcing adalah bahwa mereka tidak diberikan kesempatan untuk berorganisasi/berserikat, meskipun peraturan ketenagakerjaan tidak menyebutkan secara eksplisit bahwa buruh outsourcing tidak dibolehkan berserikat. Namun demikian mereka tetap was-was dan tidak berdaya berserikat dengan ketakutan bahwa kontrak mereka tidak akan diperpanjang apabila mereka diketahui berserikat oleh pengusaha.

Semua tahu bahwa secara sosial, posis buruh di mata pengusaha sangat lemah dan untuk itulah mengapa dalam undang-undang diharuskan ada campur tangan pemerintah dalam pengawasan maupun penanganan kasus-kasus ketenagakerjaan.

Namun pemerintah yang sering diwakili oleh Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi serta jajarannya tidak mampu dan bahkan cenderung membiarkan pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh pengusaha di bidang ketenagakerjaan. Pemerintah selalu beranggapan bahwa pengusahalah yang menyelamatkan Indonesia. Indonesia akan runtuh apabila pengusaha tidak ada, sehingga wajar pemerintah akan dengan sekuat tenaga menutupi pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh pengusaha.

Satu-satunya yang mampu memperjuangkan hak-hak buruh adalah apabila mereka bersatu dalam serikat buruh dan bersama-sama menuntut hak-hak mereka dalam serikat buruh. Serikat buruh menjadi alat perjuangan bersama, termasuk bagi buruh outsourcing, dan memberi kekuatan jauh lebih besar dibandingkan harus berjuang seorang diri.


* Penulis adalah Sekretaris Perhimpunan Rakyat Pekerja Makassar, sekaligus anggota Forum Belajar Bersama Prakarsa Rakyat dari Simpul Sulawesi Selatan.

** Siapa saja dipersilahkan mengutip, menggandakan, menyebarluaskan sebagian atau seluruh materi yang termuat dalam portal ini selama untuk kajian dan mendukung gerakan rakyat. Untuk keperluan komersial pengguna harus mendapatkan ijin tertulis dari pengelola portal Prakarsa Rakyat. Setiap pengutipan, penggandaan dan penyebarluasan sebagian atau seluruh materi harus mencantumkan sumber (portal Prakarsa Rakyat atau www.prakarsa-rakyat.org).

Oleh : Al araf*

Tugas dan fungsi Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) sejatinya hadir untuk mengayomi masyarakat dan untuk membantu peran polisi serta pemerintah daerah dalam menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat. Namun dalam satu dasawarsa reformasi, fungsi untuk mengayomi masyarakat itu cenderung dilupakan dan sering kali bertindak sebaliknya dimana satpol PP lebih mengutamakan penertiban secara paksa yang tidak sedikit mengarah pada perilaku kekerasan yang berlebihan. Peristiwa Tanjung Priok adalah satu contoh yang memperlihatkan perilaku kekerasan berlebih aparat Satpol PP, meski di sisi lain kita juga tidak bisa membiarkan tindakan kekerasan yang mengakibatkan meninggalnya aparat Satpol PP itu sendiri.

Dalam beberapa kasus yang pernah terjadi sebelumnya, tindakan berlebih aparat Satpol PP yang mewujud dalam bentuk kekerasan terhadap masyarakat merupakan gambaran yang menunjukkan bahwa institusi dan aparat negara yang sipil sekali pun masih tidak bisa melepaskan infeksi sisa-sisa bahaya militerisme dalam dirinya. Walaupun bukan merupakan bagian dari institusi militer, namun dalam melakukan pekerjaannya aparat Satpol PP selalu menggunakan pendekatan kekerasan, militeristik, tanpa kompromi, dan arogan. Fakta permasalahan Satpol PP itu tidak dapat hanya dilihat sekedar sebagai masalah penyimpangan dalam praktek. Fakta itu berakar pada berbagai persoalan yang melekat pada luasnya kewenangan yang dimiliki oleh satpol PP. Kebijakan pemerintah daerah yang tidak memihak pada masyarakat, rendahnya profesionalisme aparat Satpol PP dan tumpang tindih kewenangan dengan Polisi.


Tumpang tindih kewenangan

Bila kita kembali melihat UUD 1945 Pasal 30 ayat (4) menyatakan bahwa alat negara yang menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat serta bertugas melindungi, mengayomi, melayani masyarakat, dan menegakkan hukum adalah Kepolisian Negara Republik Indonesia. Konsideran menimbang UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia menyatakan bahwa pemeliharaan keamanan dalam negeri dilakukan melalui upaya penyelenggaraan fungsi kepolisian yang meliputi pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat yang dilakukan oleh Polisi.

Berdasarkan ketentuan tersebut, wewenang yang dimiliki oleh Satpol PP sesungguhnya tumpang-tindih dengan wewenang yang dimiliki oleh Polri. Pasal 148 dari UU No. 32 Tahun 2004 menyatakan bahwa keberadaan Satpol PP adalah untuk menegakkan Perda dan menyelenggarakan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat. Fungsi tersebut jelas masuk dalam salah satu fungsi kepolisian yang diemban oleh Polri. Perda adalah salah satu bentuk produk hukum yang penegakannya tentu menjadi bagian dari fungsi kepolisian yang diemban oleh Polri.

Demikian pula halnya dengan fungsi menyelenggarakan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat yang juga menjadi salah satu wilayah dari fungsi kepolisian yang diemban oleh Polri. Hal itu dapat dilihat dari definisi ketertiban umum yang diatur baik dalam UU No. 2 Tahun 2002 terkait dengan fungsi Polri maupun dalam Permendagri No. 26 Tahun 2005 terkait dengan Prosedur Tetap Satpol PP. UU No. 2 Tahun 2002 menyatakan bahwa dan ketertiban masyarakat adalah suatu kondisi dinamis masyarakat sebagai salah satu prasyarat terselenggaranya proses pembangunan nasional dalam rangka tercapainya tujuan nasional yang ditandai oleh terjaminnya keamanan, ketertiban, dan tegaknya hukum, serta terbinanya ketenteraman. Dengan demikian secara substansial fungsi memelihara ketentraman dan ketertiban umum adalah bagian dari fungsi pengamanan.

Lebih lanjut, Pasal 3 UU No. 2 Tahun 2002 menegaskan bahwa pengemban fungsi kepolisian adalah Polri. Wewenang tersebut bersifat nasional dan meliputi seluruh wilayah dan daerah di Indonesia. Keberadaan Satpol PP di tingkat daerah kabupaten/kota dan provinsi tidak menghilangkan wewenang yang dimiliki oleh Polri sebagai pengemban amanat konstitusi di bidang keamanan.

Pasal 3 UU No. 2 Tahun 2002 memang menyatakan bahwa dalam menjalankan fungsi kepolisian, Polri dibantu oleh kepolisian khusus, Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS), dan bentuk-bentuk pengamanan swakarsa. Petugas Satpol PP memang dapat diangkat menjadi PPNS apabila telah memenuhi syarat. Namun institusi Satpol PP tidak sama dengan PPNS. Di sisi lain, Satpol PP bukan merupakan bentuk pengamanan swakarsa karena keberadaannya dibentuk dan dibiayai oleh pemerintah. Satpol PP cenderung diklasifikasikan sebagai satuan kepolisian khusus. Namun hal itu juga terdapat kelemahan karena tidak ada kekhususan yang dimiliki Satpol PP dibanding dengan Polri.

Penjelasan UU No. 2 Tahun 2002 menentukan bahwa yang dimaksud dengan “kepolisian khusus” adalah instansi dan/atau badan pemerintah yang oleh atau atas kuasa undang-undang diberi wewenang untuk melaksanakan fungsi kepolisian di bidang teknisnya masing-masing. Wewenang tersebut bersifat khusus dan terbatas dalam “lingkungan kuasa soal-soal” (zaken gebied) yang ditentukan oleh peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar hukum. Contoh dari “kepolisian khusus” adalah Badan Pengawas Obat dan Makanan, Polsus Kehutanan, dan Polsus di lingkungan Imigrasi.

Berdasarkan UU No. 32 Tahun 2004, Satpol PP memang ditentukan menjalankan sebagian fungsi kepolisian dan bersifat khusus di daerah tertentu. Namun, kekhususan wilayah kerja tidak termasuk dalam kekhususan sebagai mana yang dimaksud dalam UU Kepolisian, yaitu “lingkungan kuasa soal-soal.” Dari sisi wewenang, Satpol PP tidak memiliki kekhususan jika dibandingkan dengan Polri.


Kebijakan tidak populis

Selain itu, di dalam era otonomi daerah, budaya militeristik aparat Satpol PP yang berdampak pada kekerasan dan pengabaian terhadap HAM disebabkan oleh sikap dan kebijakan pemerintah yang tidak demokratis dan tidak memihak pada masyarakat. Para penguasa di daerah mengarahkan fungsi dan tugas Satpol PP lebih ditujukan pada upaya untuk menjaga, melanggengkan dan membenarkan tindakan penguasa daerah, dan bukan sebagai pelayan negara yang melindungi ketentraman masyarakat dan ketertiban umum.

Berbagai fakta kekerasan yang dilakukan Satpol PP sebenarnya memperlihatkan bentuk manifestasi dan relasi yang kuat antara penguasa di daerah dengan tindakan penyimpangan yang dilakukan. Di sini Satpol PP bisa dilihat sebagai kepanjangan tangan dari kepentingan politik Kepala Daerah yang terkadang berkolaborasi dengan modal dan kepentingan lain di balik proyek-proyek penertiban dan penggusuran yang juga menjadi faktor pendorong tindakan beringas Satpol PP ketika berhadapan dengan masyarakat.

Kuatnya militerisme juga terjadi seiring dengan lemahnya profesionalisme aparat Satpol PP. Salah satu faktor yang menyebabkannya adalah lemahnya kualitas sumber daya manusia (SDM) personel Satpol PP dan tidak adanya standarisasi profesionalitas yang baku dan berjenjang yang dimiliki Satpol PP. Hal itu paling tidak disebabkan oleh tiga hal pokok, yaitu pola rekrutmen, kesejahteraan, pendidikan dan pelatihan yang memiliki banyak kelemahan dan kekurangan.


Jalan keluar

Dengan berbagai permasalahan yang terdapat di dalam Satpol PP maka sudah sepantasnya pemerintah mencari jalan keluar dari permasalahan yang ada, yakni dengan melakukan beberapa langkah: Pertama,melakukan pembubaran Satpol PP dengan merevisi UU 32/2004 terlebih dahulu. Kedua, mengintegrasikan seluruh anggota Satpol PP ke dalam institusi kepolisian dengan mengikuti sistem perekrutan dan pelatihan yang dimiliki oleh polisi. Ketiga, membentuk divisi khusus di dalam kepolisian yang bertugas menjaga ketertiban masyarakat dalam hal ini menangani persoalan-persoalan sebagaimana yang dikerjakan Satpol PP selama ini. Dalam konteks itu, upaya meningkatkan kapasitas institusional dan profesionalisme aparat Polri yang harus diutamakan dan bukan dengan membentuk institusi pengamanan lain yang menambah kompleksitas upaya menjamin keamanan masyarakat. Dengan demikian bukan hanya tumpang-tindih kewenangan dan fungsi yang teratasi tetapi juga rantai militerisme Satpol PP dapat diakhiri.


* Penulis adalah Direktur Program Imparsial (The Indonesian Human Rights Monitor), sekaligus anggota Forum Belajar Bersama Prakarsa Rakyat dari Simpul Jabodetabek.

** Siapa saja dipersilahkan mengutip, menggandakan, menyebarluaskan sebagian atau seluruh materi yang termuat dalam portal ini selama untuk kajian dan mendukung gerakan rakyat. Untuk keperluan komersial pengguna harus mendapatkan ijin tertulis dari pengelola portal Prakarsa Rakyat. Setiap pengutipan, penggandaan dan penyebarluasan sebagian atau seluruh materi harus mencantumkan sumber (portal Prakarsa Rakyat atau www.prakarsa-rakyat.org).

;;