Oleh : Priyanto *

Di manakah Pancasila kini berada? Demikian awalan pidato Presiden RI ketiga, Habibie saat peringatan Hari Pancasila 1 Juni 2011 di hadapan Presiden SBY dan pejabat negeri ini. Sebuah pertanyaan sederhana tetapi patut direnungkan lagi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Tahun 2011 menjadi sangat menarik karena SBY dan lembaga negara kembali “marak” membuat peringatan hari lahirnya Pancasila. Entah kenapa? Ada apa di balik ini semua?

Pertanyaan itu muncul karena seolah Pancasila menghilang begitu saja dalam kehidupan bernegara. Menghilang dalam konteks tulisan ini lebih pada teks dan roh Pancasila. Bila pada Orde Baru Soeharto, Pancasila diagungkan dalam teks namun lemah dalam praktek kehidupan. Sementara pascareformasi keduanya seperti hilang. Hilangnya Pancasila dari kehidupan bernegara, bukan karena faktor rakyatnya. Karena kalau kita lihat dari keseharian masyarakat masih berbangga memasang Garuda Pancasila, memperingati hari kemerdekaan dan hari lahir Pancasila dengan berbagai ragam kegiatan yang dilakukan. Bila kita cermati hilangnya Pancasila dari rohnya dilakukan secara pokok oleh pemerintah ini bisa kita lihat dari “amandemen” UUD 1945 dari sejak 2002 dan dibuatnya UU atau Peraturan yang bertentangan deng roh dan kepribadian Pancasila itu sendiri.

Lalu kenapa tiba-tiba SBY seperti seolah mengingatkan kembali soal Pancasila? Ada banyak argumentasi muncul, di antaranya berpendapat sebagai upaya pencitraan kembali di tengah terpuruknya rezim ini karena kebijakan, skandal korupsi yang terus mendera baik di parlemen, pemerintahan maupun partai-partai politik serta konflik-konflik sosial yang tidak terselesaikan dengan baik.

Argumen lain berpendapat bahwa ini hanya sebuah seremonial untuk menyatukan kembali kekuatan elite politik negeri ini yang mulai tidak bisa terarah dalam menjaga kepentingan modal. Sementara para penjaga modal dan pengusung neoliberalisme melihat Pancasila adalah hadangan atau hambatan bagi kapitalisme.

Kedua argumen tersebut sebenarnya tidak saling bertentangan, tetapi semakin mendukung bahwa Pancasila hanya dibuat seremonial dan formalitas agar rakyat dan terutama elite politik tidak lagi mengganggu jalannya neoliberalisme yang berjalan agak tersendat di Indonesia.

Sementara ada argumen lain dalam peringatan Pancasila tersebut, yakni cukup senang dengan terlahirnya kembali Pancasila. Tentulah yang berpendapat seperti ini adalah pendukung secara lahiriah saja, belum sampai pada hakikat Pancasila itu sendiri.


Pancasila: Anti Neoliberalisme

Kita masih mengingat dan memahami dengan sangat dalam akan sila-sila Pancasila itu sendiri, Ketuhanan Yang Maha Esa; Kemanusiaan yang adil dan beradab; Persatuan Indonesia; Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan dan Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia.

Pancasila bukan sekedar teks, tetapi roh kehidupan berbangsa dan bernegara yang dituangkan dalam kebijakan atau peraturan yang dibuat oleh pemerintah. Turunan akan Pancasila tersebut adalah UUD, UU, PP serta peraturan lain. Namun sayangnya kebijakan tersebut hingga saat ini jauh dari prinsip yang terkandung dalam Pancasila.

Bahkan di tengah pidatonya, Habibie menyatakan dengan gamblang, “Kalau sila kelima Pancasila mengamanatkan terpenuhinya Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia, bagaimana implementasinya pada kehidupan ekonomi yang sudah mengglobal sekarang ini?”

Kita tahu bahwa globalisasi mempunyai berbagai bentuk, tergantung pada pandangan dan sikap suatu negara dalam merespon fenomena tersebut. Habibie mengatakan bahwa salah satu manifestasi globalisasi dalam bidang ekonomi, misalnya, adalah pengalihan kekayaan alam suatu negara ke negara lain. Sumber daya alam yang setelah diolah dengan nilai tambah yang tinggi, kemudian produk-produk itu dijual kembali ke negara asal, sedemikian rupa sehingga rakyat harus “membeli jam kerja” negara lain. Ini adalah penjajahan dalam bentuk baru, neo-colonialism atau dalam pengertian sejarah kita, suatu VOC (Verenigte Oostindische Companie) dengan baju baru.


Tanpa Praktek Pancasila

Bahkan dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara sangat jauh dari apa yang menjadi inti ajaran Pancasila. Kenyataan itu dapat dilihat dengan maraknya konflik sosial, terutama konflik horinsontal yang dipicu oleh pemerintah dan elite politik. Contoh itu tampak dalam kasus Cikeusik maupun Temanggung. Di lain hal juga skandal korupsi yang terbongkar dilakukan oleh orang parpol berkuasa, orang dalam lingkaran rezim beserta keluarganya.

Bahkan model pencitraan menjadi budaya bagi banyak pejabat dari level bawah hingga atas bahkan di kalangan masyarakat itu sendiri. Perilaku menjadi buas bagi sesama, korup dan kleptokrasi menjadi budaya serta pencitraan yang seakan moralis dan seolah peduli pada rakyat.

Dalam situasi akut seperti ini, Pancasila seharusnya menjadi ajang pemersatu rakyat sekaligus pemompa semangat mengembalikan kemandirian bangsa ini dalam perekonomian, politik dan budaya. Hanya rakyat sendirilah yang mampu mengembalikan Pancasila dalam nafas kehidupan dan langkah bangsa ini.


* Penulis adalah anggota Paguyuban Pemulung Semut Ireng-Surakarta, sekaligus Anggota Forum Belajar Bersama Prakarsa Rakyat dari Simpul Jawa Tengah.

** Siapa saja dipersilahkan mengutip, menggandakan, menyebarluaskan sebagian atau seluruh materi yang termuat dalam portal ini selama untuk kajian dan mendukung gerakan rakyat. Untuk keperluan komersial pengguna harus mendapatkan ijin tertulis dari pengelola portal Prakarsa Rakyat. Setiap pengutipan, penggandaan dan penyebarluasan sebagian atau seluruh materi harus mencantumkan sumber (portal Prakarsa Rakyat atau www.prakarsa-rakyat.org).
Sumber: PrakarsaRakyat

0 Comments:

Post a Comment