Oleh : Ari Yurino*


Orde Reformasi berumur 12 tahun pada bulan ini. Orde reformasi yang ditandai dengan kejatuhan Soeharto pada tanggal 21 Mei 1998 seharusnya dimaknai sebagai perubahan kondisi atau nasib dari rakyat Indonesia yang telah terbebas dari belenggu kediktatoran Orde Baru. Namun walaupun kepemimpinan nasional sudah berganti beberapa kali, kenyataannya, kemiskinan masih menjadi permasalahan yang sangat serius saat ini dan kesejahteraan semakin menjauhi kehidupan sebagian besar rakyat Indonesia.

Jika kita melihat beberapa pemberitaan di media massa beberapa minggu lalu, isu mengenai markus (makelar kasus) di dunia perpajakan dan bobroknya institusi penegak hukum di Indonesia sering kali menjadi headline pemberitaan. Seluruh perhatian masyarakat saat itu sedang tertuju kepada kedua permasalahan tersebut. Isu skandal Bank Century yang merajai headline media massa pada saat sebelumnya, akhirnya harus tersingkir. Jarang sekali orang yang membicarakan isu skandal Bank Century paska Pansus mengeluarkan rekomendasinya.

Inilah yang saat ini dialami oleh bangsa kita. Lupa akan sejarah yang mengiringi perubahan-perubahan yang terjadi di negeri ini. Namun jika menilik perjalanan sejarah, kekuasaan tercatat gemar membuat “lupa” atas sesuatu. Membuat orang “lupa” pada penindasan hak-hak warga atau perilaku korup penguasa. Milan Kundera bahkan menyatakan, “Perjuangan melawan kekuasaan adalah perjuangan melawan lupa.”

Cita-cita Orde Reformasi akan perubahan nasib dan kondisi kehidupan yang lebih baik, seringkali tidak pernah dirasakan secara langsung oleh rakyat. Darah rakyat yang ditumpahkan untuk mengusung cita-cita perubahan seakan-akan seperti tidak bermakna apa-apa saat ini. Bahkan untuk mengusut peristiwa-peristiwa kelam yang mengiringi transisi Orde Baru ke Orde Reformasi saja tidak pernah dipedulikan oleh penguasa.

Suyatno selalu menjelaskan, “Kalau tidak karena peristiwa yang menimpa Suyat pada awal tahun 1998, pasti tidak akan ada perubahan yang menempatkan mereka pada posisi seperti yang mereka nikmati saat ini. Tapi sayangnya, mereka seperti lupa itu semua.” Ini merupakan kekecewaan Suyatno kepada para pemimpin negeri ini yang telah silih berganti sejak Soeharto lengser dua belas tahun yang lalu. Kekecewaan ini sudah sepatutnya dirasakan oleh Suyatno, karena tidak satupun Presiden yang mempedulikan nasib dirinya dan ribuan korban pelanggaran HAM lainnya.

Suyatno adalah kakak kandung Suyat yang merupakan korban penghilangan paksa terhadap aktivis di awal 1998. Hingga saat ini Suyat belum kembali dan tidak diketahui nasib dan keberadaannya. Ini hanya secuil dari kekecewaan keluarga korban dan korban pelanggaran HAM yang pada awalnya mengharapkan pemimpin di negeri ini, setelah tumbangnya Soeharto, dapat menuntaskan kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu.


Transisi Demokrasi dan Penghilangan Paksa

Tidak dapat disangkal, salah satu penyebab tumbangnya Soeharto adalah dikarenakan gerakan rakyat yang menghendaki perubahan atas nasib rakyat Indonesia. Telah berpuluh-puluh tahun, di bawah bayang-bayang kediktatoran Soeharto, rakyat selalu ditindas hak-haknya. Kemunculan gerakan rakyat yang ingin menumbangkan Soeharto dipicu dari krisis ekonomi sejak pertengahan tahun 1997. Krisis ekonomi ini kemudian berdampak pada membumbungnya harga-harga kebutuhan pokok, bangkrutnya industri dan terjadinya pemutusan hubungan kerja secara massal serta terjadinya capital flight.

Parahnya kondisi Indonesia yang dihantam krisis ekonomi, sedikit banyak juga dikarenakan kebijakan Soeharto yang tunduk terhadap agen-agen neoliberal. Kebijakan-kebijakan yang diambil oleh Soeharto, yang diarahkan oleh International Monetary Fund (IMF), semakin memperburuk kondisi perekonomian Indonesia ketika itu.

Momentum krisis ekonomi ini akhirnya menimbulkan gejolak sosial yang tidak dapat dibendung oleh penguasa. Gerakan-gerakan prodemokrasi yang dipelopori mahasiswa sejak awal tahun 1990-an seperti mendapatkan momentum kebangkitannya. Tuntutan akan penurunan harga dan pemberantasan Kolusi, Korupsi dan Nepotisme (KKN) kemudian meluas hampir ke seluruh kota di Indonesia. Kualitas tuntutannya pun meningkat menjadi perubahan struktur kekuasaan dari Orde Baru ke kekuasaan yang baru, bersih dari KKN dan diharapkan mampu mengatasi krisis ekonomi. Inilah akhirnya yang kemudian dikenal sebagai tuntutan Reformasi.

Namun berkembangnya gerakan prodemokrasi untuk melengserkan kekuasaan Soeharto ketika itu, tentu saja bukannya tanpa hambatan. Represi dilancarkan oleh rejim Orde Baru terhadap suara-suara kritis. Menjelang kejatuhan Soeharto, menuju Orde Reformasi, bahkan beberapa orang telah dihilangkan oleh rejim Orde Baru. Menjelang Pemilu 1997, menjadi awal kasus penghilangan paksa terhadap aktivis ketika itu. Dedi Hamdun, Noval Alkatiri, Ismail, Sonny dan Yani Afri, yang kesemuanya merupakan aktivis PPP dan PDI, merupakan kloter pertama yang dihilangkan. Hingga saat ini mereka tidak diketahui nasibnya. Pada masa ini, muncul fenomena koalisi akar rumput Mega-Bintang antara pendukung PPP dan PDI yang melawan Golkar pada saat kampanye Pemilu 1997.

Pada kloter berikutnya, menjelang Sidang Umum MPR 1998, beberapa aktivis kembali diciduk. Pius Lustrilanang, Desmond J Mahesa, Rahardjo Waluyo Jati, Faisal Reza, Andi Arief, Mugiyanto, Aan Rusdianto, Nezar Patria, Haryanto Taslam, Suyat, Herman Hendrawan dan Petrus Bima Anugrah menjadi korban penculikan pada periode ini. Tiga nama terakhir (Suyat, Herman Hendrawan dan Petrus Bima Anugrah) hingga hari ini masih menghilang. Beruntung pada periode ini, ada beberapa aktivis yang dikembalikan oleh sang penculik. Namun sayangnya, tidak banyak yang dapat diceritakan oleh beberapa aktivis yang kembali ini, karena selama masa penyekapan dan penyiksaan, mata mereka selalu ditutup oleh kain hitam.

Pada periode terakhir, yaitu pada saat menjelang tumbangnya Soeharto dari tampuk kekuasaan, beberapa nama kembali menjadi korban penculikan. Yadin Muhidin, Hendra Hambali, Ucok Munandar Siahaan, dan Abdun Naseer merupakan korban-korban penculikan tersebut dan hingga kini juga menghilang. Namun menariknya, tidak ada satupun dari nama-nama yang diculik pada saat periode ini yang memiliki aktivitas politik. Terakhir kali mereka diketahui hanya sedang menyaksikan beberapa bangunan dan mall yang sedang terbakar.


Pengungkapan Kebenaran dan Melawan Lupa

Seperti yang telah disebutkan diatas, tindakan membuat orang “lupa,” menjadi tindakan yang sistematis dilakukan oleh penguasa. Hal ini dimulai ketika para pelajar di sekolah diharuskan untuk menerima “asupan” dari penguasa akan sejarah yang berjalan di Indonesia. Sejarah versi penguasa tentunya menjadi hal yang utama yang harus diajarkan kepada seluruh murid di Indonesia. Implikasinya adalah murid-murid sekolah tidak mengenal versi sejarah yang berbeda dari penguasa.

Telah banyak diketahui sebelumnya bahwa “pelencengan” sejarah menjadi hal yang selalu dilakukan oleh rejim Orde Baru. Namun hingga saat ini, tidak pernah ada upaya untuk meluruskan sejarah dari penguasa setelah rejim Orde Baru. Misalnya saja mengenai peristiwa 1965. Sudah banyak sekali buku-buku sejarah yang membantah sejarah versi penguasa Orde Baru. Namun hingga kini, tidak pernah ada upaya untuk menggali atau mengkaji ulang perjalanan sejarah yang terjadi di Indonesia.

Beberapa peristiwa pelanggaran HAM yang pernah terjadi di Indonesia juga kenyataannya tidak pernah diajarkan di sekolah. Sebut saja misalnya mengenai peristiwa Tanjung Priok, Talangsari Lampung, peristiwa di Aceh, Papua dan Timor Leste, Penghilangan paksa terhadap aktivis 1997/1998 dan yang lainnya. Padahal dengan memberikan pemahaman yang jernih kepada para pelajar di Indonesia, tentunya akan memberikan perspektif yang berbeda kepada para pelajar.

Salah satu kuatnya stigmatisasi terhadap para korban dan keluarga korban pelanggaran HAM di Indonesia dari masyarakat adalah karena memang masyarakat hanya mengetahui peristiwa-peristiwa tersebut berdasarkan versi sejarah yang dibentuk oleh Orde Baru. Hal ini tentunya menjadi salah satu jalan yang menghambat perjuangan penuntasan kasus pelanggaran HAM di Indonesia.

Pengungkapan kebenaran menjadi agenda penting untuk dilakukan di Indonesia. Dengan adanya pengungkapan kebenaran akan peristiwa-peristiwa yang berlangsung di Indonesia, maka hal ini akan meminimalisir terjadinya pelanggaran-pelanggaran yang serupa di kemudian hari. Para pelajar dan mahasiswa yang nantinya akan menjadi generasi penerus bangsa ini, tentunya menjadi salah satu kekuatan penting untuk mencegah terjadinya kembali peristiwa-peristiwa kelam tersebut.

Pengungkapan kebenaran juga menjadi salah satu agenda Perjuangan Melawan Lupa agar bangsa ini selalu mengingat apa yang pernah terjadi di negeri ini. Desakan kepada pemerintah untuk segera mengungkapkan kebenaran dari peristiwa-peristiwa yang telah terjadi di Indonesia menjadi penting dilakukan. Namun yang juga penting adalah mulai merangkul kalangan pelajar dan mahasiswa untuk memberikan perspektif yang berbeda mengenai sejarah yang pernah terjadi di Indonesia.

“Jangan sekali-kali meninggalkan sejarah!” begitulah salah satu semboyan yang dikumandangkan Soekarno.
 
* Penulis adalah staff Divisi Kampanye dan Advokasi Federasi IKOHI, sekaligus anggota Forum Belajar Bersama Prakarsa Rakyat dari Simpul Jabodetabek.
** Siapa saja dipersilahkan mengutip, menggandakan, menyebarluaskan sebagian atau seluruh materi yang termuat dalam portal ini selama untuk kajian dan mendukung gerakan rakyat. Untuk keperluan komersial pengguna harus mendapatkan ijin tertulis dari pengelola portal Prakarsa Rakyat. Setiap pengutipan, penggandaan dan penyebarluasan sebagian atau seluruh materi harus mencantumkan sumber (portal Prakarsa Rakyat atau www.prakarsa-rakyat.org).

Oleh : Khamid Istakhori *


”Kami sudah lebih dari dua minggu berada di sini. Menunggu agar perusahaan mempekerjakan kembali kami sesuai dengan posisi kami semula. Membayar upah kami dan membatalkan PHK kami,” kata Ruslan, buruh PT. Fajar Lestari Abadi di Makassar yang tergabung dalam gabungan Serikat Buruh Nusantara, anggota KASBI. Mereka menggelar tenda solidaritas di halaman pabrik.

Nasib Ruslan terkatung-katung semenjak perusahaan mengeluarkan kebijakan yang melarang mereka bekerja kembali di pabrik dengan alasan mereka telah melakukan perbuatan indisipliner, melakukan aksi yang dianggap mengganggu kinerja perusahaan. Padahal, para buruh tersebut malakukan aksi solidaritas terhadap 6 orang yang di-PHK tanpa alasan yang masuk akal. Perisitiwa yang diawali dengan niat perusahaan untuk mem-PHK 6 orang buruh PT. FLA tersebut, dengan bermacam alasan. Sebagian di-PHK dengan alasan memiliki kinerja tidak bagus, sebagian di-PHK karena menolak mutasi. Namun ketika kemudian terjadi aksi solidaritas, semua buruh yang terakhir berjumlah 15 orang itu dinyatakan PHK sepihak dengan alasan bahwa perusahaan mengalami kebangkrutan sehingga harus melakukan efiensi. Dan seluruhnya, 15 orang tersebut adalah anggota serikat buruh.

Atas hal ini, kemudian para buruh, didampingi oleh para pengurus KASBI Wilayah Sulawesi Selatan mengadukan kejadian ini kepada pihak kepolisian sebagai tindakan anti serikat sesuai dengan pasal 28 UU 21 tahun 2000 tentang serikat buruh, dimana secara nyata disebutkan bahwa tindakan menghalangi buruh untuk berserikat dengan mem-PHK adalah tindakan pidana. Namun, pengaduan yang diterima oleh Polda SULSEBAR dengan Nomor LPB/79/IV/2010/SIAGA B pada tanggal 6 April 2010 tersebut pada akhirnya dimentahkan oleh pihak POLDA dengan kenyataan pahit bahwa hal tersebut tidak dapat diteruskan karena tidak ditemukan cukup indikasi terjadinya tindak pidana anti serikat. Kejadian itu menimpa buruh di Makassar, gerbang investasi Indonesia Timur. Ironis.

Lalu, jauh sebelum itu, tepat di gerbang Internasionalnya Indonesia, di Bandar Udara terjadi pula perlakuan yang sama terhadap Serikat Pekerja Angkasa Pura 1 yang sedang melakukan pemogokan di bandara. Para pekerja yang merasa jalan perundingan mengalami kemacetan karena pihak manajemen di bawah kendali Kementerian BUMN menyatakan tidak perlu menjalankan ketetapan dalam PKB yang merupakan hasil perundingan antara pihak manajemen dengan serikat pekerja merasa bahwa pemogokan adalah jalan dan pilihan yang harus ditempuh secara sadar karena bukankah kekuatan buruh adalah ketika dia menghentikan kerjanya? Dan mogok adalah jalan yang secara konstitusional tidak dapat dinyatakan keliru?

Namun apa yang terjadi? Saat ini, selang 2 tahun sejak perisitiwa itu terjadi, pengurus serikat pekerjanya diberangus, diombang-ambing lembaga legal bernama pengadilan dan menghadapi ketidakpastian. Tentu saja ironis, pergantian menteri, pergantian kapolri dan perlawanan mati-matian itu tak memberikan sinyal kepada para penguasa dan pengusaha untuk meredakan sejenak perlakuannya kepada para buruh. Justru, kini mereka dihadapkan pada pilihan pahit ketika manajemen BUMN yang mengelola bandara itu justru membentuk sebuah serikat buruh tandingan dan memuluskan jalan perundingan PKB dengan serikat baru. Lalu kepolisian serta Kementrian Tenaga Kerja dan Trasmigrasi tak menemukan satu katapun dalam kamus kebijakannya untuk menyatakan tindakan itu sebagai tindak kejahatan. Ironis.

Dan, terakhir, tepat sehari sebelum para buruh turun ke jalan untuk menyatakan sikap perlawanannya pada May Day, ketika para buruh sedang bersiap menyusun strategi untuk aksi, tepat di depan gerbang istana negara, dimana orang nomor satu di negeri ini berada, para buruh yang menggelar tenda keprihatinan dan mengadakan aksi teaterikal dihajar oleh pihak kepolisiaan, di bawah todongan pistol dan ancaman penembakan oleh aparat kepolisian. Meraka adalah buruh Hotel Grand Aquila Bandung yang sejak awal april 2010 berjibaku melakukan perjalanan sangat panjang, longmarch dari Bandung ke Jakarta untuk mengkampanyekan perlakuan pidana yang mereka alami. Hotel tempat mereka bekerja, yang juga disinyalir kepemilikan sahamnya ada di tangan institusi kepolisian itu, membubarkan mereka ketika aksi di depan hotel.

Para buruh, tentu saja tidak meminta hal yang muluk-muluk, mereka hanya berbicara dengan benar bahwa hak mereka terabaikan, dan melalui alat perjuangan bernama serikat pekerja, mereka bersuara lantang menuntut haknya dibayarkan. Namun, tentu saja suara itu dianggap berisik oleh pengusaha sehingga harus dibungkam. Berisik yang bukan saja membuat pengusaha tak tenang menghitung tumpukan uang dolar dari nilai lebih yang dicuri dan dihisap dari keringat para buruh, namun kebisingan yang berpotensi besar membangunkan buruh lain yang saat ini masih tertidur untuk melakukan perlawanan yang sama. Rupanya inilah alasan mereka, kenapa serikat buruh harus dibungkam, hingga terdiam dan mati...

Kenapa serikat buruh dihancurkan?

Dalam kondisi kemacetan investasi seperti saat ini, para pemilik modal berpikir keras, agar sistem yang mereka gadang akan memberikan jalan kemakmuran bagi segelintir orang itu mampu terus bertahan. Mampu terus mengakumulasi sebesar-besarnya keuntungan? Dan tentu saja mampu memberikan jaminan kekayaan bagi tujuh turunannya bahkan selama-lamanya? Para kaum modal pusing karena kemungkinan mengeruk keuntungan dari lahirnya teknologi baru hampir pasti tertutup ketika tak lagi ditemukan temuan-temuan spektakuler yang mampu melipatgandakan keuntungan sebagai mata uang, akhirnya mereka berpikir bahwa satu-satunya cara dan jalan untuk melakukan itu semua adalah dengan memperkeras kerja mesin-mesin penghisap keringat buruh sehingga akumulasi pencurian nilai lebih hasil kerja dan tetesan keringat buruh itu segera terkumpul lagi. Inilah konsep utamanya.

Dan cara untuk melakukan semua itu, hanya bisa dilakukan dengan jalan melakukan perampasan hak buruh melalui PHK tanpa pesangon, kemudian dilanjutkan dengan penerapan sistem kerja kontrak outsourcing atau sistem sejenis meskipun dengan nama berbeda semisal magang, kerja borongan atau apapun. Hanya dengan cara itulah, pengusaha mampu mengumpulkan keuntungan. ”Saya yakin, tumpukan keuntungan yang diperoleh pengusaha, bukan dari nilai penjualan dan kerja marketing, namun justru diperoleh dengan mencuri nilai lebih yang dihasilkan buruh,” kata Prof Susetiawan dari UGM dalam kesempatan launching Jurnal Balairung di UGM pada 24 April 2010 yang lampau. Sementara, Jurnal Balairung menuliskan, ”... ketika buruh bekerja selama 10 jam, maka pengusaha sejatinya mendapatkan 9 jam keuntungan.” Jurnal Balairung, yang hari itu diluncurkan, mengangkat tema tentang buruh rokok dengan tulisan sangat lengkap terkait dengan penghisapan buruh pabrik rokok di Jogjakarta.

Pendapat itu kemudian menemukan relevansinya karena pengusaha berpikir bahwa segala niat jahat untuk menghisap buruh itu tak akan terwujud ketika masih didapat serikat buruh –yang dalam kondisi terlemah sekalipun- masih mampu menjadi tumpuan harapan anggotanya untuk berjuang mempertahankan hak-haknya. Maka jalan pintas utamanya adalah serikat buruh harus dihancurkan, diberangus dan dimatikan. Proses itu dikenal dengan nama penghancuran serikat buruh (union busting).

Union busting, dilakukan dengan berbagai modus dari yang paling sederhana dan dengan tawaran-tawaran kepada pengurusnya hingga jalan represi yang mengancam keselamatan jiwa para pengurusnya. Dan salah satu jalan untuk menghancurkan serikat buruh itu, yang salah satunya untuk membuat anggotanya tak berdaya, tentu saja pilihan utamanya adalah menerapkan sistem kerja kontrak outsourcing. Dengan sistem kerja ini, buruh yang sudah tak memiliki jaminan keamanan dan kepastian kerja akan menjadi sekelompok manusia yang enggan bergerak karena secara ekonomis mereka terancam. Jadi sebenarnya pemberangusan serikat dan penerapan sistem kerja kontrak adalah sekeping mata uang yang saling bersisian. Skenario berikutnya tentu saja penerapan upah murah, penambahan jam kerja tanpa kompensasi, hilangnya fasilitas dan jaminan sosial bagi buruh. Ironis.

Apa yang harus kita lakukan?

Tindakan union busting adalah upaya terstruktur dan sistematis yang dilakukan oleh pengusaha dengan dukungan penuh dari pemerintah melalui semua perangkatnya dimulai dari Depnakertrans, aparat kepolisian dan hakim serta birokrasi lainnya di semua tingkatan. Bahwa secara struktural, telah bertahun-tahun sejak UU 21 tahun 2000 ditetapkan belum juga ada upaya sinkronisasi dari kepolisian dan Depnakertrans untuk merumuskan penanganan terhadap union busting. Yang ada justru saling lempar tanggung jawab. Polisi menyatakan bahwa ini adalah masalah ketenagakerjaan, ranah yang menjadi wewenang Depnakertrans. Sementara Depnakertrans menyampaikan alasan klasiknya bahwa kurangnya tenaga pengawas menjadikan penyidikan kasus ini macet.

Lalu, ketika KSN (Komite Solidaritas Nasional) –sebuah komite yang serius mengadvokasi kasus union busting- melakukan audiensi dengan Mabes POLRI, salah satu petinggi Polri menyatakan bahwa Kapolri sudah merespon surat pengaduan dan menargetkan agar pada tanggal 1 Mei 2010 pada saat buruh memperingati May Day, kasus-kasus union busting sudah menemukan titik terangnya. Tapi apa yang terjadi? Jangankan menemukan titik terang, bahkan pada tanggal 30 April 2010, sehari sebelum Peringatan May Day justru polisi menjadi pelaku utama dalam tragedi union busting yang menimpa para pekerja Grand Aquila Hotel, dan sialnya kejadian itu dipertontonkan di hadapan khalayak tepat di gerbang istana tempat presiden menjalankan aktivitas kesehariannya. Artinya? Negaralah sebenarnya pelaku utama union busting.

Berdiam diri saja tak cukup, berkesah saja tentu bukan mau kita. Maka tugas besar yang kini membebani pundak kita semua: buruh pabrik, pengurus serikat buruh di pabrik, pegawai bank, pegawai BUMN, karyawan di kantor-kantor instansi, dari yang bangga menyebutkan dirinya sebagai buruh hingga yang mengklaim dirinya bukan buruh tapi eksekutif muda misalnya -namun sepanjang mereka bekerja, mengeluarkan tenaga dan keringat, mendapatkan (sedikit upah) sisa dari nilai lebih yang mereka hasilkan dan dicuri pengusaha, tidak mempunyai modal berupa mesin, alat produksi dan kapital serta hidup dalam penindasan dan bayang-bayang ketidakpastian karena sistem kerjanya kontrak, outsourcing dan magang atau kerja borongan- dan bahkan sampai kepada para pengurus serikat buruh di tingkat nasional adalah menjawab pertanyaan bahwa sejatinya union busting adalah sebuah ancaman maha dahsyat yang hari ini mengancam kita.

Maka, akankah kita berdiam diri menghadapi semua itu? Semoga, menjawab pertanyaan itu, kita menemukan jawaban yang sama bahwa dibutuhkan kepedulian yang sama, kepentingan yang sama dan sikap yang sama: menyusun dan menghimpun perlawanan besar untuk melawan union busting.

Jawaban ini, tentu sama dengan sebuah seruan untuk segera menghentikan perpecahan, apapun alasannya...


* Penulis adalah Sekjen KASBI dan Koordinator Gerakan Satu mei 2010, sekaligus anggota Forum Belajar Bersama Prakarsa Rakyat dari Simpul Jabodetabek.

** Siapa saja dipersilahkan mengutip, menggandakan, menyebarluaskan sebagian atau seluruh materi yang termuat dalam portal ini selama untuk kajian dan mendukung gerakan rakyat. Untuk keperluan komersial pengguna harus mendapatkan ijin tertulis dari pengelola portal Prakarsa Rakyat. Setiap pengutipan, penggandaan dan penyebarluasan sebagian atau seluruh materi harus mencantumkan sumber (portal Prakarsa Rakyat atau www.prakarsa-rakyat.org).

Oleh : I Wayan 'Gendo' Suardana*

Praktek barbarisme akhir-akhir ini makin marak terjadi, terutama dilakukan oleh kelompok/organisasi masyarakat dengan identitas agama tertentu. Satu bulan yang lalu (Jumat, 30 April 2010) sekelompok massa yang memakai atribut/identitas agama tertentu menyerbu dan membubarkan pertemuan pendidikan HAM bagi kelompok waria di sebuah tempat di Depok. Dalam peristiwa yang disiarkan sebuah stasiun televisi, terlihat bagaimana kelompok massa tersebut menerobos masuk dan membubarkan pertemuan tersebut. Peserta lari tunggang-langgang, bahkan salah satu narasumber yakni Zaenal Abidin, dipukul oleh salah satu orang dari kelompok penyerbu, sementara sekelompok polisi yang berjaga seperti biasa selalu tidak bertaring. Ironisnya pertemuan itu dilaksanakan oleh lembaga negara yaitu Komnas HAM.

Kejadian tersebut menambah daftar panjang pertemuan-pertemuan yang dibubarkan oleh segelintir orang dengan mengatasnamakan agama tertentu. Sebelumnya kita banyak pertemuan-pertemuan masyarakat sipil yang dibubarkan seperti pertemuan mahasiswa di Jogjakarta oleh Front Anti Komunis Indonesia (FAKI), atau sebelumnya pertemuan internasional LGBT di Jawa Timur yang juga batal diselenggarakan karena adanya ancaman-ancaman dari Front Pembela Islam (FPI).

Padahal sebagaimana yang telah diketahui kebebasan untuk berkumpul, berserikat, mengeluarkan pendapat adalah hak dijamin oleh UUD 1945 serta berbagai peratutan perundang-undangan yang terkait dengan HAM. Sebagai hak konstitusional sudah seharusnya negara dengan aparat keamanannya (kepolisian) berada di garda terdepan untuk menjamin terselenggaranya hak tersebut. Selain dilindungi oleh UUD 1945, hak kebebasan berkumpul dan berserikat juga dilindungi oleh berbagai peraturan perundang-undangan baik oleh Undang-Undang nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia maupun Undang-Undang nomor 12 tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik.

Dalam dimensi hukum HAM, adalah kewajiban negara sebagai penanggungjawab HAM untuk menghormati, melindungi dan memenuhi hak asasi manusia dari setiap warga negara. Ketidakmauan ataupun pembiaran oleh negara atas terjadinya perampasan hak asasi manusia adalah bentuk pelanggaran HAM. Pembubaran-pembubaran atas pertemuan-pertemuan yang diselengarakan oleh masyarakat atas dalih apapun merupakan kejahatan yang harus ditangani oleh aparat negara. Ironisnya setiap kali terjadi aksi-aksi barbar, aparat negara cenderung melakukan pembiaran atas tindakan tersebut. Bahkan pertemuan yang diselenggarakan oleh Komnas HAM pun tidak pernah aman dari serbuan kelompok-kelompok perusak tersebut. Pada intinya negara telah melakukan pelanggaran HAM by omission.

Bila pertemuan yang diselenggarakan oleh Komnas HAM saja dapat dengan mudah diintimidasi dan dibubarkan, bagaimana dengan pertemuan yang diselenggarakan oleh masyarakat sipil? Hal ini menggambarkan betapa suramnya wajah penegakan HAM di Indonesia.

Selanjutnya terdapat nuansa lain yang dapat dilihat dari aksi pembubaran tersebut. Selain aksi tersebut adalah bentuk pengebirian terhadap kebebasan untuk berkumpul dan berserikat, aksi pembubaran tersebut adalah wujud dari teror, intimidasi terhadap pembela Hak asasi Manusia dalam melakukan aktivitasnya untuk memajukan Hak Asasi Manusia di Indonesia.

Situasi seperti itu cukup memprihatinkan. Di tengah upaya-upaya pemajuan HAM yang dilakukan, ternyata para pembela HAM sampai saat ini tidak pernah aman dalam melakukan aktivitasnya. Teror, intimidasi dan kekerasan dalam berbagai bentuk kerap menghantui mereka. Parahnya keadaan ini terjadi pada saat upaya Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa mendorong setiap negara untuk melindungi pembela HAM dengan mengeluarkan Resolusi Nomor 53/144 yang mengesahkan Deklarasi tentang Hak dan Tanggung Jawab Perseorangan, Kelompok dan Seluruh Masyarakat untuk mempromosikan dan melindungi Hak Asasi Manusia dan Kebebasan-Kebebasan Dasar yang diakui secara universal. Resolusi ini kemudian dikenal dengan nama Deklarasi Pembela Hak Asasi Manusia (Declaration of Human Rights Defender).

Sebagai negara yang menjamin HAM sebagai hak konsitusional, sudah seharusnya pemerintah melakukan upaya-upaya untuk menghormati, melindungi dan memenuhi hak asasi manusia setiap warga negaranya. Upaya tersebut harus berupa tindakan nyata tidak hanya sekedar menjadi HAM sebagai pemanis di dalam UUD 1945 ataupun menjadi pemanis retorika politik.

Maraknya pembubaran-pembubaran hak atas kebebasan berkumpul dan berserikat serta kebebasan berekspresi harus disikapi secara tegas mengingat pemerintah adalah pemangku tanggung jawab penegakan HAM. Terlebih aksi-aksi barbar sebagaimana kejadian yang dipaparkan diatas sudah menimpa Komnas HAM sebagai lembaga negara yang mengurus tentang HAM, artinya aksi-aksi tersebut telah nyata-nyata menghambat pemajuan HAM di Indonesia.

Pemerintah harus segera menuntaskan setiap aksi-aksi yang mencederai HAM, baik melalui jalur hukum maupun dengan tindakan politik. Mengingat selama ini pemerintah seolah-olah tidak berdaya terhadap aksi barbar yang dilakukan oleh ormas-ormas yang melabeli dirinya dengan identitas agama tertentu. Bahkan negara terlihat membiarkan aksi-aksi tersebut terjadi dan tidak melakukan tindakan apapun baik secara hukum maupun politik. Termasuk tidak mengevaluasi keberadaan ormas-ormas yang secara gamblang memperlihatkan praktek barbarianisme yang telah mengganggu ketertiban umum. Sehingga tidaklah aneh apabila Indonesia dianggap sebagai negara yang melanggengkan praktek impunitas terhadap pelaku kejahatan HAM.


* Penulis adalah Majelis Anggota Wilayah PBHI (Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia) Bali dan Dewan Daerah WALHI Bali, sekaligus anggota Forum Belajar Bersama Prakarsa Rakyat dari Simpul Bali.

** Siapa saja dipersilahkan mengutip, menggandakan, menyebarluaskan sebagian atau seluruh materi yang termuat dalam portal ini selama untuk kajian dan mendukung gerakan rakyat. Untuk keperluan komersial pengguna harus mendapatkan ijin tertulis dari pengelola portal Prakarsa Rakyat. Setiap pengutipan, penggandaan dan penyebarluasan sebagian atau seluruh materi harus mencantumkan sumber (portal Prakarsa Rakyat atau www.prakarsa-rakyat.org).

Oleh : Muklis Irawan*


Peringatan Hari Buruh 1 Mei 2010 di Jombang Jawa Timur merupakan hari yang fenomenal jika dibandingkan dengan peringatan-peringatan sebelumnya. Di tingkat nasional ditandai dengan aksi protes Buruh Drydocks pada 22 April 2010. Buah dari penindasan yang diterima oleh buruh, baik secara fisik maupun psikis. Sedangkan di tingkat lokal, aksi buruh kali ini dan juga seperti tahun lalu, dipahami sebagai aksi solidaritas rakyat Jombang.

Kita harus belajar, penindasan yang dilakukan oleh Drydocks menjadi bukti bahwa nasib buruh di Indonesia tidak kunjung membaik. Sistem outsourcing, upah yang tidak sesuai dengan kebutuhan lokal, dan tekanan secara psikis dan pelecehan kepada buruh perempuan di dunia kerja yang kerap terjadi. Prinsip keamanan dan laba yang tinggi dalam berinvestasi dipegang teguh oleh pemiliki modal walaupun mengorbankan rasa kemanusiaan.

Solidaritas menunjukan kebersamaan dan perasaan sama ketika menghadapi dan memperjuangkan penyelesaian masalah. Persoalan yang dihadapi buruh adalah PHK (Pemutusan Hubungan Kerja) sepihak, sistem kerja kontrak dan outsourcing yang sangat jauh dari paradigma kesejahteraan. Tapi persoalan yang terjadi di Jombang bukan hanya buruh, anggaran pendidikan belum sampai 20%, kekerasan terhadap perempuan, dan kasus tanah dalam pembangunan jalan tol Trans Jawa.


Tanda Mata untuk May Day 2010

May day tahun ini juga ditandai dengan ancaman upah yang minim dan PHK yang cukup besar di Jawa Timur. Diberlakukannya ASEAN China Free Trade Agreement (ACFTA) per 1 Januari 2010 lalu membuat setiap perusahaan menyusun strategi agar perusahaan tetap berjalan. Salah satunya adalah mem-PHK buruh untuk mengurangi biaya produksi.

Menurut berita yang dilansir oleh Okezone, Jum'at, 9 April, Dinas Tenaga Kerja, Transmigrasi dan Kependudukan Jawa Timur (Jatim) mencatat, hingga akhir Maret lalu sebanyak 872 pekerja di Jatim terkena PHK. Jumlah ini didapat berasal dari 29 perusahaan yang ada di Jatim. Kepala Disnakertransduk Jatim Gentur Prihantono mengatakan, jumlah PHK ini dinilai masih wajar di tengah kekhawatiran akan terjadi gelombang PHK massal selepas pemberlakuan perjanjian perdagangan bebas (FTA) ASEAN-China per 1 Januari lalu.

Sedangkan di Jombang beberapa hari menjelang May Day diwarnai dengan aksi puluhan pekerja yang tergabung dalam Front Nasional Perjuangan Buruh Indonesia (FNPBI) Independen pada 26 April 2010. Mereka memprotes PHK sepihak yang terjadi di PT. Seng Fong Moulding Perkasa Jombang, Jawa Timur. Mereka menuntut agar 40 buruh yang menjadi korban PHK untuk kembali dipekerjakan. Selain itu diberlakukannya hak normatif para buruh seperti cuti, upah lembur, status kerja, dan khususnya bagi pekerja perempuan dengan cuti haid.

Karut marutnya masalah buruh upaya pemerintah melalui Menakertrans membuat satu langkah terobosan. Ia melakukan pembicaraan strategis dengan melibatkan selain pengusaha juga organisasi-organisasi buruh seperti Serikat Pekerja Nasional, KSBSI, KASBI, KSPSI, PPMI, dan KSPI. Dari unsur pemerintah hadir pula jajaran kepolisian RI, Kementerian Perindustrian dan Kementerian Negara BUMN. Sayangnya pertemuan ini belum menghasilkan satu kesepakatan hukum bahwa sistem outsourcing harus dihapus dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja harus dipenuhi.

Negosiasi politik yang tidak transparan mengundang sejuta tanya. Benarkah pemerintah begitu mendukung upaya-upaya gerakan buruh untuk mencapai kesejahteraan? Begitu mudahkah para pengusaha mengamini tuntutan para buruh melalui organisasi masing-masing yang terlibat dalam pertemuan tersebut. Padahal mereka, pengusaha, mulai merasakan desakan barang-barang produksi dari Cina yang terkenal baik dan murah?. Fakta bahwa buruh selalu dilemahkan harus dipegang kuat agar tidak mudah terbuai oleh langkah politik pemerintah.

Para pemiliki modal sangat berkehendak untuk diberlakukannya sistem outsourcing dalam ketenagakerjaan pabrik meskipun sistem tersebut tidak diakui oleh UU 13 tahun 2003. Sistem tersebut sangat ampuh untuk membungkam gerakan para buruh. Kalaupun ada keinginan dari buruh untuk menuntut penyelesaian persoalan perburuhan maka seyogyannya berunjuk rasa tidak terhadap perusahaan tetapi kepada siapa mereka berinduk kerja. Sistem tersebut mengaburkan sistem mediasi tripartit atau bipartit dalam perburuhan. Ke mana buruh akan menuntut uang pesangon jika terjadi PHK sedangkan secara norma hukum terikat dengan pemilik jasa outsourcing. Apakah persoalan ini bisa dijawab dalam Pengadilan Hubungan Industrial (PHI)? Selain itu, sistem outsourcing memperkuat budaya penghisapan hasil kerja seseorang. Faktanya yang bekerja adalah seorang buruh di suatu pabrik, tapi hasil jerih payahnya berupa gaji harus dibagi kepada pemberi kerja atau mandor.


Perlawanan Rakyat

Persoalan buruh yang belum kunjung usai disebabkan perbedaan kepentingan antara pengusaha dan buruh. Dan sebenarnya perbedaan ini bisa diselesaikan jika pemerintah lebih tegas mensikapi. Berdasarkan pengalaman selama ini pihak pemerintah cenderung mendukung kepentingan pengusaha dengan dalih pertumbuhan ekonomi. Pandangan ini seperti pandangan ekonom Orde Baru yang lebih mementingkan pertumbuhan dari pada pemerataan. Maka dalam berbagai kasus yang melibatkan pengusaha sangat jarang dimenangkan oleh buruh.

Tunduknya pemerintah dihadapan kepentingan ekonomi harus disikapi dengan memperkuat gerakan buruh yang melibatkan elemen strategis lainnya. Isu buruh bukan lagi dimiliki oleh kaum buruh semata. Setiap buruh memiliki keluarga yang harus dihidupi dan tinggal di suatu tempat dalam ruang sosial-politik-ekonomi. Maka gerakan buruh harus menjelma menjadi gerakan perlawanan rakyat seutuhnya.

Menguatnya gerakan rakyat merupakan tanda kesabaran sudah menyentuh titik nadir. Ia lahir baik melalui kerja-kerja pengorganisasian atau spontan. Kita harus banyak belajar dari dua peristiwa yang terjadi dalam bulan April lalu. Perlawanan yang dilakukan oleh sejumlah orang tanpa terkoordinir dalam peristiwa pembongkaran makam mBah Priok adalah contoh perlawanan rakyat. Mereka terikat dengan solidaritas dan persoalan yang sama lalu meletuplah kemarahan kepada pemerintah (Satpol PP). Begitu pula perlawanan yang dilakukan oleh buruh Drydocks.

Contoh lain yang bisa kita pelajari mogoknya para pekerja Pertamina Indramayu selama satu minggu, rentang waktu 17 hingga 23 Maret 2010, sehingga berhenti beroperasi. Sekitar 75% dari total produksi dari mulai eksplorasi sampai pada pengolahan dan distribusi macet akibat mogok massal pekerjanya. (Buletin Elektronik SADAR, Eka Pangulimara).

Di Jombang aksi gerakan buruh telah menjelma menjadi aksi rakyat Jombang. Aksi ini bukan hanya mengangkat isu buruh yang bekaitan dengan sistem outsurcing dan PHK. Banyaknya elemen peserta aksi juga menyuarakan persoalan lain yang dialami sekelompok masyarakat di Jombang.

Sebelum aksi dilakukan, koordinator masing-masing kelompok telah mengadakan 4 kali pertemuan persiapan. Rapat semula di lakukan di Sekretariat Majalah SOERAT, Kantor Alharaka, dan sekretarit buruh Plywood di Diwek. Kuatnya jalinan solidaritas membuat pembiayaan aksi dilakukan dengan iuran dari setiap orang buruh dan lembaga-lembaga lain. Aksi ini disepakati dengan menggunakan nama Front Perjuangan Rakyat Jombang (FPRJ). Ada dua organisasi dari organisasi buruh: SBPJ (Serikat Buruh Plywood Jombang) dan FNPBI-I (Front Nasional Perjuangan Buruh Indonesia Independen); Organisasi rakyat KRJB (Konsorsium Rakyat Jombang Berdaulat) dan FJKT (Forum Jama’ah Korban Tol); Elemen mahasiswa seperti PMII, FMN, GMNI; Unsur LSM: LAKPESDAM NU Jombang dan WCC Jombang.

Aksi di hari peringatan buruh tahun ini dilakukan merupakan wujud luapan amarah dari persoalan yang terjadi di Jombang pada akhir tahun 2009 dan awal 2010. Salah satunya adalah pengadaan tanah untuk pembangunan jalan tol trans Jawa. Harga yang sangat murah antara Rp 50 ribu-Rp 100 ribu membuat sekelompok orang yang menamakan dirinya FJKT terlibat dalam aksi di bulan Mei ini.

Angka kekerasan dan pelecehan seksual di Jombang yang cenderung naik menjadi bahan persoalan lain yang dirasakan. Tuntutan kuota 30% bagi perempuan di politik dipandang sebagai langkah awal memperjuangkan kesetaraan dan keadilan laki-laki dan perempuan. Sedangkan dari elemen mahasiswa mempertanyakan APBD Jombang untuk pendidikan yang belum sampai 20% sebagaimana diamanatkan oleh konstitusi. Sekolah mahal tetap menjadi momok bagi masyarakat untuk memperoleh akses pendidikan. Atas dasar tersebut, meskipun UU BHP (Badan Hukum Pendidikan) telah ditolak dalam uji materi di MK (Mahkamah Konstitusi), bukan berarti ancaman komersialisasi pendidikan terhenti.

Maka aksi yang dilakukan tidak lagi menjadi domain pokok kaum buruh tanpa melibatkan elemen-elemen lain yang mempunyai kepentingan sama, keadilan dan kesejahteraan. Saatnya aksi tidak hanya diikuti oleh buruh yang berasal dari satu pabrik. Aksi dilakukan dengan membangun aliansi yang diikuti oleh dua organisasi buruh dari dua pabrik, PT. Plywood dan PT. Seng Fong Moulding Perkasa dan kelompok-kelompok lain.

Momentum 1 Mei digunakan sebagai peringatan bersama bahwa rakyat Jombang sebenarnya masih tertindas. Buruh tertindas secara ekonomi oleh pemiliki modal, FJKT tertindas dalam penentuan harga tanah, koperasi-koperasi ibu/ibu atau perempuan tidak memeiliki akses permodalan. Di ranah sosial budaya, kelompok koperasi ibu-ibu miskin tidak diakui keberadaanya oleh Pemda Jombang. Rasa ketertindasan juga dirasakan oleh warga Jombang di ranah politik. Masalah yang dihadapi oleh FJKT tidak disikapi secara arif. Pembiaran bahkan pemerintah sendiri yang sebenarnya bermain dan DPRD hanya mengamini. Tidak satupun dukungan politik dan moral kepada FJKT. Kalaupun ada saat ini bisa dibilang terlambat. Persoalan ganti rugi ini sudah berlangsung hampir 1 tahun dan para pemilik tanah dibiarkan terkatung-katung.

Satu aksi ragam isu ini lahir dari perasaan senasib yang kemudian menjadi pelecut kebersamaan antar sesama warga Jombang yang menuntut adanya perubahan bagi rakyat.


* Penulis adalah anggota Perkumpulan Alharaka Jombang, sekaligus anggota Forum Belajar Bersama Prakarsa Rakyat dari Simpul Jombang.

** Siapa saja dipersilahkan mengutip, menggandakan, menyebarluaskan sebagian atau seluruh materi yang termuat dalam portal ini selama untuk kajian dan mendukung gerakan rakyat. Untuk keperluan komersial pengguna harus mendapatkan ijin tertulis dari pengelola portal Prakarsa Rakyat. Setiap pengutipan, penggandaan dan penyebarluasan sebagian atau seluruh materi harus mencantumkan sumber (portal Prakarsa Rakyat atau www.prakarsa-rakyat.org).


Oleh : Maria Santika*

Ada lebih dari empat mobil komando bersuara keras di depan Istana Presiden saat 1 Mei 2010 untuk memperingati May Day sebagai Hari Buruh Internasional. Seolah ruang besar di depan Istana menjadi begitu sempit dan berjubel, ada yang berorasi, ada yang dangdutan dan ada yang meneriakkan yel-yel, tanpa ada yang mau mengalah. Kondisi ini sangat kontras dan fase terendah aksi-aksi May Day paska Reformasi. Tahun 2010, jauh dari harapan kaum buruh untuk sebuah persatuan dalam gerakan dan kesatuan dalam tuntutan untuk perubahan.

Jelaslah ada yang tertawa keras dan ada yang prihatin, menyatakan bahwa kaum buruh Indonesia belum bersatu secara tuntutan, gerakan dan kepemimpinan. Mereka yang tertawa adalah musuh-musuh kaum buruh dan yang prihatin adalah mereka yang terus-menerus berjuang bagi kaum buruh. Lalu apa makna dari pemandangan tersebut?

Pemandangan tersebut secara kasat mata menunjukkan bahwa ada fragmentasi gerakan serikat buruh, dan harus diakui secara ksatria oleh para pimpinan serikat buruh. Karena bagaimanapun anggota serikat buruh/serikat pekerja atau buruh secara umum tidak ingin ada perpecahan bahkan bangga dengan persatuan. Ini ditunjukkan ketika satu kelompok aksi datang dan menyapa, massa aksi dari kelompok lain memberikan tepuk tangan, acungan jempol dan menjawab yel-yel yang disampaikan.

Bila melihat berita, maka kejadian ini hampir menyeluruh di berbagai daerah, walaupun yang terparah adalah di Jakarta. Di daerah hanya tiga kelompok yang terlihat secara signifikan menghiasai media dalam merayakan May Day.

Kelompok pertama adalah pengusung anti aksi Mayday dan hanya merayakan dengan pentas seni (dangdutan) dan kegiatan sosial. Mereka beralasan peringatan May Day tidak harus dengan aksi. Kelompok ini bisa terbaca memoderasi gerakan buruh dan mengaburkan makna aksi May Day. Mereka melupakan darah dan nyawa pada aksi Mei 1886-1889 hingga didapat tuntutan 8 jam kerja, dari sebelumnya 12 hingga 16 jam sehari.

Kelompok kedua adalah mereka yang “hanya” mengusung isu UU BP JSN (Badan Pelaksana Jaminan Sosial Nasional). Bila dilihat mendalam, muncul pertanyaan, mengapa hanya UU BP JSN yang diteriakkan, padahal itu hanya bagian terkecil dari sistem perburuhan yang dibuat oleh rezim ini. Bahkan sistem jaminan sosial yang menerapkan iuran kepada buruh sama juga memberi beban baru kepada buruh, upah kaum buruh harus dikurangi lagi untuk jaminan sosial. Padahal seharusnya jaminan sosial dijamin oleh negara. Bila hanya UU BJ JSN, jangan-jangan hanya memenuhi kepentingan pimpinan untuk duduk di komisaris/wali amanah BP JSN. Ini masih asumsi, perlu ditelisik lebih lanjut oleh semua peserta aksi dan khususnya anggota organisasi tersebut. Bahkan aksi ini hanya terjadi di Jakarta, Surabaya, dan Batam. Artinya belum bisa dikatakan secara nasional.

Kelompok ketiga adalah mereka yang masih konsisten dengan menolak sistem kerja kontrak dan outsourcing, menolak upah murah, menolak UUK 13/2003 dan revisi UUK 13/2003 dan melawan neoliberalisme-kapitalisme. Isu ini cukup banyak diangkat oleh gerakan buruh dan menawarkan solusi untuk perubahan kekuasaan politik negeri agar buruh yang berkuasa. Aksi-aksi ini terlihat rapi dan menunjukkan keberanian dengan membawa replika tikus, dibakar atau dihancurkan sebagai simbul perlawanan. Aksi ini lebih merata di kota-kota besar, seperti Jakarta, Bandung, Surabaya, Semarang, Makasar dan Samarinda.

Kenyataan di atas masih menyisakan keprihatinan, walau ada kebanggaan bahwa May Day bukan lagi milik kelompok “merah” tetapi semua kelompok buruh memperingatinya, bahkan diakui oleh Menakertrans. Nah, penyikapan keprihatinan harus diurai, karena ini keprihatinan banyak kaum buruh atas fragmentasi tersebut. Ini ujian terberat gerakan buruh. Maka yang perlu dilihat paska aksi May Day adalah penyebab fragmentasi tersebut dan kemungkinan menyusun persatuan secara bersama didasarkan pada kepentingan kelas pekerja dan diletakkan pada nilai-nilai demokrasi serta prinsip kesetaraan. Inilah pekerjaan rumah para pimpinan organisasi saat ini.

Mengenang Marsinah

Sebelum diketemukan mayatnya pada 9 Mei 2002 di Dusun Jegong Kec. Wilangan Nganjuk, Marsinah adalah salah seorang karyawati PT. Catur Putera Perkasa (PT.CPS) yang aktif dalam aksi unjuk rasa tersebut. Keterlibatan Marsinah dalam aksi unjuk rasa; terlibat dalam rapat yang membahas rencana unjuk rasa pada tanggal 2 Mei 1993 di Tanggul Angin Sidoarjo, Marsinah adalah salah seorang dari 15 orang perwakilan karyawan yang melakukan perundingan dengan pihak perusahaan. Marsinah bahkan sempat mendatangi Kodim Sidoarjo untuk menanyakan keberadaan rekan-rekannya yang sebelumnya dipanggil pihak Kodim. Sampai dengan tanggal 5 Mei 1993, Marsinah masih aktif bersama rekan-rekannya dalam kegiatan unjuk rasa dan perundingan-perundingan. Namun mulai tanggal 6,7,8, keberadaan Marsinah tidak diketahui oleh rekan-rekannya sampai akhirnya ditemukan telah menjadi mayat pada tanggal 9 Mei 2002 (www.wikimedia.com).

Maka setiap tanggal 9 Mei diperingati sebagai Hari Perjuangan Perempuan Buruh Indonesia sebagai penghargaan kepada perjuangan Marsinah. Sekaligus penghargaan buat para pejuang buruh di PT CPS dan pejuang buruh seluruh Indonesia.

Mengambil Pelajaran dari Marsinah

Lalu apa hubungan antara May Day 2010 dengan peringatan Marsinah yang waktunya hampir beriringan ini. Tentu sangat besar arti dalam perjuangan kaum buruh yang telah disumbangkan oleh Marsinah, baik disadari atau tidak.

Marsinah, dalam berbagai dokumen dan media tidak tercatat sebagai pengurus serikat Pekerja. Dari berbagai cerita pun, Marsinah “hanya” sebagai anggota yang aktif dan memiliki kepedulian sangat tinggi kepada kawan-kawannya. Disebut hanya dalam tulisan ini sebagai penghargaan, karena seringkali anggota biasa diremehkan, dan ditempatkan paling rendah dan belakang oleh pengurus. Ini contoh yang patut diteladani oleh kaum buruh Indonesia hari ini. Anggota buruh yang aktif dan memberikan kepedulian kepada pengurus serta kritis terhadap semua perilaku maupun tuntutan yang diusung, sangat diperlukan demi kemajuan organisasi dan gerakan buruh di tengah ujian yang berat ini. Keaktifan anggota juga akan mencegah formalisme dan birokratisme serikat buruh yang disebabkan oleh perilaku pengurus.

Praktek Marsinah di atas juga memberi memberi contoh pada sikap kolektivitas dan tanggung jawab pada perjuangan. Tidak melepas dan membiarkan pengurus bergerak sendiri dengan semaunya. Selain memberikan kontrol, praktek tersebut juga memberikan perlindungan kepada pengurus yang sedang berjuang. Kita bisa bayangkan bila ratusan bahkan ribuan anggota bersikap seperti Marsinah, ini contoh kedua yang bisa ditauladani kaum buruh Indonesia dan tentu oleh pada pimpinan.

Bisakah kita tidak sekedar mengenang Marsinah dan merayakan May Day? Tetapi lebih dari itu, mempraktekkannya sebagai semangat dan garis perjuangan kaum buruh. Tentunya kita buktikan dalam praktek perjuangan selanjutnya.

* Penulis adalah anggota Federasi Persatuan Perjuangan Buruh (FPPB) Bandung, sekaligus anggota Forum Belajar Bersama Prakarsa Rakyat dari Simpul Bandung.

** Siapa saja dipersilahkan mengutip, menggandakan, menyebarluaskan sebagian atau seluruh materi yang termuat dalam portal ini selama untuk kajian dan mendukung gerakan rakyat. Untuk keperluan komersial pengguna harus mendapatkan ijin tertulis dari pengelola portal Prakarsa Rakyat. Setiap pengutipan, penggandaan dan penyebarluasan sebagian atau seluruh materi harus mencantumkan sumber (portal Prakarsa Rakyat atau www.prakarsa-rakyat.org).

Oleh : Edy Musyadad *


“Hukuman mati merefleksikan bahwa insting hewan masih ada pada manusia.”
(Nelson Mandela)

Kontroversi hukuman mati sudah sejak lama ada di hampir seluruh masyarakat dan negara di dunia. Dan hukuman mati mencuat di Indonesia akhir-akhir ini dalam merespon isu korupsi yang silih berganti. Wacana hukuman mati bagi para koruptor memberikan banyak argumentasi pro dan kontra. Apakah dibutuhkan untuk dijadikan senjata baru pemberantasan korupsi? Atau justru berbahaya, karena bertentangan dengan hak hidup manusia yang merupakan hak asasi manusia?

Seperti kita ketahui, bahwa Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham), Patrialis Akbar, setuju dengan penerapan hukuman mati untuk para pelaku tindak pidana korupsi. DPR juga sedang menyusun pembahasan agenda hukuman mati bagi koruptor. Pendukung hukuman mati lainnya datang dari Ketua Mahkamah Konstitusi, Mahfud MD. Mahfud menilai hukuman ini tidak melanggar undang-undang. Dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, hukuman mati ini diatur dalam 2 pasal, yakni Pasal 2 ayat (2). Pasal itu berbunyi, “Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana yang diatur dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan.” Keadaan tertentu dalam ketentuan ini adalah keadaan yang dapat dijadikan alasan pemberatan pidana bagi pelaku tindak pidana korupsi yaitu apabila tindak pidana tersebut dilakukan terhadap dana-dana yang diperuntukkan bagi penanggulangan keadaan bahaya, bencana alam nasional, penanggulangan akibat kerusuhan sosial yang meluas, penanggulangan krisis ekonomi dan moneter, dan pengulangan tindak pidana korupsi.

Namun, bagaimana pandangan hak asasi manusia dalam persoalan hukuman mati ini? Asmara Nababan menilai hukuman mati inkonstitusional. Menurut pendapat mantan Sekretaris Jenderal Komisi Nasional Hak Asasi Manusia ini, hukuman mati adalah pelanggaran konstitusi, khususnya Pasal 28 Ayat 1 Undang-Undang Dasar 1945. Pasal dalam konstitusi tertinggi kita itu mengamanatkan bahwa hak hidup setiap orang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun. Pelaksanaan hukuman mati menunjukkan inkonsistensi dalam sistem hukum kita. Benarkah? Mari kita telusuri bersama.


Hak Asasi Manusia dan Hukuman Mati

Bahwa hak asasi manusia merupakan hak dasar yang secara kodrati melekat pada diri manusia, bersifat universal dan langgeng, oleh karena itu harus dilindungi, dihormati, dipertahankan dan tidak boleh diabaikan, dikurangi atau dirampas oleh siapapun. Bersama 150 negara, Indonesia pada tahun 2005 juga sudah meratifikasi International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) yang dalam Pasal 6 (1) berbunyi: “Every human being has the inherent right to life. This right shall be protected by law. No one shall be arbitrarily deprived of his life.” Dalam pasal itu menyatakan, setiap manusia memiliki hak atas hidup yang bersifat melekat.

Maka, hak atas hidup ini tidak perlu diragukan lagi karena yang paling penting dari semua hak asasi manusia. Masyarakat yang beradab tidak dapat eksis tanpa ada perlindungan hukum terhadap hidup manusia. Jika tidak ada hak atas hidup maka tidak akan ada pokok persoalan dalam hak asasi manusia lain.

Selain itu, pasal 6 kovenan ini mengharuskan hak atas hidup dilindungi oleh hukum. Keharusan ini berarti setiap negara wajib memiliki hukum yang melindungi hak atas hidup dalam sistem hukum. Perlu kita telaah kembali, dalam perubahan UUD 1945, isu hukuman mati tercantum dalam perubahan Bab XA. Pasal 28A yang dengan eksplisit mengatakan: “Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya.” Jadi, hak untuk hidup atau the right to life adalah hak yang paling mendasar dalam UUD 1945.

Hak untuk hidup (penentangan hukuman mati) kembali ditegaskan dalam Pasal 28I (1) dalam rumusan: “Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun.”

Maka, pasal 28A dan pasal 28I ini adalah payung hak asasi manusia sebagai “non-derogable human rights” atau “hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun.” Jadi, hak untuk hidup ini adalah hak yang tak bisa dikompromikan dengan hak-hak lain. Hak untuk hidup ini adalah puncak hak asasi manusia yang merupakan induk dari semua hak asasi lain. Sehingga, hubungan antara hak asasi manusia dan hukuman mati tidak dapat dipisahkan. Maka, hak asasi manusia yang meliputi hak untuk hidup bertentangan dengan hukuman mati itu sendiri.


Indonesia dan Hukuman Mati

Hukuman mati dalam peraturan perundang-undangan kita diatur dalam 10 produk hukum. Lima di antaranya dibuat dalam era Soekarno dan kemudian dalam era Soeharto mengesahkan revisian salah satu peraturan perundang-undangan tersebut. Menariknya, sejak 1997 tercatat ada lima undang-undang baru yang mencantumkan hukuman mati sebagai ancaman pidananya yaitu: a). UU No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika; b). UU No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika; c). UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Korupsi; d). UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM; dan e). UU No. 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Jadi, ada 10 peraturan perundang-undangan yang memuat ancaman pidana hukuman mati, 5 di antaranya dibuat oleh Indonesia dalam masa kurun waktu sepuluh tahun terakhir.

Maka, jika kita lihat dari sisi jumlah undang-undang dan kurun tahun pengesahan terlihat bahwa Indonesia justru memperbanyak hukuman mati dan tidak mempunyai kecenderungan untuk menghapus hukuman mati. Selain itu, Indonesia justru memperbanyak jenis kejahatan yang diancam hukuman mati. Lima peraturan perundang-undangan tersebut kesemuanya memuat tindak kejahatan dengan jenis baru yang diancam hukuman mati. Pidana-pidana yang diancam pun justru yang tidak masuk dalam kelompok kejahatan yang paling serius (the most serious crimes) menurut Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik.

Maka, dapat dinyatakan bahwa, tidak ada kecenderungan Pemerintah Indonesia menghapus hukuman mati atau pun melakukan upaya pembatasan jenis kejahatan yang diancam hukuman mati. Kecenderungan ini juga tidak memperlihatkan adanya indikasi Indonesia akan memberlakukan moratorium pelaksanaaan hukuman mati seperti diserukan oleh PBB. Dan jika, upaya pemeritah dan DPR dalam menyikapi isu korupsi itu dengan mengandalkan hukuman mati sebagai salah satu strateginya, maka hak hidup sebagai salah satu hak asasi manusia semakin jauh saja dari realitas kehidupan bernegara kita. Hukuman mati belum bisa diakhiri, karena insting hewan masih mendominasi kita. Benar juga kata-kata Nelson Mandela.


* Penulis adalah Direktur PUNDEN Nganjuk Jawa Timur, sekaligus anggota Forum Belajar Bersama Prakarsa Rakyat dari Simpul Jombang.

** Siapa saja dipersilahkan mengutip, menggandakan, menyebarluaskan sebagian atau seluruh materi yang termuat dalam portal ini selama untuk kajian dan mendukung gerakan rakyat. Untuk keperluan komersial pengguna harus mendapatkan ijin tertulis dari pengelola portal Prakarsa Rakyat. Setiap pengutipan, penggandaan dan penyebarluasan sebagian atau seluruh materi harus mencantumkan sumber (portal Prakarsa Rakyat atau www.prakarsa-rakyat.org).

Sumber : Kompas
Foto : matanews.com

Jakarta-- Kiriman uang dari para tenaga kerja Indonesia atau TKI, yang bekerja di luar negeri, ke dalam negeri pada tahun 2009 sekitar

Rp 62 triliun. Nilai kiriman uang dari TKI tersebut cenderung terus meningkat seiring semakin banyak TKI yang bekerja di luar negeri.

Kepala Biro Humas Bank Indonesia Difi A Johansyah, Jumat (14/5) di Jakarta, menjelaskan, valuta asing yang dikirim para TKI tersebut tidak masuk ke dalam cadangan devisa. Namun, remittance TKI tersebut memperbanyak stok valuta asing di pasar sehingga ikut berperan dalam menjaga stabilisasi nilai tukar rupiah.

Kiriman uang (remittance) TKI yang dikelola oleh bank pada tahun 2009 mencapai Rp 61 triliun, sementara yang dikelola Penyelenggara Kegiatan Usaha Pengiriman Uang (KUPU) mencapai Rp 940,83 miliar. Adapun total dana kiriman dari luar negeri, berdasarkan catatan Kompas, pada 2008 mencapai Rp 400 triliun.

Kiriman uang TKI cenderung terus meningkat. Pada tahun 2006, remittance TKI mencapai Rp 50 triliun, tahun 2007 jumlahnya sebesar Rp 55 triliun, dan tahun 2008 mencapai Rp 61 triliun.

Turunnya pengiriman TKI ke Malaysia tahun 2009 membuat nilai remittance TKI pada tahun tersebut stagnan di level Rp 61 triliun. Pada 2010, nilai remittance TKI diperkirakan meningkat lagi seiring rampungnya komite bersama Indonesia dan Malaysia membahas persoalan-persoalan seputar pengiriman TKI.

Difi menjelaskan, dari Rp 61 triliun remittance TKI pada 2009, terbesar berasal dari Malaysia, mencapai Rp 21,5 triliun. Dari Arab Saudi Rp 20 triliun dan sisanya dari negara-negara lain, seperti Hongkong, Korea Selatan, dan Jepang.

Jumlah TKI yang bekerja di Malaysia dan Arab Saudi memang relatif besar dibandingkan dengan yang bekerja di negara-negara lain.

Sekretaris Perusahaan PT Bank Negara Indonesia (BNI) Tbk Intan Abdams Katoppo menjelaskan, total transfer dana dari luar ke dalam negeri yang melalui BNI pada 2009 mencapai Rp 165 triliun. Namun, tidak diketahui berapa porsi remittance dari TKI. Adapun pengiriman uang dari dalam ke luar negeri selama triwulan I-2010 Rp 52,2 triliun.

Menurut Direktur Utama Bank Bukopin Tbk Glen Glenardi, pihaknya sedang mengkaji pembukaan kantor perwakilan di Arab Saudi. Hal ini untuk menangkap peluang remittance dari TKI di negara tersebut.

”Kami sudah memulai bisnis di Arab Saudi dengan membiayai pembangunan hotel di Mekkah,” kata Glen saat penandatanganan kerja sama dengan Kementerian Agama soal penerimaan setoran pembayaran haji secara online.

KUPU

Analis Madya Senior Akunting dan Sistem Pembayaran BI Ida Nuryanti menambahkan, selain melalui bank, pengiriman uang dari TKI juga dikelola oleh pihak lain, yaitu KUPU, baik berbentuk badan usaha maupun perorangan.

Hingga akhir tahun 2009, total KUPU yang telah memperoleh izin dari BI mencapai 60 pihak. ”Sebenarnya ada ratusan KUPU yang beroperasi, namun yang mendaftar hanya sebagian. Itu karena kemungkinan mereka tidak mau repot dan enggan dipungut pajak,” kata Ida.

Menurut Ida, BI akan terus berupaya agar seluruh KUPU yang beroperasi terdaftar di BI. Dengan terdaftarnya seluruh KUPU, transfer dana akan lebih transparan dan aman. Ini bisa mencegah pelarian dana milik TKI. ”Selain itu, juga bisa mencegah praktik pencucian uang,” ujar dia.

Peraturan Bank Indonesia, kata Ida, tidak bisa menghukum KUPU yang tidak mendaftar. Karena itu, undang-undang Transfer Dana yang kini dibahas di DPR sangat penting segera diselesaikan. Dengan undang-undang tersebut, KUPU yang tidak mendaftar bisa dikenai sanksi pidana. (FAJ)

Oleh : Roger Burbach *

Ketika presiden Bolivia, Evo Morales, diambil sumpahnya untuk masa jabatan kedua bulan Januari silam, ia menyatakan bahwa Bolivia adalah negara plurinational* yang akan membentuk “sosialisme komuniter.” Pada pidatonya, Wakil Presiden Álvaro Garcia Linare, membayangkan sebuah “cakrawala sosialisme” untuk Bolivia, dengan bercirikan “kesejahteraan, mewujudkan kemakmuran komunal, dengan menarik akar budaya lokal...” Proses tersebut “tak akan mudah, dapat memakan waktu puluhan—bahkan ratusan—tahun, namun jelas bahwa gerakan sosial tidak dapat mencapai kekuatan sejati tanpa menanamkan cakrawala sosialisme dan komunitarian.” [1]

Dalam dekade terakhir Amerika Latin telah menjadi panggung pengharapan dan cita-cita ketika para pemimpin beserta gerakan-gerakan sosial di sana berhasil mengusung panji-panji sosialisme abad ke-21 di dunia yang rakus akan petualangan-petualangan imperialis dan dilanda musibah ekonomi. Para pendukung sosialisme baru menegaskan bahwa hal tersebut akan terputus dari sosialisme-terpusat di abad terakhir, dan akan didorong oleh gerakan-gerakan sosial akar rumput yang membangun tatanan alternatif dari bawah. Muncul pula kesepakatan bersama bahwa proses tersebut akan menempuh jalur yang unik bagi tiap-tiap negara, dan tak ada satu pola atau strategi besar yang harus dikejar.

Sosialisme baru selama ini dicirikan dengan proses yang sangat lambat dan temporer jika dibandingkan dengan sosialisme revolusioner pada abad sebelumnya, yang mendasarkan pada penggulingan rezim lama, dengan partai pelopor merebut kendali negara, lantas bergerak cepat mengubah kondisi ekonomi. Skenario berbeda tengah terjadi di Amerika Latin di mana pemerintah-pemerintah baru memegang kendali politik, sementara sistem ekonomi lama masih berjalan. Di Venezuela, Bolivia, dan Ekuador, di mana wacana sosialisme sangatlah maju, rapat-rapat konstituen diselenggarakan untuk merancang konstitusi baru yang merestruktur sistem politik dan menciptakan hak-hak sosial yang luas. Adapun proses dan kecepatan perubahan ekonomi menjadi tugas kekuatan-kekuatan politik dan sosial yang bertindak melalui sidang-sidang legislatif baru dan “negara yang didirikan kembali”(refounded states).

Di Bolivia, perjuangan untuk sidang konstitusional dan konstitusi yang baru memang sangat alot karena oligarki yang berpusat pada departemen-departemen subur-sumberdaya, terhubung dengan pembangkangan nyata disertai dukungan taktis dari kedutaan AS. Tak banyak yang diketahui dari sosialisme pada periode ini, terlepas dari partai politik Morales, yakni Movement Towards Socialism (MAS).

Kini, dengan konsolidasi sistem politik baru, sosialisme telah tercatat dalam agenda. Dalam beberapa pidato publik dan wawancara dengannya, Wakil Presiden Garcia Linare dan Menteri Luar Negeri David Choquehuanca telah menyatakan apa yang mereka bayangkan sebagai jalan bagi Bolivia menuju sosialisme.

Sang wakil-presiden—salah seorang anggota gerakan gerilya pada awal 1990-an yang pernah ditangkap dan dipenjarakan selama empat tahun—kini menegaskan bahwa “di Bolivia kami bekerja dan bertaruh untuk jalan demokratis menuju sosialisme. Hal tersebut memungkinkan ... karena sosialisme pada dasarnya adalah demokrasi yang radikal.” Ia juga menambahkan: “Konstitusi telah menyediakan arsitektur untuk sebuah negara yang dibangun oleh masyarakat dan menetapkan jalan panjang di mana kami berpartisipasi dalam proses membangun masyarakat baru, secara damai dan demokratis.”[2]

Menandai keunikan proses yang terjadi di Bolivia, wakil presiden menyatakan: “Bolivia termasuk dalam lingkungan kapitalis, namun ia berbeda dari masyarakat-masyarakat lain ... struktur komunitas tetap bertahan, di daerah pedesaan, di dataran tinggi, di dataran rendah, dan di berbagai bagian perkotaan dan dusun-dusun yang telah menolak kuasa kapitalisme.” Ia menambahkan, “Ini berbeda dari kapitalisme Amerika atau Eropa, dan hal tersebut menguntungkan kami.” [3] Dalam sebuah wawancara, David Choquehuanca memaparkan tentang akar komunal yang mempermudah pengkonstruksian sosialisme: “Kami selalu memerintah diri kami sendiri dalam komunitas-komunitas. Itulah sebabnya kami melestarikan kebiasaan-kebiasaan kami, melantunkan musik kami sendiri, bicara dengan bahasa Aymaran, terlepas dari upaya penghapusan semua ini—musik kami, bahasa kami dan budaya kami—selama 500 tahun belakangan. Secara sembunyi-sembunyi kami terus memegang teguh nilai-nilai kami, susunan perekonomian kami, juga jenis organisasi komunitarian kami; yang kini tengah dikaji ulang. Oleh karena itu kami menggabungkan sesuatu yang telah bertahan selama 500 tahun ke dalam sosialisme, yakni elemen komunitarian. Kami ingin membangun sosialisme kami sendiri.” Tambahnya lagi: “Di dalam komunitas-komunitas, kami punya ulacas (pertemuan), di mana kami bisa berdebat. Ruang-ruang politik tersebut kini tengah digalakan kembali. Saya tidak tahu apakah ini bisa disebut sebagai ‘benih-benih pemerintahan rakyat.’ Yang pernah ada, yang kini ada, kini tengah dikaji ulang, dinilai dan dibangun. Pada tahapan inilah kami kini berada.” Choquehuanca juga menggambarkan komunitas-komunitas kontemporer dan serikat-serikat yang ada baik di dalam ataupun di luar lingkungan mereka: “Kami mengorganisir diri kami dalam komunitas-komunitas. Di Bolivia mungkin ada sekitar sepuluh ribu komunitas, dan pada tiap komunitas terdapat serikat buruh tani. Tiap serikat memiliki basis yang terhubung pertama-tama di tingkat provinsi, kemudian tingkat departemen, dan selanjutnya di tingkat nasional. Pada tingkat nasional terdapat Confederacion Sindical Unica de Trabajadores Campesinos de Bolivia (CSUTCB). Memang organisasi-organisasi tersebut bukan organisasi yang terbentuk secara alamiah, namun mereka telah memungkinkan kami untuk merundingkan tuntutan-tuntutan kami dan berpartisipasi dalam pemilihan umum. Ada berbagai sektor yang terorganisir dalam struktur serupa, misalnya organisasi para guru, penambang, kelompok-kelompok pribumi, perempuan, juga pekerja pabrik. Kami juga memiliki organisasi para ibu, yaitu Central Obrera Boliviana (COB). Mereka inilah organisasi rakyat. Presiden Evo Morales telah menghimbau untuk memperkuat mereka, sebab merekalah agen-agen yang mengendalikan proses perubahan ini.”[4]

Beberapa pihak merasa skeptis terhadap komitmen Morales pada sosialisme. Jim Petras, seorang ilmuwan Marxis yang telah menulis mengenai perpolitikan di Amerika Latin dalam 50 tahun belakangan, menegaskan bahwa Morales memberikan sebuah “prioritas tinggi...pada pertumbuhan kapitalis ortodoks di luar segala kepedulian atas pembangunan kutub pertumbuhan alternatif yang disusun di kalangan rakyat jelata dan pekerja perkotaan yang tak memiliki tanah.” Menurutnya ini mengarah pada “naiknya besaran dan lingkup korporasi multinasional bermodal asing yang eksploitatif.”[5]

Dari sisi perspektif ekologis, Marcio Ribera Arismendi menyatakan: “Kita telah mengubah wacana, namun tidak mengubah bentuk.” Sebagai salah seorang anggota Environment Defense League, sebuah organisasi lingkungan terbesar di Bolivia, Ribera menambahkan, “Kita berharap banyak pada pemerintahan ini untuk memecahkan persoalan atau membuat perubahan dalam isu-isu yang ada,” namun pada kenyataanya pemerintah malah mengikuti sebuah model industri yang memeras dan dikendalikan oleh modal transnasional. [6]

Walau benar bahwa Morales belum meluncurkan serangan total terhadap kapital, pemerintahannya bersama pemerintahan-pemerintahan Kiri Baru lain di Amerika Latin telah mengakhiri era neo-liberal di mana IMF dan World Bank telah memaksakan kebijakan-kebijakan pasar bebas, secara ketat membatasi pengeluaran untuk dana sosial, dan membuka jalan bagi korporasi-korporasi transnasional untuk meraih kendali penuh atas sumberdaya-sumberdaya tak-terbarukan di wilayah tersebut. Kini kebanyakan pemerintah-pemerintah tersebut menggunakan negara untuk mencengkramkan kendali lebih ketat lagi terhadap perekonomian dan tengah bernegosiasi-ulang mengenai persyaratan permodalan supaya bisa mendapatkan porsi laba lebih besar untuk program-program sosial dan untuk memfasilitasi pembangunan dan industrialisasi internal.

Segera setelah terpilih pada tahun 2006, Morales langsung berhadapan dengan perusahaan gas dan minyak bumi milik asing untuk mendapatkan 50% pendapatan, menempatkan perusahaan minyak milik negara sebagai pengelola, dan—dalam beberapa kasus—juga sebagai co-investor. Beberapa perjanjian serupa juga dibuat dengan pemodal transnasional di sektor pertambangan besi. Pemerintah kini juga sedang menjalani proses menegosiasikan kesepakatan yang lebih berpihak pada negara untuk pemanfaatkan deposit lithium yang banyak dimiliki Bolivia.

Duta besar Bolivia untuk PBB, Pablo Solon, yang pernah bertugas sebagai perwakilan di bidang perdagangan dan isu integrasi, merangkum seluruh kebijakan pemerintah dalam paparannya: “Kami membutuhkan investasi asing. Permasalahannya adalah seperti apa aturan terhadap perizinan investasi asing tersebut—sejauh mana yang akan didapatkan oleh negara, sebanyak apa laba yang mereka dapatkan, siapa yang akan memilikinya, bagaimana perpindahan teknologinya, dan bagaimana transformasi bahan mentah dalam negeri. Itulah perkara-perkara kunci yang telah disarikan oleh Bolivia dalam kalimat ‘Jika bicara soal investasi asing, kami tak butuh boss – kami butuh mitra.’ Jika mereka (pihak asing – penerj.) bisa menerima aturan tersebut, mereka dipersilakan datang. Kami tak lagi mau menerima pola hubungan yang ada sebelumnya.”[7]

Proses mengubah institusi sosial dan perekonomian Bolivia akan menjadi tugas di bidang legislatif, yang akan merancang lebih dari 100 undang-undang untuk mengimplementasikan konstitusi baru negara yang bersifat plurinational. Titik berat dari sistem baru ini adalah usaha untuk memperkuat penduduk pribumi dan memberikan akses sumberdaya pada mereka untuk membentuk sosialis-komunitarian. Hukum reformasi agraria yang ada akan dikaji ulang. Menurut Victor Camacho, Wakil-Menteri Urusan Pertanahan, “Kami akan mengembalikan wilayah komunitas-komunitas pribumi,” sebab memang tanah-tanah komunal warisan nenek moyang kaum pribumi telah direbut dari mereka sejak masa penaklukan. [8] Sambil bergerak membangun hubungan harmonis antara kekuatan-kekuatan sosial dan politik, usaha yang tengah dilakukan Bolivia memberikan sumbangan pada kemajuan sosialisme di tingkat global. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Wakil Presiden Garcia Linares: “Masyarakat kami sekarang adalah sebuah masyarakat yang memiliki terlalu banyak ketidakadilan... kami punya benih-benih sosialisme komunitarian. Memang benih-benih itu tak terawat dan nyaris kering, namun jika kami memelihara benih-benih tersebut di Bolivia, semuanya akan berbuah untuk negara kamu, dan untuk dunia.”

Bagi Evo Morales, sosialisme menjadi kebutuhan global yang mendesak, berkaitan dengan kondisi seluruh dunia. “Jika kapitalisme menghasilkan krisis sistem finansial, juga di bidang energi, pangan, lingkungan, dan perubahan iklim; maka apa manfaat kapitalisme jika hanya menimbulkan banyak sekali krisis? ... Apa solusinya? Saya yakin sosialisme adalah jawabannya, untuk sebagian mungkin sosialisme abad ke-21, sedangkan untuk yang lain sosialisme komunitarian.”[9]

[1] Garcia Linare: Bolivia deja el Estado aparente e impulsa el Estado Socialista, Arzobispado de La Paz, 22 de Enero, 2010, http://www.arzobispadolapaz.org/noticias/Nacional
[2] Garcia Linare Plantea Socialismo Comunitario Contra el Capitalismo, Jornadanet.com, 8 de Febrero, 2010, http://www.jornadanet.com/n.php?a=43340-1
[3] Bolivia Vira al Socialismo Comunitario y Comienza a Sepultar el Capitalismo, Cambio, Periodico del Estado Plurinacional Boliviano, 8 de Febrero, 2010, http://www.cambio.bo/noticia.php?fecha=2010-02-08&idn=14526
[4] Bolivian Foreign Minister: Communitarian Socialism Will Refound Bolivia, Bolivia Rising, http://boliviarising.blogspot.com/2009/05/bolivian-foreign-minister-communitarian.html
[5] James Petras, Latin America’s Twenty First Century Socialism in Historical Perspective, The James Petras Website, http://petras.lahaine.org/articulo.php?p=1789&more=1&c=1
[6] Juan Nicastro, Environment Continues to Suffer, Latinamerica Press, Febr. 11, 2010, http://lapress.org/articles.asp?art=6061
[7] Jason Tockman, Bolivia’s New Political Space: An Interview with Ambassador Pablo Solon, NACLA News, Views and Analysis, March 15, 2010, https://nacla.org/node/6473
[8] Victor Camacho, Vamos a Reterritorializar las Comunidades Indigenas, La Prensa, 16 de Febrero, 2010, http://www.laprensa.com.bo/noticias/16-02-10/noticias.php?nota=16_02_10_nego2.php
[9] Evo Morales Defiende al Socialismo como la Solucion al Capitalismo y sus Crisis, EcoDiario, http://ecodiario.eleconomista.es/politica/noticias/1740280/12/09/Evo-Morales-defiende-al-socialismo-como-la-solucion-al-capitalismo-y-sus-crisis.html


* Konsep negara “plurination”, mengakui hak-hak bangsa minoritas. Istilah ini digunakan di Ekuador dan beberapa negara Amerika Latin lainnya (Egan 1996)

** Roger Burbach adalah Direktur Center for the Study of the Americas (CENSA – Pusat Studi Amerika) yang berbasis di Berkeley, California. Bersama Jim Tarbell, ia menulis buku Imperial Overstretch: George W. Bush and the Hubris of Empire. Artikel dimuat di http://globalalternatives.org/node/113

*** Terima kasih kepada Roger Burbach yang telah mengijinkan tulisannya dimuat di Buletin Elektronik SADAR, dan kepada Desiyanti Wirabrata yang telah menerjemahkannya dari Bahasa Inggris.

**** Siapa saja dipersilahkan mengutip, menggandakan, menyebarluaskan sebagian atau seluruh materi yang termuat dalam portal ini selama untuk kajian dan mendukung gerakan rakyat. Untuk keperluan komersial pengguna harus mendapatkan ijin tertulis dari pengelola portal Prakarsa Rakyat. Setiap pengutipan, penggandaan dan penyebarluasan sebagian atau seluruh materi harus mencantumkan sumber (portal Prakarsa Rakyat atau www.prakarsa-rakyat.org).

Oleh : Yuniasri*

“Tadi siang kami sungguh terharu, tersentuh oleh sekelumit derita hidup, Seorang bocah berumur 6 tahun berjualan rumput….Si Bocah tidak berbapak, emaknya pergi berkerja, di rumah ditinggalkannya dua orang adiknya, laki-laki semua….kami tanyakan apakah dia sudah makan. “Belum”, mereka hanya makan sehari sekali, yaitu di sore hari, saat ibunya pulang dari bekerja, Di siang hari mereka makan kue sagu aren seharga 0,5 sen…. Aku teringat pada makan kami, tiga kali sehari dan terasa begitu aneh, begitu asing di dalam perasaanku…, kami memberinya makan tetapi tidak dimakannya, nasinya dibawa pulang.

“Malulah aku terhadap keangkaraanku, Aku renungi dan pikirkan keadaan sendiri, dan di luar sana begitu banyak derita dan kemelaratan melingkungi kami! Seketika itu juga seakan udara menggetar oleh ratap-tangis, erang dan rintih itu, mendesing dan menderu di kupingku: Kerja! Kerja! Kerja! Perjuangkan kebebasanmu, Baru kemudia kalau kau telah bebaskan dirimu dengan kerja, dapatlah kau menolong yang lain-lain! Kerja! Kerja! Kerja! Aku dengar itu begitu jelas, nampak tertulis di depan mataku….”

(Surat Kartini untuk Ny. Abendanon, 8 April 1902)

Kutipan surat Kartini (1879-1904) tersebut dengan terang menggambarkan bagaimana kemiskinan yang dihadapi oleh rakyat di sekitarnya. Perjumpaan dengan kemelaratan seorang anak miskin penjual rumput merobek kesadarannya yang selama ini hanya bergumul dengan dirinya sendiri, yang mencari jalan pembebasan dari belenggu ruang sempit pingitan bernama feodalisme. Kemiskinan dan penderitaan rakyat di sekitarnya menyalakan semangat Kartini bahwa pembebasan dirinya adalah jalan untuk membebaskan yang lain, rakyatnya yang miskin dan tertindas.

Pada masa Kartini hidup, zaman gelap Tanam paksa, seperti diceritakan oleh Multatuli, yang menyelimuti bangsanya belum benar-benar usai. Pemerasan tenaga manusia untuk kepentingan kolonial memang sudah dianggap Kartini sebagai “masa lalu” yang kelam. Tapi sisa-sisanya dalam bentuk kemiskinan dan penderitaan masih menjadi keseharian bagi rakyatnya. Kartini hidup pada masa transisi, saat tanah Jawa mengalami “kebangkrutan,” setelah dihisap hasil bumi dan tenaga manusianya. Tapi Kartini memang sungguh mengagumkan, dia menyadari bahwa perjuangan bagi dirinya sendiri tidak cukup. Keseluruhan pemikirannya yang kita baca dalam surat-suratnya untuk para sahabat, menunjukkan keberakarannya pada bangsanya yang pada saat itu terkungkung kemiskinan dan kolonialisme. Dalam satu suratnya untuk Ny. N. Van Kol tertanggal 27 April 1902, Kartini menulis :

“Dan apa yang bagus dari bangsa-bangsa lain, sekarang ingin sekali kami berikan kepada bangsa sendiri. Bukan untuk mendesak sifat-sifat sendiri yang bagus dan menggantinya dengan yang asing, melainkan untuk memuliakannya! Turut membantu menaikkan derajat bangsa, meningkatkannya ke arah pandangan tata susila yang lebih tinggi yang dengan demikian sampai pada keadaan masyarakat yang lebih baik dan lebih bahagia, adalah cita-cita kami yang patut dibela seumur hidup! Bagaimana mencapai cita-cita itu? Memulai dengan apa? Semua itu harus dimulai dari permulaan yaitu : Pendidikan!”

Lebih dari seratus tahun telah berlalu sejak kematian Kartini. Zaman gelap itu kembali menyelimuti bangsanya, khususnya kaumnya, kaum perempuan. Pada masanya, kaum perempuan ningrat disandera dalam pingitan dan permaduan, tak boleh keluar rumah dan tak berhak berpendidikan. Sedang kaum perempuan biasa non-ningrat didera kemiskinan, kelaparan adalah keseharian bagi mereka. Kini, kemiskinan mendorong para para perempuan untuk bermigrasi ke luar negeri, kemelaratan telah meruntuhkan rasa takut untuk mengadu nasib, bertaruh nyawa di negeri orang. Sebagian besar mereka bekerja sebagai pekerja rumah tangga, sebagian kecil bekerja di pabrik-pabrik, dan sebagian yang lain diperdagangkan, dipaksa melacur dan menjadi pengantin migran. Kementrian Tenaga Kerja RI mencatat saat ini 3.043.927 orang buruh migrant Indonesia bekerja di luar negeri, 74 % diantaranya adalah perempuan.

Latar belakang kondisi migrasi para perempuan ke luar negeri nampak sedikit mirip dengan kondisi rakyat kebanyakan pada masa Kartini. Selepas Tanam paksa, tanah-tanah garapan yang pada mulanya dikelola dan dimiliki Petani diambil alih oleh partikelir menjadi perusahaan-perusahan besar. Para petani “tidak lagi hidup dari tanah garapannya, juga tidak dari kesetiaannya pada golongan feudal, tidak dari tanggung jawab kampungnya, tidak dari pemerasan, tidak dari perdagangan, tetapi dari menjual tenaganya” (Ananta-Toer, 2003). Kondisi tersebut persis dialami oleh mereka yang tinggal di pedesaan saat ini, para petani kehilangan tanah garapan, jikapun punya sangatlah sedikit, mereka petani gurem yang hasil produksinya selalu lebih kecil dari modal produksi yang dikeluarkan. Sedang di kota-kota lapangan pekerjaan makin menyempit. Pada akhirnya, krisis ekonomi domestik membuat perempuan harus mengambil alih menjadi penopang ekonomi keluarga, meninggalkan kampung halaman dan keluarga, tak ada pilihan lain kecuali bermigrasi menjadi buruh migran.

Migrasi terpaksa (forced migration) yang dilakukan mayoritas kaum perempuan ini mengandung resiko pada dirinya. Karena sejak awal migrasi ini bukan pilihan sukarela (voluntary migration), tidak ada persiapan yang memadai agar migrasi dapat dilakukan dengan aman dan terjamin perlindungan HAM. Labih dari itu, tenaga manusia kini telah menjadi komoditas yang nilai ekonomisnya sangat menjanjikan. Tahun lalu jumlah remiten yang berhasil dihasilkan buruh migran mencapai US$ 6.615.321.274. Remitensi yang dihasilkan oleh para buruh migran mampu menggerakkan ekonomi, meski lebih banyak dalam bentuk konsumsi daripada produksi. Buruh migran yang menjadi salah satu penyangga ekonomi nasional saat ini, sekali lagi mirip dengan kondisi pada masa Kartini, para pekerja perkebunan dan pertambangan adalah penopang utama bagi perusahaan-perusahaan kolonial yang “mencuri” hasil bumi milik bangsa Kartini. Lewat Tanam paksa negeri penjajah berlebih-lebih pendapatan, pada tahun 1877 jumlah kelebihan pendapatan mencapai 800 Juta Gulden. Ketika Tanam paksa berakhir, tenaga manusia masih terus diperas, menjadi penopang hasil produksi perkebunan dan pertambangan.

Setiap tahun jumlah perempuan yang bekerja ke luar negeri semakin meningkat. Cerita kelam tentang penderitaan yang dialami mereka juga meningkat. Sejak fase perekrutan, masa bekerja, hingga kembali ke tanah air, berbagai persoalan muncul dan menjadi keseharian. Rupa-rupa kasus yang dihadapi mulai dari persoalan perburuhan seperti: Gaji tidak dibayar, kecelakaan kerja yang mengakibatkan sakit hingga meninggal dunia, bekerja di luar kontrak yang disepakati, kerja paksa dan tidak mendapatkan waktu istirahat. Dan persoalan pelanggaran HAM seperti: penipuan, kekerasan, pelecehan seksual, pemerkosaan dan penyiksaan. Data berbicara, tahun lalu (2009) Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan TKI (BNP2TKI) mencatat 7.709 kasus yang dialami buruh migran. Sedangkan jumlah yang meninggal dunia lebih dari seribu orang.

Migrasi tenaga kerja ke luar negeri memang menguntungkan banyak pihak, tidak hanya keluarga buruh migran yang menikmati uang kiriman, tapi para calo perekrut, perusahaan pengerah tenaga kerja, perusahaan transportasi, asuransi, imigrasi hingga perbankan, ikut menikmati keringat, darah dan airmata buruh migran. Karenanya, ia menjadi salah satu lahan subur yang terus dipelihara kelestariannya, tanpa peduli apakah persyaratan migrasi yang aman sudah terpenuhi atau belum. Bisnis “penjualan” tenaga kerja ke luar negeri dihidupi dengan menghisap tenaga perempuan. Kenyataan-kenyataan menyakitkan yang harus dihadapi kaum perempuan pekerja migran seperti penyiksaan, pelecehan dan kekerasan seksual, eksploitasi tiada henti menjadi banalitas dalam kehidupan keseharian mereka dan kita. Karena begitu seringnya terjadi, kadangkala kita hanya menganggapnya menjadi peristiwa kriminal biasa.

Kini, cita-cita Kartini yang hendak membawa perempuan keluar dari pingitan feodalisme dan berperan pada urusan publik, mungkin sudah tercapai. Sebagian besar bangsanya sudah terdidik, sebagian perempuan telah menempati posisi-posisi penting dalam pemerintahan. Tetapi itu nyatanya tidak cukup. Setelah kaum perempuan dapat keluar rumah, mengambil peran di ruang publik, mereka siap diterkam oleh belenggu-belenggu lain dalam bentuk baru. Dulu dan kini, kondisi perempuan memang jauh berbeda. Tapi benarkah dalam perbedaan antara dulu dan kini itu terdapat perubahan yang mendasar? Tenaga dan tubuh perempuan adalah komoditas menguntungkan yang menarik perhatian banyak pihak. Tenaga dan tubuh perempuan dengan mudah dimobilisasi dari desa-desa miskin ke pusat-pusat perputaran modal, dari negara-negara bekas penjajahan ke negara-negara kaya. Mengambil peran instrumental di ruang domestik dan di sektor industri hiburan. Kemajuan teknologi dan transportasi mempermudah lalu-lintas tenaga dan tubuh tersebut. Para perempuan dijual serupa barang, dipaksa melacur, menjadi korban perdagangan manusia. Yang lainnya, dipekerjakan dengan upah murah, bahkan tanpa upah, dengan resiko dianiaya dan diperkosa.

Eksploitasi kapitalisme lama pada masa Kartini sungguh sangat vulgar dan telanjang di depan mata. Dari mulai sistem lama Tanam paksa hingga imperialisme modern yang mengeruk habis kekayaan dan sumberdaya manusia bangsa Indonesia. Kini, wajah eksploitasi tak sevulgar dulu, negara dan aparatusnya, bangsa sendiri yang berpendidikan, berperan aktif meliberalisasi migrasi tenaga kerja. Berbagai macam aturan hukum dibuat agar pengerahan tenaga kerja dapat dipermudah. Manusia dengan akal budi, kehendak dan rasa yang dimilikinya diperlakukan serupa benda-benda yang siap dilempar ke pasar mana saja yang meminta. Pada akhirnya, dulu dan kini, derita yang dihadapi rakyat Kartini tak jauh berbeda.

Kartini dikenang sebagai pejuang emansipasi wanita. Menurut saya seharusnya lebih dari itu, karena dia tidak berjuang bagi kaumnya (perempuan) semata, tapi bagi keseluruhan rakyatnya yang kala itu terhina. Cita-cita Kartini adalah pembebasan kaumnya dan bangsanya dari keterbelakangan dan kemiskinan. Cita-cita tersebut harus dilanjutkan. Perjuangan kaum perempuan tak boleh eksklusif bagi dirinya sendiri, tapi harus menjadi bagian dari perjuangan bersama, dengan mereka yang ditindas dan dihinakan. Sebagai penutup, saya kutip potongan surat Kartini suratnya untuk Estella Zeehandelar tertanggal 17 Mei 1902 :


“Harapan saya sekarang hanyalah, mudah-mudahan pengumuman cita-cita kami itu bermanfaat bagi perkara kami dan tidak merusaknya. Maka untuk pertama kali nama saya disebutkan bersama-sama dengan bangsa saya. Dengan bangsa saya itulah selanjutnya nama saya bersatu! Saya bangga Stella, disebut senapas dengan bangsa saya!”


* Penulis adalah Asisten Gugus Kerja Pekerja Migran Komnas Perempuan, sekaligus anggota Forum Belajar Bersama Prakarsa Rakyat dari Simpul Jabodetabek.

** Siapa saja dipersilahkan mengutip, menggandakan, menyebarluaskan sebagian atau seluruh materi yang termuat dalam portal ini selama untuk kajian dan mendukung gerakan rakyat. Untuk keperluan komersial pengguna harus mendapatkan ijin tertulis dari pengelola portal Prakarsa Rakyat. Setiap pengutipan, penggandaan dan penyebarluasan sebagian atau seluruh materi harus mencantumkan sumber (portal Prakarsa Rakyat atau www.prakarsa-rakyat.org).

Oleh : Fredy Wansyah*

Wacana dalam perdebatan antar-partai –misalnya melalui perdebatan kasus Century-, wacana idealisasi hukum, bahkan terakhir wacana terorisme menjadi headline di berbagai media. Metode isu terhangat tidak terlepas dari model “industrialisasi wacana” (marketing-media). Chris Barker menyatakan dalam Cultural Studies, “Menurut model manipulatif, media dipandang sebagai cerminan dari masyarakat yang didominasi oleh kelas dan ideologi disebarkan secara sadar oleh mereka yang memegang kendali alokatif. Ini adalah akibat langsung dari konsentrasi kepemilikan media oleh orang-orang yang merupakan bagian dari kemapanan atau oleh menipulasi pemerintah dan tekanan informal.”

Penyeragaman wacana, tanpa otoritas konsumen dalam memilih, merupakan konsekuensi kapitalisasi informasi. Akibatnya, opini-opini dan paradigma yang dibangun, baik sadar maupun tidak sadar, menjadi seragam. Hal ini dapat terlihat jelas seperti headline-headline di media cetak yang memposisikan suatu wacana yang sama, misalnya terorisme. Bagitu pula dengan keseragaman “berita terkini” yang berskala per jam di media elektronik.

Ada dua landasan utama dalam “menghidupkan” media massa saat ini, yakni kepentingan ideologi dan kepentingan industri. Pada industri informasi, wacana yang dikomodifikasi menjadi komoditi bukan lagi suatu hal yang bertendensi kebutuhan masyarakat, melainkan menarik perhatian pasar. Sementara ideologi, seperti yang dinyatakan Chris Barker yang memandang ideologi dalam televisi, bahwa ideologi adalah hasil dari sikap-sikap dan praktik kerja rutin para staf.

Dalam tatanan ideologi, media massa sangat berperan penting khususnya pada perspektif kekuasaan. Contohnya Venezuela ketika masa-masa kudeta Hugo Chavez yang memperebutkan media massa demi pertarungan idealisasi kekuasaan, selain pada kebenaran yang mengacu ke arah perebutan kekuasaan. Refleksi atas penguasaan atau kapitalisasi arus informasi di Indonesia sudah sepatutnya dilakukan melalui bentuk-bentuk pertanyaan, “Siapakah pemilik perusahaan media A, perusahaan media B, dan seterusnya.”

Misalnya wacana kasus Century –perlahan-lahan wacana ini redup atas wacana terorisme- merepresentasikan berita yang telah menjalin asosiasi dari kelembagaan terkait, lembaga negara (produsen wacana) dengan lembaga industri informasi (produsen berita). Pilihan-pilihan kata dan argumentasi yang dihadirkan kepada masyarakat tidak akan jauh terlepas dari asosiasi tersebut. Sedangkan terorisme, wacana yang cukup meresahkan belakangan ini, diangkat melalui perspektif penguasa (asosiasi) karena berkenaan langsung sebagai obyek pemberitaan.

Secara sadar maupun tidak sadar, berkembangnya wacana terorisme akan menimbulkan dan membekas dalam pikiran masyarakat mengenai ‘teror.’ Dunia teror merupakan salah satu bentuk kekerasan. Sementara teroris dapat digolongkan menjadi dua bagian berdasarkan konteks sasarannya, yakni teror society dan teror negara. Teror society dilakukan masyarakat terhadap suatu kelompok masyarakat itu sendiri. Sedangkan teror negara merupakan teror yang dilakukan kelompok terhadap kenegaraan, yang cenderung mengusik kekuasaan.

Metode idealisasi atau pandangan yang menjadi bentuk ideologi direpresentasikan dalam bentuk kalimat-kalimat perspektif. Artinya, kalimat-kalimat yang disusun sedemikian rupa memposisikan diskriminasi suatu subyek berita. Metode inilah yang merekonstruksi masyarakat sebagai konsumen berita menjadi wacana dan opini, sehingga paradigma yang terbentuk menjadi sesuai bentukan-bentukan yang direpresentasikan dalam kalimat. Bila tidak memahami bentukan kalimat yang merepresentasikan suatu ideologi di dalamnya, akibat utamanya adalah konsumsi berita sesuai “arus berita.”

Lembaga-lembaga produsen berita diharapkan menggunakan kalimat-kalimat (kebahasaan) yang tidak mendiskreditkan suatu lembaga, instrumen, kelompok, ataupun individu. Karena hal ini tidak menyehatkan masyarakat dalam menerima suatu pemberitaan. Atau, pilihan menangani hal ini adalah memunculkan kritik wacana di media massa. Kritik ini bersifat obyektif dan seilmiah mungkin karena hubungannya langsung ke masyarakat. Pelaku kritik, yang dikhususkan mengkritik media massa, harus bersikap independen yang terjaga, tidak menjalin hubungan yang terikat dengan subyek pemberitaan.


* Penulis adalah Mahasiswa Sastra Indonesia Unpad Bandung, sekaligus anggota Forum Belajar Bersama Prakarsa Rakyat dari Simpul Bandung.

** Siapa saja dipersilahkan mengutip, menggandakan, menyebarluaskan sebagian atau seluruh materi yang termuat dalam portal ini selama untuk kajian dan mendukung gerakan rakyat. Untuk keperluan komersial pengguna harus mendapatkan ijin tertulis dari pengelola portal Prakarsa Rakyat. Setiap pengutipan, penggandaan dan penyebarluasan sebagian atau seluruh materi harus mencantumkan sumber (portal Prakarsa Rakyat atau www.prakarsa-rakyat.org).

;;