Cara Dahsyat Mencapai Hasil lebih Banyak dengan Bekerja Lebih Sedikit

DATA BUKU

Judul: Eat That Frog!
Penulis: Brian Tracy
Penerjemah: Dewi Wulansari
Editor: Wendratama
Genre: Pengembangan Diri
Cetakan: I, Juni 2011
Ukuran: 13 x 20 cm (flap 8 cm)
Tebal: 168 cm
ISBN: 978-979-19974-5-4
Harga: Rp. 39.800,-

SINOPSIS

Dalam kiasan Arab, ”waktu ibarat pedang”. Sementara pepatah Inggris menyebut, ”time is money”. Waktu memang sesuatu yang sangat bernilai. Setiap hari, setiap jam, bahkan setiap detik, orang-orang sibuk beraktivitas dan seringkali kewalahan dengan tugas-tugas yang mereka kerjakan. Bahkan, setiap orang acapkali tak cukup waktu untuk menuntaskan pekerjaan yang mereka rencanakan.

Tahukah Anda bahwa orang-orang yang sukses tidak berusaha mengerjakan semuanya. Mereka belajar untuk fokus hanya pada pekerjaan yang paling penting dan memastikan telah mengerjakannya. Kesuksesan dapat diraih dengan mengembangkan kebiasaan yang membuat kita mudah mencapai hasil lebih banyak dengan usaha yang semakin kecil.

Buku ini membantu Anda untuk merencanakan dan mengatur waktu Anda, menetapkan prioritas, mengatasi penundaan dan menjalani pekerjaan lebih banyak dalam waktu lebih singkat. Teknik-teknik yang ada dalam buku ini akan membuat Anda menjadi pribadi yang sangat efisien, efektif, dan produktif. Anda akan dapat berbuat lebih banyak, merasa lebih enjoy dan memegang kendali atas pekerjaan Anda, serta lebih positif dan bahagia dalam hidup dan pekerjaan Anda dibandingkan sebelumnya.


“Saya tidak sengaja menemukan Brian Tracy sepuluh tahun lalu. Dan jujur saja, ia dapat mengubah hidup saya. Saya menjadi Top Seller di perusahaan saya dan sekarang saya mengelola sendiri perusahaan periklanan. Buku iniakan mengubah hidup Anda.” 
—Rd  Bair, Minneapolis

“Brian Tracy telah menulis sebuah buku yang langsung ke pokok masalahdan sangat berisi. Buku yang luar biasa.”
 

—Jack Covert, Presiden dan Pendiri, 800-CEO-READ

“Brian Tracy sangat ahli dalam pengembangan potensi dan pribadimanusia. Ia akan membawa Anda untuk lebih banyak waktu dan sukses.”

 —Business Journal


BIODATA PENULIS

Brian Tracy adalah pembicara, pelatih, dan konsultan profesional, juga pimpinan Brian Tracy International, sebuah perusahaan konsultan dan pelatihan yang berpusat di Solana Beach, California. Dia menjadi juta-wan berkat usahanya sendiri. Brian mendapatkan pelajarannya dengan cara yang berat. Dia tidak lulus SMA dan bekerja sebagai buruh selama beberapa tahun. Dia pernah menjadi pencuci piring, pengumpul kayu, penggali sumur, pekerja pabrik, dan penumpuk ikatan jerami di pertanian dan peternakan kuda. Pada usia 20-an tahun, dia menjadi salesman kemudian mulai menapaki dunia usaha. Tahun demi tahun, dengan mempelajari dan menerapkan setiap ide, metode, dan teknik yang bisa dia dapatkan, dia berhasil merintis karier hingga menjadi chief operating officer sebuah perusahaan pengembang bernilai $265 juta.

Di usia 30-an tahun, dia kuliah di University of Alberta dan meraih gelar sarjana dalam bidang bisnis; setelah itu dia mendapatkan gelar doktor dalam administrasi bisnis dari Andrew Jackson University. Sejalan dengan waktu, dia telah bekerja di 22 perusahaan dan industri yang berbeda. Pada 1981, dia mulai mengajarkan prinsip-prinsip kesuksesannya dalam berbagai ceramah dan seminar di seluruh negeri. Kini, buku, rekaman dan video seminarnya sudah diterjemahkan ke dalam 35 bahasa dan digunakan di 52 negara.

Sejak menjadi pembicara profesional, Brian sudah mengajarkan ide-idenya kepada lebih dari 4 juta orang di 55 negara. Dia menjadi pelatih dan konsultan untuk lebih dari 1.000 perusahaan. Dia hidup dengan mempraktikkan setiap prinsip yang dituangkan dalam buku ini. Dia berhasil melepaskan dirinya dan ribuan orang lain dari keputusasaan dan kegagalan menuju kemakmuran dan kesuksesan. Brian Tracy menyebut dirinya “pembaca berbagai hal”. Dia menganggap dirinya bukan seorang peneliti akademis melainkan penyatu informasi. Setiap tahun dia menghabiskan waktu sekian ratus jam untuk membaca berbagai jenis surat kabar, majalah, buku, dan bahan bacaan lainnya. Selain itu, dia juga menghabiskan waktu berjam-jam untuk mendengarkan rekaman program, menghadiri berbagai seminar, dan menyaksikan banyak video tentang aneka topik yang menarik bagi dirinya. Informasi yang dikumpulkan sedikit-demi-sedikit dari radio, televisi, dan media lain juga menambah dasar pengetahuannya.

Brian menerima ide dan informasi berdasarkan pengalamannya sendiri dan pengalaman orang lain, kemudian menggabungkannya ke dalam pengalamannya sendiri. Dia adalah penulis terkenal dari sekitar 40 buku di antaranya, Maximum Achievement, Advanced Selling Strategies, Focal Point, dan The 100 Absolutely Unbreakable Laws of Business Success. Dia sudah menulis dan memproduksi lebih dari 300 rekaman dan video program belajar yang digunakan di seluruh dunia.

Brian hidup bahagia bersama istri dan keempat anaknya. Dia tinggal di atas sebuah lapangan golf di San Diego. Dia melakukan perjalanan dan memberikan ceramah lebih dari 100 kali setiap tahun serta mengelola bisnis di 17 negara. Dia dianggap sebagai salah satu ahli terkemuka di dunia dalam bidang kesuksesan dan pencapaian.

=============================
PT Pustaka Alvabet (Penerbit)
Jl. SMA 14 No. 10, Cawang, Kramat Jati,
Jakarta Timur, Indonesia 13610
Telp. +62 21 8006458
Fax.  +62 21 8006458
www.alvabet.co.id

Oleh : Fitriyanti*


Setiap warga negara berhak atas pendidikan yang layak. Demikian penggalan kalimat UUD 1945. Negara berkewajiban menjalankan amanat tersebut. Setiap tahun, kita selalu memperingati Hari Pendidikan Nasional yang jatuh pada tanggal 2 Mei. Tanggal yang diambil dari lahirnya sang Bapak Pendidikan kita yaitu, Ki Hajar Dewantara. Namun saat ini semangat pendidikan yang bertujuan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, masih jauh panggang dari api. Ada apa dengan pendidikan di Indonesia?

Kebutuhan memperoleh pendidikan merupakan suatu kebutuhan dasar. Mulai dari sejak usia dini, anak sudah diperkenalkan pada dunia pendidikan. Banyak lembaga-lembaga pendidikan yang menawarkan keunggulan dalam proses mendidik, seperti metode cepat dalam melakukan penghitungan matematika. Namun memang tidak semua lapisan masyarakat, mampu untuk menjangkaunya. Bagi sebagian orang tua, dengan menyekolahkan anaknya di sekolah saja sudah cukup untuk mendapatkan pendidikan.

Menjamurnya peran lembaga pendidikan di luar sekolah, seperti pusat-pusat bimbingan belajar telah menyeret dunia pendidikan ke dalam dunia bisnis. Biaya yang ditawarkan pun bersaing. Berdasarkan fakta tersebut, muncullah suatu keresahan dan pertanyaan besar, apakah peran dari lembaga pendidikan formal (sekolah), sudah tidak mampu lagi untuk memberikan pelayanan pendidikan yang berkualitas terhadap anak didiknya?

Bagi masyarakat tingkat ekonomi menengah ke bawah, untuk mendapatkan akses pendidikan formal atau sekolah memerlukan perjuangan yang besar. Harapan untuk mendapatkan pengajaran dan pendidikan sangatlah besar. Mereka mempunyai cita-cita agar anak-anak mereka mampu mempunyai kehidupan yang lebih layak. Bersekolah adalah salah satu upaya untuk meningkatkan martabat dan mengatasi kebodohan.

Namun pada kenyataannya, pendidikan di Indonesia belum mampu menjawab masalah yang dihadapi oleh bangsa, yaitu kebodohan dan kemiskinan. Dapat dilihat dengan jelas bahwa ada sebuah keberagaman kemampuan. Keberagaman tersebut adalah terkait dengan latar belakang ekonomi, kondisi keluarga, daya serap, dan lain sebagainya. Faktor lain yang mempengaruhi juga adalah fasilitas tempat mereka belajar. Akses mereka mendapatkan akses informasi, teknologi, serta kemampuan metodologis guru-guru. Sungguh hal ini tidak dapat disamaratakan, dan belum saatnya pemerintah untuk menerapkan standarisasi pendidikan yang hanya berorientasi pada nilai kelulusan.


Masalah Pendidikan di Indonesia

Selain pendidikan sudah dijadikan lahan bisnis, dalam sistem pendidikan di Indonesia menerapkan ujian nasional yang dijadikan sebagai standar kelulusan. Hal ini didukung oleh hasil kajian Universitas Negeri Yogyakarta (2004) dan Lembaga Studi Pembangunan Indonesia (2005) yang berpendapat bahwa ujian yang distandarkan dapat memicu siswa untuk giat belajar, guru lebih giat mengajar, dan orang tua lebih memperhatikan proses belajar anak (Kompas, 4 Februari 2008).

Pendapat pemerintah yang menyatakan bahwa ujian nasional mampu mendorong guru dan siswa lebih giat untuk mencapai prestasi tidak bisa diterima begitu saja. Berdasarkan hasil studi yang dilakukan Sharon L. Nicols, Gene V. Glass, dan David C. Berliner terhadap data tes NAEP (The National Assessment of Educational Progress) di 25 negara bagian di Amerika Serikat (Techniques, 2006) justru menyangkal premis tersebut, sebab hasil studi tersebut tidak menemukan bukti kuat yang menunjukkan bahwa tekanan ujian yang dipakai untuk mengukur keberhasilan siswa dan sekolah benar-benar meningkatkan prestasi belajar siswa. Artinya, ujian nasional bukanlah faktor penting yang secara signifikan mampu mendorong siswa untuk berprestasi.

Model ujian nasional seperti ini seharusnya bukan dijadikan sebagai tolak ukur untuk menentukan kelulusan. Namun lebih tepatnya digunakan untuk mengevaluasi hasil belajar. Kelas yang semestinya menjadi ajang pencerdasan dan menjadi tempat untuk mengasah kemampuan berpikir, berubah menjadi tempat pelatihan latihan soal tes.

Jika pemerintah masih saja melakukan teror terhadap siswa sekolah, maka akan timbul beberapa efek yang dialami oleh siswa, di antaranya adalah siswa akan lebih banyak berorientasi kepada nilai. Ilmu menjadi hal yang tidak penting bagi mereka. Yang dalam benak mereka kemudian timbul pemikiran bagaimana caranya untuk mengerjakan soal ujian dengan benar dan tepat disertai waktu yang singkat. Tekanan psikologis menjelang ujian nasional yang menyebabkan naiknya tingkat stres siswa, karena mereka dituntut untuk lulus dalam ujian. JIka mereka tidak lulus, maka konsekuensi yang harus ditanggung adalah harus mengulang. Efek lainnya adalah timbul ketidakpercayaan masyarakat terhadap sistem pendidikan di Indonesia. Orang akan lebih menyukai untuk mencari uang daripada mengejar kelulusan.


Bagaimana Seharusnya Pendidikan di Indonesia

Dalam peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2007 tentang tentang Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Pendidik, dijelaskan bahwa Standar Kompetensi Pendidik dikembangkan secara utuh dari 4 kompetensi utama, yaitu: (1) kompetensi pedagogik, (2) kepribadian, (3) sosial, dan (4) profesional. Jika kompetensi tersebut ada pada pendidik maka tujuan pendidikan nasional untuk mencerdaskan kehidupan bangsa akan tercapai.

Namun, pada saat ini masih banyak dijumpai berbagai perlombaan yang lebih mengarah pada persaingan. Contohnya olimpiade dan kompetisi. Kemampuan seperti ini lebih condong untuk mengejar kepandaian dan berorientasi pada akal pikiran. Siswa akan menjadi mudah emosi dan temperamental. Hal ini dipengaruhi oleh tekanan untuk dapat segera memahami isi materi pelajaran, yang kemudian akhirnya timbul keluhan dan depresi. Sedangkan kecerdasan berorientasi tidak hanya kepada akal pikran saja namun juga rasa atau jiwanya. Kemampuan emosinya akan berkembang, serta mempunyai kepekaan sosial terhadap lingkungan sekitar.

Dalam merumuskan sebuah pendidikan, harus diperhatikan beberapa hal berikut ini yaitu learning to know, learning to do, learning to live together, dan learning to be. Keempat hal tersebut wajib diterapkan dalam praktik-praktik pendidikan dengan tujuan memberikan siswa ruang untuk berkembang, mandiri, kreatif dan dapat membentuk karakter.

Pendidikan di Indonesia haruslah mampu menghasilkan anak-anak dan remaja yang utuh dan seimbang dalam hal intelektual dan moralitas. Hal ini hanya dapat dilakukan oleh masing-masing sekolah. Karena sekolah tersebut yang mengetahui latar belakang siswa. Yang berhak untuk menyelenggarakan ujian bagi siswa adalah sekolah itu sendiri. Sekolah tahu kemampuan siswa-siswinya dalam kemampuan intelektual. Penyelenggara ujian nasional tidak pernah berinteraksi dengan siswa. Oleh karena itu tidak berhak untuk menguji dan menentukan kelulusan.

Pemerintah juga harus memperhatikan kualitas pendidikan yang ilmiah dan terjangkau bagi rakyat. Menjadi penting dikembangkan nilai-nilai moral, budaya, etika, sains, kapasitas emosional dan psikologis dalam menentukan kurikulum pendidikan. Dengan menciptakan pendidikan yang berkualitas berarti telah ikut serta dalam membangun bangsa dan mendekatkan pada cita-cita negara yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa.


* Penulis adalah aktivis perempuan di Karawang, sekaligus Anggota Forum Belajar Bersama Prakarsa Rakyat dari Simpul Jabodetabek.

** Siapa saja dipersilahkan mengutip, menggandakan, menyebarluaskan sebagian atau seluruh materi yang termuat dalam portal ini selama untuk kajian dan mendukung gerakan rakyat. Untuk keperluan komersial pengguna harus mendapatkan ijin tertulis dari pengelola portal Prakarsa Rakyat. Setiap pengutipan, penggandaan dan penyebarluasan sebagian atau seluruh materi harus mencantumkan sumber (portal Prakarsa Rakyat atau www.prakarsa-rakyat.org).

Membedah Konsep Negara Islam


Oleh: Ali Rif'an
Judul: Chiefdom Madinah: Salah Paham Negara Islam
Penulis: Dr Abdul Aziz MA
Pengantar: Prof Dr M Bambang Pranowo, Prof Dr Achmad Mubarok MA
Penerbit: Alvabet, Jakarta
Tahun: I, Maret 2011
Tebal: xxiv + 398 Halaman

Baru-baru ini, publik Indonesia kembali diguncang dengan kabar pengrekrutan anggota Negara Islam Indonesia (NII) di Malang,  Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, dan Jakarta. Fenomena ini sontak memunculkan keresahan banyak kalangan sekaligus menimbulkan satu pertanyaan mendasar: apa sebenarnya motif mereka?

Ada dua alasan yang sering diberitakan media. Pertama, mereka menganggap sistem pemerintahan Indonesia sudah tidak layak pakai karena tidak mampu menjawab persoalan kebangsaan, seperti kemiskinan dan kesejahteraan. Kedua, sebagai negara berpenduduk mayoritas muslim terbesar di dunia, sudah seharusnya Indonesia memakai konsep negara Islam. Bagi mereka, Islam mempunyai konsep sendiri dalam dunia politik yang sangat "ideal" dan pernah dilakukan oleh Rasulallah SAW.

Karena itu, selain NII, di Indonesia, tiga gerakan resmi yang menginginkan berdirinya negara Islam adalah Hizbu Tahrir Indonesia (HTI), Komite Persiapan Pembentukan Syariat Islam (KPPSI), Majelis Mujahidin Indonesia (MMI). Padahal, secara konseptual, banyak kalangan yang salah paham tentang negara Islam. Konsep khilafah yang pernah dianut umat Islam sepeninggal nabi Muhammad SAW sebetulnya sama dengan kesultanan. Keduanya merupakan bentuk monarki dalam sistem pemerintahan.

Konsep negara Islam, menurut pemikiran ulama klasik semisal Ibnu Abi Rabi' dan Al-Maward adalah konsep kenegaraan yang berbasis monarki seperti khilafah dan kesultanan. Sedangkan bagi intelektual kontemporer Jamaluddin Al-Afghani dan Rashid Rido', konsep kenegaraan adalah konsep negara-bangsa (nation-states).

Berpijak pada pemikiran Al-Afghani dan Rashid Rido', pada masa pemerintahan Rasulullah belum bisa dinyatakan sebagai negara. Sebab, semua sistem pemerintahan dan kepemimpinan masih bertumpu pada Muhammad SAW. Jika zaman Rasulullah disebut-sebut zaman ideal daulah islamiah oleh kelompok Hizbut Tahrir, sebetulnya ketika itu masih proses institusionalisasi kepemimpinan.

Buku berjudul Chiefdom Madinah: Salah Paham Negara Islam besutan Dr Abdul Aziz MA ini ingin membedah bagaimana sebenarnya konsep negara Islam. Sebab, sebagian pemikir dan aktivis politik Islam meyakini bahwa pengorganisasian masyarakat Muslim Arab di Madinah pada masa Rasulullah dan Khulafaur Rasyidin merupakan wujud Negara Islam. Keyakinan ini tampaknya lebih didasarkan pada pemahaman normatif-ideologis atas sejarah Islam awal. Alhasil, Negara Islam ditempatkan pada posisi yang sakral, bahkan dianggap tipe ideal (ideal type) bentuk negara yang wajib dibangun kembali oleh umat Islam dewasa ini.

Karena itu, menurut Abdul Aziz, kesahihan pemahaman di atas perlu diuji kembali. Sebab, jika di jazirah Arab namanya khilafah, di kawasan lain, seperti Turki dan India saat itu namanya kesultanan. Pasalnya, ulama Islam mencari rujukan pembentukan negara melalui berbagai ijtihad karena meninggalnya Rasulullah mewariskan organisasi umat yang terdiri atas berbagai ras dan suku.

Buku ini diracik dengan menggunakan pendekatan dan metode interpretasi historis-sosiologis. Penulis mampu secara apik menyuguhkan pandangan-pandangan baru sekaligus memaparkan secara proporsional kontribusi Islam bagi pembentukan negara (state formation) pada masa-masa awal. Terdapat tiga pandangan yang menjadi titik kisar dalam kajian buku ini.

Pertama, pandangan yang mewajibkan pendirian negara Islam yang tunduk pada syariat Islam. Jika diruntut, ideologisasi negara Islam berawal dari krisis legitimasi menyangkut kekuasaan imamah (pemimpin) dan kesatuan ummah (rakyat). Sebagai respons terhadap situasi ini, Ibnu Taimiyah tampil sebagai pemikir muslim yang pertama kali menjadikan penegakan syariat Islam sebagai fokus pembahasan fikih politik. Ibnu Taymiyah memandang perlu untuk merumuskan syariat Islam yang murni (hlm. 148).

Kedua, pandangan sekuler dengan memisahkan negara dan agama. Di Timur Tengah, pandangan ini dimotori oleh ulama-ulama kontemporer semisal Jamaluddin Al-Afghani dan Rashid Rido', sementara di Indonesia, tokoh yang santer menyuarakan pandangan ini adalah almarhum Cak Nur (Nurcholish Madjid). Pandangan Cak Nur ini tersirat dalam slogan kontroversialnya,"Islam Yes, Partai Islam No".

Ketiga, pandangan akan internalisasi nilai-nilai Islam dalam bernegara dengan konsep kombinasi nilai-nilai Islam dalam praktek bernegara tanpa menyematkan negara Islam atau negara sekuler. Dalam konteks ini, Islam dan tradisi kultur serta konteks kebangsaan sama-sama berperan. Kesemuanya bisa mengentaskan masyarakat yang semula tak bernegara (stateless) menuju masyarakat dengan sebentuk pranata kekuasaan terpusat, disebut dengan chiefdom.

Di sini, bisa dipahami bahwa dalam proses bernegara sangatlah penting  mengembangkan demokrasi politik dengan landasan nilai-nilai Islam tanpa harus menggaung dengan konsep negara Islam. Sebab, Islam akan tampil pada isinya, bukan kulitnya. Indonesia, dengan konsep Pancasila, sebanarnya sudah mengandung nilai-nila keislaman yang justru sangat substansial dan egaliter.

Buku ini pada awalnya merupakan disertasi doktor Dr Abdul Aziz MA di UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta taun 2010. Melali buku ini, penulis mencoba menguak asal usul munculnya apa yang disebut daulah islamiyah itu. Ditulis berdasarkan data sejarah dan realitas sosial, buku ini seolah mampu merekonstruksi secara halus dengan format teoritik tentang pertautan antara Islam dan pembentukan negara.

Karena itu, sebagaimana dikatakan Prof Dr Komaruddin Hidayat, Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, buku ini sangat kaya dengan inspirasi, aspirasi, dan nilai-nilai bagi pembentukan negara modern.

Peresensi adalah Ali Rif'an, Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta; Aktif di Pusat Studi Lintas Agama Piramida Circle Jakarta.

Terbit di Harian Umum Jawa Pos,Minggu, 1 Mei 2011

Koleksi buku ini tersedia Perpustakaan the Wahid Institute

http://www.wahidinstitute.org/Resensi/Email_page?id=62/hl=id/Membedah_Konsep_Negara_Islam
=============================
PT. Pustaka Alvabet (Penerbit)
Jl. SMA 14 No. 10, Cawang, Kramat Jati,
Jakarta Timur, Indonesia 13610
Telp. +62 21 8006458
Fax.  +62 21 8006458
www.alvabet.co.id

Oleh: M. Ananto Setiawan*


“Tubuh perempuan itu terbaring kaku membiru, dihancurkan oleh sebuah rezim yang takut akan hadirnya kekuatan-kekuatan baru yang dapat menghacurkan tirani yang telah mereka bangun dan akan mengancam kekuasaan mereka. Namun jiwanya tak dapat mereka hancurkan, ruhnya masih terus mengalir di dalam hati dan denyut nadi perlawanan kaum buruh dan rakyat Indonesia menentang ketidakadilan!”

Seperti kebanyakan gadis kecil lainnya, siang itu Marsinah membantu bibinya memasak di dapur seusai pulang dari sekolah. Dan ketika matahari sudah berada tepat di atas kepala, iapun bergegas mengantarkan makanan itu untuk pamannya di sawah. “Dia sering mengirim bontotan ke sawah untuk saya. Kalau panas atau hujan, biasanya anak itu memakai payung dari pelepah pisang,” tutur Suradji, paman Marsinah. Memang sejak kecil Marsinah diasuh oleh nenek dan bibinya, ibu Marsinah sendiri telah meninggal pada saat ia berusia 3 tahun.

Kebiasaan bersahajapun lahir dari seorang Marsinah kecil, tak jarang di tengah waktu luangnya ia berjualan makanan untuk sekedar mendapatkan uang jajan.

Beranjak dewasa, Marsinah mulai mencoba untuk mandiri dengan mondok di kota Nganjuk. Ia melanjutkan pendidikannya di SMA Muhammadyah ketika itu. Di sana ia dikenal sebagai salah seorang siswi yang cerdas, bahkan kerap mengukir prestasi.

Semangat belajarnya yang tinggi serta hobinya membaca telah menghantarkan ia mendapatkan peringkat juara kelas. Banyak guru dan teman-teman sekolahnya, masih mengingat betul sosok seorang Marsinah muda yang rajin dan bersahaja itu. Di mata mereka kala itu, Marsinah muda bukan saja sosok seorang siswi yang cerdas dan berprestasi, namun juga kesetiakawanannya terhadap beberapa teman membuat ia tak mudah untuk dilupakan. Semenjak SMA, Marsinah bercita-cita melanjutkan pendidikan untuk menjadi seorang sarjana hukum.

Namun kenyataan berkata lain, garis kemiskinan yang luar biasa telah menyeret Marsinah muda dan cita-citanya ke dalam kantong-kantong penghisapan kala itu. Selepas lulus SMA, Marsinah tidak bisa langsung melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi untuk menggapai cita-citanya. Ia dipaksa berserah pada kemiskinan dan biaya pendidikan yang sangatlah mahal bagi seorang Marsinah. Namun bagi seorang Marsinah dan semangat belajarnya yang tinggi itu bukanlah hal teramat berat baginya, kini ia memutuskan untuk mulai mencari pekerjaan agar dapat melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi seperti yang ia cita-citakan.

Inilah babak baru kehidupan seorang Marsinah, kini ia bersentuhan langsung dengan kerasnya kehidupan di tengah-tengah deru mesin industri. Puluhan kilometer ia berjalan meninggalkan desanya, membawa sebuah harapan akan kehidupan yang lebih baik. Keputusan untuk meninggalkan desanya itu bukanlah tanpa alasan, mengingat kesempatan kerja yang sangat sempit di desanya.

Di tempat asalnya, Nganjuk, sebagian besar mata pencaharian penduduknya adalah bertani. Namun kini ditambah perkembangan teknologi yang semakin pesat, sudah barang tentu ikut mengurangi kebutuhan akan tenaga kerjanya. Peluh-peluh keringat itu kini telah berganti rupa menjadi traktor-traktor dan alat-alat yang lebih efesien. Buruh tanipun telah semakin tersingkirkan, dan dipaksa pindah beratus-ratus kilometer untuk dapat menyambung hidupnya.

Langkah Marsinah kini terhenti di depan sebuah meja personalia pabrik sepatu di Surabaya dan memulai kehidupannya sebagai seorang buruh perempuan di pabrik tersebut. Seperti halnya perempuan-perempuan desa yang lain, yang juga terpaksa turun ke kantong-kantong industri karena kemiskinan yang semakin menggerus kehidupannya di desa.

Setidaknya, inilah harapan mereka satu-satunya agar dapat bertahan hidup dan membantu menggerakkan roda perekonomian keluarganya. Hingga setahun berlalu, akhirnya ia memutuskan untuk pindah ke pabrik arloji Empat Putra Surya di Rungkut Industri, sebelum akhirnya ia pindah mengikuti perusahaan tersebut yang membuka cabang di Siring, Porong, Sidoarjo. Saat itulah Marsinah akhirnya bertemu dengan keadilan yang nampaknya jauh dari mereka kaum-kaum buruh dan rakyat miskin.

Kegetiran hidup nyatanya tidaklah membuat api semangat Marsinah menjadi padam. Di tengah perjuangannya untuk bertahan hidup, Marsinah masih menyisakan sedikit harapannya untuk melanjutkan pendidikan. Cita-citanya untuk menjadi seorang sarjana hukum tak bisa terbendung oleh kerasnya kehidupan di tengah mesin-mesin industri. Hal inilah yang membuat seorang Marsinah dengan tekad dan keberaniannya berusaha keras untuk menuntut hak atas upah dan keadilan baginya juga rekan-rekannya sesama buruh di tempat ia bekerja. Hingga akhirnya keberanian dan tekadnya tersebutlah yang menghantarkan Marsinah ke dalam perjuangan, yang ternyata belum juga berakhir hingga hari ini.

Keberhasilan Marsinah mengorganisir rekan-rekannya sesama buruh di tempat ia bekerja untuk menuntut upah layak sebagaimana yang ditetapkan oleh gubernur kala itu, telah menghantarkan Marsinah ke depan moncong-moncong senjata represif militer Orde Baru. Memang seperti itulah kenyataannya waktu itu. Buruh hanya dianggap sebagai sapi-sapi perahan yang dapat diperas tenaganya dengan harga yang murah. Tak ada keadilan bagi para buruh, merekapun dilarang membentuk serikat-serikat untuk memperjuangkan hak mereka.

Aparatus negara yang seharusnya membela kepentingan rakyatnya hanya mau berpihak kepada mereka-mereka para pemilik modal. Dengan siap sedia mereka memberangus hak-hak buruh dan rakyat demi kepentingan mereka sendiri. Bila ada buruh yang berani membentuk serikat atau melakukan aksi protes terhadap kebijakan perusahaannya, tak pelak mereka dicap sebagai PKI atau bahkan mendapatkan perlakuan yang tak manusiawi oleh pihak keamanan, TNI dan Polisi.

Lagi-lagi hal tersebut tak mampu menyurutkan semangat Marsinah untuk merebut kembali haknya, hingga ia bersama rekan-rekanya melakukan aksi unjuk rasa pada tanggal 4-5 Mei 1993. Mereka mengajukan 12 tuntutan terhadap manajemen PT. CPS tempat ia bekerja. Seluruh buruh ikut berunjuk rasa waktu itu, tak ketinggalan para pihak keamanan yang mengibas-ngibaskan tongkat pemukulnya dan merobek poster-poster dan spanduk para pengunjuk rasa sambil meneriaki mereka sebagai PKI.

Sebuah stigmatisasi yang dilahirkan oleh sebuah rezim yang fobia terhadap komunis, karena takut akan timbulnya kekuatan-kekuatan baru yang dapat menghancurkan tirani yang mereka bangun dan mengancam kekuasaan mereka. Tak pelak semua hal yang bertentangan dengan kepentingan penguasa dianggap sebagai kegiatan subversif dan dicap PKI. Tentunya hal tersebut tak ada hubungannya sama sekali dengan apa yang dilakukan oleh Marsinah dan kawan-kawannya yang menuntut hak mereka.

Namun perjuangan Marsinah dan kawan-kawannya untuk menuntut hak mereka tak cukup berhenti sampai di situ. Pada keesokan harinya tanggal 5 Mei 1993, 13 orang buruh dipanggil Kodim Siduarjo terkait aksi unjuk rasa yang mereka lakukan kemarin. Di sana ke-13 buruh tersebut diintimidasi dan mendapatkan perlakuan yang tidak manusiawi oleh pihak tentara, dan dipaksa menandatangani surat Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).

Sangatlah tidak masuk akal, melihat bagaimana pemutusan hubungan kerja tersebut justru dilakukan di Kodim Sidoarjo. Pertanyaan besarpun terlontarkan, apa hak tentara untuk memaksa mereka melakukan pemutusan hubungan kerja tersebut? Apakah hal tersebut sudah sesuai dengan aturan hukum yang berlaku di negeri ini?

Mendengar hal tersebut, Marsinah memutuskan mendatangi sendiri Kodim Sidoarjo untuk menanyakan hal tersebut. Sampai akhirnya pada tanggal 9 Mei 1993, Marsinah ditemukan tewas di sebuah gubuk tua di hutan Dusun Jegong, Kecamatan Wilangun, Nganjuk, dengan tanda-tanda bekas penyiksaan berat. Di sekujur tubuhnya penuh luka memar bekas pukulan benda keras. Kedua pergelangannya lecet-lecet, mungkin karena diseret dalam keadaan terikat.

Pada perutnya terdapat luka bekas tusukan benda runcing sedalam 20 sentimeter. Tulang panggulnya hancur karena pukulan benda keras berkali-kali. Selain itu, selaput daranya robek, dan tulang kelamin bagian depannya hancur. Ia diduga tewas sehari sebelumnya. Marsinah telah dihancurkan oleh mesin represif Orde Baru yang takut kehilangan hegemoni kekuasaanya.

Sebuah kenyataan yang miris, melihat seorang buruh perempuan yang dengan begitu bengis dibunuh oleh sebuah ketakutan rezim pengecut yang berkuasa kala itu. Berbagai dagelan barupun digulirkan untuk menutupi apa yang sebenarnya terjadi pada Marsinah sesaat sebelum ia ditemukan tewas, mulai dari alibi perkosaan hingga konspirasi peradilan maha dahsyat ala militer Orde Baru ikut dimainkan.

Peradilan sesat digelar di Pengadilan Negeri Sidoarjo mengarahkan dugaan bahwa tewasnya Marsinah diakibatkan oleh pemerkosaan dan dimasukkan dalam tindak kriminal umum. Hal ini tentunya dimaksudkan untuk menutup-nutupi tentang siapa dan mengapa pembunuh Marsinah sebenarnya. Namun bukti-bukti forensik menunjukan hal yang lain, desakan dari para aktivis LSM, mahasiswa, dan buruh akhirnya berhasil menunjukkan adanya rekayasa dalam kasus terbunuhnya Marsinah.

Kali ini konspirasi peradilan ala militer Orde Baru ikut dimainkan. Beberapa orang petinggi PT. CPS dengan paksa dan tanpa prosedur resmi diangkut menuju Kodam V Brawijaya. Di sana mereka mengalami intimidasi dan siksaan fisik maupun mental. Satu per satu petinggi PT.CPS tersebutpun diinterogasi dan dipaksa mengakui telah membuat skenario dan menggelar rapat untuk membunuh Marsinah. Hingga 18 hari kemudian, akhirnya diketahui mereka sudah mendekam di tahanan Polda Jatim dengan tuduhan terlibat pembunuhan Marsinah.

Sangat terlihat adanya rekayasa oknum aparat Kodim untuk mencari kambing hitam pembunuhan Marsinah. Pada proses peradilan mereka dinyatakan bersalah, namun akhirnya dibebaskan kembali melalui Kasasi oleh Mahkamah Agung RI. Putusan tersebut setidaknya telah menimbulkan ketidakpuasan sejumlah pihak sehingga muncul tuduhan bahwa penyelidikan kasus ini adalah direkayasa.

Hingga hari ini tidak pernah terungkap siapa sebenarnya pembunuh Marsinah dan atas alasan apa Marsinah dibunuh. Tak satu orangpun mampu diseret ke pengadilan yang penuh dengan mafia dan rekayasa itu. Keadilan di negeri ini nampaknya telah ditenggelamkam ke dalam lautan kekuasaan beserta para korban-korbannya. Meskipun begitu, kita dan seluruh rakyat Indonesia pastinya sudah tahu mengapa dan siapa pembunuh Marsinah itu. Merekalah yang membunuh Marsinah, mereka para pemilik kekuasaan beserta aparatus-aparatus negaranyalah yang telah membunuh seorang Marsinah. Ketakutan akan kekuatan yang mampu merobohkan tirani yang telah mereka bangun, telah menyebabkan dengan bengisnya mereka menghancurkan seorang buruh perempuan yang mencoba menuntut hak-haknya.

Mungkin Marsinah telah tewas dalam perjuangannya, namun Marsinah-Marsinah baru akan terus lahir di negeri ini, manakala ketidak-adilan dan kesewenang-wenangan masih terus berkecamuk dan menggilas buruh dan rakyat Indonesia. Perjuangan Marsinah belumlah berakhir, ruhnya akan terus mengalir di dalam hati dan setiap denyut nadi perjuangan kaum buruh dan rakyat Indonesia menentang ketidakadilan. Karena di negeri ini keadilan bagi buruh masih jauh dari tempatnya, keadaan buruh masihlah sangat memprihatinkan. Ditambah dengan kebijakan para elite penguasa yang kesemuanya menguntungkan kepentingan pengusaha dan tidak berpihak kepada buruh. Tidak adanya jaminan sosial, sistem kerja kontrak, perampasan upah melalui outsourcing, tidak adanya perlindungan bagi kaum buruh, hingga PHK besar-besaran masih terus menghantui kehidupan buruh di Indonesia.

Kemiskinan yang semakin merajalela, fasilitas kesehatan yang semakin mahal, pendidikan yang telah dikomersialisasikan, hingga kesejahteraan yang semakin jauh terasa bagi rakyat Indonesia adalah buah dari rezim neoliberal yang berkuasa hari ini. Bangsa Indonesia sedang menuju ambang kehancurannya. Runtuhnya rezim otoritarian Orde Baru tak serta-merta membawa perubahan bagi rakyat Indonesia, yang terjadi hari ini hanya pembaruan wajah otoritarianisme di dalam basis klaim politik baru, reformasi. Sifat-sifat kerakusan dan ketamakannya masih terlihat jelas hingga hari, dan juga keadilan masih jauh terasa bagi rakyat Indonesia.

Kita telah menjadi saksi ketidakadilan telah melahap rakyat-rakyat kecil. Keberanian seorang buruh perempuan bernama Marsinah untuk menuntut hak-haknya dan memperjuangkan nasib kawan-kawannya telah membuka mata kita, bahwa keadilan di negeri ini bukan untuk dipinta atau dituntut, tapi harus direbut kembali dari tangan-tangan mereka yang telah merampasnya dari kita. Perjuangan panjang itupun sudah dimulai oleh Marsinah, dan kitalah yang harus terus melanjutkannya. Singkirkanlah segala perbedaan kepercayaan, agama, perspektif maupun ideologi. Seperti yang pernah dikatakan Marsinah, “Buruh belum mendapatkan keadilan sejati dari pemerintah. Buruh harus menyatukan kekuatannya. Buruh harus bersatu, buang kepentingan individu, dan kedepankan kepentingan buruh dan rakyat.”


* Penulis tergabung dalam Sahabat Munir, sekaligus Anggota Forum Belajar Bersama Prakarsa Rakyat dari Simpul jabodetabek.

** Siapa saja dipersilahkan mengutip, menggandakan, menyebarluaskan sebagian atau seluruh materi yang termuat dalam portal ini selama untuk kajian dan mendukung gerakan rakyat. Untuk keperluan komersial pengguna harus mendapatkan ijin tertulis dari pengelola portal Prakarsa Rakyat. Setiap pengutipan, penggandaan dan penyebarluasan sebagian atau seluruh materi harus mencantumkan sumber (portal Prakarsa Rakyat atau www.prakarsa-rakyat.org).

DATA BUKU:

Judul: Taman Api: Novel
Penulis: Yonathan Rahardjo
Penerjemah: -
Editor: Errena Ike Hendraini
Genre: Novel
Cetakan: I, Mei 2011
Ukuran: 13 x 20 cm
Tebal: 216 cm
ISBN: 978-602-9193-01-5
Harga: Rp. 42.500,-

SINOPSIS:

Kaum waria mendapat stigma negatif nyaris di semua lingkungan masyarakat. Anggapan sebagai patologi sosial, perusak moral, pencemar kesehatan, dan menyalahi kodrat Tuhan membuat kaum waria terpinggirkan dan terisolasi. Walhasil, kehidupan mereka pun tak banyak diketahui khalayak.
Taman Api menggambarkan sisi-sisi tersembunyi kehidupan waria yang demikian kompleks. Dengan pendekatan kritis, novel ini tak hanya menyuguhkan “abnormalitas” kehidupan waria dari beragam segi, tapi juga menguak praktik-praktik picik dan ilegal yang menempatkan kaum waria sebagai obyek penderita: misi rahasia berkedok agama untuk melenyapkan waria melalui bisnis gelap bedah kelamin berikut segenap teknologi turutannya. Bagaimanakah praktik picik itu berlangsung dan siapakah pihak-pihak yang terlibat di dalamnya?
Dengan gaya penulisan yang khas dipadu pendekatan investigatif dan konspiratif, rahasia-rahasia yang menyembul dari novel ini ihwal sisi-sisi kabur kehidupan waria dengan segudang problematikanya akan membuat Anda terperangah tiada terkira.

ENDORSEMENT:

“Novel ini penting untuk membongkar berbagai kemungkinan sisi patologis dari bentuk-bentuk kesalehan religius yang kerap naif, munafik dan berbahaya.”
—Prof. Dr. I. Bambang Sugiharto, Guru Besar Filsafat Universitas Parahyangan

“Dengan gaya filmis-jurnalistik, Yonathan ... berhasil mengguncang kenyamanan pastoral pembaca, dengan menyuguhkan detail peristiwa operasi kelamin sebagai kekayaan sekaligus keunikan novel ini. Selamat!”
—Arie MP Tamba, Redaktur Budaya Jurnal Nasional

“Taman Api bisa menjadi pintu masuk untuk membuka 'Kotak Pandora' kisi-kisi hidup yang sering tertutup oleh tabir etika dan moral.”
—Edy A. Effendi, Penyair dan Jurnalis

“Novel ini mengangkat persoalan yang jarang disentuh dalam sastra Indonesia, yakni tentang dunia waria dan kaum dokter urban dengan segala konfliknya yang dikaitkan dengan fenomena pemaksaan klaim kebenaran oleh kelompok tertentu dengan menistakan kelompok lain. Percobaan yang berani dan sangat menarik.”
—Anton Kurnia
Juri Sayembara Novel Dewan Kesenian Jakarta 2010

“Kisah waria dengan berbagai problem sosialnya lebih sering dijadikan lelucon, jarang yang mengisahkan bagaimana sesungguhnya ’ketegangan’ perubahan orientasi seksual serta ’ketegangan’ perubahan tubuh dan fungsinya. Dalam novel ini, Yonathan menyuguhkan sebuah kisah yang mewakili keingintahuan publik tentang apa yang ada di balik kehidupan mereka....”
—Cok Sawitri
Pemenang Anugerah Dharmawangsa 2010 untuk Prosa

“Novel yang patut disimak. Perpaduan problematika sosial dan kesehatan seperti HIV/AIDS dan kelainan genetik, diramu secara menarik dengan pendekatan seni dan ilmiah. Kritis sekaligus bermanfaat memberikan pendidikan bagi masyarakat.”
—Dr. Hari Basuki Notobroto, dr., M.Kes.
Departemen Biostatistika dan Kependudukan FKM Universitas Airlangga

BIODATA PENULIS:

Yonathan Rahardjo, lahir di Bojonegoro, adalah pengarang novel Lanang (2008), salah satu Pemenang Sayembara Novel Dewan Kesenian Jakarta 2006. Ia merupakan satu dari 15 penulis Indonesia yang terpilih mengikuti UWRF (Ubud Writers & Readers Festival) 2009 di Bali. Karya-karyanya yang lain: Avian Influenza: Pencegahan dan Pengendaliannya (2004), Antologi Puisi: Jawaban Kekacauan (2004), Kedaulatan Pangan (2009). Sejak 1983, puisi, cerpen, esai, opini, dan tulisan jurnalistiknya diterbitkan di berbagai buku dan media massa. Dalam buku 100 Tahun Dokter Hewan Indonesia (2010), namanya tercatat sebagai salah satu dari 100 Profil Dokter Hewan Berprestasi. Dalam pasal Dokter Hewan Berprestasi di Bidang Lain, nama Drh. Yonathan Rahardjo tercatat setelah nama Drh. Taufiq Ismail (Penyair), Drh. Asrul Sani (Seniman Pelopor Angkatan 45), dan Drh. Marah Rusli (Pengarang Novel Siti Nurbaya).
=============================
PT Pustaka Alvabet (Penerbit)
Jl. SMA 14 No. 10, Cawang, Kramat Jati,
Jakarta Timur, Indonesia 13610
Telp. +62 21 8006458
Fax.  +62 21 8006458
www.alvabet.co.id

Oleh : Indrawan *


Pada hari Minggu 30 April 2006, tepat lima tahun yang lalu, dunia sastra di tanah air, bahkan mungkin dunia, telah kehilangan seorang penulis yang selama 81 tahun hidupnya, lebih dari setengahnya dihabiskan untuk menulis karya-karya fenomenal. Karya-karya yang selama pemerintahan orde baru dibredel, tetapi sekarang malah dipuja-puja. Karya yang selama pemerintahan otoriter itu dilarang, bahkan dibakar, sekarang malah banyak jadi konsumsi publik mulai dari yang tua sampai generasi muda.

Bicara sastra, Pram memang fenomenal. Ia adalah seorang penulis yang telah menerbitkan kurang lebih 50 buku yang juga sudah diterjemahkan ke dalam 41 bahasa. Pram menjadi penulis yang paling rajin memperkenalkan Indonesia kepada dunia. Namanya sering disebut sebagai calon penerima nobel sastra. Penghargaan, yang anehnya malah banyak datang dari luar negeri, menghiasi rumahnya di kawasan Tanah Abang. Bumi Manusia, Jejak Langkah, Anak Semua Bangsa, Sang Pemula, Rumah Kaca, Arok Dedes, Mangir, dan Arus Balik adalah beberapa contoh karyanya yang fenomenal itu. Hampir semua karya-karyanya adalah berdasarkan cerita sejarah perjalanan bangsa ini, walaupun memang Pram tidak hanya menulis roman-roman sejarah saja.

Penulisan roman sejarah memang menjadi karya Pram yang sangat menonjol. Penonjolan masalah-masalah sosial, politik, budaya, ekonomi Indonesia pada sekitar abad 20-an awal ditampilkan secara menarik olehnya. Apalagi dengan paduan sentuhan percintaan serta suasana psikologis antar lakonnya membuat karya-karyanya seperti dalam tetralogi Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, dan Jejak Langkah menjadi tidak hanya bertujuan mengkritik pemerintahan kita saat itu, tetapi juga dapat dinikmati semua kalangan, bahkan yang “buta” politik sekalipun.

Melalui roman sejarah ia memperingatkan bahaya-bahaya eksternal dan internal yang dihadapi bangsa ini. Melalui roman sejarah pula ia melestarikan dan mendekatkan kita secara afektif dengan masa lalu kita. Olehnya, berbagai rangkaian peristiwa sejarah yang pernah dialami bangsa ini menjadi hidup dan nyata dalam hampir setiap karya-karyanya. Pram telah mampu menyatukan pengalaman hidupnya yang sama kelamnya dengan perjalanan sejarah bangsa ini menjadi sebuah karya sastra yang sangat luar biasa sehingga tidak hanya dihargai oleh insan dalam negeri tetapi juga mancanegara.

Pramoedya Ananta Toer sendiri dilahirkan di Blora, Jawa Tengah pada tahun 1925. Pada masa kemerdekaan Indonesia, ia mengikuti kelompok militer di Jawa dan seringkali ditempatkan di Jakarta pada akhir perang kemerdekaan. Ia menulis cerpen dan buku sepanjang karir militernya dan dipenjara oleh Belanda di Jakarta pada 1948 dan 1949. Pada 1950-an ia tinggal di Belanda sebagai bagian program pertukaran budaya, dan saat kembalinya ia menjadi anggota Lekra. Hal ini yang nantinya membuat ia bermasalah dengan dengan rezim Orba.

Kebiasaan Pram sepulang dari Belanda adalah menulis kolom dan artikel pendek yang mengkritik pemerintah ketika itu. Ia menulis buku Perawan Remaja dalam Cengkraman Militer, dokumentasi yang ditulis dalam gaya menyedihkan para perempuan Jawa yang dipaksa menjadi wanita penghibur selama masa pendudukan Jepang. Semuanya dibawa ke Pulau Buru di mana mereka mengalami kekerasan seksual, mengakhiri tinggal di sana daripada kembali ke Jawa. Akhirnya, nalar kritisnya itu membawa Pram berkenalan sendiri dengan Pulau Buru selama masa 1970-an sebagai seorang tahanan politik Orba.

Banyak dari tulisannya menyentuh tema interaksi antarbudaya; antara Belanda, kerajaan Jawa, orang Jawa secara umum dan Tionghoa. Banyak dari tulisannya juga semi-otobiografi, di mana ia menggambar pengalamannya sendiri. Ia terus aktif sebagai penulis dan kolumnis. Ia memperoleh Hadiah Ramon Magsaysay Award untuk Jurnalisme, Sastra, dan Seni Komunikasi Kreatif pada tahun 1995. Ia juga memenangkan Hadiah Budaya Asia Fukuoka XI tahun 2000, dan pada tahun 2004 diberikan penghargaan Norwegian Authors Union Award untuk sumbangannya pada sastra dunia.

Semua rekognisi ini membuktikan karyanya diakui warga dunia, walau rezim Orba ketika itu mengecam karena Pram dianggap berbau kiri. Di rezim ini pula Pramoedya tidak pernah mendapat kebebasan menyuarakan suaranya sendiri. Beberapa kali diri kepengarangannya diserang dan dikeroyok secara terbuka di koran. Dan itu terjadi pada seluruh manusia Indonesia yang dicap sebagai tapol ataupun ET, yang dituduh terlibat gerakan makar. Walaupun secara ide ia dimatikan, Pram juga mengatakan bahwa mekanisme kreativitaslah yang menggugah tanggapan senang atau tidak, benci atau tidak, sampai-sampai orang melarang, membakar atau memujanya.

Bagi Pram, pembelaan terhadap Indonesia dimulai dengan menampilkan pengetahuan tentang masa lalu Indonesia dalam bentuk karya-karya sastra. Karya yang ia harapkan dapat merubah nasib negeri ini di masa depan. Karena itu, sungguh tragis ketika bagi Pram negeri ini dicabik-cabik oleh kekerasan dan eksploitasi yang mengakibatkan Indonesia tidaklah menjadi seperti harapannya dulu. Dan lebih tragisnya lagi saat dirinya akhirnya menyerah melawan diabetes, penyakit jantung, dan ginjal yang menggerogoti tubuhnya. Ia pun akhirnya meninggalkan kita semua untuk berpulang ke rumah abadinya di sana. Selamat jalan Pram, Jejak Langkah-mu akan selalu dikenang oleh Anak Semua Bangsa!


* Penulis adalah penikmat sastra, sekaligus Anggota Forum Belajar Bersama Prakarsa Rakyat dari Simpul Jabodetabek.

** Siapa saja dipersilahkan mengutip, menggandakan, menyebarluaskan sebagian atau seluruh materi yang termuat dalam portal ini selama untuk kajian dan mendukung gerakan rakyat. Untuk keperluan komersial pengguna harus mendapatkan ijin tertulis dari pengelola portal Prakarsa Rakyat. Setiap pengutipan, penggandaan dan penyebarluasan sebagian atau seluruh materi harus mencantumkan sumber (portal Prakarsa Rakyat atau www.prakarsa-rakyat.org).

;;