YASMINA KHADRA


DATA BUKU:

Judul: Istriku Teroris
Penulis: Yasmina Khadra
Penerjemah: Khairil Azhar
Editor: Aisyah
Genre: Novel
Penerbit: Alvabet
Cetakan: I, November 2011
Ukuran: 14 x 21 cm (plus flap/kuping 8 cm)
Tebal: 308 halaman
ISBN: 978-602-9193-10-7
Harga: Rp. 45.000,-

Dr. Amin Jaafari adalah ahli bedah di sebuah rumah sakit di Tel Aviv. Berdedikasi, dihormati, dan dikagumi oleh kolega dan masyarakat, ia merupakan contoh sukses warga Arab yang mengintegrasikan diri ke dalam masyarakat Israel. Dan ia paham benar bagaimana hidup berdampingan dengan kekerasan danchaos yang menghantui kotanya.

Tatkala terjadi serangan bom bunuh diri di sebuah restoran setempat, Dr. Jaafari bekerja tak kenal lelah membantu para korban. Namun, malam itu justru membawa masalah besar bagi sang dokter. Tubuh istrinya, tercerai-berai mengenaskan, ditemukan di antara para korban yang tewas. Berdasarkan pemeriksaan polisi, kondisi tubuh istrinya merupakan tipikal pelaku bom bunuh diri. Setengah tak percaya, batin Dr. Jaafari tercabik-cabik di antara kenangan indah bersama istrinya dan kenyataan betapa perempuan cantik, cerdas, dan modern itu rupanya memiliki kehidupan lain yang jauh dari kehidupan bergelimang kesenangan yang mereka lakoni.

Dengan deskripsi yang gamblang tentang bom bunuh diri, novel ini menggambarkan secara memukau realitas terorisme berikut akibat spiritual yang tak terhitung nilainya. Intens dan manusiawi, terhindar dari bias politik dan kebencian, serta bijaksana dan menyentuh, novel ini menyuguhkan pemahaman mendalam tentang sesuatu yang tampak mustahil untuk dipahami, yaitu terorisme.

 
ENDORSEMENT

“Karya ini memiliki preferensi thriller kelas tinggi. Inilah novel dari seorang pendongeng yang sangat terampil.”
—Times Literary Supplement

“Bagai thriller psikologis tentang terorisme. Sebuah cerita detektif tanpa sang detektif. Novel ini menggambarkan tragedi individu yang terperangkap dalam lingkaran kekerasan tanpa makna dan tak berujung.”
—Lindy Burleigh, Telegraph

“Di atas kisah sedih dan kekecewaan, karya ini adalah sebuah meditasi tentang nilai kehidupan. … di mana kesulitan dalam kehidupan yang apolitis tercabik-cabik oleh pertikaian agama dan separatisme.”
—USA Today

“Khadra tak pernah menghakimi para teroris. Ini karya seni asli ... tak pernah keluar dari jalur novel, dan tak pernah tergelincir untuk menjadikannya sebagai saluran politik.”
—Philadelphia Inquirer

“Istriku Teroris adalah sebuah peledakan dukacita.… Di akhir kisahnya Anda tak akan bisa lagi bercerita apakah Anda menggigil sebagai tanda sedih atau lega.”
—Le Figaro

“Khadra meracik bahan-bahan ceritanya dengan kekuatan penghayatan dan emosional yang hebat, sehingga pembaca seperti terus-menerus digiring sampai ke akhir cerita.”
—Le Point

“Novel penting dengan bobot cerita yang sangat berani. ... Khadra memiliki penguasaan plot yang bagus, menjadikan cerita ini berenergi.”
—Los Angeles Times

“Khadra sangat cemerlang menampilkan karakter manusia yang dicengkeram oleh ekstremisme dan penderitaan sosial yang ekstrim.”
—Washington Post

“Novel yang dahsyat dan mengasyikkan. ... Bagaikan cerita detektif, diliputi dengan dukacita mendalam akibat kekerasan sektarian yang terjadi dalam dunia Islam.”
—Booklist

“Novel yang luar biasa, bijaksana, dan menyentuh hati.”
—Literary Review

“Sebuah narasi tentang kekejaman dan intoleransi, yang membuat kehidupan menjadi suram akibat fundamentalisme.”
—James Francken, Telegraph


PENULIS 

YASMINA KHADRA adalah nama samaran dari Mohammed Moulessehoul, penulis Aljazair yang lahir pada Januari 1955. Demi mengelabuhi sensor militer selama Perang Sipil Aljazair—kala itu Khadra berdinas sebagai tentara—ia menyembunyikan identitas aslinya dan memakai nama samaran perempuan kala menyerahkan tulisannya ke media massa dan penerbit. Meskipun novel-novelnya yang terbit di Aljazair meraup sukses, namun ia baru menampilkan identitas aslinya pada 2001, setelah ia hengkang dari dinas militer dan mengasingkan diri ke Prancis.

Sebagai penulis produktif, Khadra telah menelurkan banyak buku, antara lain L’Imposture des mots, Autumn of the Phantoms, Wolf Dreams, The Swallows of Kabul, The Sirens of Baghdad, dan What the Day Owes the Night. Pada 2004, Newsweek menyebutnya sebagai “satu dari sekian penulis hebat yang mampu memahami dengan baik kekerasan yang terjadi belakangan di Aljazair”.

Setelah hijrah dari tanah kelahirannya dan mengasingkan diri di Prancis, Khadra sempat pula tinggal sekian lama di Meksiko. Kini ia menetap kembali di Prancis bersama istri dan ketiga anaknya.


=============================
PT Pustaka Alvabet (Penerbit)
Jl. SMA 14 No. 10, Cawang, Kramat Jati,
Jakarta Timur, Indonesia 13610
Telp. +62 21 8006458
Fax.  +62 21 8006458
www.alvabet.co.id

Oleh : Mahendra Kusumawardhana*


Kereta holocaust adalah kereta api yang digunakan oleh Nazi dan para pendukung mereka untuk mendeportasi paksa orang-orang ke kamp konsentrasi. Tanpa transportasi massal dengan menggunakan kereta api tersebut maka skala besar holocaust yang dilakukan oleh Nazi tidak mungkin terjadi.

Gerbong-gerbong kereta tersebut sejatinya dipergunakan untuk mengangkut ternak sehingga tidak ada tempat duduk ataupun fasilitas lainnya. Menurut manual SS, sebuah organisasi paramiliter terbesar Nazi, dihitung bahwa satu rangkaian kereta membawa 55 gerbong. Sementara satu gerbong dimuati oleh 50 orang, sehingga satu kereta membawa sekitar 2.750 orang. Namun biasanya satu kereta membawa hingga 300 persen dari kapasitasnya. Maka berjejalan 8.250 orang berada dalam satu kereta.

Kereta tersebut pertama kali beroperasi pada tanggal 16 Oktober 1941 membawa orang-orang ke pembantaian ke barat Jerman. Perjalanannya mampu memakan waktu berhari-hari bahkan paling lama adalah 18 hari. Ini tidak terlepas karena prioritas bagi kereta tersebut sangatlah rendah hingga harus membiarkan didahului oleh kereta-kereta yang lainnya. Tidak ada air ataupun makanan yang disediakan, demikian juga untuk buang air hanya disediakan ember.

Dengan kondisi seperti itu tidak mengherankan ketika banyak yang mati karenanya. Dalam sebuah laporan ditulis bahwa dari 45 gerbong yang membawa sekitar 6.700 orang, kurang lebih 1.450 meninggal dunia saat tiba di tempat tujuan.

Pada bulan Juli yang lalu, saya dan seorang kawan menaiki kereta api ekonomi Progo, jurusan Yogyakarta-Jakarta. Ada beberapa perubahan yang saya ketahui dari kereta Progo tersebut. Jadwal keberangkatan kereta tersebut memang pada pukul 17:00 namun kita harus bersiap-siap jauh sebelumnya, sekitar pukul 14:30 atau bahkan pukul 13:30 jauh lebih baik.

PT Kereta Api Indonesia tidak menjual tiket dengan nomor tempat duduk, sehingga tidak jelas berapa ratus orang yang naik ke kereta tersebut. Mungkin seribu orang lebih dijejalkan dalam satu rangkaian kereta dengan 9 gerbong tersebut. Demikian pula pada sekitar pukul 15:00 sebagian gerbong akan bergerak dahulu menuju Klaten untuk mengangkut penumpang. Maka semakin banyak penumpang yang diangkut oleh kereta tersebut.

Kami menyusuri gerbong demi gerbong untuk mendapatkan tempat duduk namun tak juga mendapatkannya. Hingga kami menemukan gerbong terakhir, gerbong kosong melompong tanpa kursi, hanya lantai besi tanpa alas apapun yang tampak seperti gerbong untuk mengangkut barang. Di sana sudah nampak puluhan orang yang terpaksa duduk berselonjor di lantai beralaskan koran. Semakin lama semakin mendekati keberangkatan, semakin banyak orang yang masuk ke gerbong.

Ketika kereta berjalan, sekitar seratusan orang berdesak-desakan. Beberapa orang terpaksa jongkok atau duduk bersila, sementara yang lainnya mengecilkan badannya untuk dapat tidur. Dinginnya lantai besi kereta begitu terasa karena alas koran sama sekali tidak memberikan perlindungan yang memadai. Demikian pula begitu sulitnya bagi seseorang untuk bergerak sekedar meluruskan kaki atau bahkan untuk bisa bergerak ke toilet. Demikianlah selama hampir 12 jam kondisi tersebut dialami oleh seluruh penumpang hingga tiba tujuan akhir di Pasar Senen, Jakarta.

Masih di bulan yang sama, diberitakan seorang penumpang Kereta Api Kertajaya yang penuh sesak penumpang dengan jurusan Jakarta Kota-Pasar Turi Surabaya, meninggal dunia. Sebelum menghembuskan nafas terakhirnya, penumpang tersebut sempat muntah darah dan tak sadarkan diri. Terlepas bahwa menurut berita bahwa penumpang tersebut memiliki riwayat penyakit paru-paru namun kondisi harus berdesak-desakan, duduk ataupun tidur di lantai bukanlah kondisi yang manusiawi ataupun sehat. Walaupun korbannya belum separah kereta holocaust Nazi tapi satu nyawa manusia saja tetap merupakan sesuatu yang harus dihargai.

Tragedi ini seharusnya menjadi peringatan bagi PT Kereta Api Indonesia yang harga tiketnya selalu bertambah mahal terutama ketika masa libur dan mudik tiba. Dimana dipastikan akan ada ratusan ribu rakyat Indonesia yang menggunakan jasa kereta api untuk mudik ke kampung halamannya.


* Penulis adalah Ketua Badan Pekerja Nasional - Komite Penyelamat Organisasi Perhimpunan Rakyat Pekerja (KPO-PRP), sekaligus Anggota Forum Belajar Bersama Prakarsa Rakyat dari Simpul Jabodetabek

** Siapa saja dipersilahkan mengutip, menggandakan, menyebarluaskan sebagian atau seluruh materi yang termuat dalam portal ini selama untuk kajian dan mendukung gerakan rakyat. Untuk keperluan komersial pengguna harus mendapatkan ijin tertulis dari pengelola portal Prakarsa Rakyat. Setiap pengutipan, penggandaan dan penyebarluasan sebagian atau seluruh materi harus mencantumkan sumber (portal Prakarsa Rakyat atau www.prakarsa-rakyat.org).



Gary Shteyngart

DATA BUKU
Judul: Super Sad True Love Story: Roman Satir yang Menyentuh Jiwa
Judul Asli: Super Sad True Love Story: A Novel
Penulis: Gary Shteyngart
Penerjemah: Dewi Wulansari
Editor: Errena Ike Hendraini
Penerbit: Alvabet
Genre: Novel
Cetakan: 1, November 2011
Ukuran: 13 x 20 cm (flap 8 cm)
Tebal: 520 halaman
ISBN: 987-602-9193-11-4


SINOPSIS

Dirajut oleh novelis muda yang tengah naik ke puncak dunia fiksi, karya yang terbit pada 2010 ini memenangi beberapa penghargaan, seperti Salon Book Award (2010) dan Bollinger Everyman Wodehouse Prize (2011). Tak hanya itu, lebih dari 20 media massa terkemuka pun menyematkan gelar Book of the Year pada karya bestseller ini, antara lain O: The Oprah Magazine, New York Times, Washington Post, San Francisco Chronicle, dan Kirkus Reviews.

Kisahnya bertutur ihwal Leonard Abramov—putra imigran Rusia, berusia paruh baya, kalangan kelas menengah—yang jatuh cinta kepada Eunice Park, gadis muda berdarah Korea-Amerika yang tengah berjuang dengan materialisme dan membebaskan diri dari tekanan keluarga tradisionalnya. Dalam latar kisah cinta yang berosilasi antara kedangkalan dan putus asa, situasi politik yang suram pun terungkap: Amerika di ambang kehancuran, terancam oleh kreditur China—dolar jatuh, kerusuhan pecah di New York, dan pemerintah totaliter yang gigih mempromosikan konsumerisme berupaya melenyapkan para pembangkang politik.

Di tengah kekacauan itu, di dunia di mana hasrat seksual dengan mudah terpenuhi hanya dengan sekali mengklik tombol di layar sentuh, dalam masyarakat di mana yang berkuasa dapat hidup lebih tua namun yang malang akan mati lebih cepat, ternyata masih ada nilai untuk menjadi manusia sejati. Inilah novel yang pasti akan membuat Anda merasa jatuh cinta (kembali).


ENDORSEMENT

 
“Ada banyak mesiu satir yang dikemas dalam setiap kalimat…. Tetapi sejatinya, ini kisah cinta yang kocak, cerdas, dan menyentuh jiwa. Lebih dari itu, inilah novel yang sangat romantis.”
—Time

“Novel yang luar biasa, cerdas, dan amat lucu. … Anda tak akan bisa membuat lelucon yang menyamainya. Segala sesuatu dalam buku ini ditulis dengan sangat mengagumkan. Ada beberapa novel sejenis yang menandingi karya ini, namun tak satu pun mengunggulinya.”
—Tibor Fischer, The Guardian

“Lebih dari sekadar karya fiksi, novel satir ini adalah sebuah kisah yang sangat berwarna. Inilah karya terbaik Gary Shteyngart.”
—Peter Conrad, The Observer

“Sang penulis sangat cerdas dan tak pernah kekurangan gaya. Seperti dalam karya Shteyngart lainnya, novel ini sangat liris, ditulis dengan penuh orkestra retoris yang lucu.”
—Michael Wood, New York Times
 
“Dalam prosa yang antik dan membius, Shteyngart menyuguhkan karya yang dahsyat. Novel indah ini super lucu dan amat menyentuh, sebuah karya yang tak cuma menampilkan kemampuan menyindir secara bersemangat ... tapi juga kemampuan menulis secara mendalam dan mengharukan tentang cinta, kehilangan, dan kematian.”
—Michiko Kakutani, New York Times
 
“Sebuah satir yang menggorok pergelangan tangan Anda… Barangkali, inilah satu-satunya buku yang membuat aku ingin berdiri di kereta bawah tanah dan membaca dengan suara keras bagian demi bagian buku ini.”
—Washington Post
 
“Dengan bakat gilanya dalam pengungkapan bahasa yang tajam, seolah-olah Gary Shteyngart adalah Vladimir Nabokov yang menulis ulang 1984.”
—People
 
“Parodi yang cerdas… sangat jenaka, tepat sasaran, dan akhirnya menyedihkan....”
—Entertainment Weekly
 
“Riang dan mengena... seperti lelucon yang ketus… cermin menakutkan bagi kekaisaran Amerika yang meluncur ke jurang kehancuran.”
—San Francisco Chronicle
 
“Lelucon dan tragedi mengerikan menyatu dalam ambisinya. Imajinasi yang liar. Tetapi dia tidak sedang menyimpang atau tak sopan; seperti semua satiris besar, ia membangun rumah cermin menyenangkan yang mengekspos distorsi realitas kontemporer. ... Dia adalah salah satu suara paling kuat dari generasinya.”
—Miami Herald
 
“Buku paling lucu dan paling menakutkan yang pernah saya baca. ... Gary Shteyngart adalah satiris terbesar kita, tetapi ia juga mahir menulis cerita cinta dan dengan mudah membuat para malaikat (dan manusia biasa) menangis.”
—Edmund White
 
“Gary Shteyngart telah menulis sebuah sindiran cerdas dengan realitas yang cukup untuk menjadikannya benar-benar menakutkan, super lucu, dan super sedih.”
—Mary Gaitskill


BIODATA PENULIS

GARY SHTEYNGART adalah penulis Amerika keturunan Rusia. Lahir di Leningrad (Uni Soviet) pada 1972, ia menghabiskan tujuh tahun pertama masa kecilnya di kota yang sekarang disebut St. Petersburg. Shteyngart beremigrasi ke Amerika Serikat pada 1979 dan menetap di sana hingga saat ini.

Karya-karyanya meraih banyak penghargaan. Debut novelnya, The Russian Debutante’s Handbook, memenangi Stephen Crane Award for First Fiction, tercatat dalam daftar New York Times Notable Book, dan merupakan debut terbaik tahun ini versi The Guardian. Novel keduanya, Absurdistan, termasuk dalam 10 Best Book of the Year versi New York Times dan majalah Time, serta merupakan buku terbaik tahun ini versi Washington Post, San Francisco Chronicle, dan Chicago Tribune. Berkat karya-karya itu, ia terpilih sebagai novelis muda Amerika terbaik versi majalah Granta. Pada 2002, majalah Shout NY menobatkan Shteyngart sebagai satu dari lima penulis baru terbaik, sementara pada 2010 ia tercatat sebagai salah satu penulis fiksi termasyhur berusia 20-40 versi The New Yorker.


 
=============================
PT Pustaka Alvabet (Penerbit)
Jl. SMA 14 No. 10, Cawang, Kramat Jati,
Jakarta Timur, Indonesia 13610
Telp. +62 21 8006458
Fax.  +62 21 8006458
www.alvabet.co.id

Oleh : Joel Fang*


Negara ini sedang diuji berbagai konflik dan persoalan hidup bernegara. Dari masa ke masa negara tidak dapat melepaskan dirinya dari isu-isu kekerasan, konflik rasial, perpecahan antar etnis, dan bahkan antar golongan. Sejak berdirinya negara Indonesia, konflik ras ataupun antar etnis terus bergulir.

Bila konflik itu terus terjadi sehingga mengakibatkan kerapuhan multikultural Indonesia dan pluralitas Indonesia, apakah Pancasila perlu direvisi isinya atau justru diabaikan? Jelas ini bukan kesalahan suatu bentuk tulisan, melainkan kesalahan pada tatanan negara. Persatuan Indonesia belum tercapai seutuhnya, maka tidak mengabaikan Pancasila dalam menciptakan kerukunan antar golongan dan etnis harus dilakukan.

Pancasila seolah-olah tidak memiliki peran lagi dalam kehidupan bermasyarakat. Bangsa Indonesia mengakui bahwa Pancasila dijadikan sebagai landasan ideal masyarakat Indonesia sebagai penentuan arah kebijakan dan acuan kesepakatan yang regulatif. Kehidupan negara yang legislatif, yudikatif, maupun eksekutif menentukan suatu kebijakan yang berpengaruh bagi masyarakat Indonesia atas dasar Pancasila.

Di dalam kehidupan bernegara, masyarakat dari berbagai golongan diatur oleh peraturan yang dibentuk oleh pengurus negara demi kepentingan masyarakat bersama (kolektif). Pancasila diakui sebagai falsafah, maka dari itu berbagai urusan kehidupan masyarakat sebisa mungkin berpijak pada nilai-nilai Pancasila.

Nilai-nilai Pancasila mengandung nilai-nilai kolektivitas yang tinggi, mengakui pluralitas atau keberagaman, menjaga keadilan dalam strata sosial, tanpa pembeda strata ekonomi, dan religiusitas atau Ketuhanan. Di sila pertama dijelaskan, bahwa Tuhan itu tunggal (esa), masyarakat dituntun untuk beragama dan memercayai Tuhan itu tunggal sesuai kepercayaan masing-masing. Tidak ada pengakuan secara tekstual di sila pertama untuk menganut satu agama. Di sila kedua dijelaskan, nilai humanisme dijunjung tinggi dalam menegakkan keadilan. Di sila ketiga terkandung nilai kebersamaan yang menyatu dalam suatu tatatan negara, baik secara perspektif historis maupun geografis. Di sila keempat dan kelima lebih menekankan nilai-nilai berkehidupan sosial yang adil serta menyinggung demokratisasi yang berpihak kepada rakyat.

Nilai-nilai yang terkandung di dalam Pancasila, seperti yang diurai sedikit di atas, tampaknya menjadi ambivalen ketika dikontekskan terhadap situasi dan kondisi negara Indonesia. Namun ada beberapa nilai yang memiliki peran penting bagi negara. Ketika Pancasila mengarahkan negara untuk bersatu, tetapi kenyataannya negara Indonesia belum mampu menciptakan persatuan yang utuh. Bahkan, keadilan sosial yang tertera di sila kelima tidak mampu memperkecil kemiskinan bagi seluruh rakyat Indonesia. Justru jumlah indikator kemiskinan semakin bertambah.

Lebih tepat bila dikatakan, bahwa sebagian besar elite aparatur negara telah mengabaikan nilai-nilai Pancasila. Nilai-nilai yang seharusnya dijaga dan dikaji sebagai landasan bermasyarakat yang adil.

Seseorang yang menolak Pancasila mungkin telah memahami dan mengkaji nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila. Tetapi, pengabaian tidak menyentuh sama sekali pemahaman Pancasila, apalagi untuk mengkajinya. Inilah fakta sosial negara kita, lebih memilih mengabaikan daripada menolak. Perpecahan atau konflik sosial yang terjadi seharusnya tidak terjadi bila pengabaian Pancasila tidak terjadi.

Peran negara tidak hanya memanfaatkan momen, seperti pada Hari Kesaktian Pancasila, sebagai peringatan Pancasila. Lebih berarti bila negara memerankan wewenangnya sebagai kekuatan stuktural untuk meminimkan pengabaian Pancasila di masyarakat. Salah satunya adalah pembenahan dari dalam institusi pendidikan, yang efektivitasnya lebih tinggi terhadap generasi penerus. Untuk itu, kekerasan yang terstruktur maupun tidak terstruktur dalam kehidupan multikultural ini adalah tugas utama negara melalui penanaman kesadaran Pancasila secara filosofis.


* Penulis adalah mahasiswa Universitas Padjajaran, sekaligus Anggota Forum Belajar Bersama Prakarsa Rakyat dari Simpul Bandung.

** Siapa saja dipersilahkan mengutip, menggandakan, menyebarluaskan sebagian atau seluruh materi yang termuat dalam portal ini selama untuk kajian dan mendukung gerakan rakyat. Untuk keperluan komersial pengguna harus mendapatkan ijin tertulis dari pengelola portal Prakarsa Rakyat. Setiap pengutipan, penggandaan dan penyebarluasan sebagian atau seluruh materi harus mencantumkan sumber (portal Prakarsa Rakyat atau www.prakarsa-rakyat.org).

Oleh : M. Ananto Setiawan*


Peristiwa penembakan dan penangkapan massal terhadap ratusan orang yang menghadiri Kongres Rakyat Papua III kembali merenyuhkan hati kita. Menurut beberapa sumber, tercatat sedikitnya 6 orang tewas dalam peristiwa tersebut dan sekitar 300-an orang ditangkap pasca pembubaran kongres siang itu.

Tank lapis baja, panser, dan pasukan bersenjata kembali menghiasi jalan-jalan di bumi cendrawasih pasca kongres. Tak hanya itu, pihak keamananpun menyisir sejumlah tempat dan mess mahasiswa yang diduga menjadi tempat persembunyian aktivis kemerdekaan Papua tersebut. Situasi kian mencekam, karena sepanjang hari terus terdengar suara letusan senjata api dari berbagai arah.

Pasca peristiwa tersebut Kapolda Papua mengeluarkan statemen akan melibas semua orang yang diduga terlibat dengan tindakan makar tersebut. Kengerian menggelanyut, bukan hanya di hati Rakyat Papua, tetapi juga bagi kita Bangsa Indonesia.

Pada kongres yang dilaksakan tanggal 17-19 Oktober tersebut Rakyat Papua membahas langkah-langkah mereka untuk menegakkan kedaulatan hak-hak dasar Rakyat Papua, termasuk hak mereka untuk merdeka. Hak untuk merdeka dari berbagai siksaan yang selama ini terus menghantui Rakyat Papua pada umumnya. Namun hal inilah yang kemudian dijadikan alasan pihak keamanan (TNI/Polri) untuk membubarkan kongres, yang sebenarnya juga telah selesai 15 menit sebelum pembubaran paksa oleh pihak keamanan. Lebih jauh, pihak keamanan menyatakan ada indikasi makar dalam kongres tersebut, melalui pengibaran bendera dan pendeklarasian Negara Papua.

Matinya Iklim Demokrasi di Papua

Sungguh disayangkan, pemerintah dan pihak keamanan lebih mengutamakan pendekatan represif dalam menjawab berbagai persoalan di Papua dan pada akhirnya juga turut memakan korban jiwa. Pihak keamanan yang diterjunkan di Papua pun lebih menggunakan logika perang dari pada pendekatan kemanusian yang seharusnya dapat mereka lakukan.

Pendekatan keamanan yang selalu dilakukan oleh pihak keamanan tersebut hanya semakin memperburuk keadaan di Papua dan mematikan iklim demokrasi di tanah cendrawasih. Hal ini terlihat karena penyelesaian masalah yang seharusnya dapat ditempuh melalui jalan dialog tak pernah terwujud, bahkan pemerintah terutama pihak keamanan lebih mengedepankan pendekatan keamanan yang bersifat represif dan mengenyampingkan persoalan-persoalan utama yang sebenarnya menjadi tuntutan Rakyat Papua.

Logika Damai untuk Papua

Berbagai persoalan yang terjadi di Papua seharusnya menjadi perhatian yang serius dari pemerintah Indonesia, apabila menginginkan Papua tetap menjadi bagian dari NKRI. Tentunya dengan mengedepankan jalan damai/dialog dan bukan secara terus-menerus menempatkan persoalan Papua sebagai permasalahan keamanan. Hal ini sebenarnya yang sangat diinginkan Rakyat Papua sebagai bangsa yang bermartabat.

Penarikan personel keamanan dan TNI non-organik sudah seharusnya dilakukan pemerintah, mengingat sudah terlalu banyaknya jumlah pasukan yang dikirim ke tanah cendrawasih. Karena sejatinya penempatan pasukan yang sedemikian banyak itu tentu sangat akan mengganggu iklim demokrasi yang sedang dibangun ditanah Papua, yang juga telah menjadi penyebab utama membaranya (lagi) Tanah Papua.

Persoalan kesejahteraan dan keadilan sudah seharusnya menjadi perhatian utama pemerintah hari ini dalam melihat permasalahan Papua, yang memang bukan permasalahan keamanan. Dialog harus ditempatkan sebagai kunci utama permasalahan di Papua. Pendekatan-pendekatan yang lebih bermartabat ini sudah barang pasti akan lebih efektif apabila dibandingkan dengan pendekatan keamanan yang selalu diutamakan pemerintah di Jakarta. Dengan duduk bersama dan dialog, pemerintah tentunya akan lebih mengetahui persoalan-persoalan sebenarnya di Papua yang hasilnya nanti dapat dijadikan kunci penyelesaian dari permasalahan Papua selama ini.

Hal ini seharusnya menjadi pelajaran berharga bagi pemerintah, dalam upayanya untuk terus memperbaiki keadaan di Papua. Terlebih melihat kerja-kerja pengamanan negara yang di dalamnya terdapat 240 juta jiwa, dan bukan hanya terdiri dari segelintir orang atas nama kekuasaan.


* Penulis adalah aktivis Sahabat Munir, sekaligus Anggota Forum Belajar Bersama Prakarsa Rakyat dari Simpul jabodetabek.

** Siapa saja dipersilahkan mengutip, menggandakan, menyebarluaskan sebagian atau seluruh materi yang termuat dalam portal ini selama untuk kajian dan mendukung gerakan rakyat. Untuk keperluan komersial pengguna harus mendapatkan ijin tertulis dari pengelola portal Prakarsa Rakyat. Setiap pengutipan, penggandaan dan penyebarluasan sebagian atau seluruh materi harus mencantumkan sumber (portal Prakarsa Rakyat atau www.prakarsa-rakyat.org).

Oleh: Oki Hajiansyah Wahab*

Pengalaman berbagai konflik agraria seringkali berakhir dengan berbagai kisah terabaikannya hak-hak warga negara. Kondisi ini menyebabkan kemerosotan dan keterbelakangan kehidupan rakyat di semua aspek baik sosial-ekonomi, politik maupun budaya. Dalam banyak kasus, Konflik agraria yang dialami rakyat seakan menjadi legitimasi bagi pengabaian hak-hak konstitusional warga negara.

Demonstrasi ribuan warga Tanah Merah, Plumpang Jakarta Utara yang menuntut diberikannya dokumen kependudukan membuktikan bahwa konflik agraria senantiasa berimplikasi pada persoalan sosio-yuridis. Warga Tanah Merah yang notabene dekat dengan pusat kekuasaan sekalipun mengalami perlakuan diskriminasi. Nasib warga Tanah Merah segera mengingatkan saya pada nasib masyarakat Moro-Moro, Register 45, Kabupaten Mesuji Lampung yang juga mengalami nasib serupa kehilangan hak-hak kependudukannya selama belasan tahun akibat konflik agraria.

Kita bisa membayangkan bagaimana sulitnya hidup tanpa dokumen kependudukan. Dokumen kependudukan yang dimaksud adalah bisa berupa kartu keluarga, KTP, akta pencatatan sipil, dan surat keterangan kependudukan. Dokumen kependudukan sesungguhnya adalah akses untuk mendapatkan pemenuhan dan perlindungan hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya. Tanpa dokumen kependudukan dipastikan akan menghambat seseorang untuk mengenyam hak asasinya yang lain.

Secara singkat tulisan ini mencoba memaparkan beberapa kesamaan dan juga perbedaan kondisi warga Tanah Merah dan Warga Moro-Moro yang berakibat pada hilangnya hak-hak kependudukan mereka. Dua potret masyarakat ini menjadi cerminan implikasi sosio-yuridis dari konflik agraria yang mereka hadapi. Beberapa kesamaan tersebut di antarannya: Pertama, keduanya sama-sama dianggap menetap di wilayah ilegal. Warga Tanah Merah tinggal menempati lahan seluas 83 hektar dari total 162 hektar milik PT Pertamina. Sementara warga Moro-Moro menempati 2.800 hektar dari total 43.100 hektar kawasan Hutan Register 45 yang pengelolaannya dikuasai oleh pihak swasta.

Kedua, hampir 40 tahun warga Tanah Merah tinggal di daerah tersebut namun tetap tidak diakui Pemprov DKI Jakarta. Saat ini diperkirakan terdapat 5.100 kepala keluarga (KK) atau sekitar 27 ribu jiwa yang tinggal di daerah tersebut. Serupa, Warga Moro-Moro yang telah tinggal selama 14 tahun juga tidak mendapatkan pengakuan pemerintah daerah. Menurut Sensus Penduduk 2010 terdapat lebih dari 1100 kepala keluarga dan 3359 jiwa yang tinggal di wilayah tersebut.

Ketiga, hampir semua pembangunan fasilitas umum di wilayah Tanah Merah dibuat secara swadaya oleh warga. Di Tanah Merah disebutkan terdapat 12 masjid, 15 mushala, 11 gereja, dan 14 Posyandu. Begitu juga dengan Warga Moro-Moro yang berswadaya membangun 12 mushala, 3 gereja, 4 pura, 2 PAUD, 3 SD dan 1 SMP. Suatu upaya yang luar biasa dari mereka yang termarjinalkan.


Meskipun sama-sama dianggap “penduduk ilegal”, sama-sama dianggap menempati “wilayah ilegal,” tetap saja kita tidak bisa melakukan simplifikasi bahwa dua kasus ini adalah sama persis. Selalu ada yang beda ketika kita mencoba membandingkan dua persoalan yang hampir sama, seperti layaknya membandingkan bayi kembar, pastilah selalu ada yang membedakannya.

Secara singkat bisa diuraikan sebagai berikut; Pertama ,meskipun warga Tanah Merah dan Warga Moro-Moro dianggap “ilegal” tapi Warga Tanah Merah selalu terlibat dalam setiap proses Pemilu. Berbeda dengan Warga Moro-Moro yang selalu kehilangan hak politiknya sejak tahun 2004.

Kedua, perlakuan pemerintah daerah, meskipun sama-sama dikategorikan “warga ilegal,” warga Tanah Merah dikabarkan tetap mendapatkan hak-haknya seperti hak mendapatkan akses layanan kesehatan dasar meskipun minimalis. Di Tanah Merah terdapat Posyandu yang melayani kesehatan ibu dan anak. Pemkot Jakarta Utara juga telah menerbitkan 400 lebih akta kelahiran bayi yang baru lahir di Tanah Merah. Nasib lebih tragis dialami oleh Warga Moro-Moro dimana status “ilegal” menyebabkan mereka tidak mendapatkan layanan kesehatan dasar seperti Posyandu apalagi mendapatkan akta kelahiran. Padahal ratusan anak telah lahir dalam kurun waktu 14 tahun terakhir.

Ketiga, sikap pemerintah daerah, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menegaskan, tidak akan menelantarkan nasib ribuan warga Tanah Merah. Media melansir Pemprov berusaha segera mencarikan solusi terbaik dengan melibatkan sejumlah instansi terkait untuk memberikan dokumen kependudukan. Meskipun baru sebatas pernyataan hal tersebut menunjukkan masih ada komitmen pemerintah daerah untuk tidak menelantarkan warganya karena menyadari kewajiban dan tanggung jawab untuk melindungi warganya. Hal yang berbeda dengan yang ditunjukkan oleh pemerintah daerah yang terus mengabaikan Warga Moro-Moro.


Hak Atas Dokumen Kependudukan

Hak atas kewarganegaraan dan dokumen kependudukan secara konseptual termasuk ke dalam rumpun hak-hak sipil dan politik, namun berdampak pada penghormatan, pemenuhan, dan perlindungan hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya. Mengingat fungsi dari dokumen kependudukan adalah sebagai bukti kepastian hukum atas status kewarganegaraan seseorang.

Konstitusi kita secara tegas menyatakan bahwa Indonesia adalah negara hukum yang salah satu elemen dasarnya adalah pemenuhan akan hak-hak dasar manusia/hak-hak asasi manusia. UUD 1945 secara tegas melarang berbagai tindakan diskriminasi. Pasal 28I ayat (4) UUD 1945 jelas menunjukkan tanggung jawab negara dalam penghormatan, perlindungan dan pemenuhan HAM. Sedangkan Pasal 28I ayat (5) menegaskan penegakkan dan perlindungan hak asasi manusia yang sesuai dengan prinsip negara hukum yang demokratis, maka perlindungan hak asasi manusia dijamin, diatur, dan dituangkan dalam peraturan perundang-undangan.

Berbagai peraturan di bawahnya seperti Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM juga tidak membenarkan diskriminasi berdasarkan perbedaan agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan politik.

Dalam konteks hak atas dokumen kependudukan Pasal 2 huruf a Undang-Undang No 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan menegaskan bahwa setiap penduduk mempunyai hak untuk memperoleh dokumen kependudukan. Dokumen dimaksud bisa berupa kartu keluarga, KTP, akta pencatatan sipil, dan surat keterangan kependudukan. Dengan demikian hak untuk mendapatkan dokumen kependudukan (right to obtain civil document) adalah hak bagi setiap warga negara yang implikasinya adalah memberikan beban dan kewajiban kepada pemerintah untuk memenuhinya.

Beberapa waktu lalu muncul Surat Edaran Menteri Dalam Negeri No 471.13/2335/SJ tanggal 22 Juni 2011 yang ditujukan kepada Kepala Daerah di seluruh Indonesia memberikan himbauan untuk melakukan pendataan terhadap bagi penduduk yang bertempat tinggal di lokasi milik orang lain, menempati lahan kosong milik BUMN atau perusahaan swasta, serta orang terlantar. Surat Edaran ini sesungguhnya merupakan lanjutan dari Peraturan Mendagri No 11 Tahun 2010 tentang Pedoman Pendaftaran dan Penerbitan Dokumen Kependudukan Bagi Penduduk Rentan Administrasi Kependudukan.

Gamawan Fauzi kembali mengingatkan amanat Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan dikatakan, setiap penduduk memiliki hak untuk memperoleh dokumen kependudukan, seperti kartu keluarga, KTP, akta pencatatan sipil, dan surat keterangan kependudukan. Lewat Surat Edaran ini penduduk yang dikategorikan sebagai warga “ilegal,” dimungkinkan untuk memiliki KTP elektronik dengan harapan seluruh penduduk Indonesia akan terdata dengan baik.

Persoalannya kemudian adalah para pengambil kebijakan lebih terpaku pada aspek prosedural dalam Undang-Undang Administrasi Kependudukan. Demikian pula dengan pasal-pasal lainnya yang juga mengatur kewajiban penduduk untuk melapor ke Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil dengan memenuhi persyaratan yang diperlukan. Pendaftaran penduduk juga meliputi domisili atau tempat tinggal penduduk. Di sinilah timbul masalah bagi penduduk yang dianggap tak jelas tempat tinggal atau domisilinya. Tanah dan KTP seringkali dimaknai dalam satu konstruksi berpikir yang sama. Inilah yang dialami oleh Warga Tanah Merah dan juga Moro-Moro di Lampung.

Sikap apriori dan pengabaian yang dilakukan berdasarkan prasangka bahwa jika para “penduduk ilegal” diberikan KTP maka mereka akan mengakui kepemilikan tanah atau wilayah yang ditempati sesungguhnya adalah prasangka yang menunjukkan kesesatan nalar dan pemahaman hukum yang sempit. Tanpa bermaksud melakukan simplifikasi hal tersebut sama dengan penalaran, “Jangan berikan STNK, nanti dia mengakui itu motor miliknya.”

Gamawan Fauzi juga telah mengingatkan para kepala daerah bahwa pemberian identitas kependudukan, tentunya tidak serta-merta bisa dijadikan sebagai dokumen pendukung bukti penguasaan dan pemilikan lahan. Pemberian dokumen kependudukan hanya berfungsi sebagai bukti domisili sementara sampai dengan penyelesaian status penduduk di lokasi tempat tinggal yang bersangkutan.

Pernyataan Gamawan tentunya perlu diapresiasi karena memiliki perspektif perlindungan hak-hak warga negara yang lebih luas. Hal senada juga disampaikan Suma Mihardja, Koordinator Tim Percepatan Pembuatan Akta Kelahiran Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) menyatakan tidak ada alasan bagi Kemendagri untuk tidak memberikan layanan dokumen kependudukan kepada penduduk yang mendiami lahan BUMN atau lahan kosong. Terlebih dalam Undang-Undang Perlindungan Anak setiap anak berhak untuk mendapatkan akta kelahiran gratis.

Data KPPPA menunjukkan 50 juta dari 78 juta anak Indonesia yang berusia di bawah 18 tahun tidak memiliki akte kelahiran. Data tersebut diperkuat hasil penelitian Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) yang menyatakan dari tahun 2007 hingga kini sekitar 11.700.000 anak usia di bawah lima tahun (balita) belum memiliki akta kelahiran di Indonesia. Hal ini berarti 56,4% warga negara dalam kategori anak belum memiliki catatan otentik terkait asal usul dan jati dirinya.

Sebagai upaya mengatasi berbagai persoalan “penduduk ilegal” yang belum bisa mendapatkan KTP lantaran persoalan domisili tersebut perlu adanya terobosan hukum dan kemauan politik penyelenggara pemerintahan. Pemerintah lewat Dinas Dukcapil bisa menerbitkan Surat Keterangan Orang Terlantar (SKOT). Meskipun masa berlaku SKOT hanya satu tahun. SKOT merupakan salah satu syarat mengurusi KTP. Pemerintah juga bisa mengindukkan penduduk di daerah-daerah yang dikategorikan bermasalah ke desa-desa resmi terdekat.

Prinsipnya sepanjang ada komitmen untuk melindungi warganya maka hal-hal yang teknis pastinya bisa diatasi. Bukankah hal-hal yang teknis semestinya mengabdi pada hal-hal yang substansif. Pertanyaannya kemudian apakah pemerintah daerah memiliki komitmen perlindungan warganya dan apakah hukum dibuat untuk membahagiakan rakyatnya atau justru sebaliknya. Semoga kondisi yang dialami oleh Warga Tanah Merah dan Moro-Moro adalah kasus terakhir yang menimpa Warga Negara Indonesia.


* Penulis adalah peminat masalah hukum, sekaligus Anggota Forum Belajar Bersama Prakarsa Rakyat dari Simpul Jabodetabek.

** Siapa saja dipersilahkan mengutip, menggandakan, menyebarluaskan sebagian atau seluruh materi yang termuat dalam portal ini selama untuk kajian dan mendukung gerakan rakyat. Untuk keperluan komersial pengguna harus mendapatkan ijin tertulis dari pengelola portal Prakarsa Rakyat. Setiap pengutipan, penggandaan dan penyebarluasan sebagian atau seluruh materi harus mencantumkan sumber (portal Prakarsa Rakyat atau www.prakarsa-rakyat.org).


Oleh : Agus Priyanto*


Satu dasawarsa lebih pascareformasi 98, perdebatan kepemimpinan pemuda di kancah kekuasaan nasional mencuat. Sayangnya, perdebatan dan wacana ini memposisikan kaum muda seolah meminta-minta kekuasaan pada elite politik yang telah tua. Lalu ke mana diskursus dari wacana pemuda memimpin itu kini? Dan di mana pemuda kini berkiprah dalam perjuangan rakyat?

Peran pemuda, tidak bisa dipungkiri dalam sejarah perjuangan bangsa ini begitu besar. Pemuda yang dikategorikan adalah umur yang masih produktif dan memiliki kemampuan fisik yang cukup kuat serta agresif dalam bergerak. Pada pemahaman umum usia pemuda dibatasi hingga 40 tahun. Namun dalam segala hal, sesungguhnya tidak ada satu kelompok apalagi kelompok umur bisa bergerak sendiri apalagi melakukan perubahan yang mendasar dalam kehidupan rakyat.

Dalam sejarahnya, perpaduan antara pengalaman dan kekuatan yang masih produktif menjadi kekuatan besar melakukan perubahan. Ini bisa kita tilik dalam sejarah Sumpah Pemuda 1928, Kemerdekaan RI 1945, Peristiwa Malari serta Reformasi 1998. Tidak ada kaum muda yang bergerak sendiri, selalu ada korelasi atau hubungan erat antara tokoh yang berpengalaman (berumur tua) dengan kaum mudanya.

Pada periode gejolak politik dan momen besar tersebut pemuda mengambil perannya menjadi penggerak dan menjadi pemimpin dalam gerakan tersebut. Tetapi proses itu adalah tampilan puncaknya, karena ada proses sebelumnya yakni aspek melakukan pengorganisasian rakyat. Pengorganisasian tersebut adalah dengan tinggal bersama, belajar bersama dan berjuang bersama apa yang menjadi kebutuhan rakyat di tempat mereka tinggal. Yang pada ujungnya adalah menggerakkan pada tuntutan tertinggi di ranah politik kekuasaan. Periode tersebut bisa dipelajari dalam banyak literatur, tidak ada pemuda yang mampu menjadi tokoh dan menggerakkan massa luas tanpa keseriusan, ketelatenan serta kontinuitas di dalam kelompok rakyat sehingga dikenal dan didukung secara luas.

Dalam praktek sekarang, terutama pascareformasi (juga terjadi di setiap periode momentum perebutan kekuasaan) adalah lebih dominan pemuda masuk ke tampuk kekuasaan melalui jalur intelektual serta jalur formal kekuasaan partai politik. Kondisi ini menjauhkan apa yang dilakukan di lingkar kekuasaan dari kondisi umum yang dirasakan rakyat serta pemuda yang sudah masuk ke lingkar kekuasaan tidak memiliki posisi tawar politik yang kuat.

Seperti kita tahu, bahwa proses formal demokrasi lewat pemilu yang mampu menaikkan banyak kalangan pemuda ke lingkar kekuasaan tidaklah murni proses pengorganisasian dengan kesadaran dan keterlibatan aktif massa rakyat. Tetapi lebih banyak pemuda yang memiliki uang dan dekat dengan kekuasaan untuk digunakan sebagai jalan ke lingkar kekuasaan.

Problem besar rakyat setiap hari adalah akibat kerakusan kekuasaan yang mengabdi pada kapitalisme internasional. Sehingga kebijakan hukum, politik dan ekonomi melepas peran negara atas kepentingan rakyat. Dengan kebijakan tersebut sangatlah jelas betapa rakyat dalam tekanan yang berat. Bila kita pilah, maka ada banyak pemuda yang terlibat dalam kekuasaan dan abai terhadap kondisi rakyat.

Rakyat semakin tertekan, di satu sisi ditekan kebijakan politik secara nasional, di sisi lain kehidupan ekonomi untuk bertahan hidup harus terus dilakukan. Di lain hal, pengetahuan akan kebijakan hukum serta informasi dari situasi secara umum sangat sedikit atau bahkan hampir tidak ada.

Dalam situasi seperti itu, perlawanan atas kondisi seperti itu pasti akan terjadi. Problem yang muncul adalah perlawanan rakyat kurang terarah dan sifatnya lokal. Di sinilah sebenarnya peran pemuda untuk hadir dan berfungsi.

Pemuda-pemuda harus berada di tengah-tengah rakyat yang membutuhkan pasokan pengetahuan sehingga bisa mengarahkan perjuangan dengan tepat serta berguna. Dalam konteks seperti ini perjuangan berjangka panjang dan menjadi wadah pendidikan bagi rakyat untuk keluar dari kesulitannya terjadi. Ajang ini sekaligus menjadi ruang latihan memimpin sehingga lahir pemimpin-pemimpin rakyat yang setia pada kepentingan rakyat.


* Penulis adalah anggota Paguyuban Pemulung Semut Ireng Surakarta, sekaligus Anggota Forum Belajar Bersama Prakarsa Rakyat dari Simpul Jawa Tengah.

** Siapa saja dipersilahkan mengutip, menggandakan, menyebarluaskan sebagian atau seluruh materi yang termuat dalam portal ini selama untuk kajian dan mendukung gerakan rakyat. Untuk keperluan komersial pengguna harus mendapatkan ijin tertulis dari pengelola portal Prakarsa Rakyat. Setiap pengutipan, penggandaan dan penyebarluasan sebagian atau seluruh materi harus mencantumkan sumber (portal Prakarsa Rakyat atau www.prakarsa-rakyat.org).

Oleh : Jerry Indrawan Gihartono*

Pertama
Kami poetera dan poeteri Indonesia, mengakoe bertoempah darah jang satoe, tanah Indonesia.

Kedoea
Kami poetera dan poeteri Indonesia, mengakoe berbangsa jang satoe, bangsa Indonesia.

Ketiga
Kami poetera dan poeteri Indonesia, mendjoendjoeng bahasa persatoean, bahasa Indonesia.

Ketiga kalimat di atas bukan kalimat biasa, tetapi dihasilkan dengan penuh perjuangan dan pengorbanan yang tinggi oleh kaum muda saat itu. Miris sebenarnya ketika mengetahui bahwa ketiga kalimat tersebut mungkin sudah dilupakan oleh kaum muda Indonesia yang sekarang sudah beranjak hedonis dan melupakan akar sejarah bangsanya sendiri. Ketika itu, 28 Oktober 1928 di Kramat Raya 106, Jakarta beberapa puluh anak muda berikrar tentang bangsa dan tanah air yang satu dan tentang bahasa persatuan yang harus dijunjung. Peristiwa itu dijadikan simbol yang diperlukan bagi suatu tujuan tertentu yakni peneguhan integrasi nasional untuk mencapai kemerdekaan Indonesia.

Pemaknaan Kembali Persatuan dan Kesatuan

Sangat menarik untuk melihat peringatan 83 tahun Sumpah Pemuda tahun 2011 ini tidak hanya dari konteks selebrasinya saja. Kita terus menerus dibuai oleh konsep persatuan dan kesatuan, yang melandasi adanya Sumpah Pemuda, secara baku dan formalistik belaka. Kita tidak memaknai persatuan dan kesatuan itu sebagai unsur inheren yang mampu mempersatukan bangsa, sekaligus mengantar bangsa ini menuju masyarakat madani. Perlu dicanangkan sebuah rekonstruksi budaya persatuan dan kesatuan Sumpah Pemuda agar tidak hanya menjadi simbol selebrasi kebangsaan semata.

Trisakti Bung Karno mengajarkan kita untuk berdaulat dalam bidang politik, berdikari dalam bidang ekonomi, dan berkepribadian dalam bidang kebudayaan. Tetapi sebenarnya, tidak pernah ada korelasi antara kepribadian budaya bangsa dengan semangat persatuan dan kesatuan bangsa yang diinisiasikan ketika Sumpah Pemuda 83 tahun yang lalu. Konsep persatuan dan kesatuan hanya digunakan secara terpisah, parsial, dan berkala. Mengapa? Karena hanya dipakai ketika berjuang melawan Belanda dan Jepang dulu untuk merebut kemerdekaan. Ketika kemerdekaan diraih, persatuan dan kesatuan berubah menjadi sebatas konsep kaku dan normatif yang hanya diharapkan untuk menjaga agar bangsa ini tidak terpecah-pecah, seperti kesangsian banyak sarjana-sarjana barat dulu ketika melihat sebuah negara yang bernama Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya.

Namun di situ masalahnya ketika semangat bertumpah darah satu, berbangsa satu, dan berbahasa satu hanya dimaknai secara praktis, politis, dan degeneratif. Maksudnya adalah, selama ini esensialitas dari konsep persatuan dan kesatuan cenderung digunakan hanya untuk kepentingan-kepentingan praktis yang bertendensikan politis. Sumpah Pemuda memang simbol yang diperlukan. Namun selama ini penerapannya banyak yang melenceng dari sasaran. Persatuan dan kesatuan hanya menjadi obsesi pemerintahan Soeharto. Namun, upaya untuk sampai ke arah itu, hanya sebatas retorika dan ketentuan formal. Malahan, atas nama persatuan dan kesatuan rezim otoriter Soeharto melahirkan produk undang-undang subversif yang bisa menghilangkan nyawa manusia dan mengancam kekayaan kultural bangsa.

Kondisi ini sendiri diperparah dengan ketidakmampuan negara untuk mengatur rakyatnya. Kita lihat banyak sekali gerakan anti pemerintah yang muncul sebagai jawaban dari lamban dan tidak efektifnya pemerintahan SBY-Budiono. Pemuda adalah elemen masyarakat yang paling banyak turun ke jalan memperjuangkan nasibnya. Hal ini sebagai akibat tidak adanya perhatian pemerintah terhadap kaum muda, sehingga kaum muda berjuang ke jalan untuk menyalurkan aspirasinya melawan rezim yang tak berpihak pada rakyat.

Rekonstruksi Indonesia

Saya melihat persatuan dan kesatuan bangsa kita tidak mampu menyesuaikan dirinya dengan perkembangan modernisasi yang sangat cepat ini. Ini bukti gagalnya pemerintah merumuskan sebuah konsep kebangsaan yang dapat diterima semua komponen masyarakat. Nyatanya, kelakuan pemerintah malah menjadi pelecut kemarahan rakyat, seperti yang terjadi di Papua, Aceh, Ambon, sampai daerah-daerah perbatasan seperti Tanjung Datu dan Camar Bulan.

Dengan tidak mengesampingkan kebudayaan asli bangsa, persatuan dan kesatuan di Indonesia harus terseminasikan secara integral dan holistik. Hal ini menciptakan sebuah konsep nasional, yang terdiri dari kombinasi-kombinasi akulturatif kearifan lokal di seluruh Nusantara Indonesia, sehingga layak disebut kebudayaan nasional yang lebih generatif.

Persatuan dan kesatuan nasional yang berlandaskan pengakuan dan perkembangan budaya bangsa ini harus menjadikan dirinya sebagai benteng utama untuk mengatasi masalah-masalah yang mengakar di Indonesia, seperti ancaman fundamentalisme agama, neoliberalisasi, sampai bahaya laten terbaru bangsa kita: korupsi. Ia harus mampu hidup dan tetap wajib menjadi panduan bangsa Indonesia menghadapi pengaruh globalisasi dunia yang semakin hari semakin menerabas batas-batas sosial budaya.

Persatuan dan kesatuan harus mampu bergerak menjauhi pemahaman lamanya ketika Sumpah Pemuda dulu. Memampukan dirinya untuk terus bergerak dan melangkah ke medan perang yang baru, yaitu globalisasi. Peran pemerintah harus nyata dan terlihat dalam konteks ini, bukannya terkesan cuci tangan dan menutup mata, serta menyerah pada kartel-kartel asing yang menggerogoti setiap lini kehidupan bangsa.


* Penulis adalah Kepala Divisi Ekonomi Politik, Koalisi Persatuan dan Kesatuan (KPK), sekaligus Anggota Forum Belajar Bersama Prakarsa Rakyat dari Simpul Jabodetabek.

** Siapa saja dipersilahkan mengutip, menggandakan, menyebarluaskan sebagian atau seluruh materi yang termuat dalam portal ini selama untuk kajian dan mendukung gerakan rakyat. Untuk keperluan komersial pengguna harus mendapatkan ijin tertulis dari pengelola portal Prakarsa Rakyat. Setiap pengutipan, penggandaan dan penyebarluasan sebagian atau seluruh materi harus mencantumkan sumber (portal Prakarsa Rakyat atau www.prakarsa-rakyat.org).

;;