Oleh Khalisah Khalid *


Judul di atas terinspirasi dari sebuah buku yang berjudul politik berparas perempuan yang ditulis oleh Joni Lovenduski. Sebuah buku kritis yang memacu adrenalin perempuan yang ingin melihat lebih jauh bagaimana wajah politik kita, dan menilai sejauh mana keberhasilan perempuan yang telah masuk ke gelanggang politik mampu mempengaruhi kultur politik dan bahkan mempengaruhi produk kebijakan yang dihasilkan.

Meskipun banyak mengambil pelajaran dari pertarungan politik perempuan di Inggris dan Perancis, tidak ada salahnya jika kita mencoba menariknya dalam situasi politik nasional yang sudah ”panas” menjelang pemilu 2009. Langkah afirmatif yang diterjemahkan ke dalam sebuah ketentuan kuota minimum 30% dalam Undang-Undang Pemilu 2009, akhirnya terjegal dalam proses politik berikutnya di Mahkamah Konstitusi yang bagi saya sebagai sebuah ”tragedi” yang semakin melengkapi begitu liberalnya sistem politik ini mereformasi dirinya dengan memberikan ruang bagi kehadiran perempuan untuk secara maksimal masuk dalam gelanggang politik praktis.

Belum banyak memang orang yang mengerti makna langkah afirmatif bagi perempuan di dalam politik, termasuk kuota. Cerminan ini bisa dilihat ketika politisi perempuan yang berada di nomor urut ”sepatu” gembira dengan hasil keputusan Mahkamah Konstitusi melalui suara terbanyak. Konyolnya dalam perdebatan yang muncul di media massa selalu menghadapkan politisi laki-laki yang mendukung kuota 30 persen bagi perempuan dengan politisi perempuan yang tidak mendukung kuota 30 persen. Padahal begitu banyak aktivis perempuan yang masuk ke gelanggang politik praktis ini berjuang mati-matian untuk satu pasal dalam undang-undang pemilu yang mengatur soal kuota bagi perempuan.

Kondisi yang muncul inilah yang kemudian membangun sebuah pandangan bahwa kuota 30 persen itu sendiri tidak didukung oleh perempuan, padahal ruang untuk memaknai kuota 30 persen itulah yang harus semakin dikuatkan secara substantif, sehingga tidak terjadi kekhawatiran Soe Tjen Marching, seorang feminis dan staf pengajar pada Universitas London dalam tulisannya di salah satu media massa menyatakan bahwa kuota hanya menjadi retorika murahan atau saya menyebutnya kuota 30 persen hanya sebagai permen politik bagi perempuan.

Seorang kawan kontributor majalah Tapol yang sudah lebih dari 10 tahun bermukim di London juga sempat mewawancarai sejumlah aktivis perempuan Indonesia, untuk mengetahui bagaimana pandangan kami sebagai aktivis perempuan terkait dengan kuota 30 persen keterwakilan perempuan di parlemen. Sebagai salah seorang yang diwawancarai, saya menyatakan bahwa Sarekat Hijau Indonesia yang merupakan gerakan politik hijau di Indonesia mendukung langkah affirmative action dengan kuota 30 persen perempuan duduk di parlemen, namun tentu saja langkah afirmatif berupa kuota ini tidak berhenti sampai di sini, karena berbagai persoalan yang dialami oleh perempuan bukan hanya disebabkan oleh persoalan struktural berupa ketimpangan pada relasi kelas yang mempengaruhi akses dan kontrol dalam pengambilan keputusan di dalam pengelolaan lingkungan hidup dan sumber daya alam.

Faktanya dalam pemilu 2009 yang telah berlalu, agenda perempuan dalam pengelolaan kekayaan alam dan isu lingkungan hidup, sepi disuarakan oleh partai-partai politik. Padahal krisis lingkungan dan praktek eksploitasi kekayaan alam telah menghancurkan sumber-sumber kehidupan perempuan. Di sinilah tantangan berat bagi perempuan yang telah masuk pada ruang-ruang politik praktis di parlemen, agar kehadirannya bukan hanya seperti pemanis parlemen, apalagi sebagai hadiah politik. Kita tunggu kiprahnya melalui kebijakan politik yang dihasilkan, sejauh mana berpihak pada kepentingan dan kebutuhan rakyat, khususnya perempuan.


* Penulis adalah Dewan Nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) 2009-2012; Biro Politik dan Ekonomi Sarekat Hijau Indonesia. Penulis juga anggota Forum Belajar Bersama Prakarsa Rakyat dari Simpul Jabodetabek.

** Siapa saja dipersilahkan mengutip, menggandakan, menyebarluaskan sebagian atau seluruh materi yang termuat dalam portal ini selama untuk kajian dan mendukung gerakan rakyat. Untuk keperluan komersial pengguna harus mendapatkan ijin tertulis dari pengelola portal Prakarsa Rakyat. Setiap pengutipan, penggandaan dan penyebarluasan sebagian atau seluruh materi harus mencantumkan sumber (portal Prakarsa Rakyat atau www.prakarsa-rakyat.org).



Korupsi Nasionalisme; Martabat Seharga Rp. 5000,-; Hutan Bakau, Target Korupsi Selanjutnya; Diagnotika Eksploitasi Sumber Daya Alam hingga Menyoal Investasi Tambang Dan Masa Depan Tanah Samawa


Rakyat kudu puas hanya dengan sejenis pemuda zaman revolusi yang sohor disebut "pemuda ponggol", ia tergugah bergerak karena ada pamrih nasi ponggol dari dapur umum. Juga "pemuda-pemudaan" yang tak bebas dari pengaruh bapakisme dan tak berpikir buat memaksa "bapak" bertindak sesuai dengan keinginan mereka, seperti sejatinya pemuda. Jenis jinak, tak menggugah, yang disebut Saya Shiraishi dalam Indonesia Family in Politics sebagai pemuda daripada bapakisme yang tetap tinggal sebagai persoalan dan kekuatan penting kekuasaan dekaden karena cuma bisa membebek, wek-wek-wek.” (J.J. Rizal “Pemuda daripada Bapakisme” di Koran Tempo)


Di tengah arus kekuasaan dan kebudayaan yang membiakkan ”pemuda daripada bapakisme” yang cuma bisa membebek, wek-wek-wek....



Lahir angkatan muda pelajar-pelajar SMA yang idealis, progresif, dan berkomitmen. Paling tidak dengan pena mereka menorehkan semangat dan pandangan visionernya.


Diantaranya bisa disimak Hana Hanafih (siswi SMAN 5 Bandung) dengan buah penanya ”Martabat Seharga Rp. 5.000,-”, Kathrinna Rakhmavika (siswi SMA Santa Ursula BSD) dengan Korupsi Nasionalismenya, Agus Mandiri dkk (siswa-siswi SMAN 3 Sumbawa Besar) dengan Menyoal Investasi Tambang Dan Masa Depan Tanah Samawa.....


Membaca tulisan-tulisan mereka, tak pelak lagi mengiang-ngiang kembali percikan gagasan Sahabat Bumi Manusia Pramoedya Ananta Tour


“Menulislah, jika tak menulis, maka kamu akan ditinggalkan sejarah.”


"Kamu jangan takut untuk maju dan bicarakan ide-ide kamu. Sekali kamu takut, kamu kalah."


“Angkatan muda harus punya keberanian. Kalau tidak punya, sama saja dengan ternak yang hanya sibuk mengurus dirinya sendiri.”


Inilah kado mengharukan dari pelajar-pelajar SMA untuk Indonesia di 81 Tahun Sumpah Pemuda




Lomba Menulis Anti Korupsi Tingkat SMA. Diselenggarakan atas kerjasama antara Indonesia Corruption Watch (ICW), Perkumpulan Seni Indonesia (PSI), Perkumpulan Praxis, Mainteater Bandung, dan Wahana Lingkungan Hidup (Walhi).


* selamat untuk pada para siswi (perempuan tentu) yang memborong juara 1,2,3
Juara 1 : Martabat Seharga Rp. 5000,-
Juara 2 : Korupsi Nasionalisme
Juara 3 : Hutan Bakau, Target Korupsi Selanjutnya


Debat Politik SDA-Lingkungan Hidup yang diselenggarakan oleh Lembaga Olah Hidup (LOH), Sumbawa Besar, NTB
Juara 1 : Menyoal Investasi Tambang Dan Masa Depan Tanah Samawa
Juara 3 : Diagnotika Eksploitasi Sumber Daya Alam


baca juga
Suara Anak-anak Korban Lapindo di Tengah Dagang Sapi Kursi Kekuasaan
Kumpulan Cerpen dan Puisi Anak Korban Lapindo


EFFECTIVE APOLOGY

[Merajut Hubungan, Memulihkan Kepercayaan]

Penulis: John Kador

SINOPSIS

Headline surat kabar penuh dengan politisi yang meminta maaf, kaum selebriti yang perlu meminta maaf, dan para pemimpin bisnis yang gagal saat berusaha melakukannya. Kenyataannya, kita semua punya alasan untuk meminta maaf. Tapi menurut John Kador, kita tidak butuh lebih banyak lagi permintaan maaf. Kita butuh lebih banyak permintaan maaf efektif, permintaan maaf yang memulihkan ketegangan dalam hubungan, menciptakan peluang untuk tumbuh, dan memberi hasil yang lebih baik bagi semua pihak.

Effective Apology menantang Anda berpikir tentang nilai mendasar suatu permintaan maaf, bagi Anda dan sang penerima, dengan menelusuri secara rinci dimensi-dimensi kunci–yang disebut Kador sebagai 5 P–permintaan maaf yang tulus, permintaan maaf yang memiliki kekuatan untuk menyembuhkan dan memperbarui. Kador juga memberikan kiat bagaimana menerima atau menolak permintaan maaf, sepuluh hal yang harus dan tidak boleh dilakukan (dos and don’ts) perihal permintaan maaf, serta kuis untuk menguji AQ (Apology Quotient) Anda.

Buku ini dilengkapi lebih dari 70 contoh permintaan maaf yang baik, buruk, maupun yang tidak efektif. Tidak ada buku lain yang memadukan pendekatan aplikatif sedemikian praktis, dengan analisis yang kaya, tentang apa yang dibutuhkan untuk meminta maaf secara efektif.


ENDORSEMENTS

“Buku ini memberitahu Anda hal-hal pokok dalam merangkai permintaan maaf yang efektif di dunia kerja. John Kador berbagi beberapa pendekatan praktis dan telah terbukti soal permintaan maaf yang harus dikuasai setiap manajer.”

—Lee Iacocca, mantan pemimpin dan CEO, Chrysler Motors Corp.



“Meminta maaf sama sekali tidak mudah. Namun buku yang sangat penting dan optimis ini membantu kita mengubah hambatan menjadi peluang untuk membangun kembali hubungan yang didasarkan pada akuntabilitas dan keterbukaan.”

—Christine Comaford, CEO, Mighty Ventures, dan penulis Rules for Renegades, buku laris versi New York Times

“Effective Apology adalah jenis buku yang seharusnya telah saya baca bertahun-tahun lalu . . . pedoman terbaik dalam menggunakan serangkaian kata sederhana – Saya minta maaf – untuk meningkatkan kualitas hidup dan memberdayakan dunia kita.”

—Daniel H. Pink, penulis A Whole New Mind


PENULIS

JOHN KADOR adalah penulis produktif yang telah menelurkan enam belas buku, di antaranya Charles Schwab: How One Company Beat Wall Street and Reinvented the Brokerage Industr; Net Ready: Strategies for Success in the E-conomy (bersama John Sifonis dan Amir Hartman); The Manager’s Book of Questions: 751 Great Questions for Hiring the Best Person; How to Ace the Brainteaser Job Interview; dan 201 Best Questions to Ask On Your Interview.

Selain penulis, ia juga konsultan dan pembicara yang berlaku seolah setiap kata merupakan pilihan moral. Pekerjaan utamanya mengidentifikasi dan menggambarkan praktik-praktik terbaik dalam kepemimpinan dan mempromosikan standar tertinggi akuntabilitas pribadi, kerendahan hati, dan transparansi. Kredo pribadinya: beda tak selalu lebih baik, tapi yang lebih baik selalu beda.  


John memulai karier menulisnya di Washington DC pada suatu agensi humas dan periklanan berteknologi tinggi. Selama lebih dari 30 tahun, ia menjadi Kepala Kador Communications, yang menyediakan bantuan editorial bagi puluhan klien perusahaan dan media. Wawasan-wawasannya telah dimuat di lebih dari seratus majalah dan surat kabar, termasuk The Chicago Tribune, Computerworld, Working Women, dan Business to Business. Ia bahkan memiliki kolom di Chief Executive, Registered Rep, dan Human Resources Executive.

Pria yang meraih gelar master dalam Public Relation dari The American University ini kini tinggal di Winfield, Pennsylvania, bersama istrinya Anna Beth Payne, seorang psikolog di suatu pusat konseling universitas.





______________________________________
DATA BUKU

Judul : Effective Apology: Merajut Hubungan, Memulihkan Kepercayaan
Penulis : John Kador
Genre : Self-help
Penerjemah : Th. Dewi Wulansari dan Kunti Saptoworini
Editor : Indi Aunullah
Ukuran : 15 x 23 cm (plus flap, 9 cm)
Tebal : 332 halaman
ISBN : 978-979-19974-1-6
Harga : Rp. 69.000,-

==========================================
Pustaka Alvabet
Ciputat Mas Plaza Blok B/AD
Jl. Ir. H. Juanda No. 5A, Ciputat
Jakarta Selatan Indonesia 15411
Telp. +62 21 7494032,
Fax. +62 21 74704875
www.alvabet.co.id


Berikut adalah pernyataan-pernyataan politik dari elemen-elemen gerakan yang melakukan demonstrasi saat pelantikan SBY 20 Oktober 2009 yang sementara ini berhasil dihimpun oleh redaksi lentera









Beberapa aksi-aksi demonstrasi saat pelantikan SBY di DPR-RI (20 Oktober 2009) menurut catatan Traffic Management Center (TMC) Dit Lantas Polda Metro Jaya :


Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia – KASBI (FBSKU, SPEK, GSBN, PROGRESIF, SPJ RMM, KSN, PRP, SMI, JGM, SPCI, SP Gemerik).


Aliansi Parlemen Jalanan (APJ) (SRMI, LMND, FNPBI, PPDB, SPARTAN, Seniman Jakarta, PAPERNAS dan IISIP).


Komite Perjuangan Rakyat – K.P.R (ABM, FPBJ, SMI, KPOP, SBTPI, GESBURI, GSPB, SPI, PPRM, SPKAJ, SBI, SEPETAK, KPA)


Front Perjuangan Rakyat – FPR (Migrant Care, GSBI, AGRA OPSI, SBB, FBC, ATKI, FMN, CGM UBK, GMKI, PMKRI, HIHMAHBUDI, LPB, GRI, SHI),


Kesatuan Aksi Mahasiswa Raya Jakarta – KM. Raya Jakarta (UIN, UBK, APP, BSI Bekasi)


Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI, Jakarta, Bekasi, Depok, Bogor, Banten, Purwokerto, gerakan Pemuda mahasiswa Sosialis, At-Tahiriyah)


Gerakan Merah Putih (KM LASKI, UMJ, Univ Atma Jaya, UHAMKA, Borobudur, Jayabaya),


Forum Bersama (FKPI, JAMPER, RPM, UKI, FAM YAI, REPDEM, Gunadharma, PRODEM, GMNI, BENDERA, BMD, PENA 98).


Oleh Alfa Gumilang *

Tanggal 5 Oktober. Pada tanggal ini mungkin orang Indonesia secara umum akan lebih banyak mengingat sebagai hari berdirinya TNI. Tak salah memang ingatan itu, melihat begitu banyak peristiwa dan sejarah negeri ini yang berhubungan dengan kemiliteran. Entah mungkin tentang begitu heroiknya tentara dalam cerita perang melawan penjajahan, atau bahkan cerita tentang seribu satu macam pelanggaran HAM (Hak Asasi Manusia) yang melibatkan intitusi tersebut.

Tapi mungkin hanya sedikit orang yang tahu, bahwa pada tanggal tersebut ada peristiwa lain yang tak kalah penting bagi perkembangan HAM di Indonesia. Tepatnya pada tanggal 5 Oktober 1990, Konvensi Hak Anak (KHA) pertama kali berlaku di Indonesia, setelah sebelumnya melalui Keputusan Presiden No. 36/1990, tertanggal 25 Agustus 1990, Indonesia meratifikasi KHA.

Dalam sejarahnya, konvensi ini bermula dari sebuah gagasan mengenai hak anak pada saat berakhirnya perang dunia pertama. Hal ini muncul ke permukaan sebagai reaksi atas apa yang terjadi setelah perang dunia pertama tersebut usai. Sebuah kondisi dimana akibat dari perang tersebut, begitu sangat merugikan masyarakat dunia, khusunya penderitaan yang dialami oleh kaum perempuan dan anak-anak. Seruan agar adanya sebuah perhatian baik oleh publik dan tentunya perhatian yang lebih pula oleh negara atas nasib anak-anak yang menjadi korban perang dunia, seringkali diteriakkan oleh para aktivis perempuan.

Adalah Eglantyne Jebb, salah seorang aktivis perempuan yang kemudian mengembangkan sepuluh butir pernyataan tentang hak anak. Yang selanjutnya pada tahun 1924, untuk pertama kalinya Deklarasi Hak Anak diadopsi secara internasional oleh Liga Bangsa-Bangsa. Dan selanjutnya pada tahun 1959, Majelis Umum PBB kembali mengeluarkan pernyataan mengenai Hak Anak. Tahun 1979 yang merupakan Tahun Anak Internasional, pemerintah Polandia mengajukan usul bagi perumusan suatu dokumen standar internasional bagi pengakuan terhadap hak-hak anak dan mengikat secara yuridis. Lalu sepuluh tahun kemudian, tepatnya tahun 1989, rancangan Konvensi Hak Anak berhasil diselesaikan dan naskah akhirnya disahkan oleh Majelis Umum PBB sebagai Konvensi Hak Anak. Namun demikian pemberlakukan KHA sebagai hukum internasional baru dimulai pada tanggal 2 September 1990.

Melihat rentetan tahun bersejarah tersebut, begitu panjang perjuangan masyarakat sipil agar anak mendapatkan sebuah pengakuan dan perlindungan secara khusus atas hak-haknya. Karena anak sebagai individu yang belum matang secara fisik, mental maupun sosial, acap kali kondisinya dan beresiko terhadap tindak ekploitasi, kekerasan, penelantaran dan lain-lain. Bahkan tidak menutup kemungkinan, dalam waktu sebelum KHA itu diberlakukan sebagai hukum internasional, telah banyak jutaan anak yang menjadi korban, baik korban perang yang masih terus berlangsung, atau korban eksploitasi ekonomi, eksploitasi seksual, korban perdanganan ataupun bentuk-bentuk eksploitasi lainya.

Lalu bagaimana implementasi KHA itu di Indonesia?

Pertanyaan tersebut selakayaknya adalah negara dalam hal ini pemerintah yang harusnya mampu menjawabnya. Karena yang punya kewajiban untuk melakukan implementasi terhadap KHA adalah negara yang telah melakukan ratifikasi KHA, dan Indonesia adalah salah satu dari 188 negara yang telah melakukan ratifikasi KHA (sampai tahun 1996). Secara legislasi, pemerintah telah melakukan upaya implentasi dengan dikeluarkanya Keppres No. 36/1990, UU No 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, UU No 23 tahun 2003 mengenai Perlindungan Anak, serta aturan-aturan terkait lainya. Langkah ini memang selayaknya mendapatkan apresiasi sebagai wujud upaya pemenuhan hak-hak anak.

Namun demikian, seperti pada persoalan-persoalan lainnya, secara praktis, upaya tersebut sangatlah buruk di lapanganya. Karena terbukti sampai sekarang, masih banyak sekali persoalan-persoalan yang menyangkut atas hak-hak anak yang belum mampu dipenuhi oleh negara/pemerintah. Belum lagi persoalan perlidungan terhadap anak akan kekerasan yang sangat besar terjadi di daerah-daerah yang berkonflik, persoalan eksploitasi anak sebagai tenaga kerja untuk mendapatkan buruh yang murah dan semata-mata untuk keuntungan pengusaha saja. Lalu eksplotasi secara seksual juga masih banyak terjadi di negeri ini, khususnya perdagangan anak untuk tujuan seksual atau anak yang dilacurkan.

Menelaah lebih jauh tentang eksploitasi seksual komersial terhadap anak merupakan salah satu pelanggaran mendasar terhadap hak-hak anak, yang dalam bentuknya terdiri atas prostitusi anak, pornografi anak dan perdagangan anak untuk tujuan seksual. Pelanggaran tersebut bisa berbentuk kekerasan seksual oleh orang dewasa dan pemberian imbalan terhadap anak. Dimana anak tersebut diperlakukan sebagai sebuah obyek seksual dan sebagai obyek komersial serta merupakan bentuk pemaksaan dan kekerasan terhadap anak yang mengarah pada bentuk-bentuk kerja paksa serta perbudakan modern. Data dari IPEC-ILO tahun 2004, menyebutkan bahwa sekurangnya ada 27% anak yang masih di bawah umur (usia 18 tahun ke bawah sesuai dengan KHA) atau sekitar 2.329 anak dari sekitar 8.440 pekerja seks komersil yang ada di wilayah Dolly, Surabaya. Sementara Saleemah Ismail dari UNIFEM menyatakan lebih dari 40% dari sekitar 19.000 pekerja seks di Batam berusia di bawah 18 tahun.

Keberadaan anak dalam bisnis prostitusi ini tentunya tidak lahir dari keinginan anak untuk berada di sana. Namun melainkan adalah dari sebuah bentuk perdagangan anak. Dimana adanya proses perekrutan, pemindahtanganan, penampungan dan penerimaan anak. Dari pantauan media massa yang dilakukan oleh tim gugus tugas anti trafficking, pada tahun 2006 saja setidaknya tercatat ada 184 korban perdagangan yang 35 di antaranya adalah anak-anak untuk ditempatkan di wilayah prostitusi di Surabaya. Dan kebanyakan dari korban perdagangan anak tersebut, berlatar belakang dari keluarga yang tidak mampu, kemudian berpendidikan rendah, atau dari keluarga yang tidak lengkap.

Upaya pencegahan seharusnya mampu secara nyata dan aktif bisa dilakukan oleh institusi pemerintahan dalam hal ini adalah kepolisian untuk melakukan penyidikan dan peneyelidikan terhadap para pelaku kejahatan perdagangan anak. Apalagi payung hukum yang tersedia juga sudah ada. Begitu pula upaya pencegahan dari hulu yang harus cepat dilakukan oleh pemerintah. Karena melihat dari latar belakang para korban yang umumnya adalah dari keluarga yang miskin atau tidak mampu dan juga para korban yang berpendidikan rendah. Artinya kesejahteraan bagi rakyat harus menjadi prioritas utama dari pemerintah, yang tentunya adalah dalam bentuk pembangunan ekonomi yang berkeadilan sosial. Karena jika hal ini dilakukan, maka tidak hanya persoalan anak dan perdagangan anak saja yang akan teratasi, tapi juga akan berimbas pada seluruh persoalan masyarakat lainnya. Jika kita menengok strategi dan perspektif pemerintah dalam pembangunan ekonomi negeri ini, sangatlah berorientasi dan sangat berpihak pada kepentingan pemilik modal atau pengusaha serta keuntungan semata. Tanpa kemudian memperhatikan hal-hal yang menyangkut pemerataan pembangunan di daerah-daerah, pembukaan lapangan kerja yang bersifat massal dari industri yang kuat, serta pemenuhan upah yang layak bagi kehidupan para pekerja. Sehingga anak pun bisa mendapatkan hak-hak dasarnya seperti pendidikan yang berkualitas, karena tingkat pendidikan yang rendah juga merupakan faktor dari terjadinya pelacuran terhadap anak dan juga perdagangan anak.

Paradigma pembangunan ekonomi yang seperti inilah yang kemudian berdampak sangat besar terhadap persoalan ekonomi masyarakat yang berlanjut pada banyaknya kasus perdagangan manusia (trafficking) dan ekspoitasi terhadap anak dalam banyak hal untuk kepentingan komersial.

Ekonomi sebagai dasar kehidupan manusia harus terpenuhi secara layak dan bermartabat serta berkeadilan sosial adalah hal utama yang harus dilakukan oleh pemerintah dalam upaya memenuhi hak-hak anak. Selain pula juga terus melakukan upaya praktis dan aktif untuk menanggulangi perdagangan anak dan pemenuhan hak-hak anak. Karena anak bukanlah sebuah komoditi untuk diperdagangkan, anak bukanlah sebuah obyek untuk dinikmati secara seksualitas. Karena anak haruslah terpenuhi hak-haknya untuk mempunyai identitas, anak haruslah terpenuhi haknya atas pendidikan dan kesehatan. Anak haruslah mendapatkan perlindungan hukum dan kasih sayang, anak pula harus mendapatkan haknya untuk bermain, berekreasi, berfikir, berpendapat dan berkarya, serta tidak mendapatkan perlakuan diskriminatif.


* Penulis adalah pekerja di Yayasan Anak dan Perempuan (YAP) di bidang trafficking, sekaligus anggota Forum Belajar Bersama Prakarsa Rakyat dari Simpul Jabodetabek.

** Siapa saja dipersilahkan mengutip, menggandakan, menyebarluaskan sebagian atau seluruh materi yang termuat dalam portal ini selama untuk kajian dan mendukung gerakan rakyat. Untuk keperluan komersial pengguna harus mendapatkan ijin tertulis dari pengelola portal Prakarsa Rakyat. Setiap pengutipan, penggandaan dan penyebarluasan sebagian atau seluruh materi harus mencantumkan sumber (portal Prakarsa Rakyat atau www.prakarsa-rakyat.org).


SEKULARISASI DITINJAU KEMBALI
Agama dan Politik di Dunia Dewasa Ini
Pippa Norris & Ronald Inglehart
Pengantar Edisi Indonesia:
Ihsan Ali-Fauzi & Rizal Panggabean

“Buku ini istimewa karena bersandar pada riset yang ketat secara ilmiah dengan cakupan wilayah terbesar sepanjang sejarah ilmu sosial. Temuannya mencerahkan. Wajib dibaca oleh ilmuwan dan pengamat sosial serta pengambil kebijakan.”

—Saiful Mujani, Direktur Eksekutif LSI



Para pemikir sosial abad ke-19, semisal Auguste Comte, Herbert Spencer, Emile Durkheim, Max Weber, Karl Marx, dan Sigmund Freud, memprediksi agama akan memudar dan mengalami disfungsi dalam masyarakat industri. Sepanjang abad ke-20, keyakinan agama lenyap dan digantikan kearifan konvensional dalam ilmu pengetahuan. Inilah inti teori sekularisasi yang sangat dominan di dunia modern.

Namun, beberapa dekade terakhir, tesis redupnya pesona agama ini kian mendapati kritik. Kenyataannya, agama saat ini tidak benar-benar mati dan tidak pula kehilangan sisi pentingnya. Hal ini tampak dari kian menguatnya religiusitas di Amerika Serikat, munculnya spiritualitas New Age di Eropa Barat, maraknya gerakan fundamentalis dan partai keagamaan di dunia Muslim, serta menyeruaknya konflik etno-religius di kancah internasional.

Apakah sekularisasi sudah tamat? Jawabnya, tidak! Namun demikian, teori lama tentang sekularisasi mesti diuji kembali dan diperbarui. Dan, buku ini menyajikan kontroversi teori baru ihwal sekularisasi. Didukung fakta-fakta hasil survei World Values Survey terhadap hampir 80 masyarakat di seluruh dunia, karya ini penting bagi siapa pun yang tertarik pada isu-isu agama, sosial, opini publik, perilaku politik, psikologi sosial, hubungan internasional, dan perubahan budaya.


ENDORSEMENT:

“Norris dan Inglehart menyodori kita standar emas ilmu sosial.”

—Steve Bruce, University of Aberdeen


“Pendekatan interdisipliner dalam studi ini mampu… menghasilkan laporan yang berbeda dan merangsang pikiran mengenai hubungan kontemporer antara agama dan perkembangan ekonomi.”

—Rachel M. McCleary, Harvard University


“Buku yang sangat bagus… merupakan capaian besar di bidang riset empirik, sekaligus memberi kontribusi penting bagi dunia teori.”

—David Voas, University of Manchester


“Argumen-argumen dalam buku ini kontroversial, dan karena itu pasti mendorong para ilmuwan politik dan sosiolog… untuk menyangkalnya.”

—Clyde Wilcox, Georgetown University


BIODATA PENULIS

Pippa Norris adalah ilmuwan politik dengan fokus kajian pada demokrasi dan pemerintahan, opini publik dan pemilu, komunikasi politik, dan jender. Saat ini, dia menjabat Direktur Democratic Governance Group di UNDP, sembari mengajar di John F. Kennedy School of Government, Harvard University. Norris menulis lebih dari 30 buku, antara lain Digital Divide and a Virtuous Circle (buku terbaik bidang komunikasi politik pada The Doris A. Graber Prize 2006); Radical Right: Voters and Parties in the Electoral Marketplace; Critical Citizens; The Politics of News; Elections and Voting Behaviour; dan Women, Media, and Politics; Comparing Democracies.

Ronald Inglehart adalah ilmuwan politik dari University of Michigan. Ia menekuni riset di bidang perubahan kultural. Profesor Inglehart kini menjabat Direktur World Values Survey, sebuah jaringan survei publik berskala internasional bagi ilmuwan sosial dengan perwakilan nasional di lebih dari 80 masyarakat dunia. Karya-karyanya, antara lain Modernization and Postmodernization (1997); Human Values and Beliefs (1998); Rising Tide: Gender Equality and Cultural Change Around the World (2003); Islam, Gender, Culture, and Democracy (2004); Modernization, Cultural Change, and Democracy (2005).



____________________________

DATA BUKU:
Judul: SEKULARISASI DITINJAU KEMBALI
(Agama dan Politik di Dunia Dewasa Ini)
Penulis: Pippa Norris & Ronald Inglehart
Penerjemah: A. Zaim Rofiqi
Editor: Ihsan Ali-Fauzi dan Rizal Panggabean
Genre: Kajian Agama/Sosial/Demokrasi
Cetakan: I, Oktober 2009
Ukuran: 15 x 23 cm + flap 9 cm
Tebal: 392 halaman
ISBN: 978-979-3064-65-9
Harga: Rp. 69.000,-


==========================================
Pustaka Alvabet
Ciputat Mas Plaza Blok B/AD
Jl. Ir. H. Juanda No. 5A, Ciputat
Jakarta Selatan Indonesia 15411
Telp. +62 21 7494032,
Fax. +62 21 74704875
www.alvabet.co.id


Friends,

Berikut daftar isi dari kumpulan notes yg pernah saya posting di facebook dan berbagai milis dari tanggal 1 April 2009 s/d 12 Oktober 2009. Total ada 145 postings berisikan percakapan antara berbagai teman di seluruh Indonesia dan mancanegara dengan saya. Teman bertanya dan saya menjawab. Terkadang jawabannya panjang lebar, terkadang pendek-pendek, depending on my mood dan something in me which is sooo... unpredictable.

Intuition is always unpredictable. Datangnya seperti tsunami, seperti gempa bumi. Tidak ada lalu bisa ada. Setelah itu tidak ada lagi. Dan itulah yg namanya intuisi. Tiap orang dari kita memiliki intuisi. Asal mau masuk ke dalam diri melalui meditasi, dan juga mau menjadi diri sendiri saja meninggalkan segala macam dogma yg sudah tidak laku lagi bahkan di Sorga, maka intuisi anda akan berkembang. Seperti layar. Namanya layar terkembang, seperti judul sebuah roman di masa lalu.

Sailing the boat while singing: que sera sera, whatever will be will be, the future's not ours to see, que sera sera... Kita berlayar menyongsong 2012 ketika banyak orang bilang akan ada kiamat dan kita bilang tidak. Kiamat kita sudah lewat ketika kita memutuskan menjadi diri sendiri saja. So, kiamat ternyata datang satu persatu ke diri kita. Ketika kita memilih menjadi diri sendiri saja, maka kiamatlah si manusia lama, dan lahirlah manusia baru. Ada peran Imam Mahdi juga who is none other than your own conscience. Nurani anda sendiri. Bukan orang lain, bukan nabi, tetapi nurani yg ada di diri anda sendiri saja. Isn't that great?

Ebook 'Menyongsong 2012' ini bisa langsung anda peroleh di mailbox anda apabila anda join milis Spiritual Indonesia di . Apabila anda sudah menjadi member, maka anda bisa download ebook ini dari bagian files di milis yg sama. Bisa juga meminta langsung dari saya apabila anda mau mengirimkan email address anda kepada saya di .

Seperti tiga ebooks sebelumnya yg berjudul: 'Pelangiku Warna Ungu'; 'Mata Ketiga, Simbol dan Interpretasinya'; dan, 'Mencari Tuhan dalam Kesadaran', ebook ini juga dipersembahkan kepada semua rekan-rekan yg telah begitu antusiasnya membagi pengalaman spiritual pribadi mereka kepada saya. Kita belajar dari pengalaman satu sama lain bukan?. I learnt from you, even though some of you might have thought that you learnt from me. I, from all people, am the one who have learnt the most (jujur, jujur...)


Leo
Jakarta/ 14 Oktober 2009

(Leonardo Rimba adalah lulusan Universitas Indonesia dan the Pennsylvania State University. Bersama Audifax, Leo menulis buku 'Psikologi Tarot' (Pinus, 2008). Buku berikutnya yg akan segera terbit berjudul 'Tarot dan Psikologi Simbol', juga ditulis bersama Audifax. Bersama Gede Jayadi Pramana Kusuma, Leo sedang mengerjakan buku dan kartu 'Tarot Bali'.)


+

DAFTAR ISI:


1. Namanya Pluralisme dan Itu Haram
2. Indonesia ini bukan Islam, kita negara plural
3. Sehingga terjadilah affair...
4. Boleh Aja, Nggak Haram
5. Gereja Gay dan Lesbian
6. Dia Itu Seorang Avatar yg Sedang Menyamar
7. Paskah yg Jatuh pada Hari Ini merupakan Simbol
8. Sekulerisme Solusinya
9. Wacana Spiritualitas dan Gender
10. Langkah Kedua dan Ketiga
11. Hujat Itu Ternyata Memang Menyejukkan
12. Reinkarnasi dari Ibu Kita Kartini
13. Frekwensinya itu Frekwensi Buddha
14. Jalan Syariat, Tarekat dan Makrifat
15. Aku lagi jatuh cinta sama diriku sendiri
16. Om adalah Simbol Tuhan
17. Narcissus Optimalitus
18. Saya Dulu a Bad Girl
19. Berita Pagi dari Karang Tumaritis
20. Allah is another name for Aten
21. Idih, kecil kecil udah makrifat
22. Saya Sudah Mulai Tidak Mempercayai Agama
23. Otaknya itu lebih dipake gitu lho!
24. Isa dan Flu Babi
25. Saya Suka Sekali Sesuatu yang Berbau Mistik dan Magis
26. Kita Tidak Lagi Naik Unta Gitu Lho!
27. Haruskah Saya Bercerai Darinya?
28. Lompatan Quantum
29. Konsep Allah Tidak Relevan Lagi
30. Seorang Pria Idaman
31. Ibu, PSK Itu Apa?
32. Aku Juga Lagi Hanged
33. Rasanya a 24 Years Old Kid
34. Isa Masih Ada Bersama Kita
35. Jibril Sudah Cappe Bilang Iqro
36. Pengalaman Pas Ngumpul Sama Pa' Chodjim
37. Wejangan Resi Budianthika
38. Bagaimana Mengontrol Penampakan?
39. Untuk Menjadi Diri Sendiri Saja Masih Dihalangi
40. Rahasia Kebijaksanaan Nabi Sulaiman
41. Komunitas Gifted People di Semarang
42. Transformasi Diri
43. Sorong Ke Kiri, Sorong Ke Kanan, Tralalalalalalalalalala...
44. Melihat Ular Sexy
45. Mas, Saya Mau Meditasi
46. Antara Sunan Ampel dan Jakarta
47. Nyari Boy Friend Ganteng
48. Pernah Dong
49. Apakah Cinta Juga Konsep Saja?
50. Tiga Wanita Bingung
51. Mengungsi ke Ruang Biru
52. Ave Maria
53. Apa Bener Mas Leo Bisa Melihat Hantu?
54. SALOME
55. ESQ dan NLP juga tidak mempan
56. Akan Bisa Pregnant
57. Allah Ta'alla
58. A Delivery Boy from Heaven
59. Seperti Diinjak Gajah
60. Apa Bener Menurut Allah?
61. SBY Menihilkan Kebenaran?
62. Indomie Seleraku, SBY Pilihanku
63. Tanya-jawab Seputar Leo Rimba
64. The Drama Queen
65. Allah dan Kelas Menengah Bawah
66. Saya Sering Sedih Karena Hal Itu
67. Ditonton Orang Tertentu Saja
68. Orbs Itu Apa Sih?
69. Teror Bom Lagi, Mas Leo
70. Haram, Dibenci Allah
71. Jiwa Mereka Sakit
72. Daripada Masuk Neraka
73. Kalau Gak Bodoh Kamu Kafir!
74. Tidak Mencari Allah Lagi
75. Huwal Awwalu wal Akhiru
76. Anda Sangat Waras
77. Be Natural, Be Atheist
78. Suka Gelisah Sendiri
79. GANDRUNG
80. Woman Juga Simbol Emosi
81. Selamat Jalan, Mas Willy!
82. The Real God
83. Simbol Kesadaran Kita
84. Isro Mikraj
85. MUI Akan Rugi
86. Karena Bujuk Rayu Syaiton
87. Budaya Kesurupan Massal
88. My Papi, Kyai Rahmat
89. Not Even Disebut Jalan
90. Indonesia Bangsa Budak (Re: 17 Agustus 2009)
91. Selamat Berpluralisme!
92. Kemerdekaan Spiritual
93. Compang-Camping
94. Ada Iblis dan Jin
95. Allah Berubah Pikiran
96. Have a Nice Phony Ramadhan!
97. Budak Berdasi
98. Burung Onta
99. Kesepian dan Solusinya
100. The True Neraka
101. Tuhan Belajar Menjadi Manusia
102. Kalo Allah Ga Ikut Campur
103. Kekerasan dalam Rumah Tangga
104. Coli dan Relaksasi
105. ROSO
106. Tuhan as a Big Hole
107. Salah dan Bahagia
108. Layangan Putus Benangnya Panjang
109. Jahiliyah Deh Loe, Indonesia!
110. Om Shanti Om
111. Allah Seperti Boneka di Tangan Kita
112. Tidak Ada Lagi Nuansa Magis Itu
113. Si Om Sudah Makrifatullah
114. Saya Dulu Seorang Muslim
115. Bajakan yg Terakhir dan Sempurna
116. Memang Murtad
117. Amaterasu Omikami
118. Ritual dan Santet
119. Tuhan Tergantung Kita
120. Langit Terbelah di Semarang
121. Spiritualitas dan Agama
122. Habis Lebaran Jadi Setan Lagi
123. Konthol Bimo
124. Soul Mate
125. Metatron dan Alam Semesta
126. Orgasme Spiritual
127. Wanita Amazon
128. Be a Brilliant Woman!
129. Allah Minta Korban Manusia
130: Wanita Anti Poligami
131. NEHI NEHI...
132. Agama sebagai Folklore atau Cerita Rakyat
133. Cara Jadi Happy atawa Mimpi Pura Besakih
134. Dewa Thoth
135. Mao Belanja Tuhan
136. Sun Go Kong vs. Biksu Gundul
137. Hikmah dari Tiga Phase Mimpi Spiritual
138. Jaringan Islam Liberal
139. Gempa Sumbar dan QS 17:16
140. Sekarang Jangan Bilang Itu "Kota Hantu"
141. Sepatu Baru, Peran Baru...
142. Dari Paham Atheisme sampai ke Gerbang Alam Semesta
143. Nyi Roro Kidul
144. Gempa Padang, Lalat Ijo dan Blacky
145. Kebebasan Beragama di Indonesia




+

Leo @ Komunitas Spiritual Indonesia .


Tulisan ini  juga disajikan di website http://umarsaid.free.fr/


Berikut adalah tulisan pertama dari 17 tulisan dalam majalah mingguan Tempo yang terhimpun dalam edisi khusus « Njoto dan tragedi G30S » dan  terbit dalam edisi 5-11 Oktober 2009. Edisi khusus ini terdiri dari 36 halaman (dari halaman 49 sampai 85). Tulisan-tulisan berikutnya akan disajikan berturut-turut dalam website http://umarsaid.free.fr/

-          - - - - - - - - - - - -

Peniup Saksofon di Tengah Prahara

IA berbeda dari orang komunis pada umumnya. Ia necis dan piawai bermain
biola dan saksofon. Ia menikmati musik simfoni, menonton teater, dan
menulis puisi yang tak melulu ”pro-rakyat” dan menggelorakan ”semangat
perjuangan”. Ia menghapus The Old Man and the Sea—film yang diangkat
dari novel Ernest Hemingway—dari daftar film Barat yang diharamkan
Partai Komunis Indonesia. Ia menghayati Marxisme dan Leninisme, tapi tak
menganggap yang ”kapitalis” harus selalu dimusuhi.

Ia adalah Njoto—yang namanya nyaris tak menyimpan pesona. Ia sisi lain
dari sejarah Gerakan 30 September 1965. Kecuali buku-buku Orde Baru yang
menyebut semua anggota PKI terlibat G30S, kebanyakan sejarawan tak
menemukan keterlibatan Njoto dalam aksi revolusioner itu. Njoto memang
tak lagi berada di lingkaran dalam Ketua PKI Dipa Nusantara Aidit
menjelang kemelut 1965. Ia disingkirkan akibat terlalu dekat dengan
Soekarno.

Tapi sejarah ”resmi” 1965 menunjukkan tak ada orang komunis yang
”setengah berdosa” dan ”berdosa penuh”. Di mata tentara, sang pemenang
pertarungan, hanya ada komunis atau bukan komunis. Karena itu, sang
pendosa harus ditumpas kelor. Njoto salah satunya. Ia diculik, hilang,
dan tak kembali hingga kini. Jejak kematiannya tak terlacak.

Menulis Njoto, setelah 44 tahun tragedi 1965, adalah ikhtiar untuk tak
terseret logika tumpas kelor itu. PKI bukanlah sebuah entitas yang utuh.
Sejarah selalu menyimpan orang yang berbeda.

Njoto salah satunya.

------------------------------
Catatan A. Umar Said :

Tulisan pembukaan atau pengantar edisi khusus « Njoto dan tragedi G30S » ini singkat, namun mengandung berbagai hal yang kiranya patut untuk sama-sama kita perhatikan.

Dalam kata pengantar ini terdapat kata-kata « Kecuali buku-buku Orde Baru yang menyebut semua anggota PKI terlibat G30S……… », yang secara implisit mencemoohkan (atau menyatakan ketidaksetujuannya)  terhadap apa yang selama puluhan tahun sudah diuar-uarkan oleh Suharto beserta pendukung-pendukungnya bahwa semua anggota PKI terlibat G30S.

Selama 32 tahun rejim militer Orde Baru, secara besar-besaran, terus-menerus, dan melalui segala cara, jalan, dan bentuk, telah dipompakan (secara paksa juga), bahwa semua anggota PKI yang jumlahnya jutaan itu terlibat G30S. Oleh karenanya, jutaan di antara mereka perlu dibunuh, dipenjarakan dalam jangka  panjang, atau disiksa dengan bermacam-macam cara, dan dipisahkan dari istri dan anak-anak mereka yang juga ikut menderita kesengsaraan yang berkepanjangan.

Dalam sejarah dunia modern, tidak banyak rejim diktatur yang melakukan sikap yang begitu  bengis dan begitu biadab terhadap kaum komunis  seperti rejimnya Suharto. Bahkan jenderal pro-fasis Franco dari Spanyol yang memerintah selama  sekitar 40 tahun pun tidak bertindak sejahat Suharto dan para jenderalnya. Juga Hitler, diktator fasis Nazi Jerman dan pemerintahan fasis Jepang, tidak melakukan kekejaman yang begitu luas terhadap begitu banyak orang dan  dalam waktu yang begitu panjang (selama 32 tahun).

Disebutkan juga dalam kata pengantar itu : « Tapi sejarah ”resmi” 1965 menunjukkan tak ada orang komunis yang ”setengah berdosa” dan ”berdosa penuh”. Di mata tentara, sang pemenang pertarungan, hanya ada komunis atau bukan komunis. Karena itu, sang pendosa harus ditumpas kelor. Njoto salah satunya. Ia diculik, hilang, dan tak kembali hingga kini. Jejak kematiannya tak terlacak »

Kalimat-kalimat di atas juga dapat dibaca sebagai ejekan  terhadap « sejarah resmi » dan tentara  yang menganggap bahwa semua komunis harus ditumpas kelor, tidak peduli « setengah berdosa » atau « berdosa penuh ». Jelaslah bahwa anggapan bahwa semua komunis harus ditumpas kelor  itu tidak berdasarkan nalar yang benar  atau berlandaskan fikiran yang tidak sehat (dalam bahasa kasarnya, ma’af, sinting !),  Apalagi, sekali lagi apalagi , kalau diingat bahwa menurut bukti-bukti sejarah selama ini ternyatalah dengan jelas sekali   bahwa jutaan orang  komunis yang sudah dibunuh atau dipenjarakan selama puluhan tahun itu tidak berdosa apa-apa sama sekali, dan juga tidak terlibat G30S.

Besarnya kejahatan dan beratnya dosa Suharto (dan pendukung-pendukungnya)  ini  lebih jelas kelihatan lagi sekarang , kalau diingat bahwa dibunuhya SEORANG saja yang tidak berdosa sama sekali  -- tidak peduli siapa pun ! --    sudah merupakan kejahatan besar yang diberitakan di suratkabar dan televisi, dan pelakunya dihukum berat.sesuai dengan hukum yang berlaku. Kita semua tidak bisa membayangkan berapa besarnya dosa Suharto (beserta pembantu-pembantu setianya) yang sudah membunuh dan menyuruh bunuh jutaan orang yang tidak bersalah apa-apa , dan dengan sewenang-wenang, serta dengan cara-cara yang sadis pula !

Njoto, Wakil Ketua II CC PKI, yang sebagian dari sosoknya ditampilkan dengan cara-cara yang menarik dalam edisi khusus ini adalah salah satu di antara jutaan orang yang diculik atau ditangkap secara sewenang-wenang  dan kemudian dibunuh secara gelap.

Dengan menyajikan edisi khusus tentang Njoto ini tim redaksi Tempo nampak jelas bersikap tidak mau mengikuti arus pandangan « tumpas kelor » atau « gebyah uyah » saja terhadap orang-orang komunis atau anggota PKI.

Segi lain yang penting adalah bahwa dengan edisi khusus Njoto ini sebagian kecil dari kebenaran sejarah bisa diungkap dengan baik. Cerita tentang hubungan Sutarni dan Njoto tidak saja mengandung segi-segi human interest yang menarik sekali, tetapi juga mengandung pesan moral yang kuat sekali.

Dan yang juga lebih-lebih penting lagi adalah bahwa edisi khusus ini memungkinkan banyak orang melihat bahwa Njoto (dan kader-kader PKI lainnya) adalah manusia biasa, dan orang komunis yang seperti orang lainnya juga, tetapi  yang bisa juga mempunyai kelebihan-kelebihan yang luar biasa dalam perjuangan untuk membela kepentingan rakyat.

Karenanya, setelah selesai membaca seluruh edisi khusus Njoto tersebut, orang akan bisa bertanya-tanya mengapa orang semacam dia harus dibunuh oleh militernya Suharto?

Kalau ada orang-orang  yang bertanya-tanya semacam itu dapatlah kiranya dikatakan bahwa edisi khusus ini sudah membuat jasa yang besar sekali bagi sejarah bangsa.



Paris, 17 Oktober 2009



Menuntut tindakan nyata. Menuntut keadilan iklim

Dalam pertemuan puncak perubahan iklim di Kopenhagen pada Desember ini, para pemimpin dunia dapat membuat keputusan-keputusan yang mempengaruhi masa depan planet kita. Mereka akan mendapatkan kesempatan bersejarah untuk berkomitmen untuk tindakan-tindakan yang membantu melindungi kita dari bencana akibat perubahan iklim yang berbahaya. Tanda-tangani petisi Friends of the Earth International (FoEI*) ini untuk mendorong mereka melakukan tindakan yang tepat dengan iklim kita dan masyarakat di seluruh dunia.

Mohon dukungan untuk petisi secara langsung disini

http://www.foe.co.uk/climatetalks/ind.petition.html


* Walhi adalah Friends of the Earth Indonesia


Menuntut tindakan nyata. Menuntut keadilan iklim

Dalam pertemuan puncak perubahan iklim di Kopenhagen pada Desember ini, para pemimpin dunia dapat membuat keputusan-keputusan yang mempengaruhi masa depan planet kita. Mereka akan mendapatkan kesempatan bersejarah untuk berkomitmen untuk tindakan-tindakan yang membantu melindungi kita dari bencana akibat perubahan iklim yang berbahaya. Mohon dukungan untuk menanda-tangani petisi FoEI ini untuk mendorong mereka melakukan tindakan yang tepat dengan iklim kita dan masyarakat di seluruh dunia.


Kepada para pemimpin UNFCCC / para kepala pemerintahan,

Dalam pembicaraan UNFCCC di Kopenhagen tahun 2009, kami mendorong anda untuk mencapai kesepakatan internasional tentang perubahan iklim yang adil dan memadai, yang akan menjamin masa depan kita dan generasi yang akan datang. Kesepakatan tersebut selayaknya mengakui bahwa negara-negara kaya telah membuat kerusakan iklim terbesar dan mereka seharusnya melakukan tindakan terlebih dahulu. Selain itu, kesepakatan tersebut selayaknya:

- Komitmen Negara-negara industry maju (terdaftar dalam “Annex I”) untuk sekurang kurangnya mengurangi 40% emisi dalam negeri mereka pada 2020, dengan menggunakan energi ramah lingkungan, transportasi lestari and mengurangi kebutuhan energi.

- Pengurangan tidak boleh dicapai dengan pembelian kredit karbon dari Negara-negara berkembang atau dengan pembelian hutan di Negara-negara berkembang untuk “mengganti kerugian” pembuangan emisi yang berkelanjutan di dunia industri.

- Negara-negara maju harus menyediakan tambahan uang kepada negara-negara berkembang untuk tumbuh dengan cara yang bersih, dan untuk mengatasi banjir, kekeringan dan kelaparan yang disebabkan oleh perubahan iklim. Kesepakatan tersebut selayaknya menjamin bahwa uang ini dibagikan secara adil dan transparan.

Kami tidak akan menerima hasil kesepakatan yang kurang dari hal tersebut diatas dari perwakilan internasional kami dalam negoisasi iklim.

salam pembebasan



andreas iswinarto
http://lenteradiatasbukit.blogspot.com



Oleh : Ust. H. Ahmad Sarwat, Lc.


Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Nyanyian dan musik sepanjang zaman selalu menjadi wilayah khilaf di antara para ulama. Dan lebih detail, ada bagiannya yang disepakati keharamannya, namun ada juga yang diperselishkan.

Bagian yang disepakati keharamannya adalah nyanyian yang berisi syair-syair kotor, jorok dan cabul. Sebagaimana perkataan lain, secara umum yang kotor dan jorok diharamkan dalam Islam. Terutama ketika musik itu diiringi dengan kemungkaran, seperti sambil minum khamar dan judi. Atau jika dikhawatirkan menimbulkan fitnah seperti menyebabkan timbul cinta birahi pada wanita. Atau jika menyebabkan lalai dan meninggalkan kewajiban, seperti meninggalkan shalat atau menunda-nundanya dan lain-lain.

Namun apabila sebuah nyanyian dan musik tidak seperti itu, barulah kemudian para ulama berbeda pendapat. Ada yang masih tetap mengharamkannya namun ada juga yang menghalalkannya.

Penyebab perbedaan pendapat itu cukup beragam, namun berkisar para dua hal.

Pertama, dalilnya kuat namun istidlalnya lemah. Kedua, dalilnya lemah meski istidlalnya kuat.

Contoh 1

Kita ambil contoh penyebab perbedaan dari sisi dalil yang kuat sanadnya namun lemah istidlalnya. Yaitu ayat Al-Quran al-Kariem. Kitatahu bahwa Al-Quran itu kuat sanadnya karena semua ayatnya mutawatir. Namun belum tentu yang kuat sanadnya, kuat juga istidlalnya. Kita ambil ayat berikut ini:

"Dan di antara manusia orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna untuk menyesatkan dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu olok-olokan. Mereka itu akan memperoleh azab yang menghinakan." (QS. Luqman: 5)

Oleh kalangan yang mengharamkan musik, ayat ini sering dijadikan bahan dasar untuk istidlal mereka. Mereka menafsirkan bahwa lahwal hadits (perkataan yang tidak berguna) adalah nyanyian, lagu dan musik.

Sebenarnya tidak ada masalah dengan ayat ini, karena secara eksplisit tidak mengandung pengharaman tentang lagu, musik atau nyanyian. Yang dilarang adalah perkataan yang tidak berguna. Bahwa ada ulama yang menafsirkannya sebagai nyanyian musik, tentu tidak boleh memaksakan pandangannya.

Kita bisa membaca pandangan Ibnu Hazm tentang ayat di atas. Beliau mengatakan bahwa yang diancam di ayat ini adalah orang kafir. Dan hal itu dikarenakan orang-orang kafir itu menjadi agama Allah sebagai ejekan. Meski seseorangmembeli mushaf lalu menjadikannya ejekan, maka dia pun kafir. Itulah yang disebutkan oleh Allah SWT dalam ayat ini. Jadi Allah SWT tidak mencela orang yang membeli alat musik apabila bukan untuk menjadikannya sebagai penyesat manusia.

Contoh 2: Hadits Nabawi

Dalam salah satu hadits yang shahih ada disebutkan tentang hal-hal yang dianggap sebagai dalil pengharaman nyanyian dan musik.

"Sungguh akan ada di antara umatku, kaum yang menghalalkan zina, sutera, khamr dan alat-alat yang melalaikan`." (HR Bukhari)

Karena hadits ini terdapat di dalam shahih Bukhari, maka dari sisi keshahihan sudah tidak ada masalah. Sanadnya shahih meski ada juga sebagian ulama hadits yang masih meragukanya.

Namun dari segi istidlal, teks hadits ini masih bersifat umum, tidak menunjuk alat-alat tertentu dengan namanya secara spesifik dan eksplisit. Di titik inilah sesungguhnya terjadi selisih pendapat para ulama. Dalil yang bersifat umum masih mungkin dipersoalkan apabila langsung dijadikan landasan untuk mengharamkan sesuatu.

Batasan yang ada dan disepakati adalah bila alat itu bersifat melalaikan. Namun apakah bentuknya alat musik atau bukan, maka para ulama berbeda pendapat.

Contoh 3: Hadits Nabawi

"Dari Nafi bahwa Ibnu Umar mendengar suara seruling gembala, maka ia menutupi telingannya dengan dua jarinya dan mengalihkan kendaraannya dari jalan tersebut. Ia berkata:`Wahai Nafi` apakah engkau dengar?`. Saya menjawab:`Ya`. Kemudian melanjutkan berjalanannya sampai saya berkata:`Tidak`. Kemudian Ibnu Umar mengangkat tangannya, dan mengalihkan kendaraannya ke jalan lain dan berkata: Saya melihat Rasulullah saw. mendengar seruling gembala kemudian melakukan seperti ini." (HR Ahmad, Abu Dawud dan Ibnu Majah).

Hadits ini sudah agak jelas dari segi istidlalnya, yaitu Rasulullah menutup telinganya saat mendengar suara seruling gembala. Namun dari segi kekuatan sanadnya, para ulama hadits mengatakan bahwa hadits ini termasuk hadits mungkar. Dan hadits mungkar kedudukannya lebih parah dari sekedar hadits dhaif.

Dan memang banyak sekali dalil pengharaman musik yang derajat haditsnya bermasalah. Dan wajar bila Abu Bakar Ibnul Al-Arabi mengatakan, “Tidak ada satu pun dalil yang shahih untuk mengharamkan nyanyian.”

Dan Ibnu Hazm juga senada. Beliau mengatakan, “Semua riwayat hadits tentang haramnya nyanyian adalah batil.”

"Dari Umar bin Hushain, bahwa Rasulullah saw. berkata tentang umat ini:` Gerhana, gempa dan fitnah. Berkata seseorang dari kaum muslimin:`Wahai Rasulullah kapan itu terjadi?` Rasul menjawab:` Jika biduanita, musik dan minuman keras dominan`." (HR At-Tirmidzi).

Sebagian Shahabat Menghalalkan Musik

Dari banyak riwayat kita mendapatkan keterangan bahwa di antara para shahabat nabi SAW, tidak sedikit yang menghalakan lagu dan nyanyian.

Misalnya Abdullah bin Ja`far, Abdullah bin Zubair, Al-Mughirah bin Syu`bah, Usamah bin Zaid, Umran bin Hushain, Muawiyah bin Abi Sufyan, Atha bin Abi Ribah, Abu Bakar Al-Khallal.

Imam Asy-Syaukani dalam kitabnya, Nailul Authar menuliskan bahwa para ulama Madinahmemberikan kemudahan pada nyanyian walaupun dengan gitar dan biola`.

Juga diriwayatkan oleh Abu Manshur Al-Bagdadi As-Syafi`i dalam kitabnya bahwa Abdullah bin Ja`far menganggap bahwa nyanyi tidak apa-apa, bahkan membolehkan budak-budak wanita untuk menyanyi dan beliau sendiri mendengarkan alunan suaranya. Dan hal itu terjadi di masa khilafah Amirul Mukminin Ali ra. Begitu juga Abu Manshur meriwayatkan hal serupa pada Qodhi Syuraikh, Said bin Al-Musayyib, Atho bin abi Ribah, Az-Zuhri dan Asy-Sya`bi.

Imam Al-Haramain dalam kitabnya, An-Nihayah dan Ibnu Abi Ad-Dunya yang menukil dari Al-Itsbaat Al-Muarikhiin; bahwa Abdullah bin Zubair memiliki budak-budak wanita dan gitar.

Dan Ibnu Umar pernah kerumahnya ternyata di sampingnya ada gitar, Ibnu Umar berkata:` Apa ini wahai sahabat Rasulullah saw. kemudian Ibnu Zubair mengambilkan untuknya, Ibnu Umar merenungi kemudian berkata, “Ini mizan Syami(alat musik) dari Syam?&quot.Ibnu Zubair menjawab, “Dengan ini akal seseorang bisa seimbang.”

Dan diriwayatkan dari Ar-Rawayani dari Al-Qofaal bahwa madzhab Malik bin Anas membolehkan nyanyian dengan alat musik.

Dan jika diteliti dengan cermat, maka ulama muta`akhirin yang mengharamkan alat musik karena mereka mengambil sikap wara`(hati-hati). Mereka melihat kerusakan yang timbul di masanya. Sedangkan ulama salaf dari kalangan sahabat dan tabi`in menghalalkan alat musik karena mereka melihat memang tidak ada dalil baik dari Al-Qur`an maupun hadits yang jelas mengharamkannya. Sehingga dikembalikan pada hukum asalnya yaitu mubah.

Oleh karena itu bagi umat Islam yang mendengarkan nyanyian dan musik harus memperhatikan faktor-faktor berikut:

1. Lirik Lagu yang Dilantunkan.

Hukum yang berkaitan dengan lirik ini adalah seperti hukum yang diberikan pada setiap ucapan dan ungkapan lainnya. Artinya, bila muatannya baik menurut syara`, maka hukumnya dibolehkan. Dan bila muatanya buruk menurut syara`, maka dilarang.

2. Alat Musik yang Digunakan.

Sebagaimana telah diungkapkan di muka bahwa, hukum dasar yang berlaku dalam Islam adalah bahwa segala sesuatu pada dasarnya dibolehkan kecuali ada larangan yang jelas. Dengan ketentuan ini, maka alat-alat musik yang digunakan untuk mengiringi lirik nyanyian yang baik pada dasarnya dibolehkan. Sedangkan alat musik yang disepakati bolehnya oleh jumhur ulama adalah ad-dhuf (alat musik yang dipukul). Adapun alat musik yang diharamkan untuk mendengarkannya, para ulama berbeda pendapat satu sama lain. Satu hal yang disepakati ialah semua alat itu diharamkan jika melalaikan.

3. Cara Penampilan.

Harus dijaga cara penampilannya tetap terjaga dari hal-hal yang dilarang syara` seperti pengeksposan cinta birahi, seks, pornografi dan ikhtilath.

4. Akibat yang Ditimbulkan.

Walaupun sesuatu itu mubah, namun bila diduga kuat mengakibatkan hal-hal yang diharamkan seperti melalaikan shalat, munculnya ulah penonton yang tidak Islami sebagi respon langsung dan sejenisnya, maka sesuatu tersebut menjadi terlarang pula. Sesuai dengan kaidah Saddu Adz dzaroi` (menutup pintu kemaksiatan).

5. Aspek Tasyabuh atau Keserupaan Dengan Orang Kafir.

Perangkat khusus, cara penyajian dan model khusus yang telah menjadi ciri kelompok pemusik tertentu yang jelas-jelas menyimpang dari garis Islam, harus dihindari agar tidak terperangkap dalam tasyabbuh dengan suatu kaum yang tidak dibenarkan. Rasulullah saw. bersabda:

"Siapa yang menyerupai suatu kaum maka ia termasuk mereka." (HR Abu Dawud)

6. Orang yang menyanyikan.

Haram bagi kaum muslimin yang sengaja mendengarkan nyanyian dari wanita yang bukan muhrimnya. Sebagaimana firman Allah SWT.

"Hai isteri-isteri Nabi, kamu sekalian tidaklah seperti wanita yang lain, jika kamu bertakwa. Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya, dan ucapkanlah perkataan yang baik." (QS Al-Ahzaab 32)

Demikian kesimpulan tentang hukum nyanyian dan musik dalam Islam semoga bermanfaat bagi kaum muslimin dan menjadi panduan dalam kehidupan mereka.

Wallahu a’lam bishshawab, wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Ahmad Sarwat, Lc




Oleh I Wayan “Gendo” Suardana*


Tingginya bencana alam gempa bumi di Indonesia tidak terlepas dari kondisi geografis negara Indonesia yang berada di atas empat lempeng bumi yaitu: Indo Australia, Pasifik, Eurasia, dan Filipina. Hampir seluruh bencana alam yang ada di Indonesia ditimbulkan dari lempeng ini. Posisi geografis yang demikian menyebabkan Indonesia sebagai negara yang rawan dengan bencana, bahkan melebihi Jepang yang berada di atas tiga lempeng. Tak pelak Indonesia kerap dijuluki sebagai “supermarket” bencana.

Julukan itu semakin tepat dengan timbulnya berbagai bencana alam di Indonesia bahkan dalam skala besar secara beruntun dalam beberapa tahun belakangan. Mulai dari bencana tsunami di Aceh di akhir tahun 2004 sampai dengan bencana gempa berkekuatan 7,6 SR yang mengguncang Sumatera Barat merembet, mendera Jambi sehari berikutnya.

Kondisi geografis negeri ini yang sangat rawan bencana sebetulnya telah menjadi kesadaran umum terutama sejak bencana Tsunami Aceh. Hampir seluruh elemen melakukan upaya-upaya menyikapi keadaan tersebut, baik dengan melakukan kajian-kajian, melakukan pelatihan-pelatihan kebencanaan termasuk melakukan upaya-upaya penanggulangan bencana oleh pemerintah maupun berbasis komunitas. Walhasil, berbagai pelatihan di pelosok negeri termasuk simulasi dalam menghadapi bencana dilakukan, terutama di daerah-daerah yang dianggap paling rawan dengan bencana gempa-tsunami, salah satunya yang paling sering adalah Provinsi Sumatera Barat. Pelatihan kesiapsiagaan bencana ini dilanjutkan sampai pada tahap membangun kesiapsiagaan komunitas dengan membangun disaster alert system yang berbasis budaya lokal. Lalu bermunculan berbagai hasil kajian mengenai kerawanan bencana termasuk buku-buku penanganan bencana untuk pengurangan resiko bencana.

Berkiblat kepada kurangnya manajemen penanganan bencana terutama penanganan kondisi darurat pada waktu bencana Tsunami Aceh, pemerintah terlihat serius menata managemen penanganan bencana, bahkan saking seriusnya pada tahun 2007 pemerintah mengeluarkan regulasi yaitu UU no 24 tahun 2007 tentang penanggulangan bencana. Suatu tindakan yang patut diapresiasi terlebih hal tersebut dilatabelakangi oleh kesadaran pemerintah bahwa wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia memiliki kondisi geografis, geologis, hidrologis, dan demografis yang memungkinkan terjadinya bencana, baik yang disebabkan oleh faktor alam, faktor non-alam maupun faktor manusia yang menyebabkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis yang dalam keadaan tertentu dapat menghambat pembangunan nasional (lihat konsideran UU tersebut).

Tentu saja keadaan tersebut sangat mengembirakan, minimal sebagai pertanda bahwa aparatur di negeri ini serius menyiapkan diri dalam menanggulangi dan menangani bencana untuk mengurangi resiko bencana. Artinya aparat di negeri ini serius belajar dari kesalahan dan ketidakcakapan menangani bencana yang selama ini terjadi baik Tsunami Aceh, gempa di Jogjakarta, dimana hal yang selalu terjadi dan sama adalah kelambanan pemerintah melakukan tindakan penanganan bencana termasuk tindakan penanganan darurat.

Hanya saja kegembiraan itu ternyata berlaku sesaat, kesalahan yang sama dalam penanganan bencana terulang lagi. Setelah sekian kali menangani bencana alam dalam skala kerusakan yang cukup besar, ternyata pemerintah tidak mampu beranjak lebih maju dalam penanggulangan bencana. Dalam penanganan gempa di Sumbar khusunya dalam penanganan darurat, muncul permasalahan yang tidak jauh beda dengan penanganan bencana alam sebelumnya. Permasalahan yang paling mencolok dan selalu terjadi adalah masalah pengelolaan bantuan utamanya mengenai pendistribusian bantuan. Yang paling sering terjadi adalah korban yang tidak kunjung mendapatkan bantuan sementara bantuan menumpuk di posko bencana.

Fakta ini dapat dicermati dari beragam testimoni korban di media massa yang mengungkapkan, betapa lambatnya pendistribusian bantuan tersebut. Mereka menyatakan tidak mendapatkan bantuan makanan, minuman dan perlengkapan mengungsi yang optimal. Walhasil, terjadi tindakan penjarahan sebagai bentuk “protes” atas kelambanan distribusi bantuan. Tanpa menafikan kerja-kerja penanganan darurat bencana yang dijalankan, dapat dipastikan bahwa “kericuhan” tersebut berasal dari buruknya manajeman penanganan bencana. Dalam penanganan darurat ini terkesan sangat tidak sistematis. Akibatnya adalah tidak terpenuhinya kebutuhan dasar dari korban bencana.

Bahkan yang sangat menyesakkan, lambannya pendistribusian ini ternyata disebabkan oleh birokrasi yang dibuat dalam sistem pendistribusiannya. Ketakutan tidak tepatnya pemberian bantuan tersebut menjadi latar belakang adanya birokrasi yang dalam pengambilan bantuan di posko logistik. Sekilas alasan itu sangat logis. Namun bila dikaitan dengan kondisi yang ada, alasan itu menjadi tidak tepat. Ketepatan sasaran dari pendistribusian bantuan ini adalah keniscayaan. Tetapi untuk menjamin kepentingan tersebut, sepatutnya tidak dilakukan dengan pola membangun birokrasi dadakan. Dalam situasi darurat, tentu saja birokrasi dadakan ini akan menambah kacau situasi. Hasil akhirnya toh birokrasi tersebut menghasilkan bantuan yang membusuk di posko-posko logistik, sementara korban gempa tetap harus menerima nasib kekurangan kebutuhan dasar mereka.

Keadan ini tentu saja tidak akan terjadi bila pemerintah secara serius menyiapkan diri untuk menangani bencana. Dengan menyadari bahwa Indonesia rawan bencana seharusnya tidak cukup dengan membuat Undang-Undang tentang Penanggulangan Bencana namun gagap dalam implementasinya. Pemerintah seyogyanya melakukan tindakan-tindakan yang lebih maju dalam penanganan bencana.

Untuk itu perlu adanya perencanaan kontijensi yaitu suatu proses perencanaan ke depan dalam keadaan ketidakpastian dimana skenario dan tujuan disepakati, tindakan manajerial dan teknis sudah ditentukan, dan rancangan sistem tanggapan sudah diatur pelaksanaannya, guna mencegah dan menanggapi keadaan darurat. Perencanaan ini setidaknya dapat menyiapkan sebuah rencana respon yang cepat dan tepat dalam situasi darurat bencana, sehingga tidak lagi terjadi kebingungan dan kekacauan serta kebijakan-kebijakan yang dibuat mendadak. Alih-alih meringankan korban, yang ada korban bencana tetap menderita dan bantuan logistik membusuk di posko-posko logistik. Parahnya, kejadian ini terjadi secara berulang dalam setiap penanganan bencana. Kalau keledai saja tidak mau terjerumus ke dalam lubang yang sama untuk kedua kalinya, lalu haruskah bangsa ini selalu berkutat dengan kesalahan yang sama dalam penanganan bencana?


* Penulis adalah Majelis Anggota PBHI Bali, sekaligus anggota Forum Belajar Bersama Prakarsa Rakyat dari Simpul Bali.

** Siapa saja dipersilahkan mengutip, menggandakan, menyebarluaskan sebagian atau seluruh materi yang termuat dalam portal ini selama untuk kajian dan mendukung gerakan rakyat. Untuk keperluan komersial pengguna harus mendapatkan ijin tertulis dari pengelola portal Prakarsa Rakyat. Setiap pengutipan, penggandaan dan penyebarluasan sebagian atau seluruh materi harus mencantumkan sumber (portal Prakarsa Rakyat atau www.prakarsa-rakyat.org).




Tulisan ini  juga disajikan di website http://umarsaid.free.fr/

Catatan A. Umar Said

Nyoto tokoh PKI yang luar biasa !

Majalah Tempo edisi 5-11 Oktober 2009 telah menyajikan edisi khusus “Njoto dan tragedi G30S”, yang terdiri dari 36 halaman (dari halaman 49 sampai 85). Edisi khusus ini merupakan hasil dari usaha banyak orang yang sudah mencurahkan waktu dan tenaga, untuk menghimpun bermacam-macam bahan mengenai sejarah hidup Njoto, wakil ketua II  CC PKI, yang dibunuh oleh militer secara gelap, tanpa pemeriksaan dan tanpa pengadilan, dan karenanya tidak diketahui kuburannya sampai sekarang.


“Njoto dan tragedi G30S” bisa dibaca sebagai bunga rampai yang disusun oleh tim edisi khusus Tempo, sesuai dengan gaya dan selera jurnalistik majalah ini,  tentang berbagai soal yang berkaitan dengan keluargannya, kegiatannya sebagai pimpinan PKI,  kelebihan-kelebihannya sebagai politikus sekaligus sebagai seniman, hubungannya yang erat dengan Bung Karno, masalah-masalah pribadinya yang berkaitan dengan asmara, dan banyak segi-segi lainnya, termasuk masalah G30S.


Dengan dibuatnya edisi khusus “Njoto dan tragedi G30S” maka masyarakat umum mendapat tambahan bahan bacaan atau informasi, yang bisa memperkaya pengetahuan kita bersama mengenai putra bangsa yang termasuk brilian di banyak bidang ini. Mudah-mudahan, inisiatif redaksi Tempo dengan menyajikan edisi khusus tentang Njoto ini menggugah berbagai orang (terutama yang pernah mengenalnya dari dekat) untuk membuat kesaksian atau karya-karya lainnya dalam macam-macam bentuk  mengenai tokoh komunis yang luarbiasa ini.

Sebab, Njoto adalah salah satu di antara banyak sekali (artinya , puluhan ribu atau bahkan ratusan ribu ?) kader-kader PKI  -- dari berbagai tingkat -- yang sudah dibunuh di banyak tempat di seluruh Indonesia, yang umumnya terdiri dari pejuang-pejuang rakyat yang sudah lama berjuang dengan tulus ikhlas dan tidak mementingkan diri sendiri, bersama-sama Bung Karno, untuk tercapainya cita-cita masyarakat adil dan makmur.

Tulisan berikut di bawah ini adalah sekelumit dari kesaksian saya, sebagai seorang yang mendapat kesempatan untuk mengenalnya dan juga  pernah bersama-sama bekerja di Harian Rakyat, dan berhubungan dekat  dengannya dalam berbagai kegiatan internasional untuk menjalankan garis politik Bung Karno (antara lain : Konferensi Wartawan Asia-Afrika, Konferensi Pengarang Asia-Afrika, Konferensi Internasional Anti Pangkalan Militer Asing).

Sebagian kecil dari tulisan yang berikut di bawah ini telah diambil oleh redaksi Tempo untuk dirangkum dalam edisi khusus “Njoto dan tragedi G30S” tersebut.

 
1. Umar Said

 

Paris,  14 Oktober 2009

 
*  * *


Saya mengenal dekat Bung Njoto sejak saya diajaknya untuk menjadi wartawan di Harian Rakyat akhir  tahun 1953, yaitu sesudah kembali dari perjalanan saya ke luarnegeri untuk pertama kalinya. Waktu itu  saya menghadiri Konferensi Hak-hak Pemuda Sedunia di Wina (Austria) sebagai anggota (merangkap penterjemah bahasa Inggris) delegasi pemuda Indonesia, mewakili golongan wartawan muda. Sesudah konferensi di Wina selesai, bersama-sama Bung Suryono Hamzah (yang ketika peristiwa 65 terjadi bekerja di Sekretariat Negara urusan tamu-tamu negara) saya pergi ke Bukares (Rumania) untuk mempersiapkan ikut sertanya Indonesia dalam Festival Pemuda Sedunia. Sesudah selesai mengunjungi Bukares kami berdua diundang oleh Gabungan Pemuda Demokratik se-Tiongkok untuk berkunjung ke Peking.

Kunjungan kami berdua ke Peking dalam tahun 1953 ini sangat besar pengaruhnya bagi perkembangan pandangan politik  saya tentang berbagai hal, terutama mengenai Tiongkok.  Saya datang di Peking ketika kemerdekaan Tiongkok baru 4 tahun diproklamasikan oleh Mao Tsetung di Tian An Men, yang waktu itu masih merupakan lapangan yang tidak begitu besar.

Selama dalam perjalanan itu saya membuat  reportase bersambung (terdiri dari banyak artikel) yang dimuat oleh suratkabar SIN PO, yang membiayai tiket pesawat terbang KLM  untuk saya dari Jakarta-Zurich. Rupanya tulisan-tulisan saya ini menarik perhatian banyak orang, termasuk Bung Njoto, yang waktu itu sudah aktif sejak lama di Harian Rakyat. Dalam suatu kesempatan, waktu bertemu dengannya (di pertengahan atau akhir 1953), ia menawari saya untuk bekerja sebagai anggota redaksi Harian Rakyat. Sejak itulah saya sering bertemu dengannya, terutama pada malam hari ketika ia datang untuk menulis artikel atau editorial dan pojok untuk Harian Rakyat, sesudah kesibukannya yang padat sekali sebagai pimpinan PKI di samping berbagai kegiatannya yang lain-lain.

 
Kerja bersama di Harian Rakyat

Dari pekerjaan saya sebagai anggota redaksi Harian Rakyat antara akhir  1953 sampai pertengahan 1956, dan sering bekerja bersama-sama dengannya, saya kagum terhadap sosok pemimpin PKI yang masih muda sekali (sekitar 27 tahun waktu itu) tetapi yang kelihatan hebat sekali dalam banyak hal. Dalam diskusi-diskusi tentang berbagai hal yang berkaitan dengan isi suratkabar partai ini  kelihatan sekali ia menguasai banyak soal secara baik. Sudah tentu, sebagai wakil ketua CC PKI, ia tahu banyak mengenai seluk-beluk dunia politik Indonesia  waktu itu.

Tetapi, dalam diskusi-diskusi dalam redaksi itu juga kelihatan segi-seginya  yang kuat dan menonjol dalam masalah sastra, musik, atau seni pada umumnya. Bagi saya, Bung Njoto adalah seorang seniman yang ulung di samping seorang politikus yang sangat brilian, dan seorang publisis atau wartawan dan sekaligus sastrawan yang berbakat. Karena itu, tidak salahlah kiranya Bung Karno memilihnya sebagai pembantu dan teman seperjuangannya.

Seingat saya, selama saya bekerja di redaksi Harian Rakyat, ia tidak pernah marah-marah dengan kasar terhadap siapa saja. Sidang-sidang redaksi di bawah pimpinannya selalu  berlangsung dengan sejuk dan menyenangkan. Yang sampai sekarang masih saya ingat adalah peringatannya dalam menulis sesuatu. Ia mengatakan supaya semua tulisan-tulisan diperiksa berkali-kali sebelum diserahkan kepada redaktur yang bertanggungjawab. Sebab, sekali ada kesalahan, maka akan besar akibatnya kalau sudah cetak.

Seingat saya lagi, tidak seorang pun di antara anggota redaksi Harian Rakyat, yang menganggap sosok Bung Njoto sebagai orang yang sombong atau sok, walaupun ia adalah wakil ketua CC PKI dan dekat dengan Bung Karno, dan disukai oleh banyak orang di Lekra atau berbagai kalangan yang luas lainnya.

Dalam pergaulan di luar pekerjaan redaksi, Bung Njoto juga cukup luwes, lincah dan hangat. Saya masih ingat ketika kami sering bersama-sama dengannya makan nasi dengan gulai kambing di jalan Gondangdia Lama pagi-pagi sekali (masih gelap) sesudah koran mulai dicetak. Atau makan bakmi di jalan Krekot. Tetapi suatu pengalaman yang tetap terkenang dalam ingatan saya sampai sekarang (sesudah lebih dari 50 tahun) ialah ketika saya berangkat dengan pesawat terbang menuju Padang dalam tahun 1956 untuk mulai memimpin suatu suratkabar.

 
“Orang luar” memasuki daerah Minangkabau

Ceritanya begini. Pada suatu hari, dalam pertengahan tahun 1956, Bung Njoto memberitahukan kepada saya bahwa ada suratkabar di Padang (Harian   PENERANGAN) , yang dterbitkan oleh pimpinan Baperki cabang Padang,  yang juga seorang  tokoh Katolik, bernama Lie Oen Sam, membutuhkan penggantian pimpinan redaksi.  Ia menawarkan lowongan yang baik ini kepada saya, dan menanyakan apakah saya bersedia menerimanya. Ia menyakan itu karena waktu itu di Sumatra Barat sedang terjadi ketegangan karena pergolakan politik yang pada pokoknya menentang berbagai politik pemerintah pusat (Jakarta). Dan suara-suara anti Bung Karno dan anti-PKI juga sudah sejak lama berkumandang dengan lantang waktu itu.

Bagi saya, tawaran Bung Njoto ini adalah suatu hal yang membanggakan hati saya. Sebab, waktu itu saya berumur 28 tahun, dan belum kawin.  Dan walaupun pengalaman saya sebagai wartawan baru 5 tahun lebih (di harian Indonesia Raya dari 1950-1953, dan di Harian Rakyat dari akhir 1953 sampai pertengahan 1956) saya bertekad untuk mengambil risiko dengan memimpin suatu suratkabar di daerah yang sedang bergolak dan anti-Sukarno sekaligus anti-PKI.

Rupanya, Bung Njoto juga cukup mengerti akan risiko yang mungkin saya hadapi dengan pekerjaan memimpin suratkabar di daerah yang dikuasai secara mutlak oleh Masyumi (bersama PSI)  yang bersekutu dengan golongan militer yang dipimpin oleh Letkol Achmad Husein. Oleh karena itu saya dianjurkannya untuk bertemu dan minta nasehat-nasehat kepada Bung Bachtarudin, anggota CC PKI yang berasal dari Sumatra Barat dan yang cukup terkenal di daerahnya karena perjuangannya di jaman revolusi 45 sebagai komisaris besar polisi.

Keprihatinan (atau kehati-hatian) Bung Njoto terhadap segala risiko yang saya hadapi di daerah yang sedang bergolak waktu itu adalah wajar dan ada dasarnya. Sebab, saya adalah wartawan yang terang-terangan telah bekerja di Harian Rakyat, organ sentral PKI. Ditambah lagi saya berasal dari Jawa Timur. Bagi “orang luar” semacam saya, ditambah dengan suasana daerah yang tidak ramah kepada golongan yang mendukung politik Bung Karno pada waktu itu, adalah sulit sekali untuk “memasuki “ daerah Minangkabau.

Berkat bantuan Bung Njoto saya beruntung mendapatkan berbagai nasehat yang berharga sekali  bagi saya dari Bung Bachtarudin untuk memasuki masyarakat Minangkabau dengan memimpin Harian PENERANGAN, sampai tahun 1960.

Bahwa Bung Njoto memberi perhatian besar kepada pekerjaan baru saya sebagai pemimpin redaksi di daerah Masyumi dan PSI yang bersekutu dengan Letkol Achmad Husein ( yang kemudian menjadi pusat pembrontakan PRRI) termanifestasi ketika ia memerlukan mengantar keberangkatan saya ke Padang di lapangan terbang Kemajoran.

Tindakannya yang demikian itu sangat membesarkan hati saya waktu itu. Sama besarnya ketika  saya ditugaskan olehnya sebagai wartawan Harian Rakyat untuk meng-cover Konferensi AA di Bandung yang bersejarah itu dalam tahun1955.

 
Titik-titik pertemuan antara PWAA, Bung Njoto dan Bung Karno

Ketika saya sudah pindah ke Jakarta dalam tahun 1960 untuk menjadi pemimpin redaksi suratkabar Harian EKONOMI NASIONAL maka hubungan saya dengan Bung Njoto mulai makin dekat dan juga makin sering bertemu. Sebab, ia memberikan perhatian besar terhadap teman-teman wartawan yang melakukan kegiatan-kegiatan melalui PWI, PWAA, KPAA (Konferensi Pengarang Asia-Afrika) OISRAA (Organisasi Indonesia untuk Setiakawan Rakyat Asia Afrika), Ganefo, KIAPMA  (Konferensi Internasional Anti Pangkalan Militer Asing), Komite Perdamaian dll dll.

Karena saya dipilih sebagai bendahara Panitia Pusat KWAA (Konferensi Wartawan Asia-Afrika) dan kemudian juga dipilih sebagai bendahara PWI Pusat merangkap bendahara PWAA, maka hubungan saya dengan Bung Njoto menjadi makin erat. Karena saya waktu itu sering sekali melakukan berbagai misi untuk PWAA ke luar negeri dan ikut menjalankan politik Bung Karno mengenai perjuangan melawan nekolim (neokolonialisme dan imperialisme) dalam skala Asia–Afrika maka saya menyaksikan bahwa dalam banyak hal ada titik-titik pertemuan antara PWAA, Bung Njoto dan Bung Karno.

Dari kegiatan-kegiatan itu semualah saya dapat mengetahui bahwa Bung Njoto mempunyai hubungan atau kenalan yang banyak dengan tokoh-tokoh besar di dalam negeri dan di luar negeri, dan karenanya mempunyai wawasan yang cukup luas tentang masalah internasional, terutama yang berkaitan dengan perjuangan rakyat Asia-Afrika melawan nekolim. Mungkin, ini semua jugalah yang  merupakan latarbelakang  kedekatan politik dan jiwa antara Bung Karno dengan Bung Njoto. Tidak salahlah kalau ada orang mengatakan bahwa di antara tokoh-tokoh politik di Indonesia pada waktu itu, baik yang dari golongan nasionalis, agama maupun komunis, Njotolah yang termasuk paling dekat dengan Bung Karno.

Saya tidak kenal dari dekat dengan pemimpin-pemimpin tingkat tinggi PKI lainnya, umpamanya Aidit, Lukman, Sudisman, Sakirman, atau Oloan Hutapea. Namun saya merasa pernah merasa dekat dengan Njoto. Karenanya, dengan tidak ragu-ragu saya bisa mengatakan bahwa Njoto adalah tokoh besar PKI yang mempunyai banyak keunggulan yang menonjol sekali, dan karenanya ia telah menjadi kebanggaan dan kekaguman bagi banyak orang.

 
====
PS.   Mengingat pentingnya isi edisi khusus majalah Tempo “ Njoto dan tragedi G30 S” yang menarik untuk diketahui oleh lebih banyak orang sebagai bahan bacaan tambahan, maka website  http://umarsaid.free.fr/  menyajikan berbagai tulisan dalam edisi khusus tersebut.

;;