Oleh : Wiwin*


Kondisi perburuhan dengan lahirnya UU 13/2003 tentang Ketenagakerjaan dan UU 2/2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, sangat merugikan buruh karena secara terang-terangan memberlakukan sistem perburuhan yang longgar (fleksibel). Secara konseptual, sistem fleksibilitas perburuhan terbagi ke dalam dua macam yaitu fleksibilitas eksternal dan fleksibilitas internal. Fleksibilitas eksternal adalah penerapan subkontrak atau outsourcing dan pemaksimalan tenaga magang (trainees). Sementara fleksibilitas internal diterapkan dengan cara memberlakukan jam kerja yang tidak tentu, tugas atau perintah kerja yang tidak tentu, dan pemberian upah yang tidak tentu. Penerapan fleksibilitas perburuhan, baik eksternal maupun internal dimungkinkan dengan diberlakukan sistem hubungan kerja kontrak melalui perjanjian kerja waktu tertentu.

Keberpihakan negara menjadi tidak jelas terhadap kaum buruh, khususnya dalam UU 13/2003, ketentuan-ketentuan yang mengacu pada konsep fleksibilitas perburuhan seperti: Pertama, beberapa peraturan tentang sistem kerja kontrak yang disebut dengan istilah perjanjian kerja waktu tertentu. Kedua, adanya percaloan dalam merekrut buruh melalui perusahaan penyedia jasa buruh. Ketiga, hak mogok yang dipersulit bagi buruh. Keempat, memberikan hak bagi pengusaha untuk melakukan penutupan pabrik.

Hal pertama dan kedua adalah hal pokok yang merinci penerapan sistem hubungan perburuhan fleksibel. Sementara hal ketiga dan keempat dalam uraian di atas adalah ketentuan-ketentuan yang pada gilirannya semakin mempersulit posisi tawar buruh dalam hubungan industrial. Selain ketentuan di atas, sistem perburuhan yang fleksibel juga “didukung” oleh UU 2/2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial. Undang-undang ini mengatur prosedur penyelesaian sengketa industrial yang menganut prinsip neoliberal. Selain itu, UU tersebut secara tidak langsung memberikan kemudahan bagi kalangan pengusaha untuk semakin memperlonggar hubungan kerja dengan buruhnya melalui mudahnya langkah-langkah yang ditempuh untuk menyelesaikan sengketa hubungan industrial seperti kasus PHK.

Pola penerapan buruh berstatus kontrak dilakukan dengan berbagai macam, di antaranya yang diketahui menjadi pola umum seperti: Pertama, merekrut langsung buruh kontrak pada saat perusahaan memperoleh tambahan order. Kedua, merekrut melalui perantaraan perusahaan penyedia tenaga kerja. Ketiga, memberlakukan status kontrak setelah manajemen memaksa buruhnya untuk mengundurkan diri, baik dengan iming-iming pesangon maupun hanya dengan janji akan dipekerjakan kembali. Keempat, merekrut buruh dengan status kontrak setelah perusahaan dengan alasan mengalami kerugian melakukan efisiensi atau relokasi pabrik.

Merekrut buruh dengan status kontrak memang menguntungkan bagi pengusaha. Pengusaha dapat dengan mudah memakai atau memberhentikan tenaga kerja kontrak dengan tidak ada kewajiban untuk membayar pesangon ketika mengakhiri hubungan kerja. Pengusaha pun tidak memiliki kewajiban untuk mengikutsertakan buruh kontrak ke dalam program Jamsostek. Selain itu tidak seperti buruh tetap yang memperoleh banyak jaminan menurut undang-undang buruh yang berstatus kontrak hanya memperoleh bayaran sesuai dengan upah minimum kabupaten/propinsi.

Tidak adanya jaminan dan perlindungan kerja serta kecilnya penghasilan yang diterima memaksa buruh kontrak untuk memperpanjang jam kerja dengan mengambil lembur. Saking banyaknya buruh yang ingin memperoleh lembur, membuat pengusaha memberlakukan sistem penjatahan lembur bagi buruhnya, meskipun sebenarnya tidak semua pengusaha bersedia membayar upah lembur. Otomatis jam kerja riil buruh yang berstatus kontrak jauh lebih tinggi atau kembali ke masa sebelum 1886, yakni 12 sampai 14 jam per hari. Dengan demikian, secara tidak langsung diterapkan fleksibilitas dalam hal jam kerja.

Dengan kondisi demikian bahwa sistem kontrak dan outsourcing sangat merugikan buruh seperti halnya kondisi-kondisi pada masa 1886. Hanya dengan perjuangan yang tak pernah lelah, akan bisa mewujudkan cita-cita kesejahteraan buruh. Kesadaran setiap buruh akan kondisinya sendiri hari ini dengan adanya UU 13/2003 dan UU 2/2004 sangat penting dan menjadi jelas bahwa UU tersebut tidaklah berpihak kepada kaum buruh.


* Penulis adalah anggota Serikat Buruh untuk Keadilan, Wonosobo, sekaligus Anggota Forum Belajar Bersama Prakarsa Rakyat dari Simpul Jawa Tengah.

** Siapa saja dipersilahkan mengutip, menggandakan, menyebarluaskan sebagian atau seluruh materi yang termuat dalam portal ini selama untuk kajian dan mendukung gerakan rakyat. Untuk keperluan komersial pengguna harus mendapatkan ijin tertulis dari pengelola portal Prakarsa Rakyat. Setiap pengutipan, penggandaan dan penyebarluasan sebagian atau seluruh materi harus mencantumkan sumber (portal Prakarsa Rakyat atau www.prakarsa-rakyat.org).

0 Comments:

Post a Comment