Oleh : Joel Fang*


Negara adalah ikatan sosial yang terorganisir yang berada pada tahta tertinggi di dalam tatanan masyarakat. Konsepsi seperti ini mengkonvensikan “peserta” negara untuk menjalankan aturan-aturan yang diciptakan oleh negara. Sebab negara menjadi pengatur segala kepentingan kolektif masyakatnya, bukan mendiskriminasi masyarakatnya.

Nicos Poulantzas menggambarkan bahwa negara merupakan wujud kesatuan yang mampu meminimalisasi ketegangan kelas sosial yang dicapai melalui penghormatan hak-hak politik warga negara. Berbagai kelas sosial, baik itu berdasarkan pandangan tokoh atau filsuf manapun, merupakan pihak-pihak yang sejajar di hadapan negara. Perbedaan, pertikaian, dan perselisihan antar kelas sosial ditengahi oleh negara. Maka, tampaklah di sana salah satu peran negara yang fungsionalis.

Berbeda di dalam pandangan liberal saat ini, apalagi pandangan (konsepsi) “demokrasi liberal,” yang kadang terlupakan untuk dikritisi oleh masyarakat, memposisikan negara memiliki peran sendiri. Artinya setiap instrumen kenegaraan berjalan secara sepihak tanpa mengedepankan kebersamaan dan tanggung jawab kolektif di dalam tatanan masyarakat. Inilah zaman sepihak-sepihak. Negara hanya mampu melindungi kepentingan segolongan tertentu (yang mungkin dilindungi adalah golongan terdekat) tanpa menitikberatkan pada pertimbangan kebersamaan masyarakatnya. Muncullah kekacauan dari tindakan-tindakan konsepsi kenegaraan seperti itu, yang pada hakikatnya tidak berdasar pada kultur masyarakat Indonesia dan pra-Indonesia.

Salah satu kekacauan yang membuat negara ini kocar-kacir belakangan adalah perilaku korupsi. Di antaranya, kasus dugaan Bibit-Candra yang belum juga usai, kasus Century yang belum menemukan tanda-tanda titik cerah, dan kasus Gayus Tambunan. Kasus-kasus ini hanya beberapa kasus besar di luar banyaknya kasus-kasus korupsi lainnya. Kasus korupsi lainnya itu seperti kasus korupsi yang dilakukan oleh kepala daerah di berbagai daerah. Bayangkan, sebanyak 17 gubernur di Indonesia mengalami kasus korupsi. Padahal, Indonesia hanya memiliki 33 kepala daerah provinsi. Ini artinya sekitar 50% kepala daerah provinsi di Indonesia mengalami tindakan korupsi. Secara keseluruhan total kepala daerah yang tersangkut kasus korupsi berjumlah 155.

Faktor-faktor penyebabnya cukup beragam. Mulai dari faktor internal pribadi maupun faktor eksternal. Faktor internal tersebut berupa hasrat atau dorongan pribadi untuk memperkaya diri. Sementara faktor eksternal merupakan faktor yang timbul dari luar diri. Faktor eksternal inilah yang sulit dipantau keberadaannya, karena faktor ini memungkinkan adanya kerja sama antar individu, antar lembaga, antar kelompok, dan antar golongan yang memiliki relasi terdekat. Motifnya pun beragam, mulai dari motif kekayaan hingga motif politisasi kekuasaan jabatan. Satu faktor dan motif yang sering kali ditemui adalah faktor dan motif yang terkait terhadap perilaku pemilihan umum dan pemilihan kepala daerah. Sehingga, muncullah tujuan reakumulasi keuangan pribadi setelah perbelanjaan biaya pemilu dikeluarkan demi mencapai kemenangan pemilu. Ekstase korupsi yang mampu mengembalikan jumlah uang biaya pemilu merupakan suatu langkah yang mudah dicapai dan efektif.

Maka dari itu, seperti fakta 50% kepala daerah yang tersangkut kasus korupsi, aparat negara melakukan tindakan korupsi dalam berbagai metode yang digunakan. Aparat negara di sini bukan hanya suatu posisi yang menjaga keamanan dan ketertiban negara semata, tetapi juga pada pelaku (pengendali) negara. Mereka berada pada posisi strategis di dalam sistem pemerintahan negara.

Atas fakta-fakat itulah, pemahaman negara dan redefenisi negara perlu dikonsepsikan kembali, khususnya bagi aparat negara. Kekacauan ini dimulai dari konsep kenegaraan yang terabaikan serta sistem dasar kenegaraan yang dianut oleh aparat negaranya. Negara bukanlah suatu tatanan masyarakat yang berdiri sendiri, sehingga aparat negara pun memandang posisinya sebagai pribadi yang berdiri sendiri dalam pemahaman negara seperti ini.


* Penulis adalah aktivis organisasi mahasiswa Universitas Padjajaran, sekaligus Anggota Forum Belajar Bersama Prakarsa Rakyat dari Simpul Bandung.

** Siapa saja dipersilahkan mengutip, menggandakan, menyebarluaskan sebagian atau seluruh materi yang termuat dalam portal ini selama untuk kajian dan mendukung gerakan rakyat. Untuk keperluan komersial pengguna harus mendapatkan ijin tertulis dari pengelola portal Prakarsa Rakyat. Setiap pengutipan, penggandaan dan penyebarluasan sebagian atau seluruh materi harus mencantumkan sumber (portal Prakarsa Rakyat atau www.prakarsa-rakyat.org).


Sumber: PrakarsaRakyat

0 Comments:

Post a Comment