Oleh : Eka Pangulimara H*


Siapakah kaum buruh itu? Apa saja yang harus dilakukan untuk meningkatkan kesejahteraannya? Apakah dengan mendirikan dan berjuang melalui serikat buruh/pekerja? Pertanyaan-pertanyaan ini menjadi tantangan bagi kuam buruh yang seluruh kebijakan perburuhannya ditentukan lewat deal-deal politik. Kekuasaan politik amat berpengaruh dalam konstelasi politik perburuhan, apalagi dewasa ini. Bicara politik, orang akan mengarahkan persepsinya pada proses pergantian kekuasaan. Dan fakta politik di depan kita, justru model perwakilan-perwakilan yang ditempuh dengan jalan pemilu damai. Akankah diharapkan partisipasi politik kaum buruh di Indonesia sanggup merubah wajah bopeng keadilan, dan kesejahteraan, didapat melalui keterlibatannya di dalam pemilu?

Penulis ingin menjelujuri kilometer panjang sejarah perjuangan buruh Indonesia dalam posisi yang berimbang. Banyak literatur menyebutkan, bahwa buruh di Indonesia pernah memperoleh hasil yang gilang-gemilang pasca-pemilu pertama tahun 1955. UU Perburuhan No. 12 Tahun 1964 dan No. 22 Tahun 1957, menciptakan kedudukan kaum buruh bukan barang hisapan, memperketat kesewenangan pemodal/pengusaha dalam mem-PHK. Kaum buruh memiliki proporsi dalam fraksi perwakilan buruh dari proses politik 1955.

Akan tetapi pasca-1965, kaum buruh mengalami pengebirian, perampasan hak demokrasi politiknya, bahkan ditangkapi, dibuang, dibui dan dibunuh. Semuanya tanpa didudukkan di meja pengadilan. Serikat dibentuk atas nama mengamankan rezim otoriter orde baru. Inilah fakta berikut yang ada di depan kita. Perjalanan perjuangan buruh masih lamban, dan bergerak terseok-seok. Puncaknya, rezim otoriter Soeharto yang berkuasa 32 tahun itu terjungkal, lewat gerakan rakyat di tahun 1998.


Siapakah Buruh itu?

Buruh adalah faktor produksi dalam skema besar cara produksi modern. Artinya, buruh merupakan bagian penting penghasil keuntungan perusahaan. Buruh mengeluarkan tenaga, waktu, dan pikirannya. Lalu mendapatkan upah. Buruh menguasai alat-alat produksi dalam bingkai cara produksi modern. Hubungan produksinya dikenal dengan majikan dan buruh upahan. Atau sering disebut-sebut perusahaan dan karyawannya (meminjam istilah orde baru).

Kenapa buruh selalu dikatakan jauh dari kesejahteraan dan kehidupan layak? Karena sistem hubungan produksinya berdasarkan atas kepemilikan alat-alat produksi secara individual, bukan kolektif. Atau minimal dikuasai negara, untuk digunakan sebesar-besarnya bagi kemakmuran masyarakat. Oleh karena itu sistemnya masih melanggengkan penindasan. Kaum buruh diperas tenaganya, dan waktunya, sementara upah yang didapat rendah.

Dalam kondisi demikian, buruh berkumpul dan membicarakan sebanyak-banyaknya masalah kerja yang menghampar, sekaligus melilit kehidupan buruh. Jaman sekarang kita mengenal Labour Market Flexibility (Pasar Tenaga Kerja Fleksibel/Lentur). Dimana untuk mendapatkan buruh, bisa menerima supply dari berbagai pihak. Contohnya perusahaan outsourcing, yayasan penyalur tenaga kerja, PJTKI (masalah buruh migran), koperasi karyawan, bahkan agen-agen serikat pekerja belakangan ini ingin meraup kuntungan dari bisnis perdagangan manusia atau tenaga kerja, di abad ke-21 ini.

LMF dalam bentuknya yang beragam, antara lain: sistem kerja kontrak, outsourcing, dan supply buruh. Semuanya mengandung jerit tangis kaum buruh dan keluarganya. Karena perubahan hubungan buruh dan majikan, semakin tinggi tingkat eksploitasinya. Seorang majikan dapat menerima buruh, dari perusahaan penyalur tenaga kerja. Yang sewaktu-waktu bebas dibuang, ditendang kapan saja, tanpa jaminan pesangon, apalagi mengikuti aturan perburuhan yang ada. Lagi pula sebelum itu, peralihan status kerja tetap diputihkan, di-PHK secara massal lebih dulu. Di lapangan, pasti didapat bukti, kalau pengusaha kerap melakukan pelanggaran hukum: buruh dikontrak lebih dari tiga tahun. Plus taktiknya, dengan sistem perpanjangan kontrak.

Kaum buruh mendirikan organisasi. Manifestasi kebebasan berserikat dan berkumpul, dijadikan alat perjuangan bersama. Serikat buruh/pekerja tumbuh, bak cendawan di musim penghujan.

Gelombang perlawanan rakyat 1998, menggulingkan rezim otoriter orde baru, merombak wajah satu serikat, satu pemerintahan.

Perjuangan serikat di lingkaran bipartit dan tripartit, dianggap belum sepenuhnya berpengaruh pada konstelasi kehidupan ekonomi politik negara. Dimana kecenderungan kontemporer dapat sama-sama kita rasakan, seluruh produk hukum perundang-undangan belum ada yang sejati berpihak pada kaum buruh. Maka kita akan melongok pada hasil-hasil pesta demokrasi prosedural yang seremonialnya tiap lima tahunan sekali.


Pemilu dan Kaum Buruh

Memilih perwakilan-perwakilan buruh di parlemen, menurut hemat penulis saat ini, sekaligus berhasil memilih perwakilan dan penindasnya.

Rasanya tak cukup kalau mau dijejerkan di tulisan ini, betapa banyak antrian kasus, dan kasus-kasus di republik ini yang menguap. Bahkan kasus-kasus tak tersentuh hukum. Karena yang seharusnya terhukum adalah aparat penegak hukum. Proses penegakan hukum berlaku tebang pilih. Mensyaratkan kondisi politik perwakilan, dimana yang berkuasa, akan melakukan hukum sebagai senjata memukul dan memenjara lawan-lawan politiknya. Jujur, kondisi politik belakangan ini amat memuakkan kaum buruh, dari kaca mata penulis.

Akan tetapi kaum buruh tetap dipaksa agar berpikiran obyektif, dan realistis. Kaum buruh tak boleh lari, apalagi sebagai penonton, karena keduanya, hakikatnya, kaum buruh masih sebagai korban, dari rezim dan sistem yang tidak berpihak pada buruh saat ini.

Perlu diakui, sejak orde baru, kaum buruh, pekerja/pegawai negeri telah terlibat dalam aktivitas parpol. Contohnya Golkar sebagai kendaraan politik orde baru. Golkar, dengan kepanjangan Golongan Karya, telah mengakumulasi suara politik lapisan pekerja tersebut. Hanya saja, sudah dibungkus kepentingan, buruh dijadikan mesin-mesin pencetak suara. Mengemban amanat rezim yang berkuasa, Soeharto ketika itu.

Pascareformasi, serikat buruh dan petinggi-petingginya juga berlomba meloloskan nomor pendaftaran parpol mereka, menjadi bagian partai elektoral. Bahkan yang terakhir, pemilu 2009 lalu. Bahwa buruh dan parpol buruhpun masuk dalam papan bursa peraup suara.

Penulis ingin meletakkan perspektif dalam tulisan ini, kalau menelisik pergantian kekuasaan, tidaklah semata-mata dengan jalan pemilu. Penulis ingin tetap berusaha kritis, kita, saudara dan saya, sama-sama korban dari ketidakadilan ekonomi-politik di negeri ini. Maka kita lihat satu persatu pertanyaan: Pertama, sudahkah kaum buruh berperspektif membangun alat perjuangan serikat buruh yang modern, progresif, dan berwatak maju serta menasional?

Kedua, apakah serikat-serikat buruh/pekerja yang maju sekarang ini sudah mendiskusikan alat perjuangan politik sampai ke basis-basis? Kalau kita lihat tidak ada partai-partai politik yang merepresentasi kepentingan buruh, saatnyakah kaum buruh harus membangun partai politik kelas buruh yang sejati?

Ketiga, apakah kaum buruh hanya merasa dengan kekuatan buruh sendirian saja mendapat kekuatan signifikan dalam gelanggang politik? Apakah kaum buruh dan serikat-serikat buruh/pekerja telah menunjukkan indikator keberhasilan menggalang kekuatan tertindas lainnya: tani, nelayan, PKL, kaum miskin perkotaan, mahasiswa, intelektual organik berwatak revolusioner?

Berikutnya penulis ingin merekam hasil-hasil pemilu sedikitnya dengan pertanyaan sebagai berikut: Pertama, apakah harga kebutuhan pokok masyarakat terjangkau dan BBM berharga murah? Kedua, apakah kepastian kerja, upah buruh, kebebasan berserikat meningkat lebih baik? Buruh menjerit upahnya rendah, presiden mengeluh gajinya tak naik-naik. Sudahkan kekayaan negara, SDA, dipergunakan untuk kemakmuran rakyat?

Masalah utang, berapa banyak utang negara akibat kebobrokan birokrasi yang harus ditanggung rakyatnya? Apalagi problem angka pengangguran terus merangkak naik!

Seluruh pertanyaan di atas, penulis ketengahkan di hadapan pembaca. Penulis tak ingin berpretensi menyimpulkan. Dua gambaran di atas, bagi penulis adalah cermin subyektif perjuangan kita, dan kondisi obyektif hasil-hasil pemilu perjalanan transisi demokrasi dan sejak kediktatoran militeristik orde baru.


* Penulis adalah Pengurus Pusat Konfederasi Serikat Buruh, sekaligus Anggota Forum Belajar Bersama Prakarsa Rakyat dari Simpul Jabodetabek.

** Siapa saja dipersilahkan mengutip, menggandakan, menyebarluaskan sebagian atau seluruh materi yang termuat dalam portal ini selama untuk kajian dan mendukung gerakan rakyat. Untuk keperluan komersial pengguna harus mendapatkan ijin tertulis dari pengelola portal Prakarsa Rakyat. Setiap pengutipan, penggandaan dan penyebarluasan sebagian atau seluruh materi harus mencantumkan sumber (portal Prakarsa Rakyat atau www.prakarsa-rakyat.org).
Sumber: PrakarsaRakyat

0 Comments:

Post a Comment