Oleh : Musrianto*


Jika saja Benyamin S masih hidup dan tetap berkiprah di industri musik Indonesia, mungkin beliau akan mengaransemen ulang syair lagunya, bukan lagi “Awas Kompor Bledug,” tapi menjadi “Awas Tabung Gas Bledug.”

Sebagaimana telah kita ketahui bersama, bahwa masa kepemimpinan periode lima tahun pertama Susilo Bambang Yudhoyono sebagai Presiden yang didampingi oleh Yusuf Kalla sebagai wakilnya, telah membuat kebijakan konversi energi. Kebijakan itu adalah konversi bahan bakar minyak (minyak tanah) yang banyak dipergunakan oleh rakyat miskin ke bahan bakar gas (elpiji) untuk keperluan sehari-hari. Argumentasinya adalah dalam rangka penghematan dan mengurangi subsidi bahan bakar minyak yang cukup besar dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN).

Dengan program pemerintah yang dipimpin oleh SBY-JK mengenai konversi dari bahan bakar minyak ke gas secara gratis yang diberikan kepada rakyat miskin dalam bentuk tabung 3 kilogram, selang, regulator dan kompor gas. Dari awal mulanya sudah menuai permasalahan, khususnya pada saat pembagian yang tidak merata (ada rakyat miskin yang tidak mendapat) dan dengan sangat terpaksa harus membeli karena disusul dengan mulainya kelangkaan bahan bakar minyak tanah di pasaran.

Ternyata permasalahan tidak berhenti kepada soal pembagian yang tidak merata, muncul kemudian masalah lainnya yang hingga saat ini terus terjadi, yakni terjadinya ledakan-ledakan tabung gas tersebut di beberapa daerah. Dengan mulainya bermunculan ledakan tabung gas dimaksud, pun mulai bermunculan beragam pendapat atau komentar atas faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya ledakan.

Beberapa sebab yang menyebabkan terjadinya ledakan tabung gas tersebut adalah mulai dari pemasangan regulator ke tabung yang kurang tepat, selang yang bocor, tabungnya sendiri yang bocor dan ada pula yang berkomentar ketidakpahaman masyarakat mengenai cara-cara penggunaan kompor gas yang baik. Jika kita dengan lugu menilai pendapat serta komentar tentang penyebab terjadinya ledakan kompor gas tersebut (mencakup seluruh perangkat kompor gas), mungkin kita akan mengamininya begitu saja dan bisa jadi turut serta menyalahkan masyarakat yang dikesankan “bodoh” karena tidak memahami penggunaan seluruh perangkat kompor gas. Namun jika kita bisa dengan bijak menilai serta mencoba untuk menelusuri kenapa bisa terjadi ledakan pada tabung gas yang rata-rata di tabung 3 kilogram, tentu kita akan memiliki penilaian secara obyektif dan siapa yang sesungguhnya bertanggung jawab.

Mengenai hal ini penulis akan mencoba dan berusaha mengurai mengapa masalah tersebut terjadi menimpa masyarakat, kemudian siapa sesungguhnya yang paling bertanggung jawab.

Pertama, tentang pemahaman dan pengetahuan masyarakat (khususnya rakyat miskin), atas penggunaan kompor gas dan perangkatnya. Bisa dibenarkan bahwa pemahaman masyarakat masih sangat kurang dalam hal menggunakan kompor gas secara baik, karena sejak lama dan sudah terbiasa menggunakan kayu bakar atau menggunakan kompor minyak tanah.

Jadi tidak mudah bagi masyarakat untuk bisa dengan cepat beradaptasi dan mampu mendeteksi kemungkinan-kemungkinan bahaya yang ditimbulkan oleh penggunaan kompor gas. Sementara pemerintah sendiri yang memiliki kepentingan besar demi lancarnya program konversi minyak tanah ke gas, sangat jarang melakukan sosialisasi kepada masyarakat. Kalaupun pemerintah melakukan sosialisasi, hal itu dilakukan tidak langsung di masyarakat secara menyeluruh dan merata.

Kita bisa ungkap kembali ketika awal-awal program konversi ini digulirkan, apakah pemerintah secara terus-menerus melakukan sosialisasi di tengah-tengah masyarakat cara menggunakan kompor gas secara baik, deteksi dini dan cara menanggulanginya?

Setidaknya sebelum program konversi ini digulirkan, pemerintah jauh-jauh hari sudah harus melakukan sosialisasi ke masyarakat. Setidaknya satu tahun sebelum program konversi direalisasikan, sosialisasi harus dilakukan secara bertahap pada waktu itu, bukan justru kampanye mengapa pemerintah melahirkan program konversi minyak tanah ke gas.

Kedua, tentang pengadaan barang seperti tabung, regulator, selang dan kompornya. Kita pun tahu bahwa untuk pengadaan barang tersebut, pemerintah (dalam hal ini PT.Pertamina) melakukan outsourcing dengan lelang tender kepada perusahaan swasta atau perusahaan yang menjadi rekanan (vendor). Kalau pun pemerintah memberikan persyaratan-persyaratan yang mungkin ketat kepada perusahaan rekanan untuk pengadaan barang tersebut, namun bukan berarti kemungkinan persyaratan tersebut tidak dilanggar.

Oleh karena pengadaan barang-barang tersebut pun pada awalnya dalam jumlah yang sangat banyak (partai besar), maka sangat dimungkinkan kualitas dan mutu dari barang-barang yang diproduksi tersebut tidak menjadi prioritas utama bagi perusahaan yang memenangkan tender untuk pengadaannya. Katakanlah pemerintah atau dalam hal ini PT. Pertamina membantah dengan tetap melakukan pengawasan mutu terhadap pengadaan barang-barang tersebut, namun fakta di lapangan berkata lain.

Mungkin benar pemerintah atau PT. Pertamina melakukan pengawasan, namun pertanyaannya seberapa jauh pengawasan tersebut dilakukan. Sementara barang-barang tersebut diproduksi dalam jumlah yang besar, apakah quality control yang dilakukan mencapai 50% dari total jumlah tender yang diberikan dan apakah pemerintah juga bisa memastikan perusahaan-perusahaan rekanan yang diberikan tender tersebut tidak memproduksi lebih dari total yang ditenderkan. Mengapa pertanyaan tersebut di munculkan? pertanyaan tersebut muncul karena mengingat bahwa setiap pengusaha akan berusaha meraup keuntungan yang sebesarnya, dengan melihat peluang bisnis besar dan menjanjikan serta mudah di terima di pasaran.

Ketiga, tentang pemasaran paska konversi gratis. Pada prakteknya di lapangan banyak tabung gas 3 kilogram dijual dengan bebas. Sampai-sampai warga pun yang tinggal di tengah-tengah pemukiman penduduk bisa menampungnya dalam jumlah banyak antara 20-30 tabung. Dengan begitu kita pun tidak bisa mengetahui, apakah barang (tabung) tersebut memiliki standar atau kualitas yang baik dan dari mana diperolehnya. Artinya bahwa, selain lemahnya pengawasan mutu oleh pemerintah dalam hal pembuatan produk, pemerintah juga lemah dalam mengawasi penjualan yang terjadi di masyarakat.

Sehingga orang yang tanpa memiliki ijin penjualan, dapat dengan bebas menjualnya. Dalam hal ini, masyarakat yang datang ke salah satu warga terdekat (sebagai penjual gas) untuk membeli gas pun tidak bisa disalahkan. Karena masyarakat tidak pernah berfikir bahwa barang yang dibeli tersebut resmi atau tidak, karena pada umumnya masyarakat percaya bahwa gas berikut tabungnya dibuat oleh PT. Pertamina yang mutu dan kualitasnya baik.

Keempat, solusi pemerintah mengganti selang dan regulator dengan tetap membayar sebesar Rp. 35.000, merupakan solusi yang kembali membebani rakyat miskin, pun tidak memberikan garansi tidak lagi terjadi ledakan di kemudian hari. Karena solusi tersebut hanya sekedar mengganti barang lama dengan barang yang baru, namun tidak diikuti dengan penjelasan mengenai perbandingan selang dan regulator yang bermutu dengan yang tidak memiliki kualitas standar.

Lalu bagaimana dengan tabungnya? Tabung gas pun juga bermasalah, salah satunya adalah karet seal yang menghubungkan dengan regulator. Dalam hal masyarakat yang akan menukarkan regulator dan selang dengan menambah biaya, harusnya pemerintah tetap menggratiskan. Karena pemberian paket kompor gas, merupakan program konversi yang dananya diambil dari anggaran negara. Sehingga kewajiban pemerintah juga untuk menganggarkannya sebagai bentuk tanggung jawab pemerintah dari program konversi.

Dengan uraian di atas, tampak jelas bahwa pemerintah sesungguhnya tidak siap 100% dalam hal konversi minyak tanah ke gas. Dan dengan beberapa kejadian ledakan di tengah masyarkat, solusi pastinya adalah pemerintah membuat tim kerja secara luas sampai dengan tingkat Rukun Tetangga (RT) atau Dusun dan melibatkan peran serta lembaga swadaya masyarakat. Kepentingannya adalah untuk melakukan investigasi keberadaan perangkat kompor gas ilegal (palsu) atau tidak laik pakai. Dapat dilakukan dari pintu ke pintu atau meminta masyarakat membawanya ke satu tempat untuk diperiksa.

Jika diketemukan yang tidak laik atau barang ilegal, kemudian ditukarkan secara langsung secara gratis dengan barang yang laik pakai dan memenuhi ketentuan standar yang di tetapkan. Kemudian pemerintah melakukan penyelidikan dan bertindak tegas, atas laporan dan hasil kerja tim yang dibentuk. Dengan begitu, barang-barang ilegal atau tidak laik pakai dapat ditarik dari pasaran dan dari warga serta warga bisa mendeteksi lebih awal.


* Penulis adalah warga Sunter-Jakarta, sekaligus anggota Forum Belajar Bersama Prakarsa Rakyat dari Simpul Jabodetabek.

** Siapa saja dipersilahkan mengutip, menggandakan, menyebarluaskan sebagian atau seluruh materi yang termuat dalam portal ini selama untuk kajian dan mendukung gerakan rakyat. Untuk keperluan komersial pengguna harus mendapatkan ijin tertulis dari pengelola portal Prakarsa Rakyat. Setiap pengutipan, penggandaan dan penyebarluasan sebagian atau seluruh materi harus mencantumkan sumber (portal Prakarsa Rakyat atau www.prakarsa-rakyat.org).

0 Comments:

Post a Comment