Oleh : D.P. Apri Nugroho*


Lagi dan lagi, tercium aroma yang kurang segar dari gempita demokrasi kita. Setelah melalui masa tenang paska kongres II di Bandung, tim formatur Partai Demokrat (PD) mengumumkan anggota Dewan Pimpinan Pusat (DPP) baru di bawah pimpinan Anas Urbaningrum. Akan tetapi susunan Pengurus Pusat PD yang baru menuai kecaman, pasalnya nama Andi Nurpati masuk dalam jajaran pengurus baru bentukan Anas Urbaningrum. Andi merupakan anggota aktif Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang haram hukumnya berdasar undang-undang dan etika politik untuk bergabung dalam sebuah partai politik. Masuknya Andi dalam jajaran kepengurusan Anas Urbaningrum semakin menguatkan indikasi adanya “main mata” antara KPU dan kubu Anas dalam pemilu 2009.


Sepak Terjang Politisi KPU

KPU sebagai lembaga penyelenggara pemilu mutlak hukumnya untuk netral dan independen serta tidak terlibat dalam politik praktis, akan tetapi keberadaan Andi dalam kepengurusan PD menunjukkan hal yang sebaliknya. Hal ini menguatkan dugaan bahwa anggota KPU juga merupakan politisi yang secara aktif terlibat dalam pergulatan politik nasional, lebih dari itu KPU secara institusi seperti lembaga politik yang menjadi senjata partai.

Indikasi politik balas budi tercium menyusul masuknya Andi dalam kepengurusan PD. Sebagai anggota KPU aktif, keberadaan Andi Nurpati di DPP PD seolah merupakan reward yang diberikan oleh partai atas kerja-kerja Andi selama di KPU –tentu kerja yang menguntungkan PD. Indikasi ini diperkuat oleh berbagai kasus yang mewarnai pelaksanaan pemilu 2009, seperti kasus Daftar Pemilih Tetap (DPT) atau spanduk pencontrengan, kesemuanya menciptakan perspektif publik yang melihat bahwa KPU “main mata” dengan kubu Yudhoyono.

Pernyataan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) bahwa kualitas pemilu 2009 menurun dibandingkan pemilu 2004 tentu bukan tanpa alasan. Hal ini menguatkan dugaan akan adanya “sesuatu” antara KPU dan PD. Indikasi politik balas budi PD ini memang perlu pembuktian lebih lanjut, akan tetapi seandainya hal ini benar tentu sangat mencederai kehidupan berdemokrasi yang kita bangun bersama.

Sejak awal banyak kalangan yang meragukan independensi KPU sebagai penyelenggara pesta demokrasi, karena rentan sekali KPU dipolitisasi oleh elit parpol. KPU merupakan pintu masuk menuju tangga kekuasaan, oleh karena itu KPU merupakan kereta express untuk mengembangkan karir politik seseorang. Posisi strategis KPU sebagai penyelengara pemilu bisa menjadi CV yang menarik agar seseorang dipinang parpol.

Selain mudah dipolitisasi ternyata indikasi kuat menunjukkan bahwa KPU memang diisi oleh politisi karir, yang dicurigai secara sembunyi-sembunyi terlibat dalam politik praktis. Perlu dicatat posisi keanggotaan di KPU juga merupakan nilai tawar tersendiri, karena sebagai anggota KPU seseorang mengetahui rahasia maupun trick partai-partai politik. Hal inilah yang menjadikan posisi di KPU sangat politis dan rentan dipolitisasi karena rahasia pelaksanaan pemilu tentu merupakan senjata pemenangan pemilu yang ampuh. Meskipun hipotesa ini masih prematur tetapi melesatnya karir politisi eks-KPU seperti Anas Urbaningrum yang kini menjadi Ketua Umum Partai Demokrat menguatkan sinyalemen itu.


Lemahnya UU Pemilihan Umum

Rentannya politisasi KPU tidak terlepas dari lemahnya undang-undang yang melandasinya. Begitu mudahnya Andi Nurpati masuk di jajaran pengurus PD membuktikan lemahnya UU 22/2007 tentang Penyelenggaraan Pemilu. Dalam pasal 11 huruf (i) disebutkan, “…sekurang-kurangnya dalam jangka waktu 5 (lima) tahun tidak lagi menjadi anggota partai politik..,” tetapi tidak ada klausul yang mengatur mengenai larangan bagi eks anggota KPU memasuki jabatan-jabatan publik apalagi parpol dalam jangka waktu tertentu setelah berhenti atau diberhentikan dari KPU. Tiadanya klausul ini merupakan celah hukum yang memudahkan KPU untuk dipolitisasi elit-elit parpol juga dimanfaatkan politisi karir untuk memperoleh posisi strategis dalam partai.

Kasus ini harus menjadi pelajaran berharga bagi proses demokratisasi kita, penyelenggara pemilu harus independen dan bisa dipercaya. Setelah mendapat sorotan tajam dari publik, akhirnya Andi Nurpati mengundurkan diri. Walaupun dalam penjelasan pasal 29 ayat 1 huruf (b), UU 22/2007 berbunyi, “Yang dimaksud 'mengundurkan diri' adalah mengundurkan diri karena alasan kesehatan dan/atau karena terganggu fisik dan/atau jiwanya..,” tidak ada alasan pengunduran diri karena masuk partai politik.

Selain itu, UU 22/2007 harus segera direvisi agar setidaknya netralitas dan independensi KPU di atas kertas lebih terjamin, karena kita juga sebenarnya juga sadar elit politik kita akan melakukan apa saja asal bisa menang, termasuk membajak KPU.


* Penulis adalah Divisi Media dan Informasi-Komite Mahasiswa Universitas Padjadjaran, sekaligus anggota Forum Belajar Bersama Prakarsa Rakyat dari Simpul Bandung.

** Siapa saja dipersilahkan mengutip, menggandakan, menyebarluaskan sebagian atau seluruh materi yang termuat dalam portal ini selama untuk kajian dan mendukung gerakan rakyat. Untuk keperluan komersial pengguna harus mendapatkan ijin tertulis dari pengelola portal Prakarsa Rakyat. Setiap pengutipan, penggandaan dan penyebarluasan sebagian atau seluruh materi harus mencantumkan sumber (portal Prakarsa Rakyat atau www.prakarsa-rakyat.org).

0 Comments:

Post a Comment