Oleh : Muhammad Haedir*

Peran buruh dalam pembangunan negeri ini tidak dapat dipungkiri. Sayangnya pemerintah hanya melihat bahwa kekuatan utama penggerak ekonomi negeri ini adalah investor. Pemerintah tidak pernah menganggap bahwa investor tersebut tidak akan berdaya tanpa tenaga buruh, karena para investor tersebut tidak akan mampu mengelola segala sumber daya (modal) yang dimilikinya tanpa buruh. Artinya, sebuah perusahaan tidak akan berdaya apa-apa, mereka tidak akan mampu mengubah benang menjadi kain tanpa tenaga dan keringat buruh.

Data yang ditunjukkan oleh Badan Pusat Statistik bahwa Produk Domestik Bruto Indonesia tahun 1999 menunjukkan bahwa sektor pertanian hanya menyumbang 19,5% dari PDB. Sektor industri manufaktur menyumbang 25,9%; Sektor pertambangan, energi dan konstruksi menyumbang 17,8%; Perdagangan dan perbankan menyumbang 11,3%. Sisanya yang 25,5% disumbangkan oleh sektor jasa, termasuk transportasi.

Data ini menunjukkan bahwa penduduk Indonesia sekarang ini tidak lagi bekerja di sektor pertanian tapi industri, entah itu industri manufaktur, perbankan, jasa dan lain-lain. Artinya bahwa penyumbang terbesar pendapatan negara adalah buruh yang setiap harinya bekerja untuk kepentingan perusahaan, dan kemudian dianggap bahwa perusahaanlah yang paling besar peranannya dalam menghasilkan pundi-pundi pendapatan negara. Negara ini lupa bahwa mesin yang dimiliki oleh pengusaha tidak akan berjalan tanpa buruh.

Sementara, kepedulian pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan buruh masih sangat rendah, bahkan setiap buruh melakukan protes terhadap parahnya kondisi ketenagakerjaan di negeri ini, saat itu pula pemerintah dan pengusaha berusaha untuk tidak memberikan peluang kepada mereka. Beberapa contoh telah kita saksikan dalam konflik ketenagakerjaan yang dialami oleh buruh dan pengusaha yang berakhir ricuh dan bahkan banyak pengusaha yang menggunakan tenaga preman, tapi pihak yang berwenang tidak mampu berbuat apa-apa untuk menindak tegas perlakuan teror semacam itu.

Sekali lagi ini diakibatkan oleh perspektif pemerintah yang menganggap bahwa penggerak utama perekonomian negara adalah investor, sehingga mereka berusaha dengan sekuat tenaga melindungi kepentingan pengusaha/investor, walaupun harus merugikan buruh.


Outsourching dan PHK

Belakangan ini, pemerintah kembali akan merevisi Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Pemerintah sepakat dengan tuntutan buruh untuk menghapus sistem kerja kontrak dan outsourcing, namun di sisi lain pemerintah akan mengurangi persentase pesangon yang diterima saat buruh di-PHK bahkan meniadakannya sama sekali.

Pemerintah lupa bahwa buruh selama ini menolak sistem kerja kontrak dan outsourcing karena begitu mudahnya buruh di-PHK akibat tidak ada kewajiban pengusaha untuk membayar pesangon apabila telah lepas kontrak.

Pemerintah sepertinya hendak menipu pekerja dengan menghapus sistem kerja kontrak dan menukarnya dengan penghilangan pesangon apabila pekerja di-PHK. Bersyukurlah bahwa beberapa serikat buruh di Indonesia (salah satu di antaranya adalah Konfederasi Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia-Konfederasi KASBI) menolak revisi undang-undang ketenagakerjaan tersebut. Dengan tetap menyatakan bahwa undang-undang tersebut adalah undang-undang yang tidak berpihak pada buruh, untuk itu harus dicabut dan diganti dengan undang-undang yang dirumuskan sendiri oleh buruh.

Walaupun dalam undang-undang telah diatur bahwa hanya jenis pekerjaan tertentu saja yang dapat dikerjakan oleh buruh yang memiliki status outsourcing, tapi realitas di lapangan ada banyak perusahaan bahkan lembaga-lembaga pemerintah yang mempekerjakan tenaga outsourcing dan kontrak yang tidak termasuk pada jenis pekerjaan yang boleh dikerjakan oleh buruh kontrak dan outsourcing. Konflik yang terjadi antara Pekerja Pertamina Balongan dan pihak Pertamina di Surabaya adalah satu contoh dari sekian banyak kasus lainnya.


Outsourcing dan Union Busting

Persoalan lain dari sistem kerja kontrak dan outsourcing adalah bahwa mereka tidak diberikan kesempatan untuk berorganisasi/berserikat, meskipun peraturan ketenagakerjaan tidak menyebutkan secara eksplisit bahwa buruh outsourcing tidak dibolehkan berserikat. Namun demikian mereka tetap was-was dan tidak berdaya berserikat dengan ketakutan bahwa kontrak mereka tidak akan diperpanjang apabila mereka diketahui berserikat oleh pengusaha.

Semua tahu bahwa secara sosial, posis buruh di mata pengusaha sangat lemah dan untuk itulah mengapa dalam undang-undang diharuskan ada campur tangan pemerintah dalam pengawasan maupun penanganan kasus-kasus ketenagakerjaan.

Namun pemerintah yang sering diwakili oleh Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi serta jajarannya tidak mampu dan bahkan cenderung membiarkan pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh pengusaha di bidang ketenagakerjaan. Pemerintah selalu beranggapan bahwa pengusahalah yang menyelamatkan Indonesia. Indonesia akan runtuh apabila pengusaha tidak ada, sehingga wajar pemerintah akan dengan sekuat tenaga menutupi pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh pengusaha.

Satu-satunya yang mampu memperjuangkan hak-hak buruh adalah apabila mereka bersatu dalam serikat buruh dan bersama-sama menuntut hak-hak mereka dalam serikat buruh. Serikat buruh menjadi alat perjuangan bersama, termasuk bagi buruh outsourcing, dan memberi kekuatan jauh lebih besar dibandingkan harus berjuang seorang diri.


* Penulis adalah Sekretaris Perhimpunan Rakyat Pekerja Makassar, sekaligus anggota Forum Belajar Bersama Prakarsa Rakyat dari Simpul Sulawesi Selatan.

** Siapa saja dipersilahkan mengutip, menggandakan, menyebarluaskan sebagian atau seluruh materi yang termuat dalam portal ini selama untuk kajian dan mendukung gerakan rakyat. Untuk keperluan komersial pengguna harus mendapatkan ijin tertulis dari pengelola portal Prakarsa Rakyat. Setiap pengutipan, penggandaan dan penyebarluasan sebagian atau seluruh materi harus mencantumkan sumber (portal Prakarsa Rakyat atau www.prakarsa-rakyat.org).

0 Comments:

Post a Comment