Oleh : Hari Widadi *


Seperti tiba-tiba, Indonesia masuk perdagangan bebas dalam China – ASEAN Free Trade Agreement (CAFTA), Perjanjian Perdagangan Bebas ASEAN - China. Padahal sebenarnya ini bukan hal yang baru karena sudah beberapa kali pemerintah menandatangani perjanjian pasar bebas, seperti WTO pada tahun 1994, Indonesia – Jepang dalam EPA pada tahun 2007, dan Indonesia – New Zealand – Australia dalam NZFTA.

Bea impor yang sampai nol persen membuat hampir semua kalangan seperti kebakaran jenggot ketika CAFTA mulai dijalankan awal tahun ini dari pada kesepakatan – kesepakatan lain yang telah dijalankan sebelumnya. Sudah menjadi rahasia umum kalau maraknya produk impor dengan harga yang lebih murah dan berkualitas lebih baik telah menghancurkan tenaga produksi terutama pada sektor Usaha Kecil Menengah (UKM) apalagi pemerintah nampak tidak siap untuk menyelamatkan perekonomian rakyat.

Kampanye “Aku Cinta Produk Indonesia” sebagai salah satu program pemerintah dalam rangka menghadapi CAFTA belum kita dengar sampai saat ini, padahal laju impor lebih cepat dari pada peningkatan ekspor yang dijanjikan pemerintah. Hal ini bisa kita lihat melalui dengan mudahnya kita temui produk-produk impor di warung depan rumah kita. Kemampuan distribusi yang cepat sangat mendukung perkembanganya, hanya butuh waktu dua jam untuk melakukan pembongkaran barang impor di pelabuhan Tanjung Priok. Para produsen lokal seolah tidak ada pilihan selain bertarung dengan kekuatan seadanya, hukum alam berlaku di sini dan negara tidak bisa berperan banyak untuk menangkalnya.

Padahal jauh sebelum perjanjian dagang itu ditetapkan, gempuran produk-produk dari China sudah merangsek pasar dalam negeri, mulai dari tekstil hingga alat-alat berat, mulai dari produk rumahan hingga produk manufaktur. Presiden Republik Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono justru mengatakan dalam peringatan Hari Koperasi tahun lalu bahwa globalisasi dapat menambah pemasukan dari pajak dan menambah lapangan pekerjaan, sungguh sebuah pernyataan yang jauh dari kenyataan. Tingkat korupsi yang tinggi di negeri ini membuat pendapatan dari pajak tidak terasa sampai tangan rakyat dan justru dengan melihat pola pasar bebas yang dijalankan, ke depan kita akan melihat dan merasakan banyak efek negatif dari pemberlakuan CAFTA, salah satunya yaitu meningkatnya angka pengangguran.


Negeri Konsumen

Dengan populasi sebanyak 234juta jiwa dan GDP per kapita $2.200 yang diperkirakan akan terus tumbuh, Indonesia merupakan pasar yang sangat potensial. Didukung tingkat konsumsi masyarakat Indonesia yang tinggi tentu sangat menguntungkan para importir dan pengusaha-pengusaha negara anggota CAFTA terutama China. Hampir 70% perekonomian nasional didukung konsumsi. Dalam Global Competitiveness Index yang dibuat oleh World Economic Forum dengan mensurvey 133 negara, tercantum bahwa Ukuran Pasar di Indonesia masih menjadi daya tarik bagi para investor dari pada indikator yang lain seperti infrastruktur, kesiapan teknologi, pendidikan tinggi dan pelatihan.

Tidak bisa dipungkiri hal inilah yang menjadikan Indonesia sebagai sasaran empuk para kapitalis internasional. Sayangnya tingkat konsumsi yang tinggi masih dimanfaatkan para pengusaha bermodal besar. Rakyat (yang dipaksa) sebagai konsumen hanya bisa menerima dan menjadi “korban” dari membanjirnya produk-produk impor, melahap semua yang diiklankan tanpa bisa menghindar. Inilah akibatnya kalau sejak dulu bangsa Indonesia diperlakukan sebagai bangsa konsumen dan penyedia bahan mentah. Perekonomian nasional yang lebih menggantungkan pada lembaga donor internasional berakibat kepada bebasnya para kapitalis internasional mendiktekan kebijakan nasional yang senantiasa memposisikan Indonesia sebagai pasar yang potensial untuk dieksploitasi.

Kalau dilihat dari logika pasar apalagi pasar bebas atau neoliberalisme, produsen bermodal kecil (UKM) akan dihantam oleh produsen bermodal besar sedangkan konsumen adalah seseorang yang menghabiskan hasil produksi dan ketika habis akan membeli lagi, mesin pelipatganda omset. Keuntungan akan semakin mengalir ke kantong para pemilik modal besar.


Koperasi Sebagai Alat

Sekarang mari kita lihat sebuah sistem ekonomi yang dipelopori di Indonesia oleh R. Aria Wiriatmadja pada tahun 1896 yaitu koperasi, khususnya koperasi simpan pinjam. Koperasi yang dibuat selain bertujuan untuk mensejahterakan rakyat ketika itu, juga untuk mensiasati perekonomian yang dijalankan oleh kolonial. Sehingga pihak kolonial Belanda kewalahan dan membuat peraturan yang menghambat perkembangan koperasi.

Di awal perkembanganya, koperasi meningkat cukup pesat; pada tahun 1930 berjumlah 39 buah, pada tahun 1939 berjumlah 574, dan jumlah koperasi aktif per November 2001 sebanyak 96.180 dengan anggota sekitar 26.000.000. Bahkan pada masa perjuangan kemerdekaan, gerakan koperasi digunakan oleh beberapa kelompok seperti Boedi Oetomo, Sarekat Islam pada tahun 1911, dan Muhammadiyah pada tahun 1935 untuk memperbesar jumlah anggotanya. Hal ini didukung oleh mudahnya mendirikan sebuah koperasi dan kebutuhan sumber daya manusia yang tidak mementingkan titel khusus atau gelar pendidikan tinggi. Walaupun memiliki struktur yang hirarkis tapi pola kekeluargaan yang dijalankan membuatnya berbeda dengan sebuah perusahaan. Di negara barat, koperasi didirikan untuk mengimbangi kekuatan pasar yang begitu liberal dengan memproteksi anggota-anggotanya dari serangan pasar bebas.

Di Indonesia secara garis besar koperasi digolongkan menjadi tiga yaitu: (1) Koperasi produsen atau yang bergerak di bidang produksi; (2) Koperasi konsumen atau koperasi konsumsi; (3) Koperasi kredit atau jasa keuangan. Mengutip tulisan Dr. Noer Soetrisno, Deputi Bidang Pengkajian Sumberdaya UKM, pada bagian Posisi Koperasi Dalam Perdagangan Bebas menyebutkan bahwa koperasi konsumsi lebih bisa berkembang dari adanya perdagangan bebas dan dengan semakin meluasnya konsumsi dunia. Dia juga menambahkan bahwa sebenarnya menjadi wahana masyarakat untuk melindungi diri dari kemungkinan kerugian yang timbul akibat perdagangan bebas. Dibayangkan jika konsumsi masyarakat terlembagakan dan digunakan untuk mensejahterakan anggotanya.

Sedangkan koperasi produksi dan kredit simpan pinjam seharusnya tetap memerlukan perlindungan dan jaminan dari pemerintah. Seperti daerah Sumatera Barat yang mencatat Sisa Hasil Usaha (SHU) per Juni 2009 mencapai Rp 67,40 miliar dari koperasi produksi dan kredit simpan pinjamnya dengan jumlah koperasi aktif 2.462 dengan jumlah anggota 554.635 orang. Tapi sekarang sudah tahun 2010 dan CAFTA sudah dijalankan pada awal tahun, artinya persaingan modal dan hasil produksi akan semakin keras. Dalam laporan Doing Business 2010 dibuat oleh Bank Dunia untuk mengukur kemudahan mendirikan usaha, Indonesia menempati urutan 122 dari 183 negara, lebih sulit daripada Singapura, Malaysia, Brunei dan China (negara-negara anggota CAFTA) tapi lebih mudah dalam hal Perdagangan Antar Negara (posisi 45), artinya Indonesia lebih potensial untuk menjadi basis konsumen barang impor dari pada menjadi basis produksi.

Walaupun koperasi konsumsi memiliki prospek yang cukup bagus, tapi sampai kapan rakyat hanya diposisikan sebagai konsumen sedangkan kekuatan produksinya terabaikan. Tapi setidaknya para anggota tidak hanya menjadi target pasar yang efektif untuk menambah kekayaan para kapitalis. CAFTA bukanlah pesta tahun baru yang selesai ketika pagi tiba. Ia adalah pasar bebas yang digunakan para kapitalis untuk mengeksploitasi sampai anak cucu kita.


* Penulis adalah anggota Komunitas Rakyat Biasa, sekaligus anggota Forum Belajar Bersama Prakarsa Rakyat dari Simpul Jawa Tengah.

** Siapa saja dipersilahkan mengutip, menggandakan, menyebarluaskan sebagian atau seluruh materi yang termuat dalam portal ini selama untuk kajian dan mendukung gerakan rakyat. Untuk keperluan komersial pengguna harus mendapatkan ijin tertulis dari pengelola portal Prakarsa Rakyat. Setiap pengutipan, penggandaan dan penyebarluasan sebagian atau seluruh materi harus mencantumkan sumber (portal Prakarsa Rakyat atau www.prakarsa-rakyat.org).

0 Comments:

Post a Comment