Oleh : Suharsih, SIP*


Pada bulan Mei lalu, Perdana Menteri Thailand, Abhisit Vejjajiva akhirnya benar-benar memerintahkan militer untuk membubarkan demonstrasi Kaus Merah dengan kekerasan. Tank-tank, pasukan bersenjata lengkap dan penembak jitu dikerahkan untuk menghancurkan perlawanan Kaus Merah. Terhitung lebih dari 80 orang meninggal dan 2.000 orang terluka, termasuk juga jurnalis dan paramedis yang berada di lokasi Kaus Merah.

Krisis yang terjadi sekarang adalah krisis terbesar yang menimpa Thailand sejak tahun 1970-an. Perlawanan Kaus Merah tersebut memiliki kaitan sejarahnya dengan proses politik yang terjadi di Thailand pada awal abad ke-21. Thailand merupakan negara di Asia Tenggara yang paling banyak mengalami kudeta militer. Terhitung di era 1960-an telah terjadi belasan kali kudeta militer. Pada tahun 1997 setelah berkali-kali mengalami kudeta militer dibentuklah konstitusi baru yang sedikit banyak lebih demokratis.

Pada tahun 2001 dilaksanakanlah pemilihan umum pertama yang menggunakan Konstitusi 1997. Pemilu tersebut menghantarkan Thaksin Sinawatra sebagai Perdana Menteri dengan partainya Thai Rak Thai. Saat berkuasa Thaksin menjalankan kebijakan yang kontradiktif, di satu sisi neoliberal dan populisme di sisi yang lainnya. Di satu sisi dia melakukan liberalisasi pasar dalam negeri, mendorong investasi asing serta menjual aset-aset BUMN. Namun dia juga melancarkan program populis seperti penyediaan skema program kesehatan 30 Baht. Program populis tersebut memberikan dia dukungan luas di daerah pedesaan.

Pada bulan September 2006, militer di bawah Jendral Sonti Boonyaratgalin mengkudeta Pemerintahan Thaksin. Langkah yang dia ambil kemudian adalah membentuk Dewan untuk Reformasi Demokratik di bawah Monarki Konstitusional. Kebijakan yang dilakukan adalah membubarkan parlemen, memberangus kebebasan pers, melarang segala tindakan yang dianggap membahayakan stabilitas negara, serta mengangkat pensiunan Jendral Surayud Chulanon sebagai Perdana Menteri. PM Surayud bertugas hingga terlaksanakannya pemilu ulang.

Yang terjadi adalah Thailand berada dalam kondisi krisis politik terus-menerus. Pemilu yang kemudian diselenggarakan justru memenangkan partai yang mendukung Thaksin, walaupun Thaksin tidak menjadi Perdana Menteri. Berbagai cara digunakan untuk menghancurkan pengaruh Thaksin dan partainya salah satunya adalah menggunakan gerakan massa oleh kelompok yang menamakan dirinya Aliansi Rakyat untuk Demokrasi (PAD) atau dikenal dengan Kaus Kuning. Kondisi tersebut juga memunculkan gerakan perlawanan menentang kudeta dan menuntut dikembalikannya demokrasi. Gerakan perlawanan yang disebut dengan Front Persatuan Demokrasi Nasional Melawan Kediktaktoran (UDD) yang dikenal dengan Kaus Merah. Memang pada awalnya Kaus Merah didominasi oleh pendukung Thaksin namun seiring berjalannya waktu tujuan utama mereka menjadi tuntutan-tuntutan demokratis seperti restorasi demokrasi dengan pemilihan umum segera.

Perlawanan Kaus Merah tersebut memuncak ketika Kaus Merah menduduki beberapa pusat kota Bangkok pada tanggal 14 Maret. Mereka menuntut agar PM Abhisit segera mundur dan pemilihan umum segera dilaksanakan. Setelah lebih dari dua bulan menduduki pusat kota Bangkok dan berkali-kali mendapatkan ancaman dari PM Abhisit pada tanggal 19 Mei kemarin, PM Abhisit memerintahkan militer untuk menggunakan kekerasan dan membubarkan protes Kaus Merah.

Walaupun PM Abhisit telah menyatakan bahwa kondisi telah aman di Bangkok dan Thailand tapi tampaknya itu jauh dari kenyataan. Daerah-daerah di luar Bangkok justru mulai bergejolak lebih hebat lagi. Sehingga respon dari Abhisit adalah jam malam terus diperpanjang di Bangkok dan juga di 23 provinsi lainnya. Memberangus pers yang menyiarkan berita kontra terhadap pemerintah. Serta menahan ratusan pemimpin dan pendukung Kaus Merah. Represi militer luar biasa di bawah retorika rekonsiliasi dan demokrasi ala Abhisit tidak akan menyelesaikan persoalan yang terjadi di Thailand. Di satu sisi dia memaksa kelompok yang moderat untuk menyerah. Namun di sisi yang lain justru mendorong munculnya perlawanan-perlawanan baru yang lebih luas dan radikal. Seperti yang ditunjukkan dengan munculnya gejolak-gejolak di daerah-daerah di luar Bangkok.


Posisi Thailand di Asia Tenggara

Thailand telah lama menjadi kaki tangan Amerika Serikat untuk memperkuat dominasinya di Asia Tenggara. Setelah Perang Dunia Kedua, Thailand menjadi salah satu basis AS untuk melawan komunis. Saat perang Vietnam, Amerika menggunakan Thailand sebagai salah satu basisnya untuk menahan perkembangan komunisme di Vietnam dan Cina.

Walaupun pada tahun 1970-an personil militer AS ditarik dari Thailand namun dominasi militer AS masih kuat. Ini terlihat dari latihan perang tahunan yang dilakukan oleh Thailand dan Amerika Serikat. Ketika “perang anti terorisme” dilancarkan oleh AS, Thailand ikut membantu dengan mengirimkan 400 tentara dan menyediakan basis militer di Udon Thani untuk menginterogasi dan menyiksa tahanan “perang anti terorisme” AS.

Kudeta militer tahun 2006 juga mendapatkan dukungan dari Amerika Serikat melalui tokoh-tokoh yang dekat dengan mereka. Antara lain seperti Prasong Soonsiri dan Prem Tinsulanonda, yang mendapatkan pelatihan dari CIA. Dukungan tersebut tidak terlepas dari kebijakan Thaksin yang membangun hubungan dekat dengan Amerika termasuk dalam hal ekonomi dan militer.

Kepentingan AS di Thailand dan Asia Tenggara jugalah yang menjadi landasan kenapa Amerika Serikat juga lembaga-lembaga internasional yang dihegemoninya seperti PBB dan ASEAN bersikap bias terhadap pelanggaran HAM yang terjadi. Komentar yang keluar dari Presiden AS, Barrack Obama justru mengecam Kaus Merah karena telah merusak properti. Sementara itu Komisi Tinggi HAM PBB justru memberikan lampu hijau untuk melakukan represi.

Keterlibatan militer Thailand dalam kekerasan terhadap Kaus Merah akan memberikan inspirasi bagi militer di Asia Tenggara untuk menggunakan cara-cara yang sama. Di tengah berkuasanya rejim-rejim neoliberal di Asia Tenggara dan merebaknya perlawanan rakyat terhadap kebijakan tersebut, represi militer jika terbukti ampuh di Thailand, akan diikuti oleh rejim-rejim neoliberal ataupun kekuatan militer di Asia Tenggara untuk merepresi perlawanan rakyat.

Oleh karena itu menjadi penting bagi gerakan rakyat di Indonesia untuk terus memberikan solidaritas terhadap perjuangan rakyat Thailand dan Asia Tenggara. Aksi yang dilakukan oleh Solidaritas Demokrasi dan Kemanusiaan untuk Rakyat Thailand yang telah dilakukan merupakan awalan yang bagus bagi pembangunan solidaritas internasional. Kemenangan rakyat Thailand dan solidaritas internasional dalam merebut demokrasi sejati akan menjadi pelajaran berharga bagi gerakan rakyat di Asia Tenggara. Kemenangan tersebut juga akan menjadi pukulan kepada rejim-rejim neoliberal dan militer yang berkuasa di Asia Tenggara.



* Penulis adalah anggota Solidaritas Demokrasi dan Kemanusiaan untuk Rakyat Thailand, sekaligus anggota Forum Belajar Bersama Prakarsa Rakyat dari Simpul Jawa Tengah.

** Siapa saja dipersilahkan mengutip, menggandakan, menyebarluaskan sebagian atau seluruh materi yang termuat dalam portal ini selama untuk kajian dan mendukung gerakan rakyat. Untuk keperluan komersial pengguna harus mendapatkan ijin tertulis dari pengelola portal Prakarsa Rakyat. Setiap pengutipan, penggandaan dan penyebarluasan sebagian atau seluruh materi harus mencantumkan sumber (portal Prakarsa Rakyat atau www.prakarsa-rakyat.org).

0 Comments:

Post a Comment