Oleh : Bustamin Nanda*

Pencabutan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (UU BHP) yang dilakukan Mahkamah Konstitusi (MK), tidak begitu berpengaruh terhadap sistem pendidikan yang telah memeluk dan mempraktekkan sistem neoliberal.

Penolakan dan wacana-wacana baru bermunculan dengan argumentasi logis-rasional, merujuk pada pengalaman Perguruan Tinggi Badan Hukum Milik Negara (PT BHMN) seperti UI, UGM, IPB, ITB, USU dan UPI, yang sampai sekarang masih mahal. Para mahasiswa dan elemen gerakan rakyat lainnya berdemonstrasi menentang pendidikan mahal, anti demokrasi, diskriminatif dan masih dianggap melegitimasi praktek komersialisasi pendidikan tinggi.


Industri pendidikan

Biaya pendidikan tinggi yang selama ini sudah amat mahal dikhawatirkan bertambah mahal karena pengelola perguruan tinggi yang berafiliasi terhadap paham kapitalistik yang didorong motif ekonomi dan mengikuti hukum pasar. Situasi ini akan menjadikan pendidikan tinggi sebagai barang komersial, sama seperti barang dagangan lain dalam suatu transaksi perniagaan.

Lazimnya transaksi perniagaan, pertimbangan untung-rugi merupakan faktor penentu dalam pengelolaan perguruan tinggi dan ini sudah jelas-jelas dilakukan oleh rezim hari ini. Jika pendidikan tinggi sudah menjadi barang komersial berharga mahal, sudah pasti hanya konglomerat yang mampu menjangkaunya. Masyarakat miskin yang pendapatan orang tuanya sangat rendah, seperti buruh yang upahnya rendah, kian sulit mendapat akses ke layanan pendidikan tinggi karena tak mampu menjangkau mahalnya biaya pendidikan.

Hak dasar setiap warga negara untuk mendapat pendidikan bermutu seperti yang tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal 31 ayat 1 kian sulit dipenuhi, terlebih karena sejauh ini rezim SBY-Bodiono tidak pernah memihak dan melindungi rakyat miskin. Sebaliknya pemerintah justru berpihak kepada kaum pemodal, melalui aneka instrumen kebijakan yang menganut paham neoliberal yang tidak akan pernah memihak kepada rakyat tertindas.

Padahal, empat isu besar yaitu pendidikan gratis, ilmiah, demokratis, dan bervisi kerakyatan yang banyak diteriakkan oleh rakyat, mahasiswa dan elemen-elemen masyarakat lainnya justru merupakan persoalan utama yang tidak pernah mendapat perhatian khusus. Kejadian seperti ini dikarenakan sistem pendidikan kita ditangani oleh para perumus kebijakan neoliberal ditambah lagi pengelola perguruan tinggi yang pro terhadap sistem pasar industrial.

Kehadiran UU BHP yang disahkan pemerintahan razim SBY Jilid I tahun 2009, sejatinya hanya penegasan belaka atas kenyataan bahwa pendidikan tinggi di Indonesia telah berkembang menjadi industri. Seperti di negara-negara kapitalis, seperti AS, Kanada, Inggris, atau Australia, pendidikan tinggi memang merupakan lahan industri strategis yang menjadi bagian dari dan berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi negara bersangkutan.

Di negara-negara itu, industri pendidikan tinggi tumbuh pesat menjadi industri jasa dan perdagangan yang lain. Lihat sentra-sentra industri pendidikan tinggi dunia yang sungguh memikat seperti Boston, New York, California, Toronto, British Columbia, London, Manchester, Cambridge, Sydney, Melbourne, Canberra. Perkembangan industri pendidikan tinggi menuju komersialisasi pun tak terbendung, ditandai proses kapitalisasi ilmu pengetahuan terutama ketika pertumbuhan ekonomi digerakkan iptek.


Program pendidikan industrial

Dalam industri pendidikan di perguruan tinggi, baik itu swasta maupun negeri, perguruan tinggi gencar mempromosikan beberapa program unggulannya. Program unggulan ini dapat kita lihat seperti akreditasi program studi, jurusan di dalamnya seperti teknik, kedokteran dan ekonomi.

Akreditasi program studi dalam Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN-PT), merupakan syarat minimal, namun tidak cukup memadai untuk dijadikan daya jual pada perguruan tinggi. Kini perguruan tinggi berlomba mengemas dan menonjolkan beberapa program unggulan lain, seperti sertifikasi internasional melalui Association to Advance Collegiate Schools of Business (AACSB), sebuah lembaga pemberi akreditasi bertaraf internasional. Hal ini menunjukkan bahwa perguruan tinggi yang ada adalah industri yang mencari profit.

Dengan kutipan di atas menunjukkan bahwa, perguruan tinggi yang ada di negeri ini tidak ada satupun yang memikirkan peserta didik, mereka hanya memikirkan promosi yang menguntungkan bagi mereka. Pendidikan hari ini adalah lahan basah untuk meraup keuntungan. Adapun pelajaran yang didapat, itu tidak lain hanya memihak pada sistem yang mereka terapkan yaitu sistem kapitalistik.


Strategi pemasaran pada industri pendidikan

Kompetisi global sudah melanda dunia pendidikan. Setiap tahun, saat kelulusan SMA dan SMK, para lulusan bersaing untuk mendapatkan institusi pilihan. Perguruan tinggi pun berlomba-lomba mempromosikan diri dan menjaring calon-calon mahasiswa potensial. Potensial bisa berarti mampu secara akademis atau finansial. Perguruan tinggi dari luar negeri pun tidak mau kalah, dan gencar berpromosi. Begitu pula perguruan tinggi swasta (PTS) melakukan berbagai upaya pemasaran layaknya sebuah bisnis. Kini beberapa perguruan tinggi negeri (PTN) tidak mau ketinggalan dengan membuka jalur khusus atau ekstensi.

Perguruan tinggi negeri membuat langkah lebih cepat dari perguruan tinggi swasta dengan menggunakan negara sebagai alat yang berkuasa dalam proses pendidikan di negeri ini, memperkenalkan perguruan tingginya dengan berbagai macam fasilitas dan akreditasi lebih tinggi, bekerja sama dengan perusahan-perusahaan besar. Sudah sangat jelas orientasi pendidikan kita. Baik itu perguruan tinggi negri ataupun perguruan tinggi swasta sudah jelas-jelas mengejar keuntungan (profit), dalam bidang pendidikan yang berorientasi pada perusahan-perusahan yang bermodal besar.

Baru-baru ini kita sudah melihat berita-berita di berbagai media cetak maupun elektronik, kelulusan siswa dari berbagai sekolah yang ada. Pada standar kelulusan pada tahun 2010 yaitu, 5.50. standar nilai kelulusan dari semua mata pelajaran, yang masuk dalam ujian nasional (UN). Dengan standar nilai setinggi ini sangat memberatkan para siswa. Tidak ketinggalan para gurupun ikut tertekan oleh target agar para anak didik mereka bisa lulus ujian nasional.

Mengejar nilai yang telah disepakati sebagai standar kelulusan peserta ujian merupakan hasil dari kesepakatan beberapa perusahaan-perusahaan besar, karena dengan nilai yang sudah distandarkan dapat memikat hati para pengusaha (pemodal) dan menginvestasikan modalnya dalam bentuk bantuan kepada sekolah atau perguruan tinggi.

Dan banyak kalangan yang tidak bertanggung jawab mengambil kesempatan dengan nilai standar kelulusan ini. Praktek sogok-menyogokpun dilaksanakan dengan melakukan transaksi pada orang tua siswa agar anaknya diluluskan. Bagi orang tua siswa dari kalangan buruh, petani, nelayan yang tak mampu membayar sogokan menjadi korban transaksi ini. Meskipun anak dari kalangan yang tak mampu tadi ini, memiliki bakat, pintar, cerdas tetapi tidak memliki modal (uang) untuk menyogok, tidak akan diluluskan.

Dalam sistem pendidikan yang berorientasi kepada modal, sekolah bukan lagi semata-mata tempat menuntut ilmu, tetapi sekolah telah berputar arah menjadi ajang bisnis. Dengan kejadian di atas kita akan teringat pada masa penjajahan Belanda dimana kaum pribumi yang miskin dan melarat tidak dapat mengenyam yang namanya pendidikan. Hanya dari kalangan anak priyai yang bisa sekolah karena selain kaya mereka juga dekat dengan pemerintahan Hindia-Belanda pada waktu itu. Dan dari kalangan pribumi yang melarat kehidupannya dibiarkan terus-menerus bodoh dan patuh terhadap kemauan pemerintah Hindia-Belanda, dan menggunakan tenaga mereka secara gratis.


* Penulis adalah anggota Front Mahasiswa Demokratik (FMD) Makassar, sekaligus anggota Forum Belajar Bersama Prakarsa Rakyat dari Simpul Sulawesi Selatan.

** Siapa saja dipersilahkan mengutip, menggandakan, menyebarluaskan sebagian atau seluruh materi yang termuat dalam portal ini selama untuk kajian dan mendukung gerakan rakyat. Untuk keperluan komersial pengguna harus mendapatkan ijin tertulis dari pengelola portal Prakarsa Rakyat. Setiap pengutipan, penggandaan dan penyebarluasan sebagian atau seluruh materi harus mencantumkan sumber (portal Prakarsa Rakyat atau www.prakarsa-rakyat.org).

0 Comments:

Post a Comment