Oleh : Iqbal Pandji Putra *


Salah satu mandat dari UUD 1945 yang juga merupakan cita-cita didirikannya bangsa ini adalah mensejahterakan rakyat dan menciptakan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, namun dalam perjalanannya setelah 64 tahun bangsa ini merdeka cita-cita itu tidak pernah terwujud. Data BPS tahun 2006 menyebutkan bahwa jumlah penduduk miskin pada tahun 2006 adalah 39,05 juta jiwa. Jumlah ini mengalami peningkatan sebanyak 4 juta jiwa dari tahun sebelumnya yang hanya berkisar di angka 35 juta jiwa, dan semuanya berdomisili di wilayah pedesaan (petani).

Faktor penyebab dari kemiskinan yang melanda masyarakat pedesaan adalah akibat dari tidak meratanya penguasaan atau distribusi sumber-sumber agraria (tanah) yang berada di wilayah pedesaan. Banyak data yang membenarkan hal ini, salah satunya menyebutkan bahwa, rata-rata penguasaan tanah oleh petani di wilayah pedesaan tidak lebih dari 0,8 hektar/keluarga, atau secara keseluruhan kaum tani di Indonesia hanya menguasai sekitar 17 juta hektar lahan pertanian. Bahkan ada sekitar 12,5 juta rumah tangga petani gurem, yang di dalamnya ada sekitar 9,9 juta rumah tangga petani yang tidak bertanah (landless peasant) atau sekitar 32,6% dari jumlah keseluruhan rumah tangga tani di Indonesia.

Penguasaan oleh petani tersebut sebanding dengan penguasaan tanah oleh segelintir orang/pemilik modal, seperti tercatat dalam data yang dikeluarkan oleh Konsorsium Pembaharuan Agaria (KPA) tahun 1998, bahwa dari 666 unit produksi yang ada di Indonesia mengontrol sekitar 48,3 juta ha berstatus Hak Pengusahaan Hutan ( HPH)/ Hutan Tanaman Industri (HTI), dimana 16,7 juta ha diantaranya dikuasai oleh 12 konglomerat. Perhutani menyatakan menguasai 3 juta ha lahan hutan. Pada tahun 2000, diketahui terdapat 2.178 perusahaan yang menguasai perkebunan-perkebunan besar dengan total lahan seluas 3,52 juta ha. Sementara di bidang pertambangan hingga tahun 1999, terdapat 561 perusahaan yang menguasai 52,5 juta ha lahan konsesi pertambangan.

Pengusahaan lahan yang dilakukan oleh para pemilik modal telah memicu terjadinya konflik agraria yang tidak sedikit, dimana dalam kurun waktu antara tahun 1970 hingga 2001, setidaknya telah terjadi 1.753 konflik yang melibatkan 1.090.868 keluarga, dengan luas lahan konflik seluas 10,5 juta hektar. Sedangkan untuk data tahun 2009, KPA mencatat telah terjadi sedikitnya 89 kasus, dengan luas sengketa 133.278,79 ha dan menimbulkan korban sedikitnya sebanyak 7.585KK. Selain itu, akibat tidak meratanya kepemilikan, pemanfaatan, dan penguasaan tanah tersebut, menyebabkan pula munculnya persoalan-persoalan lingkungan hidup seperti bencana ekologis dan pemanasan global (global warming).

Persoalan-persoalan di atas yang terkait dengan ketimpangan sosial di masyarakat yang menyebabkan terjadinya konflik agraria dan persoalan lingkungan hidup, adalah dampak dari serangkaian kebijakan politik agraria yang dijalankan pemerintah masa Orde Baru sampai dengan masa Reformasi yang berwatak kapitalistik dengan menitikberatkan pada tanah sebagai objek penunjang pembangunan. Seharusnya pemerintah menjalankan mandat Undang-Undang No. 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Agraria (UUPA), yaitu melakukan penghapusan struktur politik agraria yang berwatak feodal dan kolonial, menjadi struktur penguasaan yang dapat menjamin terwujudnya kemakmuran rakyat, dengan cara menjalankan lima misi utama yang terkandung dalam UUPA, yaitu: (1) perombakan hukum agraria; (2) pelaksanaan land reform; (3) penataan penggunaan tanah; (4) likuidasi hak-hak asing dalam bidang agraria; dan (5) penghapusan sisa-sisa feodal dalam bidang agraria (agenda reforma agraria).

Selain itu pemerintah juga wajib mengevaluasi kebijakan yang telah dilakukan sebelumnya yang tidak selaras dengan UUPA sehingga berdampak pada bermunculannya konflik agraria dan persoalan lingkungan di Indonesia seperti yang diuraikan di atas. Pada tahun 2005 yang lalu pemerintah di bawah Presiden SBY melalui Badan Pertanahan Nasional (BPN) mencanangkan Program Pembaruan Agraria Nasional (PPAN). Melalui program tersebut pemerintah mengklaim telah menjalankan reforma agraria, dengan meredistribusikan tanah untuk rakyat miskin seluas 349.519 hektar dari jumlah total seluas 7,1 juta ha di wilayah hutan produksi. Akan tetapi, peraturan pemerintah terkait pembaruan agraria ini hingga sekarang pun belum juga ditandatangani oleh presiden.


Di dalam buku Reforma Agraria yang ditulis Gunawan Wiradi mengatakan bahwa sejak bulan Juli 1979, tonggak perjalanan penting dalam perjuangan yang panjang dan sulit, melawan kemiskinan dan kelaparan. Karena pada saat itu, Konferensi Sedunia mengenai Reforma Agraria dan Pembangunan Pedesaan (World Conference on Agrarian Reform and Rural Development-WCARRD), yang di selenggarakan oleh FAO-PBB di Roma, merumuskan Prinsip-Prinsip dan Program Kegiatan (Declaration of Principle and Programme of Action):

“Tujuan reforma agraria dan pembangunan pedesaan adalah tranformasi kehidupan dan kegiatan kegiatan pedesaan dalam semua aspeknya: aspek ekonomi, budaya, kelembagaan, lingkungan, dan kemanusian. Sasaran dan strategi untuk mencapai itu haruslah dipusatkan pada penghapusan kemiskinan....dan harus dikendalikan oleh kebijakan yang berusaha mencapai pertumbuhan dan pemerataan redistribusi kuasa-kuasa ekonomi dan politik, serta parisipasi rakyat” (The Peasants’ Charter, 1981;6).

Sebanyak 145 negara (termasuk Indonesia) yang ikut menandatangani deklarasi tersebut, kemudian memberikan mandat kepada FAO untuk membantu negara-negara anggota untuk melaksanakan mandat tersebut.

Masih banyaknya kebijakan yang tidak dilaksanakan secara benar dan tidak konsekuen oleh negara, menyebabkan persoalan pertanahan hingga saat ini menjadi bola salju yang terus membesar. Salah satu contohnya adalah rendahnya penyelesaian kasus pertanahan di Lampung yang membuktikan kinerja pemerintahan daerah masih kurang. Selain itu sikap pemihakan para wakil rakyat di DPRD terhadap kepentingan rakyat masih rendah. Dengan kata lain, para pimpinan lembaga eksekutif dan para legislatif masih disibukkan dengan urusan politik yang hanya berorientasi pada kepentingan mereka sendiri.

Menurut Dr.Sunarto (2005), konflik pertanahan merupakan masalah krusial. Penyelesaian terhadap kasus tersebut memerlukan penyelesaian yang komprehensif dan memuaskan semua pihak yang terlibat konflik. Hal tersebut terjadi bukan saja akibat dari substansi yang tidak jelas, tetapi berkaitan juga dengan watak bangsa, pandangan hidup, dan sistem sosial masyarakat.

Penelitian Dr.Sunarto di tahun 2005 mengenai konflik tanah di Propinsi Lampung, mencatat terjadinya 241 kasus sengketa tanah. Kasus tanah yang terjadi di 5 wilayah (4 wilayah Kabupaten dan 1 Kota Bandarlampung) telah dilaporkan ke pemerintah daerah untuk dimintakan penyelesaiannya. Dari 220 kasus tanah yang dimintai penyelesaian pada pemerintah daerah, dan DPRD Kota/Kabupaten dan Provinsi Lampung, hanya 71 kasus yang ditanggapi dan 17 kasus yang dapat diselesaikan. Sisa 44 kasus belum terselesaikan dan tidak ada penyelesaian yang jelas.

Dari 241 kasus tanah yang dilakukan masyarakat tersebut disebabkan oleh tiga hal: (1) Pembebasan tanah tanpa musyawarah; (2) Pembebasan mengabaikan hukum yang adil dan budaya; (3) Pembebasan tanah dengan paksaan.

Untuk menghadapi persoalan yang disebutkan di atas, maka perlu: pertama, ada kejelasan dalam pelaksanaan kebijakan politik pertanahan yang lebih berpihak pada masyarakat. Kedua, memberikan teguran yang tegas pada perusahaan yang melanggar Hak Guna Usaha (HGU) yang dibuat. Ketiga, pemerintah dan perusahaan memberikan kesempatan pada masyarakat untuk memanfaatkan dan mengelola lahan yang tidak produktif. Keempat, pendidikan politik, hukum dan ekonomi untuk rakyat dalam memperkuat persatuan kaum tani.


* Penulis adalah anggota Gerakan Rakyat Indonesia (GRI Lampung).

** Siapa saja dipersilahkan mengutip, menggandakan, menyebarluaskan sebagian atau seluruh materi yang termuat dalam portal ini selama untuk kajian dan mendukung gerakan rakyat. Untuk keperluan komersial pengguna harus mendapatkan ijin tertulis dari pengelola portal Prakarsa Rakyat. Setiap pengutipan, penggandaan dan penyebarluasan sebagian atau seluruh materi harus mencantumkan sumber (portal Prakarsa Rakyat atau www.prakarsa-rakyat.org).

0 Comments:

Post a Comment