Oleh : Ari Yurino*


Orde Reformasi berumur 12 tahun pada bulan ini. Orde reformasi yang ditandai dengan kejatuhan Soeharto pada tanggal 21 Mei 1998 seharusnya dimaknai sebagai perubahan kondisi atau nasib dari rakyat Indonesia yang telah terbebas dari belenggu kediktatoran Orde Baru. Namun walaupun kepemimpinan nasional sudah berganti beberapa kali, kenyataannya, kemiskinan masih menjadi permasalahan yang sangat serius saat ini dan kesejahteraan semakin menjauhi kehidupan sebagian besar rakyat Indonesia.

Jika kita melihat beberapa pemberitaan di media massa beberapa minggu lalu, isu mengenai markus (makelar kasus) di dunia perpajakan dan bobroknya institusi penegak hukum di Indonesia sering kali menjadi headline pemberitaan. Seluruh perhatian masyarakat saat itu sedang tertuju kepada kedua permasalahan tersebut. Isu skandal Bank Century yang merajai headline media massa pada saat sebelumnya, akhirnya harus tersingkir. Jarang sekali orang yang membicarakan isu skandal Bank Century paska Pansus mengeluarkan rekomendasinya.

Inilah yang saat ini dialami oleh bangsa kita. Lupa akan sejarah yang mengiringi perubahan-perubahan yang terjadi di negeri ini. Namun jika menilik perjalanan sejarah, kekuasaan tercatat gemar membuat “lupa” atas sesuatu. Membuat orang “lupa” pada penindasan hak-hak warga atau perilaku korup penguasa. Milan Kundera bahkan menyatakan, “Perjuangan melawan kekuasaan adalah perjuangan melawan lupa.”

Cita-cita Orde Reformasi akan perubahan nasib dan kondisi kehidupan yang lebih baik, seringkali tidak pernah dirasakan secara langsung oleh rakyat. Darah rakyat yang ditumpahkan untuk mengusung cita-cita perubahan seakan-akan seperti tidak bermakna apa-apa saat ini. Bahkan untuk mengusut peristiwa-peristiwa kelam yang mengiringi transisi Orde Baru ke Orde Reformasi saja tidak pernah dipedulikan oleh penguasa.

Suyatno selalu menjelaskan, “Kalau tidak karena peristiwa yang menimpa Suyat pada awal tahun 1998, pasti tidak akan ada perubahan yang menempatkan mereka pada posisi seperti yang mereka nikmati saat ini. Tapi sayangnya, mereka seperti lupa itu semua.” Ini merupakan kekecewaan Suyatno kepada para pemimpin negeri ini yang telah silih berganti sejak Soeharto lengser dua belas tahun yang lalu. Kekecewaan ini sudah sepatutnya dirasakan oleh Suyatno, karena tidak satupun Presiden yang mempedulikan nasib dirinya dan ribuan korban pelanggaran HAM lainnya.

Suyatno adalah kakak kandung Suyat yang merupakan korban penghilangan paksa terhadap aktivis di awal 1998. Hingga saat ini Suyat belum kembali dan tidak diketahui nasib dan keberadaannya. Ini hanya secuil dari kekecewaan keluarga korban dan korban pelanggaran HAM yang pada awalnya mengharapkan pemimpin di negeri ini, setelah tumbangnya Soeharto, dapat menuntaskan kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu.


Transisi Demokrasi dan Penghilangan Paksa

Tidak dapat disangkal, salah satu penyebab tumbangnya Soeharto adalah dikarenakan gerakan rakyat yang menghendaki perubahan atas nasib rakyat Indonesia. Telah berpuluh-puluh tahun, di bawah bayang-bayang kediktatoran Soeharto, rakyat selalu ditindas hak-haknya. Kemunculan gerakan rakyat yang ingin menumbangkan Soeharto dipicu dari krisis ekonomi sejak pertengahan tahun 1997. Krisis ekonomi ini kemudian berdampak pada membumbungnya harga-harga kebutuhan pokok, bangkrutnya industri dan terjadinya pemutusan hubungan kerja secara massal serta terjadinya capital flight.

Parahnya kondisi Indonesia yang dihantam krisis ekonomi, sedikit banyak juga dikarenakan kebijakan Soeharto yang tunduk terhadap agen-agen neoliberal. Kebijakan-kebijakan yang diambil oleh Soeharto, yang diarahkan oleh International Monetary Fund (IMF), semakin memperburuk kondisi perekonomian Indonesia ketika itu.

Momentum krisis ekonomi ini akhirnya menimbulkan gejolak sosial yang tidak dapat dibendung oleh penguasa. Gerakan-gerakan prodemokrasi yang dipelopori mahasiswa sejak awal tahun 1990-an seperti mendapatkan momentum kebangkitannya. Tuntutan akan penurunan harga dan pemberantasan Kolusi, Korupsi dan Nepotisme (KKN) kemudian meluas hampir ke seluruh kota di Indonesia. Kualitas tuntutannya pun meningkat menjadi perubahan struktur kekuasaan dari Orde Baru ke kekuasaan yang baru, bersih dari KKN dan diharapkan mampu mengatasi krisis ekonomi. Inilah akhirnya yang kemudian dikenal sebagai tuntutan Reformasi.

Namun berkembangnya gerakan prodemokrasi untuk melengserkan kekuasaan Soeharto ketika itu, tentu saja bukannya tanpa hambatan. Represi dilancarkan oleh rejim Orde Baru terhadap suara-suara kritis. Menjelang kejatuhan Soeharto, menuju Orde Reformasi, bahkan beberapa orang telah dihilangkan oleh rejim Orde Baru. Menjelang Pemilu 1997, menjadi awal kasus penghilangan paksa terhadap aktivis ketika itu. Dedi Hamdun, Noval Alkatiri, Ismail, Sonny dan Yani Afri, yang kesemuanya merupakan aktivis PPP dan PDI, merupakan kloter pertama yang dihilangkan. Hingga saat ini mereka tidak diketahui nasibnya. Pada masa ini, muncul fenomena koalisi akar rumput Mega-Bintang antara pendukung PPP dan PDI yang melawan Golkar pada saat kampanye Pemilu 1997.

Pada kloter berikutnya, menjelang Sidang Umum MPR 1998, beberapa aktivis kembali diciduk. Pius Lustrilanang, Desmond J Mahesa, Rahardjo Waluyo Jati, Faisal Reza, Andi Arief, Mugiyanto, Aan Rusdianto, Nezar Patria, Haryanto Taslam, Suyat, Herman Hendrawan dan Petrus Bima Anugrah menjadi korban penculikan pada periode ini. Tiga nama terakhir (Suyat, Herman Hendrawan dan Petrus Bima Anugrah) hingga hari ini masih menghilang. Beruntung pada periode ini, ada beberapa aktivis yang dikembalikan oleh sang penculik. Namun sayangnya, tidak banyak yang dapat diceritakan oleh beberapa aktivis yang kembali ini, karena selama masa penyekapan dan penyiksaan, mata mereka selalu ditutup oleh kain hitam.

Pada periode terakhir, yaitu pada saat menjelang tumbangnya Soeharto dari tampuk kekuasaan, beberapa nama kembali menjadi korban penculikan. Yadin Muhidin, Hendra Hambali, Ucok Munandar Siahaan, dan Abdun Naseer merupakan korban-korban penculikan tersebut dan hingga kini juga menghilang. Namun menariknya, tidak ada satupun dari nama-nama yang diculik pada saat periode ini yang memiliki aktivitas politik. Terakhir kali mereka diketahui hanya sedang menyaksikan beberapa bangunan dan mall yang sedang terbakar.


Pengungkapan Kebenaran dan Melawan Lupa

Seperti yang telah disebutkan diatas, tindakan membuat orang “lupa,” menjadi tindakan yang sistematis dilakukan oleh penguasa. Hal ini dimulai ketika para pelajar di sekolah diharuskan untuk menerima “asupan” dari penguasa akan sejarah yang berjalan di Indonesia. Sejarah versi penguasa tentunya menjadi hal yang utama yang harus diajarkan kepada seluruh murid di Indonesia. Implikasinya adalah murid-murid sekolah tidak mengenal versi sejarah yang berbeda dari penguasa.

Telah banyak diketahui sebelumnya bahwa “pelencengan” sejarah menjadi hal yang selalu dilakukan oleh rejim Orde Baru. Namun hingga saat ini, tidak pernah ada upaya untuk meluruskan sejarah dari penguasa setelah rejim Orde Baru. Misalnya saja mengenai peristiwa 1965. Sudah banyak sekali buku-buku sejarah yang membantah sejarah versi penguasa Orde Baru. Namun hingga kini, tidak pernah ada upaya untuk menggali atau mengkaji ulang perjalanan sejarah yang terjadi di Indonesia.

Beberapa peristiwa pelanggaran HAM yang pernah terjadi di Indonesia juga kenyataannya tidak pernah diajarkan di sekolah. Sebut saja misalnya mengenai peristiwa Tanjung Priok, Talangsari Lampung, peristiwa di Aceh, Papua dan Timor Leste, Penghilangan paksa terhadap aktivis 1997/1998 dan yang lainnya. Padahal dengan memberikan pemahaman yang jernih kepada para pelajar di Indonesia, tentunya akan memberikan perspektif yang berbeda kepada para pelajar.

Salah satu kuatnya stigmatisasi terhadap para korban dan keluarga korban pelanggaran HAM di Indonesia dari masyarakat adalah karena memang masyarakat hanya mengetahui peristiwa-peristiwa tersebut berdasarkan versi sejarah yang dibentuk oleh Orde Baru. Hal ini tentunya menjadi salah satu jalan yang menghambat perjuangan penuntasan kasus pelanggaran HAM di Indonesia.

Pengungkapan kebenaran menjadi agenda penting untuk dilakukan di Indonesia. Dengan adanya pengungkapan kebenaran akan peristiwa-peristiwa yang berlangsung di Indonesia, maka hal ini akan meminimalisir terjadinya pelanggaran-pelanggaran yang serupa di kemudian hari. Para pelajar dan mahasiswa yang nantinya akan menjadi generasi penerus bangsa ini, tentunya menjadi salah satu kekuatan penting untuk mencegah terjadinya kembali peristiwa-peristiwa kelam tersebut.

Pengungkapan kebenaran juga menjadi salah satu agenda Perjuangan Melawan Lupa agar bangsa ini selalu mengingat apa yang pernah terjadi di negeri ini. Desakan kepada pemerintah untuk segera mengungkapkan kebenaran dari peristiwa-peristiwa yang telah terjadi di Indonesia menjadi penting dilakukan. Namun yang juga penting adalah mulai merangkul kalangan pelajar dan mahasiswa untuk memberikan perspektif yang berbeda mengenai sejarah yang pernah terjadi di Indonesia.

“Jangan sekali-kali meninggalkan sejarah!” begitulah salah satu semboyan yang dikumandangkan Soekarno.
 
* Penulis adalah staff Divisi Kampanye dan Advokasi Federasi IKOHI, sekaligus anggota Forum Belajar Bersama Prakarsa Rakyat dari Simpul Jabodetabek.
** Siapa saja dipersilahkan mengutip, menggandakan, menyebarluaskan sebagian atau seluruh materi yang termuat dalam portal ini selama untuk kajian dan mendukung gerakan rakyat. Untuk keperluan komersial pengguna harus mendapatkan ijin tertulis dari pengelola portal Prakarsa Rakyat. Setiap pengutipan, penggandaan dan penyebarluasan sebagian atau seluruh materi harus mencantumkan sumber (portal Prakarsa Rakyat atau www.prakarsa-rakyat.org).

0 Comments:

Post a Comment