Oleh : Khamid Istakhori *


”Kami sudah lebih dari dua minggu berada di sini. Menunggu agar perusahaan mempekerjakan kembali kami sesuai dengan posisi kami semula. Membayar upah kami dan membatalkan PHK kami,” kata Ruslan, buruh PT. Fajar Lestari Abadi di Makassar yang tergabung dalam gabungan Serikat Buruh Nusantara, anggota KASBI. Mereka menggelar tenda solidaritas di halaman pabrik.

Nasib Ruslan terkatung-katung semenjak perusahaan mengeluarkan kebijakan yang melarang mereka bekerja kembali di pabrik dengan alasan mereka telah melakukan perbuatan indisipliner, melakukan aksi yang dianggap mengganggu kinerja perusahaan. Padahal, para buruh tersebut malakukan aksi solidaritas terhadap 6 orang yang di-PHK tanpa alasan yang masuk akal. Perisitiwa yang diawali dengan niat perusahaan untuk mem-PHK 6 orang buruh PT. FLA tersebut, dengan bermacam alasan. Sebagian di-PHK dengan alasan memiliki kinerja tidak bagus, sebagian di-PHK karena menolak mutasi. Namun ketika kemudian terjadi aksi solidaritas, semua buruh yang terakhir berjumlah 15 orang itu dinyatakan PHK sepihak dengan alasan bahwa perusahaan mengalami kebangkrutan sehingga harus melakukan efiensi. Dan seluruhnya, 15 orang tersebut adalah anggota serikat buruh.

Atas hal ini, kemudian para buruh, didampingi oleh para pengurus KASBI Wilayah Sulawesi Selatan mengadukan kejadian ini kepada pihak kepolisian sebagai tindakan anti serikat sesuai dengan pasal 28 UU 21 tahun 2000 tentang serikat buruh, dimana secara nyata disebutkan bahwa tindakan menghalangi buruh untuk berserikat dengan mem-PHK adalah tindakan pidana. Namun, pengaduan yang diterima oleh Polda SULSEBAR dengan Nomor LPB/79/IV/2010/SIAGA B pada tanggal 6 April 2010 tersebut pada akhirnya dimentahkan oleh pihak POLDA dengan kenyataan pahit bahwa hal tersebut tidak dapat diteruskan karena tidak ditemukan cukup indikasi terjadinya tindak pidana anti serikat. Kejadian itu menimpa buruh di Makassar, gerbang investasi Indonesia Timur. Ironis.

Lalu, jauh sebelum itu, tepat di gerbang Internasionalnya Indonesia, di Bandar Udara terjadi pula perlakuan yang sama terhadap Serikat Pekerja Angkasa Pura 1 yang sedang melakukan pemogokan di bandara. Para pekerja yang merasa jalan perundingan mengalami kemacetan karena pihak manajemen di bawah kendali Kementerian BUMN menyatakan tidak perlu menjalankan ketetapan dalam PKB yang merupakan hasil perundingan antara pihak manajemen dengan serikat pekerja merasa bahwa pemogokan adalah jalan dan pilihan yang harus ditempuh secara sadar karena bukankah kekuatan buruh adalah ketika dia menghentikan kerjanya? Dan mogok adalah jalan yang secara konstitusional tidak dapat dinyatakan keliru?

Namun apa yang terjadi? Saat ini, selang 2 tahun sejak perisitiwa itu terjadi, pengurus serikat pekerjanya diberangus, diombang-ambing lembaga legal bernama pengadilan dan menghadapi ketidakpastian. Tentu saja ironis, pergantian menteri, pergantian kapolri dan perlawanan mati-matian itu tak memberikan sinyal kepada para penguasa dan pengusaha untuk meredakan sejenak perlakuannya kepada para buruh. Justru, kini mereka dihadapkan pada pilihan pahit ketika manajemen BUMN yang mengelola bandara itu justru membentuk sebuah serikat buruh tandingan dan memuluskan jalan perundingan PKB dengan serikat baru. Lalu kepolisian serta Kementrian Tenaga Kerja dan Trasmigrasi tak menemukan satu katapun dalam kamus kebijakannya untuk menyatakan tindakan itu sebagai tindak kejahatan. Ironis.

Dan, terakhir, tepat sehari sebelum para buruh turun ke jalan untuk menyatakan sikap perlawanannya pada May Day, ketika para buruh sedang bersiap menyusun strategi untuk aksi, tepat di depan gerbang istana negara, dimana orang nomor satu di negeri ini berada, para buruh yang menggelar tenda keprihatinan dan mengadakan aksi teaterikal dihajar oleh pihak kepolisiaan, di bawah todongan pistol dan ancaman penembakan oleh aparat kepolisian. Meraka adalah buruh Hotel Grand Aquila Bandung yang sejak awal april 2010 berjibaku melakukan perjalanan sangat panjang, longmarch dari Bandung ke Jakarta untuk mengkampanyekan perlakuan pidana yang mereka alami. Hotel tempat mereka bekerja, yang juga disinyalir kepemilikan sahamnya ada di tangan institusi kepolisian itu, membubarkan mereka ketika aksi di depan hotel.

Para buruh, tentu saja tidak meminta hal yang muluk-muluk, mereka hanya berbicara dengan benar bahwa hak mereka terabaikan, dan melalui alat perjuangan bernama serikat pekerja, mereka bersuara lantang menuntut haknya dibayarkan. Namun, tentu saja suara itu dianggap berisik oleh pengusaha sehingga harus dibungkam. Berisik yang bukan saja membuat pengusaha tak tenang menghitung tumpukan uang dolar dari nilai lebih yang dicuri dan dihisap dari keringat para buruh, namun kebisingan yang berpotensi besar membangunkan buruh lain yang saat ini masih tertidur untuk melakukan perlawanan yang sama. Rupanya inilah alasan mereka, kenapa serikat buruh harus dibungkam, hingga terdiam dan mati...

Kenapa serikat buruh dihancurkan?

Dalam kondisi kemacetan investasi seperti saat ini, para pemilik modal berpikir keras, agar sistem yang mereka gadang akan memberikan jalan kemakmuran bagi segelintir orang itu mampu terus bertahan. Mampu terus mengakumulasi sebesar-besarnya keuntungan? Dan tentu saja mampu memberikan jaminan kekayaan bagi tujuh turunannya bahkan selama-lamanya? Para kaum modal pusing karena kemungkinan mengeruk keuntungan dari lahirnya teknologi baru hampir pasti tertutup ketika tak lagi ditemukan temuan-temuan spektakuler yang mampu melipatgandakan keuntungan sebagai mata uang, akhirnya mereka berpikir bahwa satu-satunya cara dan jalan untuk melakukan itu semua adalah dengan memperkeras kerja mesin-mesin penghisap keringat buruh sehingga akumulasi pencurian nilai lebih hasil kerja dan tetesan keringat buruh itu segera terkumpul lagi. Inilah konsep utamanya.

Dan cara untuk melakukan semua itu, hanya bisa dilakukan dengan jalan melakukan perampasan hak buruh melalui PHK tanpa pesangon, kemudian dilanjutkan dengan penerapan sistem kerja kontrak outsourcing atau sistem sejenis meskipun dengan nama berbeda semisal magang, kerja borongan atau apapun. Hanya dengan cara itulah, pengusaha mampu mengumpulkan keuntungan. ”Saya yakin, tumpukan keuntungan yang diperoleh pengusaha, bukan dari nilai penjualan dan kerja marketing, namun justru diperoleh dengan mencuri nilai lebih yang dihasilkan buruh,” kata Prof Susetiawan dari UGM dalam kesempatan launching Jurnal Balairung di UGM pada 24 April 2010 yang lampau. Sementara, Jurnal Balairung menuliskan, ”... ketika buruh bekerja selama 10 jam, maka pengusaha sejatinya mendapatkan 9 jam keuntungan.” Jurnal Balairung, yang hari itu diluncurkan, mengangkat tema tentang buruh rokok dengan tulisan sangat lengkap terkait dengan penghisapan buruh pabrik rokok di Jogjakarta.

Pendapat itu kemudian menemukan relevansinya karena pengusaha berpikir bahwa segala niat jahat untuk menghisap buruh itu tak akan terwujud ketika masih didapat serikat buruh –yang dalam kondisi terlemah sekalipun- masih mampu menjadi tumpuan harapan anggotanya untuk berjuang mempertahankan hak-haknya. Maka jalan pintas utamanya adalah serikat buruh harus dihancurkan, diberangus dan dimatikan. Proses itu dikenal dengan nama penghancuran serikat buruh (union busting).

Union busting, dilakukan dengan berbagai modus dari yang paling sederhana dan dengan tawaran-tawaran kepada pengurusnya hingga jalan represi yang mengancam keselamatan jiwa para pengurusnya. Dan salah satu jalan untuk menghancurkan serikat buruh itu, yang salah satunya untuk membuat anggotanya tak berdaya, tentu saja pilihan utamanya adalah menerapkan sistem kerja kontrak outsourcing. Dengan sistem kerja ini, buruh yang sudah tak memiliki jaminan keamanan dan kepastian kerja akan menjadi sekelompok manusia yang enggan bergerak karena secara ekonomis mereka terancam. Jadi sebenarnya pemberangusan serikat dan penerapan sistem kerja kontrak adalah sekeping mata uang yang saling bersisian. Skenario berikutnya tentu saja penerapan upah murah, penambahan jam kerja tanpa kompensasi, hilangnya fasilitas dan jaminan sosial bagi buruh. Ironis.

Apa yang harus kita lakukan?

Tindakan union busting adalah upaya terstruktur dan sistematis yang dilakukan oleh pengusaha dengan dukungan penuh dari pemerintah melalui semua perangkatnya dimulai dari Depnakertrans, aparat kepolisian dan hakim serta birokrasi lainnya di semua tingkatan. Bahwa secara struktural, telah bertahun-tahun sejak UU 21 tahun 2000 ditetapkan belum juga ada upaya sinkronisasi dari kepolisian dan Depnakertrans untuk merumuskan penanganan terhadap union busting. Yang ada justru saling lempar tanggung jawab. Polisi menyatakan bahwa ini adalah masalah ketenagakerjaan, ranah yang menjadi wewenang Depnakertrans. Sementara Depnakertrans menyampaikan alasan klasiknya bahwa kurangnya tenaga pengawas menjadikan penyidikan kasus ini macet.

Lalu, ketika KSN (Komite Solidaritas Nasional) –sebuah komite yang serius mengadvokasi kasus union busting- melakukan audiensi dengan Mabes POLRI, salah satu petinggi Polri menyatakan bahwa Kapolri sudah merespon surat pengaduan dan menargetkan agar pada tanggal 1 Mei 2010 pada saat buruh memperingati May Day, kasus-kasus union busting sudah menemukan titik terangnya. Tapi apa yang terjadi? Jangankan menemukan titik terang, bahkan pada tanggal 30 April 2010, sehari sebelum Peringatan May Day justru polisi menjadi pelaku utama dalam tragedi union busting yang menimpa para pekerja Grand Aquila Hotel, dan sialnya kejadian itu dipertontonkan di hadapan khalayak tepat di gerbang istana tempat presiden menjalankan aktivitas kesehariannya. Artinya? Negaralah sebenarnya pelaku utama union busting.

Berdiam diri saja tak cukup, berkesah saja tentu bukan mau kita. Maka tugas besar yang kini membebani pundak kita semua: buruh pabrik, pengurus serikat buruh di pabrik, pegawai bank, pegawai BUMN, karyawan di kantor-kantor instansi, dari yang bangga menyebutkan dirinya sebagai buruh hingga yang mengklaim dirinya bukan buruh tapi eksekutif muda misalnya -namun sepanjang mereka bekerja, mengeluarkan tenaga dan keringat, mendapatkan (sedikit upah) sisa dari nilai lebih yang mereka hasilkan dan dicuri pengusaha, tidak mempunyai modal berupa mesin, alat produksi dan kapital serta hidup dalam penindasan dan bayang-bayang ketidakpastian karena sistem kerjanya kontrak, outsourcing dan magang atau kerja borongan- dan bahkan sampai kepada para pengurus serikat buruh di tingkat nasional adalah menjawab pertanyaan bahwa sejatinya union busting adalah sebuah ancaman maha dahsyat yang hari ini mengancam kita.

Maka, akankah kita berdiam diri menghadapi semua itu? Semoga, menjawab pertanyaan itu, kita menemukan jawaban yang sama bahwa dibutuhkan kepedulian yang sama, kepentingan yang sama dan sikap yang sama: menyusun dan menghimpun perlawanan besar untuk melawan union busting.

Jawaban ini, tentu sama dengan sebuah seruan untuk segera menghentikan perpecahan, apapun alasannya...


* Penulis adalah Sekjen KASBI dan Koordinator Gerakan Satu mei 2010, sekaligus anggota Forum Belajar Bersama Prakarsa Rakyat dari Simpul Jabodetabek.

** Siapa saja dipersilahkan mengutip, menggandakan, menyebarluaskan sebagian atau seluruh materi yang termuat dalam portal ini selama untuk kajian dan mendukung gerakan rakyat. Untuk keperluan komersial pengguna harus mendapatkan ijin tertulis dari pengelola portal Prakarsa Rakyat. Setiap pengutipan, penggandaan dan penyebarluasan sebagian atau seluruh materi harus mencantumkan sumber (portal Prakarsa Rakyat atau www.prakarsa-rakyat.org).

0 Comments:

Post a Comment