Oleh : I Wayan 'Gendo' Suardana*

Praktek barbarisme akhir-akhir ini makin marak terjadi, terutama dilakukan oleh kelompok/organisasi masyarakat dengan identitas agama tertentu. Satu bulan yang lalu (Jumat, 30 April 2010) sekelompok massa yang memakai atribut/identitas agama tertentu menyerbu dan membubarkan pertemuan pendidikan HAM bagi kelompok waria di sebuah tempat di Depok. Dalam peristiwa yang disiarkan sebuah stasiun televisi, terlihat bagaimana kelompok massa tersebut menerobos masuk dan membubarkan pertemuan tersebut. Peserta lari tunggang-langgang, bahkan salah satu narasumber yakni Zaenal Abidin, dipukul oleh salah satu orang dari kelompok penyerbu, sementara sekelompok polisi yang berjaga seperti biasa selalu tidak bertaring. Ironisnya pertemuan itu dilaksanakan oleh lembaga negara yaitu Komnas HAM.

Kejadian tersebut menambah daftar panjang pertemuan-pertemuan yang dibubarkan oleh segelintir orang dengan mengatasnamakan agama tertentu. Sebelumnya kita banyak pertemuan-pertemuan masyarakat sipil yang dibubarkan seperti pertemuan mahasiswa di Jogjakarta oleh Front Anti Komunis Indonesia (FAKI), atau sebelumnya pertemuan internasional LGBT di Jawa Timur yang juga batal diselenggarakan karena adanya ancaman-ancaman dari Front Pembela Islam (FPI).

Padahal sebagaimana yang telah diketahui kebebasan untuk berkumpul, berserikat, mengeluarkan pendapat adalah hak dijamin oleh UUD 1945 serta berbagai peratutan perundang-undangan yang terkait dengan HAM. Sebagai hak konstitusional sudah seharusnya negara dengan aparat keamanannya (kepolisian) berada di garda terdepan untuk menjamin terselenggaranya hak tersebut. Selain dilindungi oleh UUD 1945, hak kebebasan berkumpul dan berserikat juga dilindungi oleh berbagai peraturan perundang-undangan baik oleh Undang-Undang nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia maupun Undang-Undang nomor 12 tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik.

Dalam dimensi hukum HAM, adalah kewajiban negara sebagai penanggungjawab HAM untuk menghormati, melindungi dan memenuhi hak asasi manusia dari setiap warga negara. Ketidakmauan ataupun pembiaran oleh negara atas terjadinya perampasan hak asasi manusia adalah bentuk pelanggaran HAM. Pembubaran-pembubaran atas pertemuan-pertemuan yang diselengarakan oleh masyarakat atas dalih apapun merupakan kejahatan yang harus ditangani oleh aparat negara. Ironisnya setiap kali terjadi aksi-aksi barbar, aparat negara cenderung melakukan pembiaran atas tindakan tersebut. Bahkan pertemuan yang diselenggarakan oleh Komnas HAM pun tidak pernah aman dari serbuan kelompok-kelompok perusak tersebut. Pada intinya negara telah melakukan pelanggaran HAM by omission.

Bila pertemuan yang diselenggarakan oleh Komnas HAM saja dapat dengan mudah diintimidasi dan dibubarkan, bagaimana dengan pertemuan yang diselenggarakan oleh masyarakat sipil? Hal ini menggambarkan betapa suramnya wajah penegakan HAM di Indonesia.

Selanjutnya terdapat nuansa lain yang dapat dilihat dari aksi pembubaran tersebut. Selain aksi tersebut adalah bentuk pengebirian terhadap kebebasan untuk berkumpul dan berserikat, aksi pembubaran tersebut adalah wujud dari teror, intimidasi terhadap pembela Hak asasi Manusia dalam melakukan aktivitasnya untuk memajukan Hak Asasi Manusia di Indonesia.

Situasi seperti itu cukup memprihatinkan. Di tengah upaya-upaya pemajuan HAM yang dilakukan, ternyata para pembela HAM sampai saat ini tidak pernah aman dalam melakukan aktivitasnya. Teror, intimidasi dan kekerasan dalam berbagai bentuk kerap menghantui mereka. Parahnya keadaan ini terjadi pada saat upaya Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa mendorong setiap negara untuk melindungi pembela HAM dengan mengeluarkan Resolusi Nomor 53/144 yang mengesahkan Deklarasi tentang Hak dan Tanggung Jawab Perseorangan, Kelompok dan Seluruh Masyarakat untuk mempromosikan dan melindungi Hak Asasi Manusia dan Kebebasan-Kebebasan Dasar yang diakui secara universal. Resolusi ini kemudian dikenal dengan nama Deklarasi Pembela Hak Asasi Manusia (Declaration of Human Rights Defender).

Sebagai negara yang menjamin HAM sebagai hak konsitusional, sudah seharusnya pemerintah melakukan upaya-upaya untuk menghormati, melindungi dan memenuhi hak asasi manusia setiap warga negaranya. Upaya tersebut harus berupa tindakan nyata tidak hanya sekedar menjadi HAM sebagai pemanis di dalam UUD 1945 ataupun menjadi pemanis retorika politik.

Maraknya pembubaran-pembubaran hak atas kebebasan berkumpul dan berserikat serta kebebasan berekspresi harus disikapi secara tegas mengingat pemerintah adalah pemangku tanggung jawab penegakan HAM. Terlebih aksi-aksi barbar sebagaimana kejadian yang dipaparkan diatas sudah menimpa Komnas HAM sebagai lembaga negara yang mengurus tentang HAM, artinya aksi-aksi tersebut telah nyata-nyata menghambat pemajuan HAM di Indonesia.

Pemerintah harus segera menuntaskan setiap aksi-aksi yang mencederai HAM, baik melalui jalur hukum maupun dengan tindakan politik. Mengingat selama ini pemerintah seolah-olah tidak berdaya terhadap aksi barbar yang dilakukan oleh ormas-ormas yang melabeli dirinya dengan identitas agama tertentu. Bahkan negara terlihat membiarkan aksi-aksi tersebut terjadi dan tidak melakukan tindakan apapun baik secara hukum maupun politik. Termasuk tidak mengevaluasi keberadaan ormas-ormas yang secara gamblang memperlihatkan praktek barbarianisme yang telah mengganggu ketertiban umum. Sehingga tidaklah aneh apabila Indonesia dianggap sebagai negara yang melanggengkan praktek impunitas terhadap pelaku kejahatan HAM.


* Penulis adalah Majelis Anggota Wilayah PBHI (Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia) Bali dan Dewan Daerah WALHI Bali, sekaligus anggota Forum Belajar Bersama Prakarsa Rakyat dari Simpul Bali.

** Siapa saja dipersilahkan mengutip, menggandakan, menyebarluaskan sebagian atau seluruh materi yang termuat dalam portal ini selama untuk kajian dan mendukung gerakan rakyat. Untuk keperluan komersial pengguna harus mendapatkan ijin tertulis dari pengelola portal Prakarsa Rakyat. Setiap pengutipan, penggandaan dan penyebarluasan sebagian atau seluruh materi harus mencantumkan sumber (portal Prakarsa Rakyat atau www.prakarsa-rakyat.org).

0 Comments:

Post a Comment