Oleh : Maria Santika*

Ada lebih dari empat mobil komando bersuara keras di depan Istana Presiden saat 1 Mei 2010 untuk memperingati May Day sebagai Hari Buruh Internasional. Seolah ruang besar di depan Istana menjadi begitu sempit dan berjubel, ada yang berorasi, ada yang dangdutan dan ada yang meneriakkan yel-yel, tanpa ada yang mau mengalah. Kondisi ini sangat kontras dan fase terendah aksi-aksi May Day paska Reformasi. Tahun 2010, jauh dari harapan kaum buruh untuk sebuah persatuan dalam gerakan dan kesatuan dalam tuntutan untuk perubahan.

Jelaslah ada yang tertawa keras dan ada yang prihatin, menyatakan bahwa kaum buruh Indonesia belum bersatu secara tuntutan, gerakan dan kepemimpinan. Mereka yang tertawa adalah musuh-musuh kaum buruh dan yang prihatin adalah mereka yang terus-menerus berjuang bagi kaum buruh. Lalu apa makna dari pemandangan tersebut?

Pemandangan tersebut secara kasat mata menunjukkan bahwa ada fragmentasi gerakan serikat buruh, dan harus diakui secara ksatria oleh para pimpinan serikat buruh. Karena bagaimanapun anggota serikat buruh/serikat pekerja atau buruh secara umum tidak ingin ada perpecahan bahkan bangga dengan persatuan. Ini ditunjukkan ketika satu kelompok aksi datang dan menyapa, massa aksi dari kelompok lain memberikan tepuk tangan, acungan jempol dan menjawab yel-yel yang disampaikan.

Bila melihat berita, maka kejadian ini hampir menyeluruh di berbagai daerah, walaupun yang terparah adalah di Jakarta. Di daerah hanya tiga kelompok yang terlihat secara signifikan menghiasai media dalam merayakan May Day.

Kelompok pertama adalah pengusung anti aksi Mayday dan hanya merayakan dengan pentas seni (dangdutan) dan kegiatan sosial. Mereka beralasan peringatan May Day tidak harus dengan aksi. Kelompok ini bisa terbaca memoderasi gerakan buruh dan mengaburkan makna aksi May Day. Mereka melupakan darah dan nyawa pada aksi Mei 1886-1889 hingga didapat tuntutan 8 jam kerja, dari sebelumnya 12 hingga 16 jam sehari.

Kelompok kedua adalah mereka yang “hanya” mengusung isu UU BP JSN (Badan Pelaksana Jaminan Sosial Nasional). Bila dilihat mendalam, muncul pertanyaan, mengapa hanya UU BP JSN yang diteriakkan, padahal itu hanya bagian terkecil dari sistem perburuhan yang dibuat oleh rezim ini. Bahkan sistem jaminan sosial yang menerapkan iuran kepada buruh sama juga memberi beban baru kepada buruh, upah kaum buruh harus dikurangi lagi untuk jaminan sosial. Padahal seharusnya jaminan sosial dijamin oleh negara. Bila hanya UU BJ JSN, jangan-jangan hanya memenuhi kepentingan pimpinan untuk duduk di komisaris/wali amanah BP JSN. Ini masih asumsi, perlu ditelisik lebih lanjut oleh semua peserta aksi dan khususnya anggota organisasi tersebut. Bahkan aksi ini hanya terjadi di Jakarta, Surabaya, dan Batam. Artinya belum bisa dikatakan secara nasional.

Kelompok ketiga adalah mereka yang masih konsisten dengan menolak sistem kerja kontrak dan outsourcing, menolak upah murah, menolak UUK 13/2003 dan revisi UUK 13/2003 dan melawan neoliberalisme-kapitalisme. Isu ini cukup banyak diangkat oleh gerakan buruh dan menawarkan solusi untuk perubahan kekuasaan politik negeri agar buruh yang berkuasa. Aksi-aksi ini terlihat rapi dan menunjukkan keberanian dengan membawa replika tikus, dibakar atau dihancurkan sebagai simbul perlawanan. Aksi ini lebih merata di kota-kota besar, seperti Jakarta, Bandung, Surabaya, Semarang, Makasar dan Samarinda.

Kenyataan di atas masih menyisakan keprihatinan, walau ada kebanggaan bahwa May Day bukan lagi milik kelompok “merah” tetapi semua kelompok buruh memperingatinya, bahkan diakui oleh Menakertrans. Nah, penyikapan keprihatinan harus diurai, karena ini keprihatinan banyak kaum buruh atas fragmentasi tersebut. Ini ujian terberat gerakan buruh. Maka yang perlu dilihat paska aksi May Day adalah penyebab fragmentasi tersebut dan kemungkinan menyusun persatuan secara bersama didasarkan pada kepentingan kelas pekerja dan diletakkan pada nilai-nilai demokrasi serta prinsip kesetaraan. Inilah pekerjaan rumah para pimpinan organisasi saat ini.

Mengenang Marsinah

Sebelum diketemukan mayatnya pada 9 Mei 2002 di Dusun Jegong Kec. Wilangan Nganjuk, Marsinah adalah salah seorang karyawati PT. Catur Putera Perkasa (PT.CPS) yang aktif dalam aksi unjuk rasa tersebut. Keterlibatan Marsinah dalam aksi unjuk rasa; terlibat dalam rapat yang membahas rencana unjuk rasa pada tanggal 2 Mei 1993 di Tanggul Angin Sidoarjo, Marsinah adalah salah seorang dari 15 orang perwakilan karyawan yang melakukan perundingan dengan pihak perusahaan. Marsinah bahkan sempat mendatangi Kodim Sidoarjo untuk menanyakan keberadaan rekan-rekannya yang sebelumnya dipanggil pihak Kodim. Sampai dengan tanggal 5 Mei 1993, Marsinah masih aktif bersama rekan-rekannya dalam kegiatan unjuk rasa dan perundingan-perundingan. Namun mulai tanggal 6,7,8, keberadaan Marsinah tidak diketahui oleh rekan-rekannya sampai akhirnya ditemukan telah menjadi mayat pada tanggal 9 Mei 2002 (www.wikimedia.com).

Maka setiap tanggal 9 Mei diperingati sebagai Hari Perjuangan Perempuan Buruh Indonesia sebagai penghargaan kepada perjuangan Marsinah. Sekaligus penghargaan buat para pejuang buruh di PT CPS dan pejuang buruh seluruh Indonesia.

Mengambil Pelajaran dari Marsinah

Lalu apa hubungan antara May Day 2010 dengan peringatan Marsinah yang waktunya hampir beriringan ini. Tentu sangat besar arti dalam perjuangan kaum buruh yang telah disumbangkan oleh Marsinah, baik disadari atau tidak.

Marsinah, dalam berbagai dokumen dan media tidak tercatat sebagai pengurus serikat Pekerja. Dari berbagai cerita pun, Marsinah “hanya” sebagai anggota yang aktif dan memiliki kepedulian sangat tinggi kepada kawan-kawannya. Disebut hanya dalam tulisan ini sebagai penghargaan, karena seringkali anggota biasa diremehkan, dan ditempatkan paling rendah dan belakang oleh pengurus. Ini contoh yang patut diteladani oleh kaum buruh Indonesia hari ini. Anggota buruh yang aktif dan memberikan kepedulian kepada pengurus serta kritis terhadap semua perilaku maupun tuntutan yang diusung, sangat diperlukan demi kemajuan organisasi dan gerakan buruh di tengah ujian yang berat ini. Keaktifan anggota juga akan mencegah formalisme dan birokratisme serikat buruh yang disebabkan oleh perilaku pengurus.

Praktek Marsinah di atas juga memberi memberi contoh pada sikap kolektivitas dan tanggung jawab pada perjuangan. Tidak melepas dan membiarkan pengurus bergerak sendiri dengan semaunya. Selain memberikan kontrol, praktek tersebut juga memberikan perlindungan kepada pengurus yang sedang berjuang. Kita bisa bayangkan bila ratusan bahkan ribuan anggota bersikap seperti Marsinah, ini contoh kedua yang bisa ditauladani kaum buruh Indonesia dan tentu oleh pada pimpinan.

Bisakah kita tidak sekedar mengenang Marsinah dan merayakan May Day? Tetapi lebih dari itu, mempraktekkannya sebagai semangat dan garis perjuangan kaum buruh. Tentunya kita buktikan dalam praktek perjuangan selanjutnya.

* Penulis adalah anggota Federasi Persatuan Perjuangan Buruh (FPPB) Bandung, sekaligus anggota Forum Belajar Bersama Prakarsa Rakyat dari Simpul Bandung.

** Siapa saja dipersilahkan mengutip, menggandakan, menyebarluaskan sebagian atau seluruh materi yang termuat dalam portal ini selama untuk kajian dan mendukung gerakan rakyat. Untuk keperluan komersial pengguna harus mendapatkan ijin tertulis dari pengelola portal Prakarsa Rakyat. Setiap pengutipan, penggandaan dan penyebarluasan sebagian atau seluruh materi harus mencantumkan sumber (portal Prakarsa Rakyat atau www.prakarsa-rakyat.org).

0 Comments:

Post a Comment