Oleh : Edy Musyadad *


“Hukuman mati merefleksikan bahwa insting hewan masih ada pada manusia.”
(Nelson Mandela)

Kontroversi hukuman mati sudah sejak lama ada di hampir seluruh masyarakat dan negara di dunia. Dan hukuman mati mencuat di Indonesia akhir-akhir ini dalam merespon isu korupsi yang silih berganti. Wacana hukuman mati bagi para koruptor memberikan banyak argumentasi pro dan kontra. Apakah dibutuhkan untuk dijadikan senjata baru pemberantasan korupsi? Atau justru berbahaya, karena bertentangan dengan hak hidup manusia yang merupakan hak asasi manusia?

Seperti kita ketahui, bahwa Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham), Patrialis Akbar, setuju dengan penerapan hukuman mati untuk para pelaku tindak pidana korupsi. DPR juga sedang menyusun pembahasan agenda hukuman mati bagi koruptor. Pendukung hukuman mati lainnya datang dari Ketua Mahkamah Konstitusi, Mahfud MD. Mahfud menilai hukuman ini tidak melanggar undang-undang. Dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, hukuman mati ini diatur dalam 2 pasal, yakni Pasal 2 ayat (2). Pasal itu berbunyi, “Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana yang diatur dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan.” Keadaan tertentu dalam ketentuan ini adalah keadaan yang dapat dijadikan alasan pemberatan pidana bagi pelaku tindak pidana korupsi yaitu apabila tindak pidana tersebut dilakukan terhadap dana-dana yang diperuntukkan bagi penanggulangan keadaan bahaya, bencana alam nasional, penanggulangan akibat kerusuhan sosial yang meluas, penanggulangan krisis ekonomi dan moneter, dan pengulangan tindak pidana korupsi.

Namun, bagaimana pandangan hak asasi manusia dalam persoalan hukuman mati ini? Asmara Nababan menilai hukuman mati inkonstitusional. Menurut pendapat mantan Sekretaris Jenderal Komisi Nasional Hak Asasi Manusia ini, hukuman mati adalah pelanggaran konstitusi, khususnya Pasal 28 Ayat 1 Undang-Undang Dasar 1945. Pasal dalam konstitusi tertinggi kita itu mengamanatkan bahwa hak hidup setiap orang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun. Pelaksanaan hukuman mati menunjukkan inkonsistensi dalam sistem hukum kita. Benarkah? Mari kita telusuri bersama.


Hak Asasi Manusia dan Hukuman Mati

Bahwa hak asasi manusia merupakan hak dasar yang secara kodrati melekat pada diri manusia, bersifat universal dan langgeng, oleh karena itu harus dilindungi, dihormati, dipertahankan dan tidak boleh diabaikan, dikurangi atau dirampas oleh siapapun. Bersama 150 negara, Indonesia pada tahun 2005 juga sudah meratifikasi International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) yang dalam Pasal 6 (1) berbunyi: “Every human being has the inherent right to life. This right shall be protected by law. No one shall be arbitrarily deprived of his life.” Dalam pasal itu menyatakan, setiap manusia memiliki hak atas hidup yang bersifat melekat.

Maka, hak atas hidup ini tidak perlu diragukan lagi karena yang paling penting dari semua hak asasi manusia. Masyarakat yang beradab tidak dapat eksis tanpa ada perlindungan hukum terhadap hidup manusia. Jika tidak ada hak atas hidup maka tidak akan ada pokok persoalan dalam hak asasi manusia lain.

Selain itu, pasal 6 kovenan ini mengharuskan hak atas hidup dilindungi oleh hukum. Keharusan ini berarti setiap negara wajib memiliki hukum yang melindungi hak atas hidup dalam sistem hukum. Perlu kita telaah kembali, dalam perubahan UUD 1945, isu hukuman mati tercantum dalam perubahan Bab XA. Pasal 28A yang dengan eksplisit mengatakan: “Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya.” Jadi, hak untuk hidup atau the right to life adalah hak yang paling mendasar dalam UUD 1945.

Hak untuk hidup (penentangan hukuman mati) kembali ditegaskan dalam Pasal 28I (1) dalam rumusan: “Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun.”

Maka, pasal 28A dan pasal 28I ini adalah payung hak asasi manusia sebagai “non-derogable human rights” atau “hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun.” Jadi, hak untuk hidup ini adalah hak yang tak bisa dikompromikan dengan hak-hak lain. Hak untuk hidup ini adalah puncak hak asasi manusia yang merupakan induk dari semua hak asasi lain. Sehingga, hubungan antara hak asasi manusia dan hukuman mati tidak dapat dipisahkan. Maka, hak asasi manusia yang meliputi hak untuk hidup bertentangan dengan hukuman mati itu sendiri.


Indonesia dan Hukuman Mati

Hukuman mati dalam peraturan perundang-undangan kita diatur dalam 10 produk hukum. Lima di antaranya dibuat dalam era Soekarno dan kemudian dalam era Soeharto mengesahkan revisian salah satu peraturan perundang-undangan tersebut. Menariknya, sejak 1997 tercatat ada lima undang-undang baru yang mencantumkan hukuman mati sebagai ancaman pidananya yaitu: a). UU No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika; b). UU No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika; c). UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Korupsi; d). UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM; dan e). UU No. 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Jadi, ada 10 peraturan perundang-undangan yang memuat ancaman pidana hukuman mati, 5 di antaranya dibuat oleh Indonesia dalam masa kurun waktu sepuluh tahun terakhir.

Maka, jika kita lihat dari sisi jumlah undang-undang dan kurun tahun pengesahan terlihat bahwa Indonesia justru memperbanyak hukuman mati dan tidak mempunyai kecenderungan untuk menghapus hukuman mati. Selain itu, Indonesia justru memperbanyak jenis kejahatan yang diancam hukuman mati. Lima peraturan perundang-undangan tersebut kesemuanya memuat tindak kejahatan dengan jenis baru yang diancam hukuman mati. Pidana-pidana yang diancam pun justru yang tidak masuk dalam kelompok kejahatan yang paling serius (the most serious crimes) menurut Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik.

Maka, dapat dinyatakan bahwa, tidak ada kecenderungan Pemerintah Indonesia menghapus hukuman mati atau pun melakukan upaya pembatasan jenis kejahatan yang diancam hukuman mati. Kecenderungan ini juga tidak memperlihatkan adanya indikasi Indonesia akan memberlakukan moratorium pelaksanaaan hukuman mati seperti diserukan oleh PBB. Dan jika, upaya pemeritah dan DPR dalam menyikapi isu korupsi itu dengan mengandalkan hukuman mati sebagai salah satu strateginya, maka hak hidup sebagai salah satu hak asasi manusia semakin jauh saja dari realitas kehidupan bernegara kita. Hukuman mati belum bisa diakhiri, karena insting hewan masih mendominasi kita. Benar juga kata-kata Nelson Mandela.


* Penulis adalah Direktur PUNDEN Nganjuk Jawa Timur, sekaligus anggota Forum Belajar Bersama Prakarsa Rakyat dari Simpul Jombang.

** Siapa saja dipersilahkan mengutip, menggandakan, menyebarluaskan sebagian atau seluruh materi yang termuat dalam portal ini selama untuk kajian dan mendukung gerakan rakyat. Untuk keperluan komersial pengguna harus mendapatkan ijin tertulis dari pengelola portal Prakarsa Rakyat. Setiap pengutipan, penggandaan dan penyebarluasan sebagian atau seluruh materi harus mencantumkan sumber (portal Prakarsa Rakyat atau www.prakarsa-rakyat.org).

0 Comments:

Post a Comment