Oleh : Ignatius M K *


Begitu banyak berita dan komentator yang mengagung-agungkan media internet karena berperan dalam memulai revolusi di Timur Tengah. Begitulah mereka merendahkan peran kaum muda, kelas buruh dan pengangguran yang mengorbankan darah, harta dan air mata dalam perlawanan di jalan-jalan. Bagi para kaum “pintar” tersebut revolusi datang dari sekedar memasang status di Facebook, Twitter ataupun media online lainnya. Nyatanya fakta dan sejarah menegaskan bahwa perubahan atau revolusi terjadi dari perjuangan panjang massa yang dilakukan oleh kaum muda, kelas buruh dan lainnya. Perubahan terjadi karena saling pengaruh antara kondisi objektif masyarakat dan kondisi subjektif perlawanan gerakan rakyat.

Satu faktor yang sedikit sekali dibicarakan dalam konteks kemunculan perlawanan di berbagai negara di Timur Tengah dan Afrika Utara adalah pangan atau lebih tepatnya kekurangan pangan. Sejak tahun 2008, kenaikan harga makanan telah mengakibatkan 40 kerusuhan di berbagai belahan dunia dan PBB melaporkan bahwa 37 negara sekarang menghadapi krisis pangan. Harga untuk komoditi pangan dasar seperti jagung, gula dan daging sapi telah melonjak dalam 12 bulan terakhir. Hal tersebut mengakibatkan di berbagai belahan dunia, jumlah asupan makanan berkurang drastis. Pemerintahan Kenya, Uganda, Indonesia, Brazil dan Philipina semua mengeluarkan peringatan pada tahun 2010 mengenai kemungkinan kekurangan pangan (Guardian, 26 Oktober 2010).

Demikian juga walaupun laporan luar biasa dari Bank Dunia, dan juga lembaga dunia yang dikontrol oleh Amerika lainnya, atas ekonomi Timur Tengah nyatanya menutupi kebobrokan ekonomi Timur Tengah. Di Tunisia, pengangguran berjumlah sekitar 18 persen (bahkan mencapai 32 persen di Sidi Buzid, daerah pertama kali muncul protes di Tunisia). Investasi dalam bidang turisme sekitar 80 persen dikuasai oleh perusahaan multinasional. Di Mesir, hampir 40 persen rakyat Mesir diperkirakan hidup di bawah garis kemiskinan. Sekitar 9 juta orang hidup di perkampungan kumuh di Cairo. Di kota Suez perdagangan yang berjumlah total 90 juta dollar hanya pada tahun 2009 juga tidak bisa mempersempit jurang antara orang kaya dan miskin. Ini tidak terlepas dari masuknya tenaga kerja asing dan ekspor industri banyak dimakan oleh korupsi birokrat.

Persoalan kedua yang menjadi basis bagi munculnya pergolakan di Afrika Utara dan Timur Tengah adalah model ekonomi yang mereka bangun. Kebanyakan negara-negara di daerah tersebut kecuali Jordania adalah berbasiskan pendapatan dari hasil minyak bumi dan gas serta turisme. Sektor ekonomi ekspor ini tidak memiliki hubungan dengan ekonomi domestik produktif yang beragam: minyak bumi diekspor dan barang-barang manufaktur serta layanan finansial dan teknologi tinggi semua diimpor dan dikontrol oleh perusahaan multinasional asing dan ekspatriat yang berhubungan dengan kelas berkuasa. Turisme memperkuat pendapatan “penyewaan,” sebagai sektor, yang menyediakan “mata uang asing” dan pajak kepada negara.

Ekonomi tersebut mungkin menghasilkan kekayaan, terutama jika harga energi meningkat, namun kekayaan tersebut diambil oleh kelas berkuasa yang tidak punya kepentingan untuk memperdalam dan memperluas perkembangan dan inovasi ekonomi. Kelas yang berkuasa fokus pada spekulasi keuangan, investasi luar negeri melalui perusahaan privat, konsumsi luar biasa atas barang-barang mewah dan tabungan rahasia jutaan dollar dan jutaan euro di bank-bank luar negeri. Ekonomi semacam itu juga menyediakan sedikit pekerjaan dalam aktivitas produksi modern. Selain itu kelas berkuasa juga mendorong “perdagangan bebas” yaitu mengimpor produk jadi murah, yang merusak upaya domestik dalam sektor manufaktur “produktif,” pertanian atau teknik. (James Petras, Roots of the Arab Revolts and Premature Celebrations).

Di Libya ketika pertama kali naik ke dalam tampuk kekuasaan, Gaddafi dikenal sebagai pemimpin Afrika Utara yang sangat anti terhadap Imperialisme AS dan Eropa. Namun pada akhir tahun 1990-an negosiasi rahasia untuk membangun hubungan kembali dengan AS dan pemerintahan barat lainnya dimulai. Pertama, sanksi PBB dicabut pada tahun 1999 dan pada tahun 2006, AS mencabut sanksinya dan menormalisasi hubungan dengan Libya. Tahun-tahun berikutnya mulailah dijalankan kebijakan neoliberalisme di Libya. Anak Gaddafi, Saif berada di garis depan, dia menawarkan akses besar untuk kapital, konsensi pajak dan privatisasi. Menurut laporan bulan April 2010 dari pemerintahan Libya, selama 10 tahun sebelumnya pemerintahan Libya telah memprivatisasi 110 perusahaan milik negara. Laporan yang sama juga menjanjikan privatisasi 100 persen ekonomi Libya.

Sementara ekspor minyak Libya telah membuatnya dapat membangun cadangan mata uang asing sebesar 150 miliar USD, hampir setengah dari kaum mudanya adalah pengangguran. Menurut African Online News, sebuah kantor berita Afrika independen melaporkan bahwa Libya adalah negeri di Afrika Utara terkaya namun itu tidak menggambarkan ekonomi riil dari rata-rata rakyat Libya, dimana setengah dari populasi jatuh di luar ekonomi yang digerakan oleh minyak. Angka pengangguran berada pada tingkat sekitar 30 persen, dimana kaum muda yang menganggur diperkirakan sekitar 40 hingga 50 persen. Ini adalah tingkat tertinggi di Afrika Utara.

Indikator pembangunan yang lainnya menunjukan bahwa sedikit sekali uang minyak digunakan untuk kesejahteraan 6,5 juta rakyat Libya. Tingkat pendidikan jauh lebih rendah dibandingkan tetangganya Tunisia, yang memiliki sedikit minyak dan yang mengejutkan adalah 20 persen rakyat Libya adalah buta huruf. Perumahan layak tidak tersedia untuk setengah dari populasi yang tidak beruntung. Tingkat harga-harga yang umumnya tinggi di Libya memberikan beban yang lebih besar pada rumah tangga tersebut. Sektor perminyakan hanya mempekerjakan 4.900 penduduk Libya dengan 1.000 orang dilatih di luar negeri menurut laporan bulan Oktober 2010 yang dikeluarkan oleh Libyan National Oil Company (NOC).

Kondisi yang memiskinkan tersebut telah lama memunculkan perlawanan dari kelas buruh dan rakyat di Timur Tengah. Di Tunisia, General Union of Tunisian Workers (UGTT) ketika presiden pertama Tunisia, Habib Bourguiba, memainkan peran aktif dalam protes popular. Namun peran tersebut semakin berkurang dalam masa Ben Ali. Kepemimpinan serikat buruh pada akhirnya dipaksa untuk tunduk kepada tekanan basis anggotanya dan mengambil peran penting dalam memobilisasi rakyat dan menyediakan kerangka organisasional untuk menggulingkan Ben Ali. Tiga menteri yang diangkat dalam pemerintahan sementara oleh pengganti Ben Ali yaitu Muhammad al Ghanouchi berasal dari UGTT namun mengundurkan diri setelah jelas bahwa pemerintahan sementara memasukan elemen-elemen dari rejim Ben Ali yang telah digulingkan.

Sementara itu Mesir telah lama bergolak walau tidak besar. Dalam tiga tahun terakhir sekitar 3.000 demonstrasi terjadi di seluruh negeri. Dari tahun 2004 hingga 2008 terjadi sekitar 1.900 pemogokan buruh yang melibatkan lebih dari 1,7 juta buruh. Sementara itu dua tahun lalu gerakan buruh menjadi fokus utama dalam pemogokan yang berubah menjadi pemberontakan di kota Mahalla. Kota dengan jumlah buruh terbesar di Timur Tengah, diperkirakan berjumlah 28 ribu buruh berada di kota Mahalla. Pemberontakan buruh pada tahun 2008 tersebut memunculkan dua serikat buruh independen di Mesir. Yang pertama dalam masa empat puluh tahun, serikat buruh tersebut adalah serikat bagi pemungut pajak property dan teknisi kesehatan (berjumlah total 70 ribu buruh). Rejim Mubarak sendiri dalam 26 tahun terakhir telah menolak untuk menaikan upah minimum. Rejim ini juga mengontrol kehidupan masyarakat dan kelas buruh dengan ketat. Aparatus kepolisian dibanding masyarakat adalah satu polisi untuk setiap 37 orang penduduk. Sementara itu juga terdapat UU No 100 yang mengatur dan mengontrol aktivitas internal serikat buruh.

Revolusi yang terjadi dan terus berkembang serta menjalar ke berbagai negara juga menandakan kebangkitan gerakan buruh di daerah tersebut. Di Tunisia, para buruh memaksa pimpinan serikat mereka untuk bertindak dan bergabung dengan gerakan rakyat. Di beberapa perusahaan para buruh juga menangkapi para manajer yang ditengarai merupakan kroni keluarga Ben Ali (presiden terguling Tunisia). Sementara itu di Mesir mulai bermunculan serikat buruh-serikat buruh independen yang dibangun oleh para buruh sendiri untuk memperjuangkan kepentingan kelas buruh. Termasuk di berbagai kota muncul organisasi-organisasi yang dibangun oleh rakyat sendiri untuk mengatur tata kelola kota sementara pemerintahan lumpuh. Revolusi mengajarkan banyak hal kepada kelas buruh. Maju atau mundurnya revolusi akan sangat bergantung bagaimana kelas buruh percaya pada kekuatannya sendiri. Termasuk juga bergantung pada organisasi kelas buruh tersebut.


* Penulis tergabung dalam Perhimpunan Pekerja Warnet, sekaligus Anggota Forum Belajar Bersama Prakarsa Rakyat dari Simpul Jawa Tengah.

** Siapa saja dipersilahkan mengutip, menggandakan, menyebarluaskan sebagian atau seluruh materi yang termuat dalam portal ini selama untuk kajian dan mendukung gerakan rakyat. Untuk keperluan komersial pengguna harus mendapatkan ijin tertulis dari pengelola portal Prakarsa Rakyat. Setiap pengutipan, penggandaan dan penyebarluasan sebagian atau seluruh materi harus mencantumkan sumber (portal Prakarsa Rakyat atau www.prakarsa-rakyat.org).

0 Comments:

Post a Comment