Oleh : Hadi Purnomo*


Penetapan Upah Minimum Kota/Kabupaten Jawa Timur 2011 telah ditetapkan oleh Gubernur Jawa Timur Soekarwo melalui dua Peraturan Gubernur nomor 93 dan 95. Seharusnya pemberlakuan upah ini sudah efektif dilaksanakan dan diawasi pelaksanaannya. Tetapi pada praktiknya konflik seputar penetapan Peraturan Gubernur (Pergub) tentang besaran UMK Jatim 2011 itu belum juga selesai.

Permasalahan ini dimulai ketika Gubernur memberikan batas waktu usulan upah minimum yang sudah harus masuk ke pemprov selambat-lambatnya 40 hari sebelum pelaksanaan, namun ternyata masih ada daerah seperti Gresik yang masih tarik ulur kepentingan dalam penetapan upah minimumnya. Terdapat 1 komponen upah yaitu soal transportasi yang belum ada kesepakatan hingga batas waktu yang ditentukan hingga akhirnya Bupati Gresik memberikan usulan angka sebesar Rp. 1.149.200. Tetapi usulan ini akhirnya ditolak oleh Gubernur karena dianggap tidak sesuai dan terlalu jauh meninggalkan usulan UMK Surabaya yang hanya sebesar Rp. 1.115.000.

Meski tidak ada aturan yang mengharuskan ibukota provinsi harus ada di peringkat pertama dalam penetapan upah minimum, tapi dengan perbedaan angka yang tajam antara Surabaya dan Gresik, patut menjadi pertanyaan manakah di antara dua kota tersebut yang memanipulasi angka Survey Kebutuhan Hidup Layak? Meski sempat dua kali dikembalikan akhirnya gubernur pada 23 November 2010 menetapkan usulan Kabupaten Gresik sebesar Rp. 1.133.000 melalui Pergub 95. Sebelumnya pada 19 November 2010, gubernur juga telah menetapkan usulan 37 kota/kabupaten di Jawa Timur selain Gresik dan ini berarti pertama kali dalam sejarah penetapan UMK di Jatim, gubernur mengeluarkan dua Peraturan Gubernur.

Meski telah ditetapkan dalam dua Pergub, permasalahan tidak lantas selesai. Serikat buruh yang ada di dalam Dewan Pengupahan Surabaya (SPSI dan serikat lain) yang awalnya sepakat dan menandatangani usulan UMK Surabaya tersebut dan hanya Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI) Surabaya yang tidak menandatangani usulan tersebut. Setelah tahu ditetapkan UMK Gresik lebih tinggi dari Surabaya, akhirnya muncul tuntutan agar gubernur merevisi Pergub 93 dan menaikkan angka Surabaya di atas Gresik.

Gelombang aksi pun dimulai pada 2 Desember di Surabaya. Ribuan buruh yang tergabung dalam Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia turun ke jalan dengan tuntutan agar gubernur segera merevisi UMK Surabaya dan menaikkannya sebesar 12% atau menjadi Rp.1.155.000. Tidak jelas dari mana angka ini didapat tetapi angka ini diusulkan dan didesakan kepada gubernur untuk disetujui. Dengan berdalih bahwa gubernur hanya selaku eksekutor bukan pengusul maka pada aksi KSPSI tersebut akhirnya Wakil Gubernur memberikan surat pengantar ke Walikota Surabaya untuk meninjau ulang besaran UMK Surabaya dan menyelesaikan permasalahan tersebut.

Selang satu minggu setelahnya tepatnya pada 10 Desember 2010 bertepatan dengan Hari HAM Internasional, ribuan buruh di Jatim yang tergabung dalam Aliansi Perjuangan Buruh Jawa Timur mendesak gubernur untuk membatalkan dan merevisi kedua Pergub tersebut. Serikat buruh menilai besaran UMK yang ditentukan tidak menjamin pemenuhan kebutuhan hidup layak buruh dan keluarganya karena besaran upah minimum hanya memenuhi kebutuhan buruh lajang, sementara mayoritas kaum buruh telah berkeluarga. Belum lagi soal penentuan nilai yang diduga dimanipulasi dalam menetukan usulan UMK-nya.

Berdasar atas kondisi ini serikat-serikat buruh yang tergabung dalam Aliansi Perjuangan Buruh Jawa Timur mendesak gubernur untuk menetapkan upah layak Jawa Timur minimal sebesar 2 juta rupiah, sama dengan standar upah pegawai negeri sipil golongan yang terendah. Atas desakan kedua kalinya ini akhirnya selang tiga hari kemudian tepatnya pada 13 Desember 2010, Walikota Surabaya Tri Rismaharini menjawab surat dari wakil gubernur tersebut dan menyetujui revisi besaran UMK Surabaya sebesar Rp.1.155.000.

Meski besaran UMK Surabaya telah direvisi bukan berarti jalan sudah mulus dalam memperjuangkan upah layak. Gubernur tetap bersikukuh tidak mau merevisi Pergub yang mengatur UMK Surabaya karena menganggap hasil revisi Walikota Surabaya tersebut tidak disertai kesepakatan dalam Dewan Pengupahan Kota Surabaya khususnya dari unsur pengusaha (Apindo). Kondisi ini semakin memperpanas keadaan karena serikat buruh di Surabaya beranggapan bahwa kondisi ini sama dengan kondisi Gresik sebelum usulan UMK ditetapkan menjadi Pergub. Saat itu hanya unsur pengusaha saja yang tidak menyetujuinya, tapi gubernur berani mengesahkan. Lantas kenapa praktiknya menjadi berbeda dengan di Surabaya?

Gelombang atas perjuangan menuntut upah layak ini pun tidak berhenti. Pada 17 dan 24 Desember, kembali ribuan buruh Surabaya turun ke jalan untuk mengawal usulan UMK Surabaya tersebut menjadi Pergub. Akhirnya komunikasi antara serikat buruh, Gubernur Jatim dan Walikota Surabaya dibuka kembali dan menghasilkan negosiasi ulang di Dewan Pengupahan Kota Surabaya pada 5 Januari 2011. Meski sudah memasuki Januari 2011, masih memungkinkan terjadinya revisi UMK Surabaya.

Begitu juga di Gresik, meski telah aman angkanya tapi dalam pelaksanaannya pun masih terkendala karena Apindo memboikot Pergub 95 tersebut dengan menggugatnya di Pengadilan Negeri dan membuka komunikasi bipartit di perusahaan untuk tidak melaksanakan Pergub. Jika gugatan Apindo tersebut dikabulkan oleh pihak pengadilan, maka otomatis UMK Gresik akan mengacu pada ketentuan sebelumnya sampai dengan dikeluarkannya Pergub baru. Itu berarti semakin tidak menjamin kebutuhan dan kesejahteraan kaum buruh di Jawa Timur khususnya Gresik.

Sebetulnya penentuan jaminan atas upah yang layak sudah ada dalam UUD 1945 pasal 28d dan pasal 27 ayat 2. Upah minimum itu sendiri diatur dalam Peraturan Menteri nomor 1 tahun 1999 dan penentuan kebutuhan hidup layak sendiri diatur dalam Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi nomor 17 tahun 2005 yang menyatakan standar KHL merupakan standar pemenuhan kebutuhan hidup buruh lajang dalam satu bulan yang bekerja kurang dari satu tahun, disertai penghitungan 46 komponen upah.

Jadi semestinya tidak perlu ada konflik ketika dewan pengupahan di tingkat kota/kabupaten maupun provinsi mematuhi Permenaker. Serta dengan sungguh-sungguh tranparan dan akuntabel dalam melakukan survey setiap bulannya dengan menghitung besaran UMK berdasarkan standar Kebutuhan Hidup Layak di masing-masing daerah. Bukan justru menjadikan momentum tahunan pengupahan sebagai posisi tawar untuk melakukan negosiasi dan penawaran yang tentu saja mengorbankan jutaan nasib kaum buruh yang pemenuhan kebutuhan hidup perbulannya bergantung pada besaran nilai UMK.


* Penulis adalah Pengurus Serikat Buruh Kerakyatan - Surabaya, sekaligus Anggota Forum Belajar Bersama Prakarsa Rakyat dari Simpul Jawa Timur.

** Siapa saja dipersilahkan mengutip, menggandakan, menyebarluaskan sebagian atau seluruh materi yang termuat dalam portal ini selama untuk kajian dan mendukung gerakan rakyat. Untuk keperluan komersial pengguna harus mendapatkan ijin tertulis dari pengelola portal Prakarsa Rakyat. Setiap pengutipan, penggandaan dan penyebarluasan sebagian atau seluruh materi harus mencantumkan sumber (portal Prakarsa Rakyat atau www.prakarsa-rakyat.org).

0 Comments:

Post a Comment