Oleh : Hadi Purnomo*


Pemukulan disertai pembacokan yang menimpa aktivis ICW, Tama Satrya Langkun terkait kegiatan pelaporannya kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengenai hasil investigasi terhadap rekening sejumlah Perwira Tinggi POLRI yang diduga menggelembung karena korupsi, sontak membuat mata rakyat terbelalak.

Ada apa di balik upaya penyerangan tersebut? Karena sehari sebelumnya kantor majalah Tempo juga diteror dengan dilempari bom molotov yang diduga juga terkait pemberitaan majalah ini yang kontroversial karena menampilkan liputan tentang rekening gendut para jenderal Kepolisian Republik Indonesia yang juga patut diduga terkait skandal korupsi di dalam tubuh POLRI.

Meski sempat dibantah oleh Kapolri tentang isu-isu miring tersebut tetapi rakyat patut meempertanyakan ada apa di balik semua itu dan mungkin memang bisa saja ada pihak ketiga yang memanfaatkan konflik ini dan berupaya untuk memancing di air keruh. Tetapi apapun itu POLRI harus bisa membongkar siapa di balik aksi-aksi teror tersebut atau jangan salahkan tuduhan rakyat bahwa para jenderal yang ketakutan aibnya terbongkarlah di balik semua ini.

Kalau kita cermat mengamati kondisi di atas, lagi-lagi manajemen teror dipakai untuk meredakan sekaligus membungkam suara-suara sumbang yang mempertanyakan kredibilitas aparat penegak hukum maupun pemerintahan. Contohnya adalah teror jerat hukum/kriminalisasi sampai penghilangan paksa aktivis yang memperjuangkan pembelaan terhadap kemanusiaan. Sungguh potret yang ironis di tengah arus reformasi yang mendorong demokrasi, transparansi dan akuntabilitas penyelenggaraan negara. Tetapi manajemen teror gaya Orde Baru masih dipakai untuk membungkam suara-suara rakyat.

Benarkah reformasi hanya menjadi jargon-jargon kosong tanpa bukti? Bukankah pemerintah sering mendengungkan bahwa demokrasi di Indonesia paska reformasi 1998 mengalami kemajuan dengan diselenggarakannnya pemilihan kepala pemerintahan baik pusat maupun daerah secara langsung dan demokratis? Toh, kenyataannya hal tersebut tidak bisa menjawab dan tidak ada upaya lain untuk menjawab setiap keluh-kesah serta pertanyaan-pertanyaan rakyat atas rumitnya permasalahan di republik ini selain dengan melakukan manajemen teror.

Isu terorisme memang bukan hal yang baru semenjak gedung WTC di Amerika yang diledakkan oleh orang yang tidak dikenal kemudian diikuti oleh peledakan-peledakan tempat hiburan, tempat ibadah di tanah air. Sejak itu kata teror dan teroris (untuk menyebut pelakunya) menjadi sesuatu yang akrab di telinga masyarakat sampai kondisi ini menyebabkan pernyataan yang kontroversial dari almarhum Presiden RI yang ketiga, KH Abdurahman Wahid atau Gus Dur. Gus Dur mengatakan bahwa polisi dan militer di balik semua aksi-aksi teror tersebut karena mereka yang memang terlatih menggunakan peralatan peledak. Pernyataan yang membuat kontroversi ini menimbulkan perdebatan dan seperti biasa semua berlalu seiring dengan kepergiannya.

Kondisi di atas mengingatkan kita di masa-masa pemerintahan rezim Orde Baru di bawah Soeharto dimana kekuatan militer yang otoriter memegang kendali penuh atas pemerintahan dan hukum. Tidak ada ruang bagi organisasi rakyat untuk melakukan oposisi atau bahkan menolak kebijakan negara waktu itu. Aksi-aksi teror seringkali dilancarkan untuk membungkam suara-suara rakyat baik secara halus maupun kasar. Cap subversif bagi penentang kebijakan negara, upaya kriminalisasi sampai penembak dan penculikan misterius para aktivis merupakan teror yang biasa dijumpai.

Semuanya dilakukan untuk menjaga kelanggengan kekuasaan dan meredam gejolak perlawanan rakyat yang bisa membahayakan rezim. Marsinah adalah salah satu contoh korban teror dari negara yang sampai saat ini kasusnya dipetieskan dan tidak akan pernah terbongkar siapa yang bertanggung jawab atas kematian aktivis pahlawan buruh ini.

Meski kini pemerintahan militerisme Orde Baru telah tumbang tetapi toh aksi-aksi teror tersebut masih saja kerap terjadi dan seakan-akan telah menjadi sejarah berdarah yang tidak bisa terpisahkan dari proses dialektika bangsa ini. Pembunuhan aktivis HAM Munir yang sampai sekarang menunjukkan buramnya proses penegakan hukum hingga dalang yang melakukannya pun ternyata tidak bisa tersentuh oleh keadilan hukum. Ini membuktikan bahwa permasalahan teror tidak benar-benar selesai meski rejim Orde Baru telah tumbang.

Bisa saja Kapolri Bambang Hendarso Danuri membantah tudingan bahwa kepolisianlah dalang di balik semua peristiwa teror baru-baru ini, tetapi selama tidak ada proses penegakan hukum yang bisa mengungkap pelaku yang sebenarnya maka biarkan analisis rakyat mengalir secara liar bahwa negaralah pelaku teror yang sebenarnya. Tentu saja ini tidak tanpa alasan karena faktanya menunjukan bahwa teror masih merupakan senjata yang ampuh untuk mengamankan posisi penguasa dari upaya yang bisa membahayakan kelanggengan kekuasaan mereka.

Dan tentu saja hal ini tidak bisa didiamkan begitu saja dan harus kita lawan apapun bentuk teror yang dilakukan oleh negara untuk membungkam suara-suara rakyat. Rakyat harus segera dibangunkan dari tidur panjangnya karena suara-suara kebenaran tidak akan bisa dibungkam. Perlu persatuan seluruh gerakan rakyat untuk berani membongkar konspirasi negara yang selalu memakai manajemen teror untuk melindungi kebusukannya selama ini.

Penindasan yang dilakukan penguasa/kapitalis atas kaum tertindas terjadi karena dirinya merasa berada dalam bahaya. Maka cara-cara keji penguasa seperti aksi-aksi teror akan dilakukan untuk membungkam bahkan menghilangkan kesadaran massa yang telah berani melawan penguasa. Pada akhirnya persatuan rakyat pekerjalah yang mampu melawan kapitalisme dan mewujudkan sosialisme di bumi tercinta tanpa ada lagi teror atau ancaman yang menghantui kita.


* Penulis adalah Pengurus Serikat Buruh Kerakyatan - Surabaya, sekaligus Anggota Forum Belajar Bersama Prakarsa Rakyat dari Simpul Jawa Timur.

** Siapa saja dipersilahkan mengutip, menggandakan, menyebarluaskan sebagian atau seluruh materi yang termuat dalam portal ini selama untuk kajian dan mendukung gerakan rakyat. Untuk keperluan komersial pengguna harus mendapatkan ijin tertulis dari pengelola portal Prakarsa Rakyat. Setiap pengutipan, penggandaan dan penyebarluasan sebagian atau seluruh materi harus mencantumkan sumber (portal Prakarsa Rakyat atau www.prakarsa-rakyat.org).

0 Comments:

Post a Comment