Oleh : Yuniasri*

“Tadi siang kami sungguh terharu, tersentuh oleh sekelumit derita hidup, Seorang bocah berumur 6 tahun berjualan rumput….Si Bocah tidak berbapak, emaknya pergi berkerja, di rumah ditinggalkannya dua orang adiknya, laki-laki semua….kami tanyakan apakah dia sudah makan. “Belum”, mereka hanya makan sehari sekali, yaitu di sore hari, saat ibunya pulang dari bekerja, Di siang hari mereka makan kue sagu aren seharga 0,5 sen…. Aku teringat pada makan kami, tiga kali sehari dan terasa begitu aneh, begitu asing di dalam perasaanku…, kami memberinya makan tetapi tidak dimakannya, nasinya dibawa pulang.

“Malulah aku terhadap keangkaraanku, Aku renungi dan pikirkan keadaan sendiri, dan di luar sana begitu banyak derita dan kemelaratan melingkungi kami! Seketika itu juga seakan udara menggetar oleh ratap-tangis, erang dan rintih itu, mendesing dan menderu di kupingku: Kerja! Kerja! Kerja! Perjuangkan kebebasanmu, Baru kemudia kalau kau telah bebaskan dirimu dengan kerja, dapatlah kau menolong yang lain-lain! Kerja! Kerja! Kerja! Aku dengar itu begitu jelas, nampak tertulis di depan mataku….”

(Surat Kartini untuk Ny. Abendanon, 8 April 1902)

Kutipan surat Kartini (1879-1904) tersebut dengan terang menggambarkan bagaimana kemiskinan yang dihadapi oleh rakyat di sekitarnya. Perjumpaan dengan kemelaratan seorang anak miskin penjual rumput merobek kesadarannya yang selama ini hanya bergumul dengan dirinya sendiri, yang mencari jalan pembebasan dari belenggu ruang sempit pingitan bernama feodalisme. Kemiskinan dan penderitaan rakyat di sekitarnya menyalakan semangat Kartini bahwa pembebasan dirinya adalah jalan untuk membebaskan yang lain, rakyatnya yang miskin dan tertindas.

Pada masa Kartini hidup, zaman gelap Tanam paksa, seperti diceritakan oleh Multatuli, yang menyelimuti bangsanya belum benar-benar usai. Pemerasan tenaga manusia untuk kepentingan kolonial memang sudah dianggap Kartini sebagai “masa lalu” yang kelam. Tapi sisa-sisanya dalam bentuk kemiskinan dan penderitaan masih menjadi keseharian bagi rakyatnya. Kartini hidup pada masa transisi, saat tanah Jawa mengalami “kebangkrutan,” setelah dihisap hasil bumi dan tenaga manusianya. Tapi Kartini memang sungguh mengagumkan, dia menyadari bahwa perjuangan bagi dirinya sendiri tidak cukup. Keseluruhan pemikirannya yang kita baca dalam surat-suratnya untuk para sahabat, menunjukkan keberakarannya pada bangsanya yang pada saat itu terkungkung kemiskinan dan kolonialisme. Dalam satu suratnya untuk Ny. N. Van Kol tertanggal 27 April 1902, Kartini menulis :

“Dan apa yang bagus dari bangsa-bangsa lain, sekarang ingin sekali kami berikan kepada bangsa sendiri. Bukan untuk mendesak sifat-sifat sendiri yang bagus dan menggantinya dengan yang asing, melainkan untuk memuliakannya! Turut membantu menaikkan derajat bangsa, meningkatkannya ke arah pandangan tata susila yang lebih tinggi yang dengan demikian sampai pada keadaan masyarakat yang lebih baik dan lebih bahagia, adalah cita-cita kami yang patut dibela seumur hidup! Bagaimana mencapai cita-cita itu? Memulai dengan apa? Semua itu harus dimulai dari permulaan yaitu : Pendidikan!”

Lebih dari seratus tahun telah berlalu sejak kematian Kartini. Zaman gelap itu kembali menyelimuti bangsanya, khususnya kaumnya, kaum perempuan. Pada masanya, kaum perempuan ningrat disandera dalam pingitan dan permaduan, tak boleh keluar rumah dan tak berhak berpendidikan. Sedang kaum perempuan biasa non-ningrat didera kemiskinan, kelaparan adalah keseharian bagi mereka. Kini, kemiskinan mendorong para para perempuan untuk bermigrasi ke luar negeri, kemelaratan telah meruntuhkan rasa takut untuk mengadu nasib, bertaruh nyawa di negeri orang. Sebagian besar mereka bekerja sebagai pekerja rumah tangga, sebagian kecil bekerja di pabrik-pabrik, dan sebagian yang lain diperdagangkan, dipaksa melacur dan menjadi pengantin migran. Kementrian Tenaga Kerja RI mencatat saat ini 3.043.927 orang buruh migrant Indonesia bekerja di luar negeri, 74 % diantaranya adalah perempuan.

Latar belakang kondisi migrasi para perempuan ke luar negeri nampak sedikit mirip dengan kondisi rakyat kebanyakan pada masa Kartini. Selepas Tanam paksa, tanah-tanah garapan yang pada mulanya dikelola dan dimiliki Petani diambil alih oleh partikelir menjadi perusahaan-perusahan besar. Para petani “tidak lagi hidup dari tanah garapannya, juga tidak dari kesetiaannya pada golongan feudal, tidak dari tanggung jawab kampungnya, tidak dari pemerasan, tidak dari perdagangan, tetapi dari menjual tenaganya” (Ananta-Toer, 2003). Kondisi tersebut persis dialami oleh mereka yang tinggal di pedesaan saat ini, para petani kehilangan tanah garapan, jikapun punya sangatlah sedikit, mereka petani gurem yang hasil produksinya selalu lebih kecil dari modal produksi yang dikeluarkan. Sedang di kota-kota lapangan pekerjaan makin menyempit. Pada akhirnya, krisis ekonomi domestik membuat perempuan harus mengambil alih menjadi penopang ekonomi keluarga, meninggalkan kampung halaman dan keluarga, tak ada pilihan lain kecuali bermigrasi menjadi buruh migran.

Migrasi terpaksa (forced migration) yang dilakukan mayoritas kaum perempuan ini mengandung resiko pada dirinya. Karena sejak awal migrasi ini bukan pilihan sukarela (voluntary migration), tidak ada persiapan yang memadai agar migrasi dapat dilakukan dengan aman dan terjamin perlindungan HAM. Labih dari itu, tenaga manusia kini telah menjadi komoditas yang nilai ekonomisnya sangat menjanjikan. Tahun lalu jumlah remiten yang berhasil dihasilkan buruh migran mencapai US$ 6.615.321.274. Remitensi yang dihasilkan oleh para buruh migran mampu menggerakkan ekonomi, meski lebih banyak dalam bentuk konsumsi daripada produksi. Buruh migran yang menjadi salah satu penyangga ekonomi nasional saat ini, sekali lagi mirip dengan kondisi pada masa Kartini, para pekerja perkebunan dan pertambangan adalah penopang utama bagi perusahaan-perusahaan kolonial yang “mencuri” hasil bumi milik bangsa Kartini. Lewat Tanam paksa negeri penjajah berlebih-lebih pendapatan, pada tahun 1877 jumlah kelebihan pendapatan mencapai 800 Juta Gulden. Ketika Tanam paksa berakhir, tenaga manusia masih terus diperas, menjadi penopang hasil produksi perkebunan dan pertambangan.

Setiap tahun jumlah perempuan yang bekerja ke luar negeri semakin meningkat. Cerita kelam tentang penderitaan yang dialami mereka juga meningkat. Sejak fase perekrutan, masa bekerja, hingga kembali ke tanah air, berbagai persoalan muncul dan menjadi keseharian. Rupa-rupa kasus yang dihadapi mulai dari persoalan perburuhan seperti: Gaji tidak dibayar, kecelakaan kerja yang mengakibatkan sakit hingga meninggal dunia, bekerja di luar kontrak yang disepakati, kerja paksa dan tidak mendapatkan waktu istirahat. Dan persoalan pelanggaran HAM seperti: penipuan, kekerasan, pelecehan seksual, pemerkosaan dan penyiksaan. Data berbicara, tahun lalu (2009) Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan TKI (BNP2TKI) mencatat 7.709 kasus yang dialami buruh migran. Sedangkan jumlah yang meninggal dunia lebih dari seribu orang.

Migrasi tenaga kerja ke luar negeri memang menguntungkan banyak pihak, tidak hanya keluarga buruh migran yang menikmati uang kiriman, tapi para calo perekrut, perusahaan pengerah tenaga kerja, perusahaan transportasi, asuransi, imigrasi hingga perbankan, ikut menikmati keringat, darah dan airmata buruh migran. Karenanya, ia menjadi salah satu lahan subur yang terus dipelihara kelestariannya, tanpa peduli apakah persyaratan migrasi yang aman sudah terpenuhi atau belum. Bisnis “penjualan” tenaga kerja ke luar negeri dihidupi dengan menghisap tenaga perempuan. Kenyataan-kenyataan menyakitkan yang harus dihadapi kaum perempuan pekerja migran seperti penyiksaan, pelecehan dan kekerasan seksual, eksploitasi tiada henti menjadi banalitas dalam kehidupan keseharian mereka dan kita. Karena begitu seringnya terjadi, kadangkala kita hanya menganggapnya menjadi peristiwa kriminal biasa.

Kini, cita-cita Kartini yang hendak membawa perempuan keluar dari pingitan feodalisme dan berperan pada urusan publik, mungkin sudah tercapai. Sebagian besar bangsanya sudah terdidik, sebagian perempuan telah menempati posisi-posisi penting dalam pemerintahan. Tetapi itu nyatanya tidak cukup. Setelah kaum perempuan dapat keluar rumah, mengambil peran di ruang publik, mereka siap diterkam oleh belenggu-belenggu lain dalam bentuk baru. Dulu dan kini, kondisi perempuan memang jauh berbeda. Tapi benarkah dalam perbedaan antara dulu dan kini itu terdapat perubahan yang mendasar? Tenaga dan tubuh perempuan adalah komoditas menguntungkan yang menarik perhatian banyak pihak. Tenaga dan tubuh perempuan dengan mudah dimobilisasi dari desa-desa miskin ke pusat-pusat perputaran modal, dari negara-negara bekas penjajahan ke negara-negara kaya. Mengambil peran instrumental di ruang domestik dan di sektor industri hiburan. Kemajuan teknologi dan transportasi mempermudah lalu-lintas tenaga dan tubuh tersebut. Para perempuan dijual serupa barang, dipaksa melacur, menjadi korban perdagangan manusia. Yang lainnya, dipekerjakan dengan upah murah, bahkan tanpa upah, dengan resiko dianiaya dan diperkosa.

Eksploitasi kapitalisme lama pada masa Kartini sungguh sangat vulgar dan telanjang di depan mata. Dari mulai sistem lama Tanam paksa hingga imperialisme modern yang mengeruk habis kekayaan dan sumberdaya manusia bangsa Indonesia. Kini, wajah eksploitasi tak sevulgar dulu, negara dan aparatusnya, bangsa sendiri yang berpendidikan, berperan aktif meliberalisasi migrasi tenaga kerja. Berbagai macam aturan hukum dibuat agar pengerahan tenaga kerja dapat dipermudah. Manusia dengan akal budi, kehendak dan rasa yang dimilikinya diperlakukan serupa benda-benda yang siap dilempar ke pasar mana saja yang meminta. Pada akhirnya, dulu dan kini, derita yang dihadapi rakyat Kartini tak jauh berbeda.

Kartini dikenang sebagai pejuang emansipasi wanita. Menurut saya seharusnya lebih dari itu, karena dia tidak berjuang bagi kaumnya (perempuan) semata, tapi bagi keseluruhan rakyatnya yang kala itu terhina. Cita-cita Kartini adalah pembebasan kaumnya dan bangsanya dari keterbelakangan dan kemiskinan. Cita-cita tersebut harus dilanjutkan. Perjuangan kaum perempuan tak boleh eksklusif bagi dirinya sendiri, tapi harus menjadi bagian dari perjuangan bersama, dengan mereka yang ditindas dan dihinakan. Sebagai penutup, saya kutip potongan surat Kartini suratnya untuk Estella Zeehandelar tertanggal 17 Mei 1902 :


“Harapan saya sekarang hanyalah, mudah-mudahan pengumuman cita-cita kami itu bermanfaat bagi perkara kami dan tidak merusaknya. Maka untuk pertama kali nama saya disebutkan bersama-sama dengan bangsa saya. Dengan bangsa saya itulah selanjutnya nama saya bersatu! Saya bangga Stella, disebut senapas dengan bangsa saya!”


* Penulis adalah Asisten Gugus Kerja Pekerja Migran Komnas Perempuan, sekaligus anggota Forum Belajar Bersama Prakarsa Rakyat dari Simpul Jabodetabek.

** Siapa saja dipersilahkan mengutip, menggandakan, menyebarluaskan sebagian atau seluruh materi yang termuat dalam portal ini selama untuk kajian dan mendukung gerakan rakyat. Untuk keperluan komersial pengguna harus mendapatkan ijin tertulis dari pengelola portal Prakarsa Rakyat. Setiap pengutipan, penggandaan dan penyebarluasan sebagian atau seluruh materi harus mencantumkan sumber (portal Prakarsa Rakyat atau www.prakarsa-rakyat.org).

0 Comments:

Post a Comment