Oleh : Ade Fauziah*


Neoliberalisme, yang kini diperdebatkan oleh banyak kalangan, salah satunya menjadi hal yang sangat menarik ketika dikaitkan dengan kondisi perempuan. Dari catatan sejarah yang sangat panjang, saat ini ataupun di masa yang akan datang. Misalnya saja, sejarah masih 'belum tuntas' membahas perspektif perjuangan perempuan Kartini di tengah hegemoni budaya feodal yang melingkupinya atau justru akan semakin memperkaya perdebatan karena semakin beragam sudut pandang yang muncul ketika membahas tentang sejarah masa lalu tersebut.

Mari kita lihat, apa yang menjadi masalah umum bagi kaum perempuan yang terpinggirkan di sektor publik. Keterpinggiran itu misalnya saja meliputi nasib buruk kaum buruh perempuan yang 'terjebak' pada jenis-jenis pekerjaan yang berupah rendah, dan kondisi kerja yang buruk serta tidak memiliki keamanan kerja. Padahal, kenyataan bahwa perempuan bekerja bukanlah suatu hal yang baru di tengah-tengah masyarakat kita terutama ketika perkembangan dari masyarakat agraris hingga kemudian menuju masyarakat industri, keterlibatan perempuan pun menjadi semakin besar. Bahkan kalau kita menilik sejarah dalam masyarakat terdahulu, ketika sistem berladang berbagai suku di dunia, yang menjaga ternak dan mengelola ladang dengan baik adalah perempuan. Hal ini jelas menunjukan bahwa keterlibatan perempuan bukanlah sesuatu yang baru tetapi sudah ada sejak zaman dulu.

Walaupun bukan sebuah fenomena baru, tapi masalah perempuan bekerja nampaknya masih terus menjadi perdebatan hingga sekarang. Perdebatan dipicu oleh pemahaman yang masih sangat kental di sebagian masyarakat yang beranggapan bahwa dalam masyarakat yang ideal tentang sebuah keluarga adalah suami yang bekerja dan istri yang bekerja di rumah. Karena perkembangan zaman dan tuntutan ekonomi misalnya, tentu saja peran-peran tersebut mengalami perubahan secara signifikan. Perempuan bekerja, bukan saja menjadi pemain pelengkap sekedar 'membantu' beban ekonomi keluarga namun justru banyak yang kemudian mengambil peran lebih besar dengan menjadi penyangga utama ekonomi keluarga. Meskipun, kemudian perkembangan ini masih sangat dominan menempatkan perempuan dalam posisi ganda, dua peran sekaligus yaitu pengasuh anak sebagai salah wujud tanggung jawabnya dalam ranah domestik dan pencari nafkah. Hal ini akan membawa perempuan kepada beban ganda.

Kerja produktif dan kerja reproduktif

Jika kita lihat lebih jauh lagi bahwa perempuan mempunyai dua bentuk kerja, yaitu kerja produktif dan kerja reproduktif. Kerja produktif berfungsi sebagai pemenuhan kebutuhan dasar manusia seperti pemenuhan untuk sandang, pangan, dan papan. Kerja reproduktif adalah kerja 'memproduksi manusia,' bukan hanya sebatas masalah hamil, menyusui, namun mencakup kepada perawatan sehari-hari manusia baik fisik maupun mental yang semuanya menjadi sangat penting dalam penyusunan stuktur sosial masyarakat.

Dalam masyarakat kapitalisme, dua fungsi kerja itu menjadi sesuatu yang terpisah. Kerja produktif milik laki-laki dan dikerjakan di luar rumah, sedangkan kerja reproduktif di kerjakan oleh perempuan dan biasanya dikerjakan di dalam rumah. Sebuah norma yang ada saat ini kerja reproduksi adalah menjadi tanggung jawab perempuan. Dengan sebuah pembenaran yang disebut dengan tradisi dan kodrat yang dipandang wajar jika seorang perempuan bertanggung jawab dalam ranah domestik. Institusi pendidikan, agama, media massa, mendukung pula pendapat ini.

Kerja reproduksi ternyata mempunyai peranan yang sangat besar yaitu berperan penting guna keberlangsungan suatu bangsa dan umat manusia. Sangat penting pula demokratisasi institusi keluarga, termasuk di dalamnya peran serta laki-laki dalam kerja reproduksi dalam rumah tangga.

Terlepas dari sektor yang digeluti oleh perempuan dalam ranah publik, keterlibatan perempuan sering kali diposisikan sebagai skala bawah. Perempuan yang berada di sektor industri perkotaan, perempuan terlibat sebagai buruh pabrik garmen, tekstil dan elektronik. Sedangkan di pedesaan, perempuan menjadi buruh tani dan di sektor perdagangan perempuan hanya menjadi pedagang usaha kecil.

Hal yang perlu digarisbawahi di sini adalah kecenderungan perempuan terpinggirkan pada pekerjaan marginal tersebut tidak semata-mata disebabkan faktor pendidikan. Namun juga dari kalangan pengusaha sendiri terdapat sebuah klasifikasi untuk mempekerjakan perempuan pada sektor tertentu dan jenis pekerjaan tertentu karena upah perempuan lebih rendah dari pada laki-laki.

Selain persoalan tentang upah, dalam perbandingannya dengan laki-laki, perempuan di sektor publik menghadapi kendala lebih besar untuk melakukan mobilitas vertikal (kenaikan pangkat, posisi, jabatan) karena ideologi patriarki yang dominan. Hal ini bisa dilihat dengan minimnya jumlah perempuan yang berada dalam posisi strategis seperti pengambil kebijakan. Dari gambaran tersebut, dapat dilihat telah terjadi sebuah perbedaan ketimpangan ekonomi antara laki-laki dan perempuan. Hal ini ditandai oleh perbedaan upah serta ketidaksamaan akses keuntungan dan fasilitas kerja, termasuk akses terhadap program-program pelatihan untuk pengembangan sumber daya.

Sebagai penutup dari tulisan ini, kemudian muncul sebuah kebutuhan untuk memberikan jawaban yang setepat-tepatnya agar problematika posisi politik bagi perempuan tidak selamanya termarjinalkan. Jawaban itu adalah kekuasaan dalam arti yang seluas-luasnya. Kita harus mengupayakan lahirnya sebuah sistem kekuasaan yang mampu memberikan jaminan bahwa posisi politik harus menjamin kesetaraan dalam wujud yang senyata-nyatanya. Dan ini, bukan semata-mata tugas kaum perempuan, namun tugas kita secara kolektif.


* Penulis adalah anggota serikat buruh di Karawang, sekaligus Anggota Forum Belajar Bersama Prakarsa Rakyat dari Simpul Jabodetabek.

** Siapa saja dipersilahkan mengutip, menggandakan, menyebarluaskan sebagian atau seluruh materi yang termuat dalam portal ini selama untuk kajian dan mendukung gerakan rakyat. Untuk keperluan komersial pengguna harus mendapatkan ijin tertulis dari pengelola portal Prakarsa Rakyat. Setiap pengutipan, penggandaan dan penyebarluasan sebagian atau seluruh materi harus mencantumkan sumber (portal Prakarsa Rakyat atau www.prakarsa-rakyat.org).



0 Comments:

Post a Comment