Oleh Hadi Purnomo *

Menjelang akhir tahun, biasanya isu tentang upah buruh mencuat. Demonstrasi buruh banyak terjadi menolak penetapan upah di tahun yang akan datang. Buruh menilai bahwa upah tersebut tidak layak bagi kehidupan mereka. Mengapa ini terus terjadi?

Upah adalah bentuk dari imbalan yang diberikan kepada buruh atas tenaga yang telah dijualnya agar pengusaha bisa tetap berproduksi dan mengambil keuntungan atas produksi tersebut. Perbedaan kepentingan antara pengusaha dan buruh, bahwa pengusaha harus menekan pengeluaran ongkos produksi termasuk upah buruh agar keuntungan yang diterimanya menjadi berlipat ganda. Sedangkan buruh menginginkan imbalan yang layak menjamin pemenuhan kebutuhan hidup dia dan keluarganya. Perbedaan kepentingan inilah yang mengakibatian permasalahan pengupahan selalu panas dalam setiap penentuan kebijakannya baik di daerah maupun juga di skala nasional. Tuntutan akan kenaikan upah setiap tahun diteriakkan oleh kaum buruh di kota/kabupaten di seluruh penjuru negeri. Meski berbeda varian tuntutan tapi semuanya mengarah pada persamaan yaitu upah yang mampu memenuhi kebutuhan hidup layak bagi buruh dan keluarganya.

Jaminan negara terhadap pengupahan yang layak ini sebenarnya sudah ada dalam UUD 1945 pasal 28 dan pasal 27 ayat 2 yang menegaskan bahwa setiap orang berhak mendapatkan upah dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan dan di dalam UU Ketenagakerjaan pasal 88 menyebutkan bahwa setiap buruh berhak memperoleh penghasilan yang layak bagi kemanusiaan dan untuk mewujudkannya pemerintah perlu menetapkan kebijakan pengupahan yang melindungi buruh. Meliputi antara lain upah minimun berdasarkan Kebutuhan Hidup Layak (KHL), upah lembur, struktur dan skala upah yang proporsional dan upah untuk pembayaran pesangon. Upah buruh juga merupakan bagian dari hak asasi manusia (HAM), dimana dalam kovenan hak ekonomi, sosial dan budaya PBB yang telah diratifikasi oleh Indonesia bahwa upah harus dapat digunakan untuk mencukupi kebutuhan hidup buruh dan keluarganya dengan layak dan negara yang bertanggung jawab untuk menjaminnya.

Sesuai dengan Undang-Undang Ketenagakerjaan bahwa upah minimum bertujuan untuk memenuhi KHL. Standar KHL sendiri diatur dalam Permenakertrans No. 17/2005 tentang komponen dan pelaksanaan tahapan pencapaian kebutuhan layak baik secara fisik maupun non fisik untuk kebutuhan satu bulan buruh lajang dan bekerja di bawah satu tahun dan itu berarti sebetulnya upah minimum tidak boleh diterapkan oleh buruh yang telah berkeluarga atau buruh yang telah bekerja lebih dari satu tahun. Bagi perusahaan yang belum mampu, mekanisme penangguhan pun telah ada dengan batas maksimal penangguhan selama satu tahun sesuai dengan Kepmennakertrans No.231/2003 tentang tata cara penangguhan upah minimum.

Melihat dasar hukum perlindungan pengupahan di Indonesia harusnya problematika tahunan dalam penetapan upah minimum tidak perlu terjadi. Tetapi fakta di lapangan berkata lain penetapan nilai nominal upah minimum setiap tahun selalu menjadi medan perang buruh yang wajib harus dilakukan dan pertanyaanya mengapa? Ini semua terkait dengan kebijakan upah murah yang selalu menjadi alasan untuk melindungi investasi ataupun untuk menarik investasi masuk ke negara ini. Kita tentu ingat dalam penetapan UMK 2009 dengan berdalih krisis ekonomi global, pemerintah melalui menteri-menterinya membuat kebijakan berupa Surat Keputusan Bersama (SKB) 4 menteri yang isinya adalah melakukan intervensi terhadap pengupahan di daerah agar besaran nominalnya tidak melebihi batas pertumbuhan ekonomi nasional sebesar 6%.

Tentu kebijakan ini memancing reaksi penolakan karena kebijakan tersebut berlawanan dengan hukum tentang perlindungan upah. Maka lagi-lagi buruhlah yang jadi korban kebijakan penetapan upah murah tersebut. Belum lagi mekanisme penentuan upah minimum di daerah-daerah rawan akan korupsi dan manipulasi. Kenapa demikian? Karena dewan pengupahan sebagai lembaga yang legal dalam hal penentuan upah minimum yang terdiri dari tiga unsur pemerintah, pengusaha dan buruh dengan komposisi 2:1:1. Dari unsur buruh keanggotaan dewan pengupahan di banyak daerah didominasi oleh elit serikat buruh kuning (gadungan) yang jelas keberpihakannya pada pengusaha.

Sedangkan unsur pemerintah sendiri yang komposisinya lebih banyak harusnya bisa mengambil peranan untuk melindungi proses penentuan upah. Tapi hal itu tidak dilakukan, justru yang terjadi bekerja sama untuk memanipulasi data agar upah bisa ditetapkan dengan murah. Hal ini bisa mereka lakukan dengan leluasa karena proses penentuan upah mulai dari survei harga sampai dengan rekomendasi angka ke walikota/bupati dilakukan secara tertutup. Buruh hanya tahu angka jadinya saja yang diusulkan oleh walikota/bupati kepada gubernur untuk ditetapkan. Ketertutupan proses penentuan upah minimum inilah yang menyebabkan rawannya manipulasi angka karena adanya konspirasi di dalam dewan pengupahan untuk menghasilkan nilai upah yang rendah/murah.

Permasalahan belum selesai sampai di situ. Upah Minimum Kota (UMK) seharusnya hanya menjadi batas minimum pemberian upah dan itupun diberikan untuk buruh lajang yang telah bekerja di bawah satu tahun. Tapi kenyataannya berbeda, upah minimum kini bukan lagi minimum melainkan sudah menjadi garis batas maksimum. Itulah yang menyebabkan mengapa setiap tahun buruh selalu turun ke jalan untuk mendesak penetapan nilai nominal upah minimum. Karena penetapan upah minimum tersebutlah yang akan menentukan nasib mereka dalam satu tahun ke depan.

Kondisi ini ditambah dengan lemahnya pengawasan tentang pemberlakuan upah minimum di daerah-daerah dan secara nasional kondisinya sama. Padahal sesuai dengan pasal 185 Undang-Undang 13/2003 tentang ketenagakerjaan, “Pengusaha yang membayar upah di bawah upah minimum termasuk tindak pidana kejahatan dengan ancaman hukuman penjara paling singkat 1 bulan dan paling lama 4 tahun dan atau denda paling sedikit sepuluh juta rupiah dan paling banyak empat ratus juta rupiah.”

Tetapi ironisnya sampai dengan hari ini sejak ditetapkannya undang-undang tersebut, belum ada satupun pengusaha di Indonesia yang bisa dipidanakan dan dikurung karena melanggar ketentuan tentang kewajiban membayar upah minimum. Padahal banyak kita tahu bahwa tidak semua buruh mendapatkan upah minimum. Hanya golongan buruh tertentu saja yang sudah mempunyai organisasi serikat buruh yang kuat di dalam perusahaannya atau buruh dengan status kerja tetap saja yang mampu menikmatinya. Padahal keanggotaan buruh secara nasional yang menjadi anggota serikat buruh kurang dari 10%. Jadi dimungkinkan yang menikmati proses penentuan upah setiap tahunnya hanya segelintir kecil dari kaum buruh. Lemahnya peran pengawasan ini disebabkan karena kebijakan politik upah murah yang diterapkan oleh pemerintah ditambah dengan besarnya peran kepala daerah di era otonomi daerah. Kebijakan upah murah adalah hal manis yang bisa ditawarkan kepada pengusaha meski itu berarti harus mengorbankan nasib kaum buruh.

Melihat kondisi di atas, kaum buruh tidak bisa berpangku tangan begitu saja. Kita tidak bisa menyerahkan begitu saja proses penentuan upah hanya pada elit serikat buruh gadungan yang duduk dalam dewan pengupahan dan mengatasnamakan kaum buruh. Perlu ada agenda pengawalan upah minimum baik mulai dari proses survei, penghitungan, usulan, penetapan dan sampai dengan pemberlakuan. Standarisasi tentang upah minimum pun selayaknya harus diganti karena upah yang dihitung berdasarkan kebutuhan hidup buruh lajang tentu saja tidak manusiawi bila diberlakukan pada buruh yang sudah berkeluarga.

Oleh sebab itu kita perlu untuk merumuskan gagasan alternatif tentang pengupahan yang layak bagi buruh dan keluarganya. Bersama-sama dengan agenda pengawalan upah minimum, rumusan upah layak harus terus diwacanakan dan diperjuangkan untuk mendapat dukungan secara meluas dari kaum buruh dan pada akhirnya nanti hanya kaum buruhlah yang mampu merubah nasibnya sendiri. Mengorganisir dan terus bergerak adalah hal yang terus dibutuhkan untuk memperbaiki kondisi pengupahan agar lebih berkeadilan dan layak bagi kaum buruh itu sendiri.

* Penulis adalah Pengurus Serikat Buruh Kerakyatan - Surabaya, sekaligus Anggota Forum Belajar Bersama Prakarsa Rakyat dari Simpul Jawa Timur.

** Siapa saja dipersilahkan mengutip, menggandakan, menyebarluaskan sebagian atau seluruh materi yang termuat dalam portal ini selama untuk kajian dan mendukung gerakan rakyat. Untuk keperluan komersial pengguna harus mendapatkan ijin tertulis dari pengelola portal Prakarsa Rakyat. Setiap pengutipan, penggandaan dan penyebarluasan sebagian atau seluruh materi harus mencantumkan sumber (portal Prakarsa Rakyat atau www.prakarsa-rakyat.org).

Oleh Lily Pujiati *


Ke mana Indonesia ke depan dalam sudut pandang kaum kelas bawah saat ini? Telaah bahwa sebuah masyarakat sipil dalam ruh demokrasi lebih banyak ditentukan oleh kelas menengah, mungkin perlu dikaji kembali. Di sejumlah negara yang baru terbebas dari rezim otoriter menuju demokrasi, peran kelas menengah dalam perubahan memang sangat besar. Gelombang kebebasan di Asia dan negara-negara di Amerika Latin, kelas menengah memberikan kontribusi tumbangnya sejumlah rezim yang selama ini hanya dinikmati kalangan elit atau kelas atas.


Nuansanya akan lain jika kita lebih cermat memperhatikan apa yang terjadi di Indonesia. Mulanya, memang ya. Kelas menengah yang diwakili para kalangan profesional, intelektual, praktisi dan kalangan pekerja kerah putih ini berhasil menggalang sebuah empati dan aksi pentingnya sebuah perubahan. Rezim pun runtuh, demokrasi datang.


Sayangnya, aksi dan reaksi kalangan ini berhenti. Tanpa berkelanjutan. Meski udara kebebasan telah direguk. Sekat-sekat yang selama ini membelenggu berhasil diterabas, sekarang seakan terbiarkan. Masing-masing asyik sendiri dengan kebebasan dan atmosfir yang telah diraih.


Konsep kebebasan itu ternyata tidak cukup dengan baik diteruskan atau digulirkan ke tingkat masyarakat atau kelas bawah. Yang terjadi justru muncul, jurang atau gap yang cukup jauh untuk mengartikan atau menerjemahkan perubahan. Masyarakat sipil yang seharusnya saling bergaris lurus menjaga bangunan baru yang bernama demokrasi, justru seakan saling terpisah.


Alhasil, demokrasi ternyata tak banyak membawa hal berarti bagi banyak orang. Terutama masyarakat Indonesia, yang justru mayoritas di kalangan pedesaan. Di tingkat bawah, demokrasi hanya baru sebatas berani cuap dan berbeda pendapat tanpa pernah ada makna lain. Tak usah heran jika banyak muncul kasus-kasus yang bibitnya berasal dari persoalan ini. Cukup serius, bahkan melibatkan emosi dan fisik Sungguh mengenaskan, kebebasan berpendapat di tingkat desa justru lebih dinikmati atau dimainkan oleh individu dan kelompok untuk kepentingan mereka semata. Perebutan wewenang, wilayah dan kekuasaan kerap lebih banyak diselesaikan secara purba, yakni mobilisasi kekerasan massa bayaran.


Tak cuma itu, proses mengalirnya arus perubahan yang mandek di tingkat bawah juga berimbas secara kultur atau budaya masyarakat. Gaya hidup konsumerisme dan gemerlap, lebih banyak ditemukan di desa-desa sebagai imbas dan simbol budaya yang terjadi di kota-kota.



Adat, nilai dan norma yang selama ini dijadikan rujukan sosial di tingkat masyarakat desa pun banyak diabaikan. Problem budaya ini banyak dijumpai di desa-desa di Indonesia.


Susahnya, masalah transformasi perubahan yang kini terjadi seakan menggantung tanpa penyelesaian yang nyata. Masyarakat seakan hanya dihadapkan pada pilihan, bahwa semua ini hanyalah sebuah proses yakni rangkaian perubahan sosial yang harus terjadi dalam sebuah masyarakat. Tanpa memiliki pilihan lain. Akibatnya justru melahirkan sebuah kelompok sosial masyarakat baru yang meninggalkan identitas aslinya.


Akan menjadi kian pelik, ketika dampat tersebut ke tingkat ekonomi masyarakat desa yang tak berubah. Kondisi ekonomi yang minus melahirkan pilihan-pilihan bagi masyarakat untuk memenuhinya.


Mungkin, alternatif pilihan untuk memenuhi kebutuhan ekonomi masyarakat desa Indonesia adalah dengan mencari kerja di luar negeri. Menjadi Tenaga Kerja Indonesia (TKI) atau buruh migran, menjadi pilihan terbanyak. Data yang tergambar selama ini sudah jelas, jika Indonesia termasuk dalam kategori penyumbang buruh migran di dunia. Namun, juga muncul persoalan serius ketika di balik jumlah TKI di luar negeri, banyak pula persoalan-persoalan yang terjadi. Mulai dari tingkat elit sampai masyarakat bawah.


Di tingkat elit birokrat perubahan yang dilakukan ternyata tak banyak berarti. Sedang di tingkat masyarakat desa (bawah), sangat sedikit kelompok sosial yang memahami persoalan yang terjadi.


Yang justru menyedihkan, alternatif pilihan masyarakat desa untuk kebutuhan ekonominya, banyak menumbuhkan penyakit-penyakit sosial baru. Secara sengaja, tak sengaja bahkan terjebak dalam dunia prostitusi.


Pemberdayaan Masyarakat
Bagaiman arus perubahan yang mengalir ini seharusnya terjadi? Pemberdayaan masyarakat! Di tingkat bawah, permberdayaan sebuah kelompok sosial masyarakat jelas mutlak dilakukan. Menjadikan masyarakat paham dan mengetahui bahwa arus perubahan yang kini terjadi harus digunakan semaksimal mungkin untuk menuju kesejahteraan yang diinginkan.


Masyarakat harus tahu hak dan kewajibannya dalam konteks hubungan pemerintah sebagai penyelenggara negara dengan rakyatnya. Kritis, memiliki visi yang jelas dan bersinergi.


Pemberdayaan yang dilakukan memang banyak dilakukan dalam beragam hal. Sumber daya manusia, potensi sosial dan lingkungan yang ada sampai aspek ekonomi.


Di tingkat masyarakat desa, kelompok-kelompok sosial berdasarkan profesi, ekonomi dan koperasi, sebenarnya telah lama ada. Di jaman pemerintahan lalu, kelompok-kelompok sosial ini malah berperan cukup menonjol. Seperti kelompok petani, nelayan dan sebagainya. Sayangnya di tingkat operasional lebih bersifat elitis. Bahkan cenderung dimanfaatkan. Bukan untuk kebersamaan tapi untuk kepentingan kelompok atau individu semata.


Di sinilah peran kelas menengah untuk mengaliri proses perubahan yang sempat jalan di tempat diteruskan. Kalangan ini hendaknya didorong atau disadarkan arti pentingnya sebuah kekuatan masyarakat sipil. Bahwa, masyakat sipil yang diinginkan akan terbangun jika semua tingkatan masyarakat diikutsertakan. Termasuk sampai tingkat bawah atau desa.


Banyak cara yang mungkin dapat dilakukan. Mulai dari membangun kesadaran para praktisi untuk mempraktekkan gagasan atau ide untuk kepentingan masyarakat. Kaum intelektual bisa memberikan kontribusi cakrawala pemikiran yang luas. Grup-grup sosial atau NGO mungkin, dapat turun langsung menata kelompok–kelompok di masyarakat dalam hal pengorganisasian.
Bagi kalangan menengah yang bergerak di sektor ekonomi, dapat pula mendistribusikan sebuah pola atau konsep ekonomi kerakyatan yang dapat dinikmati semua masyarakat.


Masing-masing memang harus berperan. Inisiatif, kreativitas dan kemauan akan sebuah perubahan adalah sebuah mata rantai yang harus tersambung kuat. Entah untuk memulainya dari kelas sosial yang mana, keinginan itu mutlak harus dilakukan.


Jika itu semua dapat terwujud, mungkin arus perubahan yang sebenarnya telah berhembus sejak sebelas tahun silam, dapat dinikmati masyarakat Indonesia. Dan impian masyarakat sipil yang mampu mengatur kehidupannya sendiri tanpa perlu lagi terjebak dalam sistem kekuasaan bakal terwujud!


* Penulis adalah Koordinator Peduli Buruh Migran, sekaligus anggota Forum Belajar Bersama Prakarsa Rakyat dari Simpul Jabodetabek.
** Siapa saja dipersilahkan mengutip, menggandakan, menyebarluaskan sebagian atau seluruh materi yang termuat dalam portal ini selama untuk kajian dan mendukung gerakan rakyat. Untuk keperluan komersial pengguna harus mendapatkan ijin tertulis dari pengelola portal Prakarsa Rakyat. Setiap pengutipan, penggandaan dan penyebarluasan sebagian atau seluruh materi harus mencantumkan sumber (portal Prakarsa Rakyat atau www.prakarsa-rakyat.org).



Oleh Khamid Istakhori *


Negeri ini, sepertinya semakin meneguhkan dirinya sebagai tanah air penindasan bagi buruh dan rakyat pekerja. Gonjang-ganjing yang muncul di permukaan sebagai persetruan para elit berebut kue kekuasaan, berebut uang triliunan rupiah, berebut pengaruh dan saling tikam untuk menunjukkan bahwa dirinya bersih tak terindikasi korupsi. Inilah negeri dengan keteguhan dalam penindasan rakyatnya. Dan buruh, korban yang hari ini mewakili rasa sakit itu.

Simaklah apa yang dituturkan oleh Zubaedah, buruh perempuan yang tegar ini berasal dari Semarang, bekerja di perusahaan terkemuka penghasil merk terkenal berbagai produk garmen. Waktunya habis didedikasikan untuk kemajuan pabrik tempatnya bekerja sampai kemudian petaka itu menjadi berita panas menyengat telinga dan hatinya. Pabrik pailit! Zubaedah hanya tahu secara sepintas saja dari ramai pembicaraan orang bahwa pailit itu bangkrut, miskin dan tidak mampu berbuat apa-apa lagi.

Pabrik, yang dinyatakan pailit, seharusnya tidak menunjukkan geliat produksi, gerak mesin, lalu lalang orang bekerja, penumpukan order. Yang dia tahu juga, sebuah pabrik dinyatakan pailit, sesuai dengan undang-undang bikinan para dewa di DPR adalah kalau dalam dua tahun tidak menghasilkan keuntungan. Tapi, ini lain katanya. Tanggal 26 Agustus ketika pabrik dinyatakan pailit oleh pengadilan -tempat masyarakat mencari keadilan ini- pabrik ini masih berproduksi, bahkan buruh dipaksa untuk lembur dalam jam kerja yang panjang. “Ini, jelas pembodohan oleh aparatur negara ini!” gugat Zubaedah.

Drama kemudian berlanjut, ketika istilah-istilah aneh harus dipelajari. Kreditur, debitur, penggugat, kurator, hakim pengawas, piutang dan sederet kebingunan itu belumlah seberapa bila dibandingkan dengan keruwetan yang harus dihadapi para buruh. Para buruh, tentu saja pusing tujuh keliling karena upah tak dibayarkan sejak Agustus, THR apalagi. Maka, kemudian pilihan buruh tak lain berjuang mati-matian menguasai pabrik agar tak dijarah “tangan setan” yang rapi menjarah hak buruh, baik terang-terangan melalui preman suruhan pengusaha atau melalui jaring-jaring hukum yang stempelnya dibuat dengan tinta bernama derita buruh: keringat, darah, airmata.

Pabrik dikuasai, pabrik disegel, pabrik diduduki dan semua kunci pabrik dari kunci pintu gerbang sampai pintu WC kami ganti semua. “Kami mengantisipasi dengan cara-cara demikian agar tak kecolongan,” kata Suryandari buruh perempuan lainnya di pabrik itu. Pabrik ini harapan satu-satunya para buruh berjumlah 819 orang, kalau masing-masing punya dua tanggungan istri/suami ditambah satu anak maka jumlah nyawa hidupnya bergantung dari pabrik itu minimal 2.457 orang. Serasa disambar geledek, kepala buruh kembali pusing karena kabar bahwa aset PT. Uni Enlarge akan dilelang di balai lelang di Jakarta. Yang melelang, sesuai aturan hukum harusnya kurator, pihak yang ditunjuk oleh hakim untuk menjadi semacam “pengelola” aset, menyusun daftar aset, menaksir harga, melakukan permohonan lelang dan kemudian menghitung berapa banyak bagian masing-masing pihak yang disebut sebagai kreditur. Tapi yang aneh pemohon lelang adalah PT. Bank Chinatrust, kreditur dalam kasus pailit. Kurator mengatakan bahwa Chinatrust menyatakan kasasi atas putusan pailit PT. Uni Enlarge, tapi kenapa mereka melelang? Dalam pandangan buruh hanya satu saja pemahamannya : Hukum ini tidak jelas! Katanya melanggar tapi kok tetap jalan. “Tak usahlah bicara kasus korupsi para buaya, ngurus duit dan hak buruh yang kecil itu saja nggak becus!” gugat para buruh sambil membandingkan pesimisme penanganan korupsi Bank Century yang konon melibatkan orang-orang kuat di negeri ini: kuat malu alias tak lagi punya malu!

Pilihan satu-satunya adalah membatalkan proses lelang, karena kalau proses lelang tetap berlanjut, maka dipastikan buruh gigit jari tidak mendapatkan apa-apa. Bank Chinatrust, ketika bertemu para buruh, delegasi dalam aksi di kantor Chinatrust kawasan Sudirman mengatakan bahwa hutang adalah hutang, artinya kami akan mempertahankan hak kami dan menjamin tak seorangpun mengurangi hak kami. Ingin rasanya buruh melumat para pengacara muda itu, yang dibayar dengan recehan, remah-remah sisa bank asing itu dan mengajarkan apa itu kepentingan orang tertindas. Pengacara muda itu, mewakili kejumawaan Bank Chinatruts, bank yang menjadi simpul aliran dana keluar masuk dari Taiwan ke Indonesia. Buruh ingin menjejalkan potongan kain ke mulut para pengacara itu agar mereka tak lagi berbusa-busa membela penghisap darah buruh. Bank Chinatrust sebenarnya berhutang pada para buruh. Seharusnya para buruh yang berhak menagih hutang itu sambil mengatakan hutang adalah hutang!

Drama komedi berlanjut, ketika para buruh bertemu dengan anggota Dewan Komisi IX DPR RI. Bukan berlomba-lomba dalam kebaikan membela para buruh mereka justru saling cakar dengan sesamanya. Partai saya, paling komitmen membela buruh. Perintah ketua partai sangat jelas untuk menjadikan buruh sebagai pihak yang harus dibela. Tapi para buruh tidaklah bodoh, mereka tahu ketua partai itulah yang tangannya membubuhkan tanda tangan pengesahan undang-undangn setan bernama UU no. 13 tahun 2003. Kemudian partai pemenang pemilu 2009, melalui wakil di Komisi IX berbusa-busa mengatakan saya prihatin dengan nasib buruh. “Tapi saya khan masih baru, sedang belajar menjadi pembela rakyat. Mohon dimaklumi kalau saya masing belum cekatan.” Para buruh bertanya, apa yang diharapkan dari wakil rakyat model gini? Komentar wakil rakyat yang lain? tak usahlah ditulis panjang-panjang: sama saja. Penuh retorik, dangkal, kosong dan tidak bermakna.

Pilihan para buruh, kemudian menginap di Kantor Depnakertrans, kantor menteri urusan tenaga kerja. Baru semalam menginap, para punggawa kantor sudah ribut. Bertanya-tanya kapan buruh akan pulang? Berapa lama lagi menginap? Departemen ini pasti akan mengurusi nasib buruh, tapi mohon jangan lama-lama menginap. Tolong bantu kami memperbaiki citra. Belum lagi sebulan pak menteri duduk, kursinya masih panas. Apa komentar buruh? Zubaedah bilang, “XL banget!” apa itu ? Extra Lebay, berlebih-lebihan. Buruh akhirnya meninggalkan kantor Depnaker. Tapi tolong dicatat, bukan karena menuruti kemauan para pejabat teras itu, tapi buruh bersiap-siap untuk menyusun kekuatan baru, nanti menjelang lelang di balai lelang kami pasti akan menginap lagi. Dan, para punggawa kantor mentri itu, lagi-lagi ciut memohon, mohon pengertiannya demikian rayu mereka.

Ternyata, kasus Uni Enlarge menjadi pintu pembuka! Tak lama kasus ini mencuat, tiba-tiba kami mendapatkan telepon dan kontak dari serikat-serikat lain bahwa nasib mereka sama. Korban keputusan pengadilan: pailit. Sebutlah pabrik PT. Uni Enlarge yang berlokasi di Tanjung Priok. Pabrik ini, pemiliknya sama, dan nasibnya sama dipailitkan. Akan juga dilelang asetnya tanggal 11 Desember 2009. Lalu, datang lagi serombongan buruh dari PT. Mutiara bertemu di Depnaker. Mereka bilang bahwa pabrik kami juga korban efek domino tsunami pailit. Karena 10 % sahamnya dimiliki PT. Uni Enlarge, dan 90 % dikuasai Bruce sehingga kemudian PT ini juga terancam akan disita, dan buruh terancam di-PHK.

Inilah gonjang-ganjing pailit yang hari ini mendera buruh. Kerja bertahun-tahun, pabrik mengeruk keuntungan kemudian kongkalikong dengan pengadilan dinyatakan pailit lalu lepas tangan tidak menunaikan hak buruh. Itu juga yang kemudian terjadi pada PT. Istana, pabrik yang lebih dari dua tahun dikuasai buruhnya dan di bawah kuasa KOMPAP (Komite Pengambilalihan Pabrik) ini juga serasa disambar geledek. Tiba-tiba pengusaha memohon pailit ke pengadilan. Lalu itu juga yang terjadi dengan TPI, stasiun televisi yang digemari ibu-ibu dan mungkin juga para buruh itu juga dalam proses pailit. Kejadian ini, tentu saja bukan main-main dan serba kebetulan, tapi pasti telah melalui skenario dimana negara ikut terlibat. Para buruh tidak paham apa National Summit, pertemuan kongkalikong antara pemerintah dan pengusaha serta elit-elit organisasi massa rakyat yang telah menggadaikan kepentingannya, para buruh juga belum sampai memahami apa itu skenario negara menyelamatkan pengusaha melalui bailout dan lain-lainnya. Yang mereka tahu, nasib semakin terancam saja, tidak jelas apa yang akan dihadapi hari-hari ke depan.

Tapi, kejadian beruntun ini, PT. Uni Enlarge, Istana, Mutiara, TPI adalah sinyal bahwa bola salju akan menggulung kehidupan buruh. Pertanyaannya kemudian apakah kita akan diam saja ? Asyik dengan diri kita dan masih merasa hidup dalam sekat-sekat berbeda sehingga merasa pula berasal dari kelas yang berbeda? “Pailit ini haruis dilawan, bukan saja untuk mendapatkan hak ekonomi para buruh tapi kita, harus menggelindingkan perlawanan sehingga menjadi bola salju yang lebih besar untuk melawan semua itu,” tegas Zubaedah. Pertanyaan Zubaedah ini, tamparan bagi kita untuk segera tersadar dan bergegas menyusun kekuatan, sebelum semuanya menjadi runyam, serunyam-runyamnya seperti cerita para buaya yang kelimpungan di pusat negeri.


* Penulis adalah Sekretaris Jenderal KASBI, sekaligus anggota Forum Belajar Bersama Prakarsa Rakyat dari Simpul Jabodetabek.

** Siapa saja dipersilahkan mengutip, menggandakan, menyebarluaskan sebagian atau seluruh materi yang termuat dalam portal ini selama untuk kajian dan mendukung gerakan rakyat. Untuk keperluan komersial pengguna harus mendapatkan ijin tertulis dari pengelola portal Prakarsa Rakyat. Setiap pengutipan, penggandaan dan penyebarluasan sebagian atau seluruh materi harus mencantumkan sumber (portal Prakarsa Rakyat atau www.prakarsa-rakyat.org).



Posted: 19 Dec 2009 02:04 AM PST

Refleksi Hari Buruh Migran Internasional ke-19

Meskipun desakan kepada pemerintah (Presiden dan DPR) untuk meratifikasi Konvensi Migran 1990 telah beberapa kali dilakukan, dan pemerintah pun telah sepakat untuk meratifikasinya, namun hingga penghujung tahun 2009, belum ada tindakan konkret untuk meratifikasi konvensi. Maka di hari buruh migran internasional yang ke-19, kami kembali mendesak pemerintah untuk berhenti berkelit dan segera meratifikasi konvensi migran 1990. Alasan-alasan yang selama ini dikemukakan oleh pemerintah untuk tidak meratifikasi, sangat tidak mendasar dan cenderung menunjukan sikap pemerintah yang kerap menghindar dari kewajibanya.

Beberapa alasan pemerintah menolak meratifikasi Konvensi Migran diutarakan dalam pertemuan-pertemuan dengan masyarakat sipil maupun dalam pernyataan terbuka yang kesemuanya telah dijawab oleh masyarakat sipil. Beberapa alasan tersebut antara lain:

Pendapat Pemerintah

- Substansi Konvensi bertentangan kebijakan nasional dalam hal pengaturan tentang perlindungan hak berserikat bagi pekerja migran, akses untuk mencari dan mendapatkan pekerjaan, dan akses untuk pindah bekerja dan dapat bekerja mandiri bagi pekerja migran

- Ratifikasi hanya akan melindungi buruh migran dan keluarga buruh migran di dalam negeri (di Indonesia) dan tidak dapat mejangkau mereka yang ada di luar negeri (negara tujuan).

- Konvensi baru akan bermakna jika negara tujuan meratifikasi (asas resiprokal)

- Konvensi tidak memberikan perlindungan terhadap Buruh Migran Perempuan

- Pemerintah, dalam hal ini beberapa departemen menunda ratifikasi karena dianggap belum mendesak dan perlu melakukan kajian lagi.

Pendapat Masyarakat Sipil

- Indonesia sudah menandatangani Konvensi pada 22 Septermber 2004, dengan demikian Indonesia harus melakukan tindakan susulan berupa meratifikasi dalam waktu yang tidak terlalu lama. Selain itu, ratifikasi Konvensi merupakan komitmen negara menurut hukum internasional untuk mengikatkan diri pada Konvensi. Sehingag ratifikasi justru merupakan perwujudan kedaulatan negara sesuai dengan UUD 1945. Sedangkan implementasi Konvensi di tingkat nasional dilakukan menurut tata cara negara masing-masing, termasuk menyesuaikan kebijakan nasional dengan Konvensi.

- Jikapun ratifikasi Konvensi hanya akan melindungi buruh migran di dalam negeri,ratifikasi Konvensi tetap bermakna besar bagi perlindungan BMI. Hal ini karena pelanggaran hak dan ekspolitasi buruh migran terjadi secara sistematis di dalam negeri. Dengan demikian, negara melalukan kewajibannya dengan meratifikasi. Lagipula pengalaman Meksiko menunjukan bahwa paska ratifikasi, sistem perlindungan buruh migran di dalam negeri membaik, dan perbaikan tersebut berdampak pada peningkatan komitmen negara tujuan dalam melindungi buruh migran Meksiko, meskipun negara tujuan belum meratifikasi.

- Indonesia sebagai salah satu negara asal buruh migran terbesar, yang harus menunjukan komitmennya terlebih dulu melindungi warga negaranya. Sebagaimana halnya 42 negara yang telah meratifikasi Konvensi adalah negara-negara asal buruh migran. Justru jika Indonesia tidak meratifikasi Konvensi, Indonesia tidak akan didengar ketika mendesak negara tujuan untuk meratifikasi.

- Data pemerintah menyatakan bahwa pada tahun 2008 jumlah buruh migran (berdokumen) di Indonesia mencapai 900.129, dengan jumlah demikian BMI menyumbangkan 82,4 triliun rupiah (Bank Indonesia, 2008). Sejak tahun 2006, kurang lebih 80% di antaranya adalah perempuan (menakertrans, 2006). Dengan demikian perlindungan buruh migran secara keseluruhan sama dengan melindungi BM perempuan.

- Pemerintah sudah cukup lama melakukan kajian hingga akhirnya memasukan agenda ratifikasi pada 2 periode RANHAM, yaitu 1998-2003 dan 1998-2003. Artinya Pemerintah sudah selesai mengkaji dan sudah mengakui bahwa pentinganya ratifikasi Konvensi sejak 11 tahun yang lalu. Selain itu, berdasarkan laporan Indonesia kepada Komite CEDAW tentang kondisi buruh migran, telah direkomendasikan bahwa Indonesia harus meratifikasi Konvensi sebagais alah satu cara mengurangi pelanggaran HAM terhadap buruh migran.Khususnya dalam rekomendasi umum Komite No. 26 pada point 29 dan concluding comment point 44.

Tindakan-tindakan yang telah dilakukan masyarakat sipil sudah tidak terhitung jumlahnya untuk mendesak negara meratifikasi buruh migran. Sepanjang tahun 2009 saja, masyarakat Sipil yang tergabung dalam Arak 90 telah melakukan 6 konferensi pers, roadshow ke beberapa kantor media massa, bertemu dengan Wantimpres, bertemu dengan dengan Menakertrans, bertemu dengan dengan Komisi IX DPR RI , bertemu dengan Baleg DPR RI, bertemu dengan DPD RI, beberapa kali melakukan aksi di istana negara dan DPR RI untuk melakukan aksi desakan pemerintah agar meratifikasi Konvensi Migran 1990. Namun upaya tersebut ditanggapi secara dingin dan resisten oleh pemerintah RI.

Gambaran peristiwa di atas, menunjukan bahwa Pemerintah tidak responsif terhadap kebutuhan rakyat, khususnya buruh migran Indonesia. Pemerintah juga tidak mau taat kepada hukum internasional dan tidak membangun politik yang bermartabat dalam pergaulan internasional.

Dalam merayakan hari buruh migran internasional yang ke-19, kami terus mendesak pemerintah untuk segera meratifikasi konvensi Migran 1990 secepatnya, tahun ini atau setidak-tidaknya tahun 2010. Penundaan ratifikasi berarti pembiaran terhadap pelanggaran hak dan eksploitasi buruh migran.


Jakarta, 16 Desember 2009

ALIANSI RAKYAT UNTUK RATIFIKASI KONVENSI MIRGAN 1990

Aliansi Buruh Menggugat (ABM), Ardanary Institut, Asosiasi Pengajar dan Peminat Hukum Berperspektif Gender Perhimpunan Pengajar Hukum dan Gender Indonesia (APPHGI), Asosiasi Tenaga Kerja Indonesia (ATKI), Asosiasi Serikat Pekerja (ASPEK), Gerakan Perempuan untuk Perlindungan Buruh Migran (GPPBM), Human Rights Working Group (HRWG), Institute for National and Democratic Studies (INDIES), IWORK, LBH Apik Jakarta, LBH Jakarta, Komisi Keadilan Perdamaian dan Pastoral Migran Perantau-KWI, Peduli Buruh Migran, Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI), Solidaritas Buruh Migran Karawang (SBMK), Solidaritas Buruh Migran Cianjur (SBMC), Kelompok Perempuan untuk Keadilan Buruh (KPKB), Solidaritas Perempuan, Solidaritas Perempuan Komunitas Jabotabek, Perkumpulan Praxis, FSPSI Reformasi, Serikat Mahasiswa Indonesia (SMI), Trade Union Rights Centres (TURC), Yayasan Genta Surabaya

CP: Ali Akbar Tandjung (081289018838), Restaria Hutabarat (085695630844), Thaufiek Zulbahary (08121934205)


Pertemanan saya dengan Hideko Takahashi dimulai ketika kami belajar bahasa Italia bersama di Istituto Italiano di Culturale, pusat kebudayaan Italia yang terletak di daerah Menteng. Anggapan “the world is so narrow” memang benar adanya, karena sebelumnya saya pernah berjumpa dengan beliau pada acara konser violin Midori Goto di kediaman duta besar Jepang beberapa bulan sebelumnya. Sebagai istri salah seorang diplomat yang bekerja di Kedutaan Jepang, tentu beliau diundang pada acara tersebut. Oleh karena itu, ketika pertama kali melihatnya hadir pada kuliah pertama di Istituto, saya yakin sekali, “Ibu ini pasti yang waktu itu ada di konsernya Midori,”

Ternyata memang benar, itu adalah Hideko. Tidak membutuhkan waktu yang lama untuk akrab dengan Hideko-san karena ia memang orang yang sangat supel dan terbuka. Bahkan ia seringkali ikut serta apabila teman-teman di kelas mengadakan acara wisata kuliner ke tempat-tempat makan unik. Ia bahkan tidak segan untuk ikut makan di warung soto mie Jl. Bandung (yang berupa warung kaki lima di pinggir jalan), datang dengan mobil Toyota Fortuner berplat CD sehingga mengundang perhatian setiap orang yang ada di warung tersebut. *Yang was-was malah kami yang mengajak, takutnya sakit perut*

Waktu pun berlalu, ternyata Hideko-san tidak melanjutkan kuliah bahasa Italia di Istituto karena suaminya dimutasi ke Roma. Akhirnya kelas “makan-makan” Istituto sepakat mengadakan farewell party untuk Hideko-san di restoran Anatolia Kemang. Kebetulan malam itu Jakarta macet total sehingga saya adalah orang kedua yang tiba disana setelah Hideko (untuk disiplin soal waktu, orang Jepang memang nomor satu). Sambil menunggu teman-teman yang lain, kami mengobrol panjang, terutama mengenai musik dan kebudayaan.

Hideko mengemukakan bahwa saat ini Jepang sedang mengalami masalah ekonomi. Iklim finansial yang tidak begitu bagus belakangan ini membuat kehidupan semakin sulit. Menurutnya, anak-anak muda di Jepang saat ini tidak berorientasi untuk berkeluarga karena untuk menanggung penghidupan sendiri saja sudah sulit, apalagi untuk menghidupi anggota keluarga apabila menikah kelak. Mencari pekerjaan di Jepang saat ini sulit sekali, sementara biaya hidup sangat tinggi. Hideko mencontohkan, di Tokyo (yang termasuk dalam daftar kota termahal di dunia), secangkir kopi di sebuah kedai dapat mencapai 80 ribu rupiah!

Ngomong-ngomong, teringat pada cerita Hideko-san, saya sedikit merinding ketika kemarin ini membaca artikel wawancara majalah Prisma (Juni 2009) dengan Menkeu Sri Mulyani Indrawati. Ketika membahas masalah “hutang luar negeri Indonesia yang tidak akan pernah terbayar sampai kapan pun,” Ibu Ani menjawab: “Ini masuk ke dalam filosofi mengenai suatu negara apakah dia berutang terus sampai keabadian? Jepang, contohnya. Demografinya mulai mengecil, generasi tuanya sudah mencapai 60 persen. Karena makin tua berarti makin banyak kebutuhan untuk kesehatan, jasa-jasa, karena sudah tidak bekerja lagi maka “makan” dari tabungannya. Siapa yang akan menyediakan semua kebutuhan mereka ini? Generasi yang lebih muda, yang makin mengecil, yang harus menanggungnya, plus beban utang masa lalunya yang lebih dari seratus persen. Jadi negara itu akan terus masuk ke dalam lilitan utang. Terus terang, kalau saya jadi menteri keuangan Jepang barangkali akan frustrasi dan tidak tahu akan berakhir seperti apa,”


Farewell party di Anatolia, Kemang

Hidup memang penuh ketidakpastian, tapi paling tidak masih ada seni yang mempersatukan umat manusia. Rupanya Hideko-san adalah seorang pianis juga. Ia belajar piano sejak kecil, namun ketika harus menemani suaminya dinas di berbagai negara, terpaksa kontinuitas permainan pianonya harus menyesuaikan dengan ritme kehidupan ibu-ibu diplomat (merangkap ibu rumah tangga dengan dua anak laki-laki). Beliau sangat antusias ketika membicarakan masalah makanan dan seni yang menurutnya mempersatukan manusia dari berbagai negara yang memiliki perbedaan kultur dan budaya. Sebagai contoh, sebelum ditugaskan di Indonesia, Hideko sempat tinggal selama beberapa tahun di Teheran, Iran. Disana anak-anaknya les piano dengan guru berkebangsaan Spanyol dan memainkan lagu-lagu komponis Barat dan karya komponis Iran. Begitu pula Hideko kagum ketika tahu bahwa saya bisa menyanyikan lagu opening dorama “Tokyo Love Story” dalam bahasa Jepang, dan ia bertanya pada saya, “You sing that song, but do you know what’s the meaning of the words?”. Saya jawab, tidak. Kemudian ia hanya menggeleng-gelengkan kepala.

Kemudian, dua hari sebelum Hideko-san berangkat ke Roma (berangkat tanggal 26 Oktober), ia mengundang saya ke apartemennya untuk memberikan tanda mata perpisahan. Saya datang dengan Lilis Ho, salah seorang kawan dari Istituto. Ketika berjumpa dengannya, rupanya ia memberikan sejumlah buku musik, bermacam-macam partitur yang sangat menarik. Yang paling menyita perhatian saya adalah buku musik terbitan Iran, yaitu Etude op 599 Carl Czerny dan dua buku karya komponis Iran, Fariborz Lachini.

Etude Czerny op 599 merupakan “makanan pokok” bagi para pelajar piano. Rupanya di Iran, tulisannya menggunakan bahasa Arab untuk judul, sedangkan tanda tempo masih ditulis dalam huruf latin. Ketika sedang terkesima melihat buku-bukunya, Hideko-san bilang, “You can read it right? You’re a moslem and I think you can read all of those Arabian characters,” Saya bilang, bisa, sambil berpikir kira-kira bacaannya apa, karena huruf Arab yang digunakan untuk bahasa sehari-hari biasanya adalah Arab “gundul” (tanpa penanda vokal ‘a’, ‘i’, atau ‘u’) dan sedikit berbeda dengan yang terdapat dalam Al-Qur’an.

Etude op 599 (Carl Czerny)
Tapi coba kita lihat, di pojok kanan atas adalah (dari kanan ke kiri) aksara modifikasi ta + sin = che, disusul ra, dan nun dengan penunjuk huruf ya sebagai vokal 'i'. Karena huruf pertamanya diberi penanda vokal ‘i’, maka bacaannya kira-kira “Chir-nii” (Czerny). Sedangkan huruf kecil yang “terbang” diatas “Chir-nii” adalah kaf, alif (untuk menandakan vokal ‘a’), ra, dan lam, maka bacaannya kira-kira “Karl”. Menarik sekali!

Judul menggunakan aksara Arab, tapi tanda tempo tetap alfabet Latin
Selain Etude Karl Czerny, Hideko-san juga memberikan dua buah buku komposisi piano karya komponis Iran, Fariborz Lachini. Sang komposer yang lahir pada 1950, belajar komposisi di Eropa dan merupakan anggota Masyarakat Komposer Prancis (Société des Auteurs-Compositeurs – SACEM). Setelah kembali ke Iran, ia aktif membuat musik untuk pendidikan anak-anak dan komposisi musik film. Berikut ini adalah kumpulan impresi akan musim gugur yang tersusun dalam album “Golden Autumn”.


"Golden Autumn" karya Fariborz Lachini, volume 1


Salah satu lagu dalam "Golden Autumn"
Ternyata memang benar, musik dan seni adalah suatu produk kebudayaan yang menembus batas – transendental. Musik menyatukan perbedaan dan latar belakang dalam sebuah perdamaian universal. Semoga Hideko-san bisa tetap membawa kebaikan dimana pun ia berada.
Have a good life in Rome!

The last photograph with Hideko and Lilis Ho


Kamis, 17 Desember 2009 | 03:14 WIB

Oleh Khalisah Khalid

Dalam studi lapangan di Desa Ilir, Indramayu, Jawa Barat, terungkap, sebagai buruh tani, Ibu Wati hanya bisa membawa pulang upah Rp 700.000 dalam 25 hari kerja saat masa panen dari pemilik lahan. Beberapa tahun belakangan, masa panen hanya bisa dinikmati satu tahun sekali dari semula dua kali akibat banjir dan kekeringan yang datang bergantian. Padahal, itulah penghasilan yang bisa didapat karena pendapatan suami sebagai nelayan tidak cukup untuk kebutuhan sehari-hari.

Kisah perempuan ini sekaligus memaparkan fakta perubahan iklim bukanlah proses yang netral jender. Meski perubahan iklim dirasakan semua orang, pengaruhnya bisa berbeda pada laki-laki dan perempuan karena perbedaan pengalaman yang dikonstruksikan kepada keduanya

Perubahan

Karena itu, perubahan iklim kemudian melahirkan bentuk ketidakadilan lain kepada perempuan, selain warisan bentuk ketidakadilan dari model pembangunan yang melakukan pendekatan patriarkhis. Salah satunya berupa beban ganda akibat dampak perubahan iklim. Pada 2006, Perserikatan Bangsa-Bangsa melaporkan 40 miliar jam waktu dihabiskan perempuan di seluruh dunia untuk mencari air.

Bentuk ketidakadilan lain adalah pengabaian semua pengalaman pribadi, termasuk yang diungkapkan dalam pola komunikasi yang khas dan pengetahuan perempuan tentang relasi tubuhnya dengan kekayaan alam, baik individu maupun kolektif, yang dipengaruhi kelas, etnisitas, usia, seksualitas, status perkawinan, wilayah hidup yang membuat perempuan memiliki keragaman pengalaman, peran, fungsi, dan posisi dalam mengelola kekayaan alamnya. Revolusi Hijau menjadi satu bukti pembangunan dunia berwajah patriarkhal, menjauhkan akses dan kontrol perempuan terhadap tanah dan alamnya.

Negosiasi

Putaran negosiasi perubahan iklim terus berjalan dengan alot dalam Pertemuan Para Pihak Ke-15 (COP-15) di Kopenhagen, Desember. Delegasi Indonesia dalam pertemuan climate hearing menyatakan pesimistis proses negosiasi bisa menguntungkan Indonesia di tengah negara industri, khususnya Amerika Serikat, yang terus bersiasat menghindar dari tanggung jawab dan pembahasan soal mekanisme pendanaan berbasis pasar dan utang luar negeri, termasuk mekanisme reduksi emisi akibat deforestasi dan degradasi hutan (REDD).

Pertanyaannya, bagaimana perundingan perubahan iklim jika ditarik pada entitas makhluk bumi bernama perempuan? Putaran negosiasi dalam COP-15 iklim lebih banyak berdebat soal mekanisme pendanaan berbasis pasar dan utang daripada membahas bagaimana seluruh makhluk bumi harus diselamatkan dari dampak perubahan iklim.

Perundingan tersebut jauh dari pembahasan mengenai kebutuhan spesifik perempuan. Tidak heran jika Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI) tidak melihat Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak sebagai institusi negara yang penting untuk dilibatkan dalam upaya penanganan perubahan iklim. Akibatnya, hampir seluruh perumusan peta jalan perubahan iklim tidak melibatkan perempuan dalam pengambilan keputusan. Hasilnya, proses yang dibangun jauh dari kebutuhan spesifik perempuan dan tidak lebih hanya menempatkan perempuan sebagai obyek kebijakan.

Dalam sarasehan perubahan iklim yang dilaksanakan Civil Society Forum untuk keadilan iklim terungkap bahwa di banyak tempat, seperti di Nusa Tenggara Timur, perempuanlah yang lebih mengetahui kebutuhan pangan atau konsumsi keluarganya karena perannya sebagai pengelola bibit dan benih.

Maria Hartiningsih dalam Fokus, ”Jejak Samar Chico Mendes” (Kompas, 20 November 2009), menuliskan, pasar karbon tidak menyentuh nilai ribuan spesies tanaman dan keragaman hayati hutan. Bahkan, pasar karbon juga tidak menyentuh nilai jejak pengetahuan dan pengalaman perempuan dalam hutannya. Pasar karbon menegasikan esensi posisi dan peran perempuan dalam pengelolaan hutannya, antara lain dengan mengecilkan perempuan sebagai penjaga pangan (food gathering) yang melanggengkan reproduksi sosial perempuan dalam komunitasnya.

Kontrol

Selain akses dan kontrol yang dihilangkan, pasar juga tidak menghitung nilai kelembagaan perempuan dalam pengurusan kekayaan alam dan sumber-sumber kehidupan, termasuk di dalamnya aktivitas ritual keseharian perempuan dan beragam bentuk solidaritas antarperempuan. Sesederhana apa pun, ritual dan solidaritas itu merupakan bagian dari kelembagaan perempuan, bagian dari cara bertahan hidup di tengah krisis.

Karena itu, menjadi sangat relevan jika perempuan aktivis dunia menyerukan menolak mekanisme REDD sebagai jalan penanganan perubahan iklim karena REDD sangat jauh dari pemenuhan keadilan bagi perempuan dalam pengelolaan kekayaan alamnya.

Khalisah Khalid Dewan Nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia; Gender Working Group Friends of the Earth International


--
Khalisah Khalid
Mobile Phone : +62813 11187 498
Email : sangperempuan@gmail.com
YM : aliencantik@yahoo.com
www.sangperempuan.blogspot.com


16 Desember 2009 - 17:22 WIB
Kurniawan Tri Yunanto

VHRmedia, Jakarta – Perusahaan jasa pengiriman tenaga kerja Indonesia diduga menghambat pembahasan RUU Pekerja Rumah Tangga. Rancangan undang-undang ini gagal masuk dalam program legislasi nasional (Prolegnas) tahun 2010.

Menurut Koordinator Aliansi Rakyat untuk Ratifikasi Konvensi Migran 1990 (Arak 90), Thaufiek Zulbahary, agen PJTKI menyusup ke DPR dan mempengaruhi penyusunan prolegnas.

“Kami mensinyalir ada beberapa pengusaha di belakang semua ini. Ada juga anggota Dewan yang mempunyai agen PJTKI,” kata Thaufiek, dalam diskusi memperingati Hari Buruh Migran Internasional, Rabu (16/12).

Thaufiek mengatakan, desakan agar pemerintah meratifikasi Konvensi Migran sudah dilakukan sejak tahun 1993. Saat itu publik melalui media massa menyuarakan pentingnya perlindungan terhadap buruh migran dan pekerja rumah tangga.

Thaufiek kecewa terhadap sikap Menteri Tenaga Kerja, Muhaimin Iskandar, yang menganggap rativikasi Konvensi Migran belum penting karena negara tujuan pengriman BMI juga belum meratifikasi konvensi ini.

”Dalam kesempatan berikutnya, kami akan mengungkap para anggota DPR yang menjadi pengusaha PJTKI. Kami mencurigai ada di beberapa Komisi di DPR,” kata Thaufiek.

Menurut Thaufiek, 42 negara telah meratifikasi Konvensi Migran. Salah satunya Meksiko, negara yang memiliki karakter mirip dengan Indonesia dan terbukti mampu memberikan perlindungan terhadap warga negaranya.

“Indonesia justru menginginkan amandemen UU Nomor 39 tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja di Luar Negeri. Amandemen ini tidak akan efektif, sebelum ada ratifikasi konvensi,” kata Ali Akbar Tanjung, Program Officer Human Right Working Group (HRWG).

Berdasarkan data Depnakertrans tahun 2008, jumlah buruh migran Indonesia yang memiliki dokumen mencapai 900.129 orang. Mereka menyumbangkan devisi sekitar Rp 82,4 triliun pertahun. (E1)


Sumber:


Hypnotherapy telah membantu banyak sekali remaja putri dan wanita dewasa yang mengalami gangguan kesehatan fisik maupun emosi ketika menstruasi. Ini adalah kesempatan Anda untuk menikmati setiap hari dalam hidup Anda tanpa rasa cemas saat menjelang datangnya menstruasi. Masalah menstruasi yang setiap bulan mengganggu Anda bisa lenyap seluruhnya atau minimal berkurang 80%. Anda bisa hidup dengan lebih nyaman, seperti wanita-wanita lain yang tidak punya masalah menstruasi.

Beberapa masalah menstruasi yang umum terjadi dan bisa dihilangkan atau diringankan dengan terapi hypnosis antara lain:

  • Stress dan cemas setiap kali mau datang menstruasi karena tahu dirinya akan menderita selama menstruasi.
  • Selalu sakit saat menstruasi. Sakitnya bisa bermacam-macam, mulai dari kepada pusing, nyeri seluruh tubuh, batuk, pilek, deman, diare, masuk angin, perut kembung, sembelit, dan sakit-sakit pasaran lainnya.
  • Nyeri dan kram perut yang biasanya terjadi pada 24 jam sebelum terjadinya perdarahan mens dan dapat terasa selama 24-36 jam. Kram dan nyeri tersebut terutama dirasakan di daerah perut bagian bawah menjalar ke punggung atau permukaan dalam paha.
  • Sakit punggung / pinggang
  • Kram pada kandung kemih
  • Mudah lemah, letih dan lesu sehingga mengganggu aktivitas kerja/belajar.
  • Emosi yang tidak stabil. Mudah tersinggung, mudah marah, mood berubah-ubah. Menangis tiba-tiba tanpa sebab yang jelas.
  • Perubahan libido menjadi sangat besar. Ingin selalu "disentuh" padahal sedang menstruasi.
  • Gangguan konsentrasi dan pelupa.
  • Payudara nyeri, membengkak dan mengeras
  • Gangguan tidur. Tidur tidak nyenyak selama menstruasi.
  • Timbulnya jerawat yang berlebihan
  • Perubahan nafsu makan, nafsu makan meningkat (khususnya jenis makanan yang manis, asin), sehingga berat badan naik.
  • Ada juga yang malah kurang nafsu makan. Semua makanan terasa tidak enak, atau ingin makan yang aneh-aneh seperti orang hamil.
  • Siklus haid yang tidak teratur. Terlalu lama, terlalu cepat, atau tidak menentu.
  • Perdarahan haid yang terlalu banyak dari normalnya.
  • Masa menstruasi yang lama, sehingga menghabiskan uang untuk beli "popok".


Lama waktu penyembuhan untuk gangguan menstruasi bervariasi tergantung tingkat masalah klien. Sebagian besar masalah menstruasi bisa dibereskan seluruhnya atau paling tidak sudah sangat berkurang masalahnya setelah satu kali hypnotherapy. Dan perlu diingat, sebaiknya klien menjalani hypnotherapy pada saat tidak menstruasi.

Mengapa masalah menstruasi bisa diselesaikan dengan hypnosis? Bukankah masalah menstruasi adalah masalah medis? - Benar memang, para hypnotherapist umumnya tidak banyak belajar mengenai proses reproduksi wanita. Namun benar juga bahwa dengan hypnosis masalah menstruasi bisa dihilangkan atau diringankan. Riset mengenal hal ini pun sudah banyak dilakukan.[sumber]




Oleh I Wayan “Gendo” Suardana, S.H.*


Bila dicermati dalam kurun beberapa waktu belakangan ini, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) baik dalam kapasitasnya sebagai presiden maupun petinggi Partai Demokrat kerap mengeluarkan pernyataan-pernyataan atas situasi yang berkembang dalam dinamika sosial kemasyarakatan di negara ini.

Salah satu pernyataannya adalah dalam pidato Presiden (8 Desember 2009) dalam menyambut Peringatan Hari Anti Korupsi Internasional (9 Desember 2009). Seperti biasa SBY mencoba menetralisasi pernyataan-pernyataan yang dia sampaikan sebelumnya terkait agenda aksi anti korupsi yang digalang oleh komponen masyarakat sipil. Kurang lebih dalam pidatonya tersebut. SBY menyatakan dukungan terhadap gerakan pemberantasan korupsi termasuk mendukung aksi peringatan hari anti korupsi internasional seraya menegaskan bahwa dia berada di garis paling depan untuk pemberantasan korupsi di Indonesia. Tidak lupa sambil menyelipkan klaim prestasi-prestasi dalam bidang pemberantasan korupsi.

Pernyataan yang menurut penulis sungguh berbeda nuansanya dengan pernyataan yang SBY keluarkan sebelum-sebelumnya. Dalam beberapakali kesempatan, SBY berulangkali menekankan kekhawatiraanya atas rencana pelaksanaan aksi massa untuk memperingati hari anti korupsi yang digalang oleh kelompok sipil akan digunakan untuk kepentingan politik berupa penjatuhan posisinya sebagai presiden. Juga menyatakan bahwa aksi massa tersebut akan dibonceng oleh para penumpang gelap. Tidak cukup hanya SBY saja, aparat di bawahnyapun bersuara senada. Sehingga terkesan kekhawatiran ini telah menajdi kekhawatiran rezim.

Mungkin lantaran tekanan situasi politik yang berbeda sehingga respon SBY dalam penyikapan hari anti korupsi Internasional kali ini berbeda jauh dengan peringatan yang sama pada tahun 2008. Sebagaimana yang kita ketahui bahwa di awal kepemimpinan jilid keduanya, SBY telah dihadiahi persoalan politik dan hukum yang berat. Mulai dari rekayasa kriminalisasi KPK sampai kondisi politik serius dimana hak angket atas kasus Bank Century bergulir begitu maju. Dapat dikatakan hak angket tersebut berbeda dengan 8 hak angket yang bergulir di era kepresidenan SBY yang pertama.

Namun paparan di atas dapat saja terbantahkan bila merunut kembali berbagai pernyataan SBY yang kerap mendramatisasi keadaan bahkan cenderung prematur. Mari cermati kembali sikap SBY dalam menanggapi tragedi Bom JW Mariot Jakarta (17 Juli 2009). Dengan sangat yakin SBY menyatakan bahwa tragedi bom tersebut berhubungan dengan persoalan politik terutama menyangkut kemenangannya dalam pilpres 2009. SBY mensinyalir bahwa ada kelompok-kelompok yang tidak suka dengan kemenangannya dan mencoba mengganggu termasuk merencanakan pendudukan KPU demi penggagalan hasil Pemilu. Bahkan dengan keyakinan diri yang tinggi berulangkali SBY menyatakan bahwa pernyataannya berdasarkan data intelijen, data yang valid dan seolah-olah tidak terbantahkan.

Namun demikian faktanya, setelah kasus pemboman hotel itu dapat dibongkar oleh aparat kepolisian, tidak satupun fakta-fakta yang dapat menjelaskan hubungannya dengan gangguan politik yang ditujukan terhadap SBY.

Beberapakali terkesan bahwa pernyataan yang disampaikan SBY cenderung tidak terbukti dan terlihat terburu-buru. Terkesan bahwa SBY salah langkah dalam menyikapi perekembangan dinamika politik. Bahkan banyak yang menganggap SBY telah gagal membangun komunikasi politik yang efektif.

Dengan sikapnya yang reaktif, banyak pengamat politik dan akademisi komunikasi poltik yang menyatakan komunikasi poltik SBY sangat buruk. SBY dianggap membuang energi dan waktu atas reaksinya terhadap komentar-komentar yang mengkritisi posisi dan kebijakannya. Penilaian ini termasuk tindakan SBY yang over-reaktif seolah melupakan suatu ketetapan dalam komunikasi politik, bahwa tindakan politik ternyata lebih penting ketimbang komunikasi politik yang bersifat verbal. Dalam teori pragmatis-informatif, seluruh tindakan komunikator adalah bagian dari komunikasi politik, dan menjadi elemen-elemen informasi yang bisa jadi cermin dari posisi dan reposisi politik sang komunikator politik di mata publik. Teori ini juga menekankan bahwa komunikasi politik secara non-verbal (baca: tindakan politik) lebih dominan dan signifikan dalam tindak komunikasi secara keseluruhan. Alangkah elegannya jika SBY diam, tidak terpancing, lebih berusaha membenahi dan meningkatkan kualitas tindakannya sejalan dengan tugasnya sebagai presiden, ketimbang memerangkap diri ke dalam jurang kebodohan komunikasi politik.

Namun berbeda dalam pandangan penulis. Tindakan komunikasi politik yang dilakukan SBY tidaklah meupakan kebodohan komunikasi politik. Bagi penulis, seluruh tindakan komunikasi politik SBY justru telah dihitung secara matang dan dilakukan dengan kesengajaaan. Bahkan hasil akhirnya selalu menempatkan SBY sebagai pemenang komunikasi politik. Bahkan menurut hemat penulis tindakan-tindakan mendramatisasi keadaan yang selama ini diperlihatkan SBY adalah sebagai pola komunikasi politik yang dianut SBY dan rezimnya.

SBY berhasil memanfaatkan posisi yang ada dengan mengeluarkan pernyataan-pernyatan yang mengambang dan bahkan bila perlu bersifat intimidatif. Contoh kasus dapat dilihat dalam kasus Bom JW Mariot dan Kasus peringatan Hari Anti Korupsi Internasional. Dengan lihai SBY mendramatisasi keadaan tersebut, dengan mendorong bahwa peristiwa tersebut adalah manuver dari kelompok-kelompok yang berseberangan serta ingin menjatuhkan posisi SBY. Dengan retorika politiknya SBY kemudian mampu mengintimidasi keadaan dan memotong gerakan sosial yang ada. Dan hal tersbut cukup efektif.

Dalam kasus rencana aksi peringatan Hari Anti Korupsi Internasional, menurut Fadjroel Rahman, bahwa pernyataan SBY telah “menimbulkan” kekhawatiran sebagian warga sehingga menyurutkan niat mereka untuk turut berpartisipasi. Isu-isu bahwa aksi tersebut ditunggangi, berpotensi anarkis pada akhirnya secara efektif menyerang psikologis warga.

Pernyataan tersebut memang dipastikan menimbulkan kontroversi, terlebih pernyataan senada keluar secara kompak dari bawahan SBY seperti Andi Mallarangeng, Menkopolhukam dll. Dan setelah kontroversi memuncak, lalu menjelang detik-detik momentum yang ada, SBY akan segera mengakhiri dengan pidato yang indah yang tentu akan berbeda jauh dengan pernyataan sebelumnya. Maka SBY lah yang jadi pemenangnya. SBY tetap akan nampak sebagai seorang presiden yang menghargai demokrasi, kebebasan berekspresi dengan membuat pidato yang “meralat” pernyataan sebelum-sebelumnya. Sementara di sisi lain efek pernyataan intimidatif yang diumbar sebelumnya masih belum hilang dan masih menghantui warga.

Demikian pula dengan sikap SBY dalam kasus kriminalisasi KPK. Walaupun banyak yang menilai komunikasi politik SBY dalam kasus tersebut buruk. Dimana pernyataan SBY dianggap bertele-tele dan mengambang, namun hasil akhirnya kembali dimenangi SBY dengan pidatonya pasca menerima rekomendasi Tim 8 yang dibentuk untuk kasus tersebut.

Penulis tidak hendak mengulas atau menafsir pernyataan-pernyataan dari SBY, namun dalam tulisan ini penulis hendak menyatakan bahwa dampak dari pola-pola yang digunakan oleh SBY dalam menyikapi perkembangan sosial kemasyarakatan terkait dengan proses demokratisasi di Indonesia sangat besar.

Pola komunikasi yang diterapkan oleh SBY dan timnya patut dicermati secara serius. Secara tidak sadar komunikasi tersebut mirip dengan bangunan dan kerangka komunikasi politik Suharto dan rezim Orde Barunya. Melakukan politik satu arah, selanjutnya menciptakan tekanan dan intimidasi kepada publik dan terakhir menangguk untung dari situasi yang ada.

Demi menjaga proses demokratisasi di negeri ini, sebaiknya SBY dalam konteks komunikasi politik berhenti mengunakan pola-pola seperti itu. Sebaiknya komunikasi yang dibangun dengan pihak lain didasari dengan sikap fair dalam setiap proses dan efek komunikasi politik itu sendiri. Artinya setiap tindakan komunikasi poltik yang dibangun baik oleh SBY dan juga timnya harus digunakan untuk membangun demokratisasi dan bukan untuk mempertahankan status quo.


* Penulis adalah Presidium Nasional- PENA’98 (Perhimpunan Nasional Aktivis ’98), sekaligus anggota Forum Belajar Bersama Prakarsa Rakyat dari Simpul Bali.

** Siapa saja dipersilahkan mengutip, menggandakan, menyebarluaskan sebagian atau seluruh materi yang termuat dalam portal ini selama untuk kajian dan mendukung gerakan rakyat. Untuk keperluan komersial pengguna harus mendapatkan ijin tertulis dari pengelola portal Prakarsa Rakyat. Setiap pengutipan, penggandaan dan penyebarluasan sebagian atau seluruh materi harus mencantumkan sumber (portal Prakarsa Rakyat atau www.prakarsa-rakyat.org).

Oleh Rinto Tri Hasworo*

Tidak dapat dipungkiri bahwa gelombang reformasi 11 tahun lalu telah membawa perubahan bagi korban pelanggaran HAM. Mereka dapat leluasa menyatakan diri sebagai korban, menceritakan pengalaman kekerasan yang pernah mereka alami. Secara terbuka mereka juga dapat menyatakan bahwa ada yang keliru dalam penyelenggaraan negara di masa lalu. Bahkan dengan bebas bisa menyatakan diri sebagai mantan anggota organisasi yang selama 32 tahun kekuasaan Orba sangat diharamkan. Jelas semua ini tidaklah mungkin dilakukan sebelum era reformasi 1998.

Perubahan kecil, sedang atau besar, (mungkin) memang sudah terjadi pascareformasi, namun perubahan yang paling mendasar bagi korban sama sekali belumlah terjadi. Negara masih enggan memberikan pengakuan kepada para korban. Pengadilan HAM Ad Hoc yang dirancang sebagai pengadilan luar biasa tak berdaya ketika berhadapan dengan para pelaku. Tengok saja Pengadilan HAM Ad Hoc untuk kasus Timor Timur dan Tanjung Priok. Semua terdakwa dinyatakan tidak bersalah. Baik pada tingkat pertama (Pengadilan Negeri), maupun tingkat Banding dan Kasasi atau Peninjauan Kembali di Mahkamah Agung. Institusi peradilan seolah menjadi alat legitimasi atas kejahatan yang mereka (para pelaku) lakukan. Sehingga tidak ada yang salah dengan tindakan atau kebijakan mereka, sekalipun menelan korban.

Pembentukan Pengadilan HAM Ad Hoc, sebagai salah satu perwujudan dari amanat reformasi dalam proses penegakan HAM, seakan tidak memiliki makna lagi. Pengadilan HAM Ad Hoc Timtim dan Tanjung Priok sebagai cermin dari prospek penegakan hak asasi manusia di masa yang akan datang, justru tidak menciptakan tonggak baru sejarah hak asasi manusia. Padahal kasus Timtim dan Tanjung Priok adalah dua dari sekian banyak kasus pelanggaran HAM yang pernah terjadi di negeri ini. Masih banyak kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu yang belum terselesaikan. Yang berarti masih banyak pula korban yang belum memperoleh hak-haknya.

Seiring dengan penyelesaian kasus masa lalu melalui mekanisme peradilan HAM, muncul wacana pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR). Sebuah badan yang lazim didirikan pada sebuah negara yang baru keluar dari cengkraman rezim oteriter menuju rezim yang lebih demokratis. Berbagai reaksi muncul terhadap wacana pembentukan KKR, dari yang setuju hingga yang menolak. Tentu dengan alasan dan argumentasi masing-masing. Setelah melalui perdebatan yang cukup panjang, September 2004 RUU KKR akhirnya disahkan menjadi undang-undang.

Namun sayang, Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR), sebagai ‘jalan tengah’ atau cara damai untuk menyelesaikan kasus-kasus masa lalu, justru ‘mati’ sebelum dilahirkan. Desember 2006, Mahkakamah Konstitusi lewat putusannya menyatakan UU No. 27 Tahun 2004 Tentang KKR sebagai landasan hukum pembentukan KKR tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat. Fajar harapan korban kembali terbenam. Keadilan seolah semakin menjauh seiring bertambahnya usia reformasi dan usia para korban. Penegakan hak asasi manusia telah kehilangan momentum.

Beberapa waktu lalu, ide untuk mendirikan KKR muncul kembali. Ide ini muncul dari pemerintah melalui Departemen Hukum dan HAM dengan menyusun Rancangan Undang-Undang KKR versi pemerintah. Proses perumusan RUU ini masih dalam tahap diskusi dan konsultasi dengan berbagai pihak. Ini merupakan babak awal dalam proses pembentukan undang-undang. Masih banyak lubang atau kelemahan dalam RUU ini yang perlu mendapat komentar atau masukan, terutama dari korban selaku pemangku kepentingan utama dalam proses pengungkapan kebenaran.

Kita tentu berharap adanya pelibatan publik (terutama korban) secara luas dalam proses perumusan RUU KKR dan pembentukan UU KKR. Lahirnya RUU dari berbagai versi juga diharapkan dalam proses ini, agar tidak ada lubang atau kelemahan yang dapat dijadikan celah untuk (kembali) membatalkan UU KKR. Di tengah pupusnya harapan banyak korban, RUU KKR kembali menerbitkan secercah harapan bagi korban akan lahirnya keadilan dan terciptanya proses pengungkapan kebenaran.

Sebagai negara yang pernah berada dalam cengkraman rezim otoriter, KKR atau apapun namanya, adalah lembaga yang sangat penting dan mendesak bagi Indonesia. Banyaknya kejahatan HAM pada rezim otoriter Orde Baru adalah beban tersendiri bagi pemerintahan selanjutnya. Bangsa Indonesia pun tidak mungkin “menggendong” beban masa lalu yang begitu berat. Lembaga peradilan konvensional yang ada tidaklah mungkin menyelenggarakan peradilan untuk kasus-kasus masa lalu yang memiliki skala kekerasan yang begitu luas, kompleksitas persoalan yang sangat tinggi, melibatkan banyak orang (pelaku dan korban), melibatkan berbagai institusi (sipil dan militer).

Kemendesakkan yang lain adalah (mumpung) masih banyak pelaku, korban dan saksi kejahatan masa lalu yang masih hidup. Pelaku, korban dan saksi adalah pilar utama dalam proses pengungkapan kebenaran. Bayangkan jika KKR dibentuk ketika sebagian besar (atau semua) pelaku, korban dan saksi telah meninggal dunia. Siapa yang akan mengungkap kebenaran masa lalu?

Semoga RUU KKR ini sungguh menjadi fajar harapan baru, bukan fatamorgana keadilan bagi korban. Sehingga peringatan 61 tahun penandatanganan Deklarasi Univrsal Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Rights) Perserikatan Bangsa-Bangsa sungguh memiliki arti penting bagi bangsa ini. Sebab hakekat peringatan adalah untuk mengingatkan kembali komitmen awal kita untuk melindungi dan menghormati hak asasi manusia, tidak semata-mata ‘upacara’ HAM.


* Penulis adalah Advokat, bekerja pada Institut Sejarah Sosial Indonesia (ISSI), sekaligus anggota Forum Belajar Bersama Prakarsa Rakyat dari Simpul Jabodetabek.

** Siapa saja dipersilahkan mengutip, menggandakan, menyebarluaskan sebagian atau seluruh materi yang termuat dalam portal ini selama untuk kajian dan mendukung gerakan rakyat. Untuk keperluan komersial pengguna harus mendapatkan ijin tertulis dari pengelola portal Prakarsa Rakyat. Setiap pengutipan, penggandaan dan penyebarluasan sebagian atau seluruh materi harus mencantumkan sumber (portal Prakarsa Rakyat atau www.prakarsa-rakyat.org).

Oleh Benget Silitonga *

Setiap tanggal 10 Desember diperingati sebagai Hari Hak Asasi Manusia (HAM) di seluruh dunia. Peringatan tersebut didasarkan pada sejarah kelahiran Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia (DUHAM) yang ditetapkan PBB, 10 Desember 1948. Lazimnya, secara teoritik empirik, perkembangan demokratisasi biasanya akan berjalan linear dengan pemajuan dan perlindungan HAM. Dalam konteks itu, sangatlah relevan untuk menilai kondisi HAM di Indonesia pasca satu dasawarsa demokratisasi. Membaik ataukah memburukkah?

Bagi kalangan liberalis fungsional kondisi pemajuan dan perlindungan HAM tentu akan dinilai dengan positif. Bagi mereka situasi dan kondisi HAM di Indonesia semakin hari semakin membaik. Mereka akan merujuk pada indikator semakin menguat dan banyaknya institusi HAM yang lahir pasca reformasi 1998. Ambil contoh KOMNAS HAM yang dahulu di era Suharto dibentuk hanya bermodalkan Kepres 50/1993 kini telah punya dasar hukum kuat UU 39/1999 tentang HAM dan telah memiliki kewenangan melakukan penyelidikan pelanggaran HAM berat. Kini juga telah ada KOMNAS Perempuan dan KOMNAS Anak. Bahkan pemerintah juga telah memiliki RANHAM (Rencana Aksi Nasional HAM).

Selain perkembangan institusional, secara konstitusional HAM juga mengalami kemajuan pesat. Konstitusi UUD 1945 hasil empat kali amandemen misalnya telah mengadopsi beberapa ketentuan HAM Universal yang diatur dalam Bab XA pasal 28A-28J. Indonesia juga telah meratifikasi dua prinsip vital dari DUHAM yakni kovenan Hak Sipil dan Politik (Sipol) lewat UU No 12/2005, dan kovenan Hak Ekonomi Sosial Budaya (Ekosob) lewat UU No.11/2005.

Belum cukup di situ, kalangan liberalis juga akan bangga menarasikan bahwa di ranah internasional, Indonesia juga memainkan peranan penting. Indonesia misalnya ’berhasil’ menjadi Ketua Komisi HAM PBB (sebelum dirubah menjadi Dewan HAM), dan terakhir menjadi anggota Dewan HAM PBB. Dua prestise dan reputasi internasional yang tak semua negara lain bisa meraihnya. Mereka juga akan berteriak lantang bahwa wacana HAM juga semakin meluas yang dibuktikan dengan diakomodasinya HAM dalam kurikulum pendidikan kepolisian, tentara, dan tumbuh suburnya pusat-pusat studi HAM di berbagai perguruan tinggi.

Tidak berdampak

Masalahnya, perkembangan institusional dan konstitusional seperti yang disebut di atas sepertinya tidak berdampak langsung kepada semakin membaiknya kualitas HAM rakyat Indonesia (baca: citizen rights). Fakta di lapangan menunjukkan bahwa secara umum kondisi hak asasi manusia masih cukup mengenaskan. Terbengkalainya pemulihan hak para korban pelanggaran HAM di masa lalu (Tragedi 65, Tragedi Talangsari Lampung, Tragedi Timor Leste, Tragedi Trisakti, Tragedi Kerusuhan dan Perkosaan massal Mei 1998, dan Tragedi Semanggi), serta masih gelapnya kasus Pembunuhan Munir membuktikan hal itu. Di sisi lain jumlah kekerasan, penyiksaan, dan kriminalisasi (pelanggaran hak sipol) yang dialami masyarakat yang memperjuangkan haknya juga tak makin surut (baik itu dilakukan aktor keamanan resmi maupun kelompok paramiliter).

Celakanya, alih-alih dihentikan, berbagai pelanggaran HAM tersebut justru diabiarkan oleh kekuasaan yang memerintah. Dengan kata lain pemerintah telah melakukan praktek pelanggaran HAM by ommision (pembiaran) Hal tersebut khususnya banyak terjadi di tingkat lokal. Masyarakat (baik itu petani dan masyarakat adat) yang memperjuangkan hak atas tanahnya, dan itu dijamin oleh konstitusi, acapkali justru dikriminalisasi oleh aparat keamanan yang seharusnya melindungi dan mengayomi mereka. Malah ada beberapa kasus penyiksaan dan penghilangan nyawa korban namun kasusnya diproses dengan prosedur dn mekanisme hukum yang tertutup dan tidak adil (di Sumut misalnya adalah kasus kematian Adi SH yang sampai saat ini pelakunya belum terungkap, padahal kepolisian punya cukup bukti untuk mengungkap kasus ini).

Akses rakyat terhadap kesehatan, pekerjaan, pangan, dan pendidikan berkualitas, yang merupakan hak ekosob terpenting, juga tidak semakin membaik. Jumlah penganguran dan kemiskinan tetap tinggi. Sementara akses terhadap pendidikan dan kesehatan juga tetap buruk. Di lain pihak regulasi yang menjamin dan melindungi HAM juga tidak makin tumbuh. Malah sebaliknya regulasi yang mengancam HAM justru bermunculan, salah satu diantaranya yang paling kontroversial adalah lahirnya UU 25/2007 tentang Penanaman Modal yang berpotensi semakin meminggirkan ’kedaulatan rakyat’ dan memberi jalan bebas hambatan bagi neoliberalisme mencengkeram isi perut tanah air Indonesia.

Dikotomi HAM dengan Demokrasi

Paradoks dan kontradiski di atas tentunya ironis sehingga menarik untuk dikaji lebih mendalam. Sebab, seperti sudah disinggung di awal tulisan ini, demokratisasi idealnya akan semakin memperbaiki kualitas HAM. Iklim demokrasi yang tumbuh biasanya berjalan linear dan berbanding lurus dengan penegakan dan penghormatan terhadap HAM. Dengan kata lain demokrasi dan HAM seharusnya saling melengkapi (komplementer) dan menjadi satu kesatuan yang terintegrasi. Keduanya seharusnya menjadi kerangka yang fungsional untuk mengatasi problem dan mengartikulasikan aspirasi rakyat. Itulah aksioma yang lazim terjadi di berbagai negara lain. Namun, untuk Indonesia aksioma tersebut sepertinya tidak berlaku. Lalu apa yang salah dengan proses penegakan dan perlindungan HAM di negeri ini?

Akar masalahnya bisa ditelusuri pada progress HAM yang terpisah dengan demokratisasi (proses politik dan hukum). Perkembangan HAM yang terlihat ’luar biasa’ ternyata terpisah dengan proses demokratisasi. HAM berkembang di ruang yang terpisah dengan demokrasi. Singkatnya politik tidak saling berkorelasi dan saling melengkapi dengan HAM. Implikasi dari keterpisahan ini mengakibatkan proses politik dan progress HAM menjadi sesuatu yang cenderung dikotomis daripada sinergis. Keduanya memang berlangsung kolosal namun tidak berdampak apapun bagi rakyat. Seperti yang telah disinggung di atas, rakyat tidak merasakan apapun dari demokratisasi dan perkembangan instrumental HAM.

Bila dilacak lebih jauh, dikotomi demokrasi dengan HAM adalah buah dari sistem dan struktur politik yang belum mengalami dekonstruksi (bongkar-bangun). Transisi demokrasi memang berlangsung luar biasa, baik lewat liberalisasi politik maupun pembentukan lembaga extra judicial, seperti KPK dan KY. Namun upaya itu nyatanya hanya mampu memoles, atau me-make-up, wajah politik dan hukum. Transisi demokrasi belum berhasil membongkar relasi politik dan hukum yang tidak adil dan tidak ramah HAM, serta membangunnya kembali menjadi lebih egaliter.

Demokrasi Opera Sabun

Transisi demokratisasi minus dekonstruksi politik menyababkan demokratisasi berjalan tanpa berbasis kepada kepentingan publik (HAM). Demokratisasi yang berlangsung justru berbasis pada prosedural dan parokial (elitis). Proses politik dan hukum yang sepintas demokratis, bila dilacak lebih jauh ternyata adalah proses demokrasi oligarkis. Proses politik dan hukum dagang sapi yang didominasi retorika dan bualan elit dan transaksi jual-beli. Proses politik dan hukum yang berlangsung tanpa rasa keadilan. Proses politik dan hukum yang serba formalistik yang mengacu kepada kertas dan mengabdi kepada ritual legal.

Kisah tragedi ’cicak, buaya dan godzilla’ yang baru mengemuka di panggung politik dan hukum kita membuktikan hal tersebut. Tragedi tersebut menunjukkan betapa makelar dan cukong (politik, hukum, dan ekonomi) justru lebih berdaulat dalam proses politik dan hukum kita, dibandingkan rakyat. Tak berlebihan bila menyebut bahwa proses politik dan hukum yang kini berlangsung di republik gemah ripah loh jinawi ini tak lebih dari sekedar pentas demokrasi opera sabun.

Demokratisasi memang mempertontonkan adegan yang membuat penononton (baca: publik) terkesima, terhibur, dan bahkan emosional. Namun sejatinya adegan itu hanyalah sebuah lelucon dan ’hiburan’ sesaat yang tak memberi masyarakat manfaat apapun. Pentas demokrasi omong kosong yang didominasi bandit dan elit yang tak pernah berikhtiar untuk mensejahterakan rakyat, apalagi menegakkan, melindungi, dan menghormati HAM.

Alih-alih memikirkan rakyat yang harus memakan tiwul dan nasi aking, mereka justru hanya memikirkan kantong, perut, dan popularitas. Jangan heran kalkulasi mereka jauh dari kalkulasi rakyat. Value (nilai), kepentingan, dan power (kekuasaan) mereka jauh dari penderitaan dan kesengsaraan rakyat. Bagi mereka urusan rakyat terlampau ribet dan tak penting. Bagi mereka persoalan HAM tak lebih dari sekedar persoalan teknis prosedural, berupa penyediaan sarana dan institusi formalistik semata, seperti yang telah disebut di atas.

Demokrasi, atau politik dan hukum, opera sabun adalah problem terbesar dan mendasar dalam upaya penegakan dan perlindungan HAM di negeri ini. Dan itu adalah buah dari politik dan HAM yang terdistorsi. Bila keterpisahan ini tak segera diatasi, jangan heran demokrasi dan HAM akan menjadi mitos bagi republik ini. Acap diwacanakan, dikampanyekan, dan diagungkan namun tak pernah konkrit mengatasi problem masyarakat. Jutaan regulasi dan instrumen yang dilahirkan, puluhan ratifikasi, dan ratusan halaman kurikulum HAM yang diajarkan di institui tentara, polisi, dan perguruan tinggi akan menjadi ‘macan kertas’di tengah demokrasi opera sabun.

Demokrasi berbasis HAM

Upaya menjadikan demokrasi (baca: politik) berbasis HAM tentu saja tidak mudah. Dibutuhkan personal dan organsiasi independen yang konsisten memperjuangkan dan mempromosikan demokrasi berbasis HAM. Di tengah kemandulan parpol dan negara yang powerless, harapan untuk mengintegrasikan demokrasi berbasis HAM sesungguhnya hanya ada tersisa di pundak organsiasi masyarakat sipil. Itu artinya aktivis masyarakat sipil pegiat dan penegak HAM harus mampu bekerja lebih kreatif dan inovatif untuk melakukan dua hal yang urgent. Pertama, secara cultural, membumikan gagasan HAM kepada masyarakat lapis bawah. Mereka harus mengubah cara dan metode untuk mengideologisasi HAM, sehingga disadari dan diperjuangkan rakyat sebagai bagian dari marwah, harkat, dan martabatnya (citizen rights). Hal ini penting karena selama ini isu dan gagasan HAM amat elitis dan terasing dengan rakyat di grass root. Kedua, aktor dan organsiasi masyarakat sipil harus mampu menekan dan mendorong politik agar semakin berbasis kepada HAM (struktural). Dengan kata lain, para aktivis masyarakat sipil harus mempolitisasi HAM secara horisontal kepada rakyat, dan secara vertikal kepada politisi dan institusi politik formal. Hanya dengan melakukan pendekatan kultural dan struktural tersebut secara konsisten, demokrasi yang beradab dan penegakan HAM sebagai hak kodrati manusia, bisa terwujud!


* Penulis adalah Sekretaris Eksekutif Perhimpunan BAKUMSU. Anggota Kelompok Kerja Jaringan Demokrasi (KKJD) Sumut.

** Siapa saja dipersilahkan mengutip, menggandakan, menyebarluaskan sebagian atau seluruh materi yang termuat dalam portal ini selama untuk kajian dan mendukung gerakan rakyat. Untuk keperluan komersial pengguna harus mendapatkan ijin tertulis dari pengelola portal Prakarsa Rakyat. Setiap pengutipan, penggandaan dan penyebarluasan sebagian atau seluruh materi harus mencantumkan sumber (portal Prakarsa Rakyat atau www.prakarsa-rakyat.org).

;;