Oleh : Sapto Raharjanto*


Pada tanggal 10 November 2011 terjadi penembakan petani oleh aparat Brimob di Kabupaten Mesuji yang memakan korban 1 orang meninggal dunia atas nama Zaelani (45) warga Desa Kagungan yang meninggal dunia di tempat karena luka tembak di kepala, selain itu ada 7 orang korban penembakan yang menderita luka tembak.

Adapun latar belakang konflik yang terjadi di Kabupaten Mesuji ini terjadi ketika PT Barat Selatan Makmur Investindo (BSMI) mengajukan perolehan izin lokasi seluas 10.000 Ha kebun Inti dan 7.000 Ha kebun plasma yang terletak di Desa Kagungan Dalam, Sri Tanjung dan Nipah Kuning, Kecamatan Mesuji kepada Kantor Pertanahan Kabupaten Lampung Utara. Dalam surat Nomor 0007/BSMI/10/94. PT BSMI juga mendapat izin lokasi dari Bupati Lampung Utara melalui surat bernomor : PLU.22/460-L/94. atas lahan seluas 10000 ha (inti) dan 7000 ha (plasma). Dan untuk memperoleh lahan tersebut, PT BSMI diminta membeli lahan petani dengan harga Rp. 150.000 per hektar.

Akar permasalahan konflik ini sendiri terjadi dikarenakan masyarakat merasa tidak pernah dilibatkan dalam perundingan untuk menentukan nilai harga tanah, serta masyarakat tidak pernah dilibatkan dalam pengukuran areal tanah, sehingga pada tahun 1996 masyarakat mengadu ke Komnas HAM atas ketidakadilan yang mereka alami, dan dalam situasi yang masih panas dikarenakan adanya konflik tersebut Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) RI memberikan Hak Guna Usaha (HGU) kepada PT BSMI atas lahan seluas 9.513.0454 Ha yang tertuang dalam SK No: 43/HGU/BPN/97.

Terkait dengan permasalahan insiden pembantaian petani di Kabupaten Mesuji pada tanggal 10 November 2011, ada beberapa hal yang bisa menjadi catatan kita mengenai bagaimana tragedi ini bisa terjadi.

BPN sebagai lembaga negara yang berfungsi sebagai lembaga administratif di bidang pertanahan yang memiliki hak untuk menerbitkan HGU, tidak pernah memperhatikan aspek kesejarahan dan hanya memiliki satu perspektif yaitu dari perspektif perusahaan dan sama sekali tidak memperhatikan aspirasi dari warga masyarakat. Hal ini bisa dibuktikan dengan terbitnya SK HGU yang diberikan kepada PT BSMI atas lahan seluas 9.513.0454 Ha melalui Surat Keputusan Nomor: 43/HGU/BPN/97 yang ditandatangani oleh Menteri Negara Agraria/Kepala BPN. SK HGU ini terbit ketika konflik pembebasan lahan yang disebabkan oleh permasalahan penentuan nilai harga tanah masih belum selesai dan masyarakat sama sekali tidak dilibatkan di dalam proses pengukuran areal lahan tanah. Pada saat itu masyarakat yang tidak puas akan hal ini mengadukan permasalahan yang mereka hadapi kepada Komnas HAM. Sehingga yang patut menjadi pertanyaan bagi kita ialah bagaimana proses keluarnya SK HGU pada waktu itu?

Di satu sisi Pemerintah Kabupaten Tulang Bawang sendiri telah memfasilitasi adanya pertemuan antara warga masyarakat dengan PT BSMI untuk mencari solusi terbaik dari permasalahan ini, namun pihak perusahaan tidak memiliki niat untuk bisa bersama-sama mencari solusi atas permasalahan ini. Pemkab Tulang Bawang sendiri melalui surat No. 130/1124/I.01/TB/2007 telah memberi peringatan kepada PT. BSMI agar tidak melakukan pengelolaan lahan yang disengketakan warga Desa Sri Tanjung, Kagungan Dalam dan Nipah Kuning, serta meminta untuk melakukan pengukuran ulang sebagaimana yang dituntut oleh warga, namun kembali lagi hal ini tidak pernah digubris oleh pihak PT BSMI.

Dalam penyelesaian kasus sengketa agraria, negara selalu menggunakan pendekatan keamanan/militeristik, seperti dalam kasus tragedi Mesuji ini. Terdapat indikasi adanya keterlibatan dari aparat keamanan yaitu TNI dan Polri yang melakukan kejahatan kemanusiaan terhadap masyarakat sipil. Selama ini negara tidak memperhatikan aspek kesejarahan dan sosial, selalu saja masyarakat yang diperspektifkan sebagai pelanggar hukum ketika mereka menuntut hak tanpa sekalipun melihat berbagai permasalahan ketika proses terbitnya HGU tersebut berlangsung. Dalam kasus pembantaian masyarakat di Mesuji, keberadaan Brimob dan Marinir patut kita pertanyakan, karena apabila memang ada bantuan pengamanan tetapi hanyalah bantuan pengamanan yang pasif sifatnya, tetapi yang terjadi di Mesuji adalah penembakan dan penyerangan aparat keamanan terhadap warga masyarakat yang menuntut haknya.

Perspektif ini juga sangat terlihat dengan ditandatanganinya kesepakatan bersama No 3/SKB/BPN/2007 antara BPN dengan Kepolisian Negara Republik Indonesia tentang Penanganan Masalah Pertanahan dimana dalam BAB III Pasal 4 ayat 1 menyebutkan bahwasannya pihak pertama (dalam hal ini BPN) dalam rangka pengembangan sistem pengamanan swakarsa bisa membentuk sebuah sistem pengamanan swakarsa. Pada akhirnya pengamanan swakarsa ini justru menimbulkan permasalahan baru karena hanya berfungsi sebagai kepanjangan tangan dari pihak perusahaan dan banyak merugikan pihak masyarakat. Dalam tragedi Mesuji ini pengamanan pengamanan swakarsa diindikasikan melakukan tindakan pembantaian di luar batas prikemanusiaan dengan melakukan penyembelihan terhadap warga masyarakat.

Dari beberapa uraian di atas dapat kita tarik benang merah bahwa alat-alat negara seperti BPN, TNI dan Polri masih memiliki perspektif tunggal yaitu hanya dari perspektif pengusaha, selain itu, apabila ditinjau dari perspektif hukum selalu menempatkan masyarakat pada posisi yang salah dan melanggar hukum sehingga banyak masyarakat yang menuntut hak atas kepemilikan tanah, justru dikriminalisasikan.

 
* Penulis adalah Peneliti Centre Of Local Economy and Politics Studies-Jember, sekaligus Anggota Forum Belajar Bersama Prakarsa Rakyat dari Simpul Jawa Timur.

** Siapa saja dipersilahkan mengutip, menggandakan, menyebarluaskan sebagian atau seluruh materi yang termuat dalam portal ini selama untuk kajian dan mendukung gerakan rakyat. Untuk keperluan komersial pengguna harus mendapatkan ijin tertulis dari pengelola portal Prakarsa Rakyat. Setiap pengutipan, penggandaan dan penyebarluasan sebagian atau seluruh materi harus mencantumkan sumber (portal Prakarsa Rakyat atau www.prakarsa-rakyat.org).


Oleh : Musrianto*

Setiap warga Negara berhak mendapatkan pendidikan.
Setiap warga Negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya.

Menilik dari kalimat tersebut, tentunya merupakan sebuah amanat konstitusi tertinggi di Republik Indonesia sebagaimana termaktub di Pasal 31 ayat 1 dan 2 UUD 1945. Dari kutipan kalimat tersebut pun, baik calon orang tua siswa maupun calon siswa sepertinya dapat bernafas dengan lega dan bebas dari beban biaya yang kerap kali mengganggu pikiran. Namun pertanyaannya kemudian adalah, apakah amanat tersebut benar-benar dijalankan dan dapat dinikmati oleh seluruh warga Negara Indonesia?

Setiap memasuki tahun ajaran baru sekolah, perhatian dan energi orang tua siswa benar-benar terkuras. Bagaimana tidak terkuras habis energinya bila setiap orang tua siswa berusaha memperjuangkan anak-anaknya dapat mendapatkan pendidikan sebaik mungkin dan “gratis.” Namun ternyata untuk mendapatkan pendidikan “gratis” tersebut, tidak semudah dengan yang dibayangkan dan mungkin saja bisa tidak sesuai dengan yang diharapkan.

Untuk mendapatkan pendidikan secara gratis dari pemerintah pusat atau daerah yang disediakan di sekolah-sekolah negeri, orang tua siswa dan siswa harus melalui proses kompetisi yang cukup ketat persaingannya. Persaingan yang ketat dimaksudkan adalah jika seorang siswa yang baru lulus dari Sekolah Dasar (SD) hendak melanjutkan ke Sekolah Menengah Pertama Negeri (SMPN), harus memiliki Nilai Total Surat Keterangan Hasil Ujian Akhir Sekolah Berstandar Nasional (SKHUASBN) yang cukup tinggi. Karena jika seorang siswa lulusan SD memiliki Nilai Total SKHUASBN rendah, maka harapan untuk bisa mendapatkan SMPN dan menikmati pendidikan “gratis” dari pemerintah menjadi sangat kecil kemungkinannya.

Mengapa demikian? Karena sistem yang diterapkan oleh masing-masing pemerintahan daerah bisa jadi berbeda-beda. Sebagai contoh, misalkan untuk wilayah DKI Jakarta yang telah menerapkan sistem seleksi otomatis oleh komputer. Maka sebagaimana telah disampaikan di atas, bagi calon siswa yang nilai SKHUASBN-nya rendah akan tergeser dengan sendirinya oleh calon siswa yang mendaftar dengan nilai tinggi. Tahun ini jumlah lulusan Sekolah Dasar di DKI Jakarta mencapai sekitar 129.881 siswa, sementara untuk daya tampung SMPN yang ada di DKI Jakarta hanya mampu menampung sebanyak 54.386 siswa. Artinya masih tersisa puluhan ribu siswa lulusan SD di DKI Jakarta yang tidak akan tertampung di SMPN DKI Jakarta, lantas kemanakah siswa lulusan SD yang tidak tertampung tersebut akan melanjutkan jenjang pendidikannya? Jika kita pertanyakan kepada pemerintah daerah (DKI Jakarta) tentu jawabannya ada, seperti memilih SMPN terbuka, madrasah tsanawiyah, pendidikan kesetaraan, atau SMP swasta.

Bagi orang tua siswa yang memiliki penghasilan besar atau ekonominya berkecukupan, mungkin tidak akan mengalami kendala keuangan untuk mendaftarkan anaknya ke sekolah swasta atau di luar sekolah negeri. Tapi bagaimana kemudian dengan calon orang tua siswa yang penghasilan rendah atau minimum seperti buruh, serta rakyat miskin kota lainnya. Biaya yang dibutuhkan untuk ke sekolah swasta atau sejenisnya tidaklah sedikit, mulai dari uang formulir, uang pangkal, uang sekolah, uang seragam/kaos olah raga, uang pendidikan dan uang ekstrakurikuler. Apakah hal ini pun diperhitungkan oleh pemerintah dan dana sebesar 20% dari APBN dapat memenuhi biaya kebutuhan pendidikan? Apakah pemerintah pusat, daerah serta pejabat-pejabat lembaga negara lainnya memperhatikan dan mengambil sebuah kebijakan yang dapat melepaskan rakyat miskin dari beban untuk tetap dapat menikmati pendidikan?

Benar bahwa telah ada sebuah produk hukum mengenai Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN), yang kemudian Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) telah mengesahkan Rancangan Undang-Undang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial menjadi Undang-Undang BPJS. Namun, bisa kita lihat bersama bahwa tidak ada satu pasal pun dalam kedua undang-undang tersebut yang menyebutkan bahwa adanya pemberian jaminan sosial pendidikan bagi anak buruh. Sementara, kaum buruh wajib mengiur. Seyogyanya, Jaminan Sosial Nasional mencakup perlindungan seluruh aspek kebutuhan hidup manusia. Tidak sebatas kepada kesehatan, kecelakaan kerja, kematian, hari tua dan pensiun. Namun juga, mencakup aspek pendidikan, perumahan dan pengangguran.

Bagi kalangan buruh sendiri, walaupun telah menjadi peserta progam jaminan sosial, untuk pendidikan anak-anaknya belum bisa dinikmati secara merata. Hal ini karena berdasarkan kebijakan internal Direksi PT. Jamsostek sebagai badan penyelanggara yang menentukan adanya peringkat untuk bisa mendapatkan beasiswa. Batasan peringkat adalah 5 besar (untuk anak pengurus serikat buruh yang menjadi peserta) dan 3 besar (untuk anak buruh yang menjadi peserta). Untuk anak buruh yang tidak masuk dalam kategori peringkat maka tidak mendapatkan bantuan biaya pendidikan dari Jamsostek.

Pada peringatan Hari Pendidikan Nasional tahun ini, Jamsostek memberikan beasiswa kepada kepada 11.400 siswa dari empat jenjang pendidikan dari SD, SMP, SMA/SMK dan Perguruan Tinggi, senilai Rp 22 miliar. Tentu, masih banyak anak buruh yang belum mendapatkan pendidikan gratis, bila kita melihat 28 juta buruh yang menjadi peserta Jamsostek.

Jadi penting untuk kalangan buruh untuk memperhatikan haknya yang berada di Jamsostek, kemudian menentukan skala prioritas perjuangan dalam rangka perubahan atas Jaminan Sosial Tenaga Kerja. Perjuangan untuk perubahan akan sangat bermanfaat dan besar faedahnya ketika dapat dirasakan langsung oleh keluarga termasuk untuk anak. Perjuangan perubahan tidak saja sebatas untuk mendapatkan hak jaminan pensiun, namun hak atas jaminan pendidikan untuk anak-anak buruh yang menjadi peserta Jamostek secara merata, tanpa diskriminasi, tanpa pembatasan karena peringkat, merupakan hak dasar dan tidak bisa ditawar-tawar lagi.

Program beasiswa yang sudah berjalan selama ini oleh Jamsostek dapat ditingkatkan lagi agar mencakup ke seluruh pesertanya. Oleh karenanya, Jamsostek wajib mengalokasikan anggaran untuk pemberian beasiswa kepada seluruh anak buruh yang menjadi peserta Jamsostek. Penulis sangat meyakini bahwa dengan pemberian jaminan sosial pendidikan bagi anak-anak buruh sebagai peserta Jamsostek, akan memberikan dampat positif yang besar bagi peningkatan jumlah kepesertaan Jamsostek.

* Penulis adalah Ketua Umum Dewan Pengurus Pusat - Gabungan Serikat Buruh Mandiri, sekaligus Anggota Forum Belajar Bersama Prakarsa Rakyat dari Simpul Jabodetabek.

** Siapa saja dipersilahkan mengutip, menggandakan, menyebarluaskan sebagian atau seluruh materi yang termuat dalam portal ini selama untuk kajian dan mendukung gerakan rakyat. Untuk keperluan komersial pengguna harus mendapatkan ijin tertulis dari pengelola portal Prakarsa Rakyat. Setiap pengutipan, penggandaan dan penyebarluasan sebagian atau seluruh materi harus mencantumkan sumber (portal Prakarsa Rakyat atau www.prakarsa-rakyat.org).


Oleh : Eka Pangulimara Hutajulu*


Hidup adalah pilihan! Mengartikulasi sebuah kehidupan memang dapat dilakukan dalam beragam makna. Ada yang memilih mimpi hidup mapan. Ada pula yang ingin mendedikasikan hidup untuk suatu perubahan sosial. Begitu juga yang dilakukan Sondang. Dia tak pernah membayangkan sebelumnya, kalau kehidupannya akan dikenang sebagai orang pertama yang memilih mengakhiri masa depannya, tepat di ring satu, depan istana presiden.

Membincang ribut-ribut sebab musabab kematian Sondang dileleh api, dari kaca mata agama tentu saja habis perkara! Ketika kehidupan perlu disyukuri dan lain-lain. Terdapat nilai tersendiri, kalau kita menelusuri sejenak saksi-saksi terdekat kegiatan sehari-hari sosok pemuda Sondang, sebelum hembusan nafas terakhir mengudara dari gedung Rumah Sakit Cipto Mangunkusomo (RSCM) sekitar pukul 17.45 sore hari, 10 Desember 2011 lalu.

Bermula ketika menjelang maghrib tiba, 7 Desember 2011. Pemuda setinggi 170-an cm mondar-mandir di sekitaran gerbang Monas. Sondang paham kalau dandanan pakaian yang dikenakannya sama sekali tak menimbukan endusan curiga. Bersepatukan pantofel model boot pemberian kakaknya, celana hitam dan baju biru inilah ciri yang melekat dari detik-detik spektakuler. Fenomenal dan sangat kontroversial, aksi bakar diri Sondang di depan istana negara. Mengharubirukan atmosfir kemanusiaan dan berbagai perjuangan gerakan mahasiswa akhir-akhir ini. Sampai sejumlah komentar elit politik ikut menghiasi pemberitaan sejumlah media. Kapolres Metro Jakarta Pusat Komisaris Besar Angesta Romano Yoyol mengatakan, luka bakar parah sudah 98 persen ketika pertolongan dilakukan. Sekitar tiga menit nyala api menjilati sekujur tubuhnya. Dan segera Sondang dilarikan ke RSCM. Mendengar berita Sondang, Presiden SBY yang baru menginjakkan kaki di Bali langsung memerintahkan upaya penyelamatan diri Sondang. Hingga 9 Desember 2011, kondisi Sondang tetap saja, status quo kritis, kata Direktur Utama RSCM Akmal Taher, upaya penyematan sudah dimaksimalkan.

Apa saja penyemai pemikiran si pemuda? Dari keberanian ekstra ke pilihan aksi bakar dirinya, tentu bukan tanpa sebab. Pasalnya, semasa hidup pemuda berumur 22 tahun ini bergelut di organisasi. Mahasiswa Angkatan 2007 Jurusan Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, bergelar Ketua Himpunan Advokasi Studi Marhaenis Muda untuk Rakyat dan Bangsa Indonesia (Hammurabi) Universitas Bung Karno (UBK), dikenal bergiat dari aksi ke aksi. Demonstrasi Kamisan -tiap hari Kamis- di depan istana kerap dia lakukan, pernah bersama aktivis HAM Suciwati, istri mendiang tokoh HAM Munir menuntut deretan kasus-kasus pelanggaran HAM, di negeri ini. Korban ’65, Trisakti, Semanggi I dan II, kasus penculikan 1998, Tragedi Mei dan juga kasus Munir. Belakangan jadi kesan yang diungkap Suci.

Kini foto-foto Sondang Hutagalung terpampang di mana-mana. Media on line di tanggal 10 hingga 11 Desember 2011 melayangkan iklan berita duka cita, salah satunya. Sejurus ketika lamat-lamat mengamati dari foto si pemuda, wajah Sondang sama sekali tak memberi kesan garang, berambisi, atau air muka yang mudah dilihat orang yang lantas menegatifkan sosok seseorang dari wajahnya. Sebaliknya, kalau penulis ditanya kebenaran pribadi Sondang sebagai anak manis? Cerita berikut ini bisa jadi jawabannya.

Dengan rasa kehilangan ibunda Sondang, Dame Sipahutar sangatlah beralasan. Di rumah Sondang akrab dengan ibunya, suka pijit-pijitan, bercanda dan tertawa bersama. Di hari bergereja, Sondang mengantar ibunya sembari jalan berangkulan. Kesehariannya sebelum meninggalkan rumah, Sondang rajin berdoa bersama ibunya. Anak seorang pengemudi taksi ini memang bisa terlihat dari wajah di foto-foto facebook kawan-kawannya, ataupun banner spanduk aksi-aksi gerakan solidaritas atas kematian Sondang, kalau wajah si Sondang bisa mewakili cerita sisi kepribadiannya di rumah. Bob Crispianza Hutagalung, abang sulungnya, menyatakan kalau adiknya memang anak kesayangan ibunya -sewaktu menunggui Sondang yang sedang menunggu pemindahan dari RSCM ke tempat persemayaman di UBK, 10 Desember 2011 lalu.

Fenomena Aksi

Sejarah dunia baru-baru ini dikejutkan oleh Revolusi Jasmine ialah aksi demonstrasi besar-besaran di Tunisia yang menggulingkan Presiden Zine al-Abidine Ben Ali pada 2010 lalu. Jasmine atau melati yang mendasari nama revolusi tersebut, merupakan bunga nasional di Tunisia. Saat itu, seorang pedagang sayuran berusia 26 tahun bernama Muhammed Bouazizi melakukan aksi bakar diri. Bouazizi melakukan aksi tersebut pada 17 Desember 2010 karena polisi menggaruk dagangannya. Beberapa minggu kemudian Bouazizi menempuh azal, dan dikenang sebagai martir gerakan mahasiswa, pengangguran dan kaum miskin di Tunisia.

Saat itu, para analis Timur Tengah yakin bahwa gerakan sosial di Tunisia itu akan menjalar ke negara-negara Arab lainnya. Sebabnya di kawasan tersebut banyak rakyat yang frustrasi karena membumbungnya harga, kemiskinan, pengangguran, penduduk yang makin padat, dan sistem kekuasaan yang tak menghiraukan itu semua. Benar saja, sejak aksi bakar diri Bouazizi tersebut, aksi bakar diri lainnya juga terjadi di Mesir, Aljazair, dan sejumlah negara Timur Tengah dan Afrika lainnya.

Pada 13 November 1970, di Korea Selatan kawasan Peace Market, Chun Tae-II seorang buruh melakukan aksi bakar diri memrotes eksploitasi kaum buruh, menuntut hari libur di hari Minggu, dan menjalankan aturan perburuhan. Pasca aksi itu, gerakan buruh menggema akbar jadi gerakan perlawanan di Korea Selatan.

Mungkin berbekal pengalaman heroik inilah, Sondang mulai mengarahkan energi pikirannya. Di Indonesia, tak hanya Sondang yang kecewa atas problem ekonomi politik yang tak berpihak pada perubahan nasib rakyat miskin. Buruh diupah murah, Labour Market Flexibility (LMF) dalam bentuk outsourcing dan sistem kerja kontrak, dibarengi PHK massal yang kian terasa. Di desa-desa, petani tak berdaya dengan biaya produksi tani yang meningkat terus. Apalagi sistem korup yang nyaris tak berujung. Dari kasus pajak, Century, lumpur Lapindo, dan sebagainya, merupakan wajah kekinian yang memantulkan efek perlawanan bagi siapa saja yang anti ketidakadilan dan penindasan di republik ini. Riuh rendah gerakan perlawanan rakyat jadi sumbu pengawal gerakan perubahan sistemik yang dinanti-nanti. Berbagai kejumudan, dan alih-alih memperkaya aneka bentuk protes belakangan ini, aksi bakar diri Sondang Hutagalung, boleh jadi menyinari kembali setiap kebuntuan perjuangan yang dihadapi.

Sondang yang menyinari, sudah menunaikan protes tertingginya. Tak banyak pesan yang ditinggalkan sang martir. Pernah sekali tempo, semenjak dua bulan Sondang sempat dikabarkan menghilang, sebuah pesan pendek meluncur ke ponsel Dharma Silalahi di Hammurabi. "Brother, w ti2p HAMmurabi sama lo," demikian bunyi pesan terakhir Sondang pada Jumat, 2 Desember 2011.

Agaknya pesan pendek ini tak cuma untuk Dharma Silalahi, jika lebih luas, pesan terakhir Sondang telah dibaca oleh mungkin saja jutaan pasang mata, dan kepala para aktivis di arena juang. Dan kalau hendak lebih memaknai pesan Sondang Hutagalung peraih gelar Kehormatan Universitas Bung Karno (UBK) ini, lewat aksi bakar dirinya yang berkesadaran politis ini, titipan semangat dan energi perjuangan untuk mengorganisir dan melanjutkan tekad sebulat kesimpulan Sondang, amat ditunggu di waktu-waktu sekarang. Selain itu, tak ada lagi! Selain sebuah ponsel dan tas yang dititipkan ke Putri, tak lain pacar si pemuda. Tak ada yang berlebihan bukan?

* Penulis adalah Pengurus Pusat Konfederasi KASBI, sekaligus Anggota Forum Belajar Bersama Prakarsa Rakyat dari Simpul Jabodetabek.

** Siapa saja dipersilahkan mengutip, menggandakan, menyebarluaskan sebagian atau seluruh materi yang termuat dalam portal ini selama untuk kajian dan mendukung gerakan rakyat. Untuk keperluan komersial pengguna harus mendapatkan ijin tertulis dari pengelola portal Prakarsa Rakyat. Setiap pengutipan, penggandaan dan penyebarluasan sebagian atau seluruh materi harus mencantumkan sumber (portal Prakarsa Rakyat atau www.prakarsa-rakyat.org).

Oleh : Syahrul Sidin *


Konflik agraria dibanyak tempat berimplikasi pada persoalan sosio-yuridis yang berujung pada pelanggaran HAM. Bentrok di Mesuji beberapa waktu lalu yang melahirkan korban lagi-lagi memberikan gambaran terang dampak dari konflik agraria berkepanjangan. Perlahan tapi pasti konflik-konflik agraria menjadi "bom waktu" yang siap meledak setiap saat. Kasus tewasnya Jailani , warga Mesuji menambah panjang potret pelanggaran HAM dalam konflik-konflik agraria.

Mengapa konflik agraria akan menjadi bom waktu? Hal yang harus kita pahami adalah salah satu hal terpenting dalam kehidupan petani adalah akses terhadap tanah sebagai sumber penghidupan. Rakyat khususnya petani membutuhkan tanah-tanah untuk sumber kehidupan dan kelanjutan hidup mereka, sedangkan pihak lain pada umumnya memerlukan tanah-tanah tersebut untuk kegiatan usaha ekonomi dalam skala besar. Monopoli atas tanah inilah yang menjadi bibit lahirnya konflik-konflik agraria.

Di banyak tempat, ekspansi perkebunan- perkebunan besar terutama sawit memerlukan lahan dalam jumlah yang sangat besar dan pengadaannya seringkali “merampas” tanah-tanah rakyat. Data Sawit Watch menunjukan eskalasi konflik agraria di wilayah perkebunan sawit yang terus meningkat setiap tahunnya. Tahun 2010 terjadi sekitar 660 kasus konflik agraria di kawasan perkebunan kelapa sawit, meningkat tajam dari tahun sebelumnya yang hanya berkisar 240 kasus. Pada proses selanjutnya hal yang membuat situasi bertambah rumit dalam konflik agraria yang melibatkan perusahaan ataupun perkebunan swasta dan masyarakat adalah perilaku perusahaan yang seringkali “menyuapi moncong senjata.” Dalam kasus di Mesuji diberitakan polisi terkesan menjadi “centeng perusahaan” meskipun anggapan ini segera disanggah oleh pihak kepolisian.

Pengamat Kepolisian Bambang Widodo Umar beberapa waktu lalu dengan lugas menyatakan bahwa “Polisi jangan jadi centeng, Polisi adalah polisi negara, bukan polisi liberal atau kolonial karenanya negaralah yang harus membiayai.” Sebagai abdi negara, aparat keamanan sebenarnya dilarang menerima atau meminta dana tambahan dari siapapun selain dari negara. Penerimaan dana dari pihak ketiga terlebih dalam situasi konflik tentunya akan mengganggu independensi para penegak hukum. Kondisi inilah mendorong dugaan “kolaborasi” aparat keamanan pada pihak tertentu dalam konflik agraria.

Kerja sama yang rapi antara pemburu rente, perumus kebijakan, ditambah penyalahgunaan wewenang oleh aparat keamanan semakin menyulitkan proses penyelesaian konflik agraria. Akibatnya acap kali masyarakat dikejutkan oleh tindakan-tindakan dan kebijakan-kebijakan yang tidak pro rakyat, dan setiap kali terjadi skandal selalu berupaya keras ditutupi dengan mengunakan istilah “oknum” atau berdalih “it is illegal but not criminal.” Kasus penerimaan dana Freeport dari Polri menunjukkan dengan terang -benderang hal tersebut. Meski Polri berkelit bahwa hal tersebut diatur dalam peraturan tapi secara etik dan hati nuraninya sebagai abdi negara tentunya mereka memahami hal tersebut tentunya tidak layak.

Budaya Hukum Kapitalistik

Fenomena kolaborasi aparat keamanan dan perusahaan-perusahaan besar sesungguhnya adalah implikasi dari penerapan budaya hukum kapitalistik. Budaya hukum kapitalistik yang awalnya muncul di Amerika Serikat telah mendorong cara berhukum yang dicampuradukkan dengan kepentingan bisnis. Marc Galanter menyatakan bahwa pencampuradukan antara bisnis dan hukum tersebut cenderung mementingkan kepentingan orang ”berduit.” Atas nama investasi, itulah nabi-nabinya. Akibatnya muncul slogan “the haves always come out a head.” Akibatnya wajar jika rakyat berpandangan bahwa hukum memang seperti permainan yang sarat dengan kepentingan dan menyusahkan. Semakin kompleksnya persoalan bisnis mengakibatkan beban pemerintah sebagai regulator sekaligus fasilitator semakin meningkat. Terlebih dewasa ini semakin banyak produk perundang-undangan di bidang ekonomi diproduksi atas pesanan para pemilik modal.

Konsekuensi dari intervensi ekonomi dalam pembuatan hukum adalah lahirnya budaya hukum kapitalistik yang berimplikasi pada melemahnya peran negara sebagai pelindung dan pengayom rakyat. Penerapan budaya hukum semacam ini juga membuka peluang berbagai pelanggaran HAM. Konteks ini -budaya hukum kapitalistik- yang sesungguhnya bisa menjelaskan karakter hukum yang tampak congkak dan kejam di mata orang miskin.

Kondisi ini jika dibiarkan terus-menerus tentunya akan melanjutkan berbagai pelanggaran HAM dapat bermuara pada ketidakpercayaan terhadap hukum dan frustrasi sosial. Adagium “Hodie mihi, cras tibi” menjelaskan bahwa ketimpangan atau ketidakadilan yang menyentuh perasaan tetap tersimpan dalam hati nurani rakyat.

Saatnya kita merefleksikan kembali cara berhukum kita, merefleksikan cita-cita negara kita dibentuk dan cita hukum yang sesungguhnya. Institusi-institusi penegak hukum juga perlu berkaca diri dan memiliki keikhlasan untuk mengakui bahwa habitus mereka juga dapat membuat kekeliruan. Ke depan perlu kirannya untuk terus mewujudkan perlindungan yang sama bagi seluruh warga negara dengan mengormati dan melindungi HAM.

* Penulis adalah Sekretaris Jenderal Persatuan Petani Moro-Moro Way Serdang (PPMWS), sekaligus Anggota Forum Belajar Bersama Prakarsa Rakyat dari Simpul Jabodetabek.

** Siapa saja dipersilahkan mengutip, menggandakan, menyebarluaskan sebagian atau seluruh materi yang termuat dalam portal ini selama untuk kajian dan mendukung gerakan rakyat. Untuk keperluan komersial pengguna harus mendapatkan ijin tertulis dari pengelola portal Prakarsa Rakyat. Setiap pengutipan, penggandaan dan penyebarluasan sebagian atau seluruh materi harus mencantumkan sumber (portal Prakarsa Rakyat atau www.prakarsa-rakyat.org).

Oleh : Triyanto*


Sejak beberapa tahun terakhir penggunaan Information dan Communication Technologies (TIK), biasa disebut Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK), bukan hanya menjadi dominasi masyarakat perkotaan yang klaimnya adalah masyarakat terpelajar, seperti beberapa dasawarsa lalu. TIK kini berkembang sedemikian jauhnya menerobos masuk pada wilayah-wilayah kota kecil dan bahkan di pelosok-pelosok pedesaan terpencil sekalipun.

Di pedesaan-pedesaan terutama di wilayah Pulau Jawa kini internet bukan lagi menjadi barang yang terbilang langka. Sekolah-sekolah dan komunitas-komunitas sudah menggunakan teknologi ini untuk memudahkan kegiatan pembelajaran dan media sosialisasi mereka. Kondisi tersebut tentunya dapat dimaklumi mengingat bahwa TIK tidak bisa dilepaskan dari proses globalisasi dan perdagangan global yang dalam konteks ini jasa teknologi dan pengetahuan adalah komoditas utamanya.

Bagi komunitas berbasis pedesaan tentunya hal ini membawa tantangan sekaligus peluang. Untuk yang bisa memanfaatkan dan mendayagunakan, TIK benar-benar bisa memberi banyak kemudahan baik untuk menunjang kerja maupun kegiatan lain. Hal ini disebabkan TIK menyediakan banyak fasilitas yang mudah untuk dipelajari serta tidak memerlukan biaya mahal untuk mengaksesnya.

Akan tetapi bagi yang mengenalnya hanya sekedar sebagai penunjang gaya hidup maka TIK akan dengan mudah menjebak mereka masuk ke dalam perangkap dan jebakan-jebakannya. Pada wilayah pedesaan hal ini terjadi pada anak-anak muda yang sebagian besar dari mereka memiliki ketergantungan pada teknologi (telepon genggam dan internet), akan tetapi tidak memiliki pengetahuan untuk mendayagunakannya.

Akibat dari hal ini tentunya menjadikan mereka sangat konsumtif. Gaya hidup ala dunia hiburan dan pornografi adalah konsumsi yang paling banyak mereka akses mengingat pesan yang mereka terima melalui berbagai media selama ini hanya seputar hal tersebut.

Di lain pihak, kalangan orang tua pedesaan kebanyakan masih sedemikian menutup diri dari teknologi informasi karena ketakutan dengan dampak global dan budaya negatif yang citranya memang selalu melekat pada TIK ini.

Namun demikian dari kesemuanya itu sebaiknya pola pikir yang alergi dan antipati terhadap TIK sebaiknya segera ditinggalkan karena memang pada dasarnya akan sangat sulit untuk membendung arus globalisasi yang sudah sedemikian kuat mencengkeram segala sektor kehidupan di negeri ini.

Barangkali yang sebaiknya dilakukan adalah mengupayakan satu cara supaya TIK ini bisa makin banyak yang mengenal, memanfaatkan, menguasai dan bahkan mengembangkan teknologi itu sendiri agar sesuai (tepat guna) dan bermanfaat untuk menunjang kegiatan di komunitasnya.

Hal tersebut menjadi sangat penting dilakukan oleh komunitas-komunitas di pedesaan mengingat bahwa sebuah komunitas tentunya memiliki tujuan untuk berinteraksi secara luas dengan komunitas lain maupun mengkampanyekan tujuan dan visi dari sebuah organisasi.

Pada situasi tersebutlah peran TIK menjadi penting sebagai media alternatif karena pada wilayah media konvensional dan arus utama, ruangnya semakin menyempit untuk mengakomodir suara rakyat.

Namun demikian untuk menjadikan TIK sebagai sesuatu yang bermanfaat terutama bagi komunitas tentunya bukan tanpa prasyarat. Ada beberapa prasyarat supaya adopsi TIK ini benar-benar menjadi bermanfaat terutama untuk komunitas.

Salah satu prasyaratnya adalah pendidikan. Pendidikan yang dimaksudkan bukan sekedar pendidikan teknis belajar komputer namun pendidikan untuk mendayagunakan TIK misalnya pendidikan menulis, membuat blog dan lain sebagainya yang tentunya disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing pada setiap komunitas yang terkait teknologi. Pendidikan TIK di komunitas ini memungkinkan terjadinya transformasi pengetahuan terutama bagaimana menggunakannya secara efektif.

Ketika prasyarat tersebut di atas terpenuhi maka kita akan dengan mudah merasakan manfaat TIK bagi komunitas terutama di pedesaan. Cobalah rasakan manfaatnya jika penduduk desa dapat mencari informasi terbaru mengenai benih padi unggul, bibit unggul tanaman budidaya lainnya atau komoditas hortikultura unggulan. Begitu juga dengan para peternak yang dapat mengetahui tentang primadona produk unggulan peternakan. Membuat jaringan pemasaran dan lain sebagainya. Tentunya akan bisa meningkatkan taraf hidup masyarakat pedesaan.

Hal selanjutnya yang menjadi sangat penting juga dilakukan adalah sejauh mungkin mengantisipasi ketergantungan terhadap produk TIK tertentu, tapi mencoba membuat inovasi-inovasi serta mencari alternatif lain. Hal ini berkaitan dengan posisi organisasi masyarakat sipil terkait teknologi yang masih bersifat memanfaatkan dan menjadi pengguna. Jika organisasi masyarakat sipil masih menggunakan teknologi tanpa sebuah inovasi, maka organisasi masyarakat sipil akan dengan mudah tergerus oleh jaman. Hanya sebagai pemakai yang pasif dan lagi-lagi akan tergantung pada produk perusahaan tertentu.


* Penulis adalah salah satu pendiri dan pegiat Community Technology Centre (CTC) Basecampnet, Desa Babakan-Cirebon Timur, sekaligus Anggota Forum Belajar Bersama Prakarsa Rakyat dari Simpul Jabodetabek.

** Siapa saja dipersilahkan mengutip, menggandakan, menyebarluaskan sebagian atau seluruh materi yang termuat dalam portal ini selama untuk kajian dan mendukung gerakan rakyat. Untuk keperluan komersial pengguna harus mendapatkan ijin tertulis dari pengelola portal Prakarsa Rakyat. Setiap pengutipan, penggandaan dan penyebarluasan sebagian atau seluruh materi harus mencantumkan sumber (portal Prakarsa Rakyat atau www.prakarsa-rakyat.org).

Oleh : Chrisbiantoro*


Sesaat setelah diketahui bahwa pelaku aksi bakar diri identik dengan ciri–ciri Sondang Hutagalung (22), seorang mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Bung Karno (UBK), publik dan para sahabat sangat terpukul atas peristiwa ini.

Peristiwa ini sangat menyentak dan mengagetkan banyak pihak, khususnya bagi kerabat, para sahabat dan para aktivis Hak Asasi Manusia (HAM) yang selama ini dekat dengannya, yakni Himpunan Aksi dan Studi Marhaenis Muda untuk Rakyat dan Bangsa Indonesia (HAMmurabi), serta para aktivis di Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), termasuk para korban dan keluarga korban pelanggaran HAM berat dari beragam kasus, turut hadir dalam prosesi pemakaman untuk memberi penghormatan terakhir pada Alm. Sondang.

Anak muda yang bernama Sondang Hutagalung, yang lahir pada 12 November 1989, mulai berkenalan dengan politik dan isu HAM ketika dia memutuskan bergabung dengan HAMmurabi. Di sinilah awal perkenalan saya dengan dia, karena kebetulan saya salah satu pendiri organisasi ini, 3 tahun yang lalu, sebuah organisasi kecil yang lebih banyak menempa anak muda dari beragam latar belakang untuk memperjuangkan keadilan dengan cara non-kekerasan.

Di mata saya, Sondang bukanlah sosok yang buta politik, karena sebelumnya dia sudah belajar banyak tentang Marhaenisme dan Soekarnoisme di UBK. Dia sosok pengagum Soekarno khususnya tentang pemikiran politik dan kemandirian ekonomi. Selanjutnya, Sondang mulai tumbuh sebagai sosok yang marhaenis dan humanis.

Jalan Buntu

Setelah publik tahu bahwa pelaku identik dengan Sondang, opini mulai berkembang, ada pihak yang menyatakan aksi bakar diri sebagai upaya mencari sensasi, upaya bunuh diri karena masalah keluarga, terkait kampus bahkan putus cinta. Di sisi lain, ada juga yang langsung mengaitkan secara parsial aksi bakar diri ini dengan upaya untuk menggulingkan pemerintahan SBY–Boediono bahkan menuntut pemerintah untuk bertanggung jawab.

Melihat beragam opini seperti itu, tentu saya dan teman–teman yang lebih mengenal dekat sosok Sondang tidak mau gegabah menafsirkan motif aksi bakar diri ini, karena memang tidak ditemukan pesan tertulis sebelumnya.

Sejauh ini keluarga, pacar dan kampus telah menegaskan bahwa tidak ada masalah dengan Sondang, bahkan di kampus, dia adalah seorang mahasiswa yang cerdas dengan IPK 3,7 dan sedang menyusun skripsi. Lalu, apa motif yang sebenarnya di balik aksi bakar diri?

Untuk menjawab soal ini, saya lebih memilih melihat Istana Negara sebagai tempat yang dipilih oleh Sondang adalah mengandung pesan yang sangat kuat apalagi jika direlasikan dengan latar belakang dia sebagai aktivis mahasiswa yang telah bergaul dengan isu HAM, korban pelanggaran HAM dan kebuntuan aspirasi keadilan selama kurang lebih 1,5 tahun.

Beragam cara, gaya, mekanisme dan terobosan sudah kita lakukan untuk menyuarakan penyelesaian kasus pelanggaran HAM, termasuk bersama seorang Sondang, dari aksi demonstrasi, lobi, audiensi, 1000 surat dari korban, 4 tahun Aksi Kamisan bahkan aksi teriak–teriak hingga urat suara parau, namun tidak pernah digubris oleh pemerintah. Bahkan audiensi resmi dengan SBY dan menkopolhukam pernah kita lakukan, namun hasilnya tak kunjung terlihat.

Kami menduga, salah satu yang membuat Sondang terpukul adalah ketika dia bersama para korban dan KontraS ingin menyerahkan 1000 surat dari korban untuk presiden, pada 16 Agustus 2011. Presiden SBY menolak menerima surat itu, bahkan protokoler Istana Negara dengan lantang tidak membolehkan kami mengantarkan surat itu secara langsung. Ini sungguh menyesakkan, karena di sisi lain Presiden SBY justru membalas surat yang dikirimkan oleh tersangka tindak pidana korupsi, Nazaruddin. Akhirnya, kekecewaan demi kekecewaan terus kami terima dalam memperjuangkan HAM di Indonesia.

Sosok Sondang, di mata saya bukan hanya seorang demonstran, dia juga cukup sering terlibat dalam diskusi dengan sesama aktivis, setidaknya tema–tema yang kerap menjadi bahan diskusi adalah reformasi TNI, menyoroti isu regulasi seperti RUU Intelijen Negara, penertiban bisnis militer, penyelesaian kasus pelanggaran HAM hingga pada isu–isu HAM regional di antaranya mendorong demokratisasi di Burma.

Pelopor Perubahan

Sebagai bagian dari keluarga besar KontraS, kami meyakini bahwa Sondang paham betul gerakan non-kekerasan yang selama ini diusung oleh KontraS, termasuk HAMmurabi yang dia pimpin selama 3 bulan terakhir. Maka, jelas kami tidak akan pernah menganjurkan dia untuk membakar dirinya. Andai kata kami tahu, tentu akan kami cegah niat ini, karena bangsa ini masih memerlukan anak–anak muda pemberani seperti Sondang. Anak muda yang cerdas banyak, tapi anak muda yang pemberani dan rela berkorban seperti Sondang, nyaris tidak ada, di tengah maraknya PNS muda yang gemar korupsi belakangan ini.

Namun, kami juga tidak bisa tinggal diam, ketika sahabat kami telah merelakan dirinya terbakar demi sebuah perubahan yang kita idamkan bersama. Negara tidak boleh memandang remeh aksi bakar diri ini, apalagi menilai dengan pandangan negatif. Harus ada koreksi yang sangat serius dari presiden SBY karena pesan kekecewaan yang dibawa oleh Sondang dalam aksinya tidak lain dan tidak bukan dialamatkan pada pemerintah.

Belajar dari sejarah negara lain, aksi bakar diri yang terkait dengan kebuntuan aspirasi dan upaya memperjuangkan keadilan, setidaknya pernah terjadi di Tunisia, ketika Mohamed Bouazizi, membakar dirinya untuk menentang pemerintahan tiran di negaranya. Aksi ini berhasil memantik perlawanan rakyat, hingga menjatuhkan rezim yang berkuasa.

Pun demikian yang terjadi di Korea Selatan, ketika Chun Tae-il memprotes kebijakan WTO yang cenderung menyengsarakan petani. Hal serupa juga terjadi di Tibet, para biksu membakar diri untuk memprotes kebijakan pemerintah Cina yang sangat represif terhadap Tibet.

Pertanyaannya kemudian, apakah situasi HAM dan politik bernegara di Indonesia, sudah separah di Tunisia ataupun di Tibet sehingga memaksa seorang pemuda yang bernama Sondang Hutagalung, membakar dirinya?

Secara normatif, kondisi HAM dan demokrasi di Indonesia tentu lebih baik jika dibandingkan dengan Tunisia dan Tibet. Kita sudah meratifikasi beragam konvensi HAM internasional, kita juga memiliki seperangkat peraturan tentang HAM dan pengadilan HAM, kita memiliki Komnas HAM, KPK dan beragam komisi independen negara yang mendukung proses penegakan HAM. Namun, masalah terbesar adalah, seperangkat aturan dan perlengkapan negara itu tidak berguna sama sekali untuk menjawab dahaga keadilan yang dirasakan oleh para korban pelanggaran HAM dan para pencari keadilan yang selama ini terus-menerus menumpuk kekecewaan mendalam.

Setelah melihat berbagai pertimbangan dan latar belakang Sondang, maka kami tiba pada satu kesimpulan bahwa Sondang mengirim pesan kemanusiaan dan perubahan bagi pemerintah yang berkuasa saat ini. Pesan terakhir setelah beragam pesan sebelumnya, tidak pernah didengar oleh pemerintah. Isu HAM, sepanjang 13 tahun reformasi tidak pernah menjadi kebijakan politik, HAM masih menjadi isu musiman dan bahan intrik untuk memenangi kursi Pemilu di Indonesia.

Kini Sondang, sang pejuang HAM, martir perubahan, sarjana kehormatan dan beragam nama yang diberikan oleh sahabat dan orang-orang yang terwakili aspirasinya oleh Sondang, telah kehilangan dia untuk selamanya. Hari HAM, 10 Desember 2011, pukul 17. 50 WIB, rupanya menjadi hari terakhir dia untuk kembali kepangkuan Tuhan. Bumi pertiwi kembali menangis, rakyat dari berbagai latar belakang berkabung, melepas kepergian sang pemberani.

Paling tidak, bagi kita yang ditinggalkan, janganlah kita lupakan begitu saja pengorbanan seorang Sondang. Sementara untuk pemerintah, jangan remehkan apa yang dilakukan Sondang, karena mereka yang khawatir, mereka yang ketakutan dan mereka yang memandang negatif aksi bakar diri ini tidak lain dan tidak bukan adalah para pelanggar HAM, koruptor dan sahabat penjahat HAM. Lalu, masih ragukah kita dengan pengorbanan Sondang Hutagalung?


* Penulis adalah aktivis KontraS dan Sahabat Sondang Hutagalung, sekaligus Anggota Forum Belajar Bersama Prakarsa Rakyat dari Simpul Jabodetabek.

** Siapa saja dipersilahkan mengutip, menggandakan, menyebarluaskan sebagian atau seluruh materi yang termuat dalam portal ini selama untuk kajian dan mendukung gerakan rakyat. Untuk keperluan komersial pengguna harus mendapatkan ijin tertulis dari pengelola portal Prakarsa Rakyat. Setiap pengutipan, penggandaan dan penyebarluasan sebagian atau seluruh materi harus mencantumkan sumber (portal Prakarsa Rakyat atau www.prakarsa-rakyat.org).

Oleh : Okta Pinanjaya*


Mencoba memotret fenomena tembakau dalam rentang kisahnya bersama kebudayaan manusia, kembali dihadapkan kepada retorika konflik yang tak berujung. Paling tidak sejarah mencatat empat abad retorika konflik tembakau sejak zaman Paus Urban VII hingga Bloomberg yang masih terus berlangsung. Saat ini, pertentangan tersebut tidak lagi terjadi pada wilayah domestik, namun telah menggejala pada penetrasi di tingkat global seiring dengan perkembangan tatanan kuasa moralitas dan kepentingan yang tidak lagi memiliki batas-batas identitas teritorial dan kebudayaan. Sebelumnya, siapa yang peduli ketika King James I membuat manifesto anti-tembakau (Counterblast to Tobacco), sementara koloni-koloni Inggris di benua Amerika menikmati perdagangan komoditas tembakau atau ketika Hitler di era kekuasaan Nazi Jerman mengkampanyekan gerakan anti-tembakau yang berujung pada kebijakan pembatasan tembakau, sementara negara-negara besar lainnya, justru mengawali kebangkitan industri tembakau dunia. Di Indonesia sendiri, hampir tidak ditemukan catatan gerakan anti-tembakau sampai kemudian euforia globalisasi menjadi trend yang harus diikuti.

Gerakan anti-tembakau global mencapai puncak momentumnya ketika, World Health Organization (WHO), yang telah bermetamorfosa menjadi ‘rezim kesehatan’ dunia, yang di belakangnya membawa gerbong-gerbong industri farmasi sebagai alat kapitalisasi kesehatan, menginisiasi Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) sebagai traktat hukum internasional anti-tembakau pada tahun 2003. Dengan mengedepankan rasionalitas isu kesehatan bahwa tembakau adalah suatu gejala epidemik, penyebab utama kematian ataupun meningkatnya penyakit-penyakit berbahaya lainnya (non-communicable disease). Namun dalam perkembangan selanjutnya, tampak secara kasat mata, muncul anomali-anomali yang tidak sejalan dengan ‘ruh’ anti-tembakau itu sendiri. Sehingga perlu kiranya diamati lebih jauh ke belakang pada peristiwa-peristiwa yang terjadi seiring proses berjalannya gerakan anti-tembakau menuju episode globalisasi, untuk memahami dan mendapatkan suatu potret utuh panorama konflik antara 'rezim kesehatan' dan 'rezim tembakau.'

Pada era 1900-an adalah momentum kebangkitan industrialisasi tembakau, khususnya di Amerika dan Eropa yang juga menciptakan hubungan mesra antara industri kesehatan dan industri tembakau. Pada era 30-an, terlihat iklan-iklan produk rokok juga meramaikan jurnal-jurnal ilmiah medis dan kesehatan. Bahkan, slogan-slogan iklan rokok pun tak lepas dari ilustrasi kesehatan, seperti yang dilakukan Lollilard Tobacco di America: "Ask your dentist why Old Golds are better for the teeth." Menuju era Perang Dunia II (PD II) pun, ketika sebaliknya, Jerman oleh kekuasaan Nazi yang pada masa itu juga menjadi pemimpin di pengembangan iptek dan industri kesehatan memberlakukan kebijakan anti-tembakau yang dilandasi oleh rasionalitas ‘ilmiah’ isu kesehatan, tidak juga mempengaruhi atau bahkan menyurutkan gerak laju pertumbuhan industri tembakau di Eropa dan Amerika. Apalagi di Indonesia, yang juga mencapai pada momentum kebangkitan industri kreteknya pada era 30-an. Sedangkan Cina pada tahun 1947, mulai melakukan nasionalisasi industri tembakau ke bawah monopoli negara, sehingga British American Tobacco (BAT) yang saat itu ikut menikmati pasar Cina harus kehilangan potensi bisnisnya.

Sementara pasca-PD II, ketika industri tembakau sedang berada di atas angin, industri farmasi dan kesehatan dunia mencapai tahap konsolidasi besar-besaran yang sebelumnya dominasi iptek dan industri kesehatan serta farmasi dipegang oleh Jerman. Pasca kejatuhan rezim Nazi Jerman, raksasa-raksasa farmasi jerman seperti IG Farben (Bayer), harus ditutup dengan tuduhan kejahatan perang kepada aktor-aktor di dalamnya, yang berujung pada potensi asetnya yang berpindah tangan dalam kekuasaan industri kapitalis Amerika Serikat dan Inggris yang membentuk sebuah sindikasi farmasi internasional yang dikenal dengan ‘The Drug Trusts.’ Apabila ditelusuri lebih jauh, aktor-aktor kekuatan modal yang berada di belakangnya, juga yang menjadi kekuatan modal industri tembakau pasca-Sherman Anti-Trust Act pada tahun 1911 di Amerika Serikat.

Pada era 1960-an, industri tembakau menjadi primadona investasi di pasar modal. Bahkan universitas, rumah sakit, lembaga riset sebagai pondasi dari 'rezim kesehatan' ikut menanamkan uangnya di industri tembakau. Tidak cukup sampai di situ, industri tembakau juga ikut mendukung perkembangan industri kesehatan lewat dana-dana hibah yang digelontorkan kepada lembaga-lembaga riset dan universitas, baik terkait riset tembakau maupun riset-riset lainnya. Pada 7 Februari 1964, American Medical Association (AMA) juga ikut menikmati gelontoran dana dari industri tembakau senilai US$ 10 juta.

Pada era yang sama, Industri farmasi dan kesehatan juga mulai memantapkan pondasi hegemoni ‘rezim kesehatan’ modern sebagai ruh kekuasaan dan pertumbuhan industrinya. Pada 2 November 1963, AMA menginisiasi sebuah kampanye bertajuk ‘The War Against Quackery’ (perang melawan praktek perdukunan/pengobatan alternatif) lewat pembentukan komite perdukunan dalam wadah Coordinating Conference on Health Information (CCHI), yang terdiri dari: American Cancer Society, American Pharmaceutical Association, Arthritis Foundation, Council of Better Business Bureaus, National Health Council, Food and Drug Administration (FDA), Federal Trade Comission (FTC), U.S. Postal Service, Office of Consumer Affairs, U.S., State Attorney Generals’ Office dan Internal Revenue Service.’ Kampanye yang kemudian merubah wajah ‘otoritas kesehatan’ menjadi ‘rezim kesehatan’ yang menempatkan ‘metode pengobatan dan kesehatan modern’ sebagai satu-satunya kebenaran sedangkan ‘metode pengobatan dan kesehatan alami’ adalah bentuk praktek perdukunan yang menyesatkan. Kampanye ini kemudian menyebar ke seluruh dunia dan membentuk sistem pasar yang absolut terhadap ketergantungan masyarakat terhadap sistem layanan medis dan kesehatan modern lewat otoritas profesi dokter sebagai agen pemasaran bagi produk-produk industri farmasi dan kesehatan.

Pada era 80-an, industri tembakau Amerika Serikat mencapai puncaknya dengan pergeseran penguasaan pangsa pasar yang signifikan. Philip Morris yang sebelumnya berada pada urutan di bawah, melaju dengan pesat menyusul para kompetitornya menjadi pemimpin pasar. Lewat kombinasi strategi pemasaran yang progresif dan strategi konsolidasi lewat merger dan akuisisi, Philip Morris bergerak menguasai pangsa pasar Amerika Serikat sebesar 34% pada tahun 1987 meninggalkan RJ Reynolds yang sebelumnya menduduki urutan pertama. Kemudian Philip Morris bergerak mendominasi pasar rokok Amerika Serikat dengan penguasaan pangsa pasar mencapai 43%, berada pada puncak pimpinan diikuti oleh RJ Reynolds sebesar 28% pada tahun 1995. Pada tahap ini, industri tembakau Amerika Serikat pun mengalami stagnasi. Kemudian gerak ekspansi pun beralih pada konsolidasi skala global, untuk tetap mendorong pertumbuhan.

Pada era yang sama, industri farmasi dan kesehatan juga bisa dikatakan mulai mengalami stagnasi. Pertumbuhan industri Farmasi tidak saja diindikasikan pada peningkatan produksi dan penjualan ataupun penguasaan pangsa pasar. Indikator pertumbuhan lain yang bisa digunakan adalah perkembangan teknologi dari riset-riset pengembangan yang menjadi dasar dari strategi diversifikasi produk yang mendorong peningkatan nilai aset ataupun kredibilitas suatu perusahaan farmasi. Sementara momok utama yang dihadapi dunia kesehatan modern dengan munculnya kasus HIV dan kanker yang terus meningkat tidak diikuti dengan perkembangan teknologi farmasi yang signifikan untuk menjawab tantangan tersebut. Sejak lebih dari 100 tahun lalu, ketika Dr. James Ewing mengembangkan teknik radiasi (kemoterapi) di Memorial Hospital, hingga saat ini, perkembangan teknik pengobatan kanker pun tidak mengalami perubahan yang signifikan, tidak pernah jauh dari metode cut, slash and burn. Perkembangan yang terjadi hanya pada prosedur pengobatan yang menyesuaikan kasus-kasus kanker dan komplikasinya yang muncul. Apalagi HIV, yang hingga saat ini, industri farmasi masih terjebak dalam perlombaan untuk menemukan obatnya.

Persamaan momentum tersebut, menjadi suatu faktor kebetulan yang menguntungkan apabila coba dilihat dari kacamata kapitalistik. Frustasi akibat stagnasi pertumbuhan yang dihadapi oleh industri tembakau dan farmasi, memunculkan gejala ‘emerging interest.’ Industri tembakau membutuhkan momentum untuk memperkuat gerakan ekspansi global, sedangkan, Industri farmasi membutuhkan momentum untuk berlindung dari kegagalannya sebagai rezim kesehatan yang ibarat kuasa seorang dewa, mampu menjawab doa manusia yang sedang diselimuti teror kematian. Perang terhadap kanker, yang pernah diinisiasi oleh Amerika di bawah pemerintahan Nixon pada tahun 1970, yang awalnya bergerak ofensif lewat misi penciptaan senjata pamungkas (obat kanker), kemudian berubah dalam gerak defensif. Kebijakan preventif kemudian dikedepankan dengan mencari kambing hitam untuk dijadikan musuh bersama untuk menggerakkan peran publik sebagai militan-militan ‘rezim kesehatan.’

Pada era 90-an, gerakan anti-tembakau mencapai momentumnya untuk memperluas ruang gerak pada tingkat global. Bersama dengan sponsorship yang diberikan oleh industri farmasi pada WHO, skema hukum internasional yang menempatkan tembakau sebagai ‘musuh utama’ bagi kesehatan di dunia yang akhirnya menghasilkan FCTC. Seiring dengan era perdagangan bebas yang menjadi komitmen Washington Consensus pada tahun 1989. World Trade Organization (WTO) dan WHO pun saling mengakomodasi kepentingan masing-masing industri. Sehingga agenda anti-tembakau global tidak boleh mengganggu kepentingan kapitalisme global lewat perdagangan bebas yang menjadi kendaraan industri tembakau global.

Industri tembakau memasang ancang-ancang ekspansi global untuk menghidupkan kembali pertumbuhan industrinya. Konsolidasi besar-besaran pun terjadi, agenda merger dan akuisisi pun marak terjadi di antara kekuatan-kekuatan modal di industri tembakau untuk memperkuat eksistensi pasar tradisionalnya di Amerika dan Eropa sekaligus membangun kapasitas yang lebih besar untuk memperkuat ekspansi globalnya. Di antara Industri kesehatan dan industri tembakau, diawali dengan proyek divestasi tembakau yang dimotori oleh universitas-universitas dan rumah sakit, yang sebelumnya menginvestasikan dananya di industri tembakau, yang melegitimasi nilai-nilai etika kapitalisme atas pertentangan nilai antara kedua industri ini.

Agenda berlanjut dengan proses litigasi yang menggugat industri tembakau sebagai penyebab meningkatnya biaya kesehatan publik yang menjadi beban negara. Lewat ‘pengakuan’ salah satu pemain di industri tembakau Amerika Serikat, Liggett Group Inc. yang menyatakan secara tertulis di pengadilan bahwa produk rokok bersifat adiktif dan penyebab kanker, memperkuat gugatan yang akhirnya menghasilkan Master Settlement Agreement (MSA) 1998. Kesepakatan antara industri tembakau dan pemerintahan federal Amerika Serikat tersebut layaknya bentuk delegitimasi industri tembakau untuk ikut berperan dalam dinamika ‘ilmiah’ tembakau atas dasar konflik kepentingan dan ikut berpartisipasi dalam agenda anti-tembakau mencegah konsumsi tembakau bagi remaja. Kemudian ‘mengamankan’ penerimaan anggaran nasional pemerintah federal Amerika Serikat dari industri tembakau, lewat kewajiban bagi industri untuk menyetorkan kompensasi senilai US$ 206 miliar selama 25 tahun. Selain itu juga menciptakan sebuah bentuk sistem proteksi bagi industri tembakau lewat pembentukan sistem subsidi bagi pertanian tembakau di Amerika Serikat lewat National Tobacco Growers' Settlement Trust Fund senilai US$ 5,15 miliar.

Setelah melewati berbagai bentuk konsolidasi (merger dan akuisisi) yang menghasilkan tiga besar Transnational Tobacco Company (TTC) dalam industri tembakau global (Philip Morris, British American Tobacco, Japan Tobacco) pada 1 Desember 1999, melakukan pertemuan di Jenewa, Swiss untuk menginisiasi Project Cerberus, yang kemudian menghasilkan International Tobacco Product Marketing Standard (ITPMS), yang di dalamnya memuat ketentuan-ketentuan yang sejalan dengan kepentingan gerakan anti-tembakau, yang pada masa itu, hampir mendekati puncak kelahiran FCTC. Manuver ketiga TTC tersebut yang sejalan dengan gerakan anti-tembakau tentu menjadi sesuatu yang tidak biasa. Namun apabila dicermati lebih dalam lagi justru merupakan langkah yang sangat strategis untuk ikut mendorong euforia gerakan anti-tembakau global. Pada akhirnya, euforia tersebut akan membentuk paradigma inferioritas bagi industri-industri tembakau domestik lewat tekanan isu dan kebijakan nasional di negara-negara anggota WHO yang mau tidak mau harus tunduk terhadap 'rezim kesehatan' dunia tersebut. Paradigma tersebut yang kemudian membukakan pintu peluang masuknya ekspansi TTC tersebut ke pasar domestik suatu negara. Manuver cerdas bagi strategi ‘hostile take over’ yang terselubung halus.

Kemudian, di tengah gencarnya kampanye global anti-tembakau oleh ‘rezim kesehatan’ yang juga diikuti oleh ‘rezim tembakau’, industri farmasi mulai masuk ke dalam era baru perlombaan riset dan pengembangan teknologi. Selain itu, besarnya angka konsumen tembakau (rokok) dunia di tengah-tengah euforia anti-tembakau, menciptakan ‘emerging market’ bagi strategi diversifikasi produknya dengan menghadirkan Nicotine Replacement Therapy (NRT) untuk memenuhi permintaan ‘berhenti’ merokok. Kemudian tembakau juga menjadi salah satu sumber daya industri farmasi untuk pengembangan riset dan teknologinya. Dewasa ini, kita kenal dengan istilah Tobacco Pharming, sebuah konsep budi-daya tembakau lewat pendekatan Genetic Modification, untuk kepentingan bahan baku produksi farmasi. Seiring dengan itu, tembakau lewat pendekatan teknologi bio-molekular mulai dikembangkan sebagai agen produksi senyawa-senyawa hasil modifikasi genetik yang berpotensi untuk penyembuhan berbagai macam penyakit yang menjadi momok kesahatan modern, sebut saja: HIV, tubercolosis, alzheimer dan kanker. Tidak berhenti sampai di situ, korporasi-korporasi tembakau juga ikut dalam perlombaan ini, lewat pendirian divisi-divisi riset khusus tembakau dan juga konsolidasi merger serta akuisisi terhadap perusahaan-perusahaan farmasi yang bukan saja memanfaatkan tembakau sebagai produk farmasi, namun dengan pendekatan teknologi yang sama, mempertahankan tradisi rokok yang bebas isu kesehatan.

Fakta-fakta di atas akhirnya perlu dilihat sebagai ancaman sekaligus potensi, dengan kesadaran bahwa tembakau tidak semata-mata ditempatkan sebagai musuh kesehatan manusia, tetapi juga ditempatkan sebagai dewa penyelamat yang menunggu saatnya tiba membawa ‘titah utopia’ peradaban manusia. Indonesia sebagai bagian dari 10 besar produsen tembakau dunia dan 3 besar konsumen tembakau dunia, perlu meletakkan persoalan industri tembakaunya, khususnya industri kretek nasional kedalam kerangka yang utuh. Tidak hanya terbawa arus tren anti-tembakau global, dan kemudian menyerahkan industri tembakaunya untuk dikuasai kapitalis-kapitalis asing. Posisi industri tembakau Indonesia di peta global, memiliki potensi yang besar untuk ikut menjadi pemain utama dunia, bukan sekedar potensi pasar dan aset produksi dari kekuatan modal asing. Sehingga apakah perlu Indonesia meniru langkah-langkah yang telah dilakukan Cina untuk membawa tembakau ke dalam kontrol dan proteksi negara, mungkin dalam bentuknya yang lain, untuk menjawab tren ancaman dan potensi tembakau di masa yang akan datang demi kepentingan rakyat Indonesia?


* Penulis adalah anggota Komunitas Kretek Jakarta, sekaligus Anggota Forum Belajar Bersama Prakarsa Rakyat dari Simpul Jabodetabek.

** Siapa saja dipersilahkan mengutip, menggandakan, menyebarluaskan sebagian atau seluruh materi yang termuat dalam portal ini selama untuk kajian dan mendukung gerakan rakyat. Untuk keperluan komersial pengguna harus mendapatkan ijin tertulis dari pengelola portal Prakarsa Rakyat. Setiap pengutipan, penggandaan dan penyebarluasan sebagian atau seluruh materi harus mencantumkan sumber (portal Prakarsa Rakyat atau www.prakarsa-rakyat.org).

Oleh : Oki Hajiansyah Wahab *


Pernyataan Ketua Mahkamah Konstitusi, Mahfud MD beberapa waktu lalu bahwa buruknya kualitas legislasi terjadi karena ada praktik jual-beli kepentingan dalam pembuatan UU melahirkan polemik. Mahfud juga mengungkapkan buruknya kualitas dibuktikan dengan data bahwa sejak 2003 hingga 2011 ada 406 kali pengujian undang-undang ke MK, sebanyak 97 di antaranya dikabulkan karena dianggap inkonstitusional. Adanya “bisnis” penyusunan undang-undang juga dicontohkan Mahfud dalam kasus aliran dana YPPI Bank Indonesia yang mengalir ke sejumlah anggota DPR untuk memuluskan pasal-pasal tertentu dalam pembahasan undang-undang BI. Akibatnya beberapa politikus DPR yang terlibat kasus ini masuk penjara.

Pernyataan dan contoh yang diungkapkan Mahfud sebenarnya bukanlah hal baru dalam sejarah legislasi di Indonesia. Kolaborasi kekuatan modal dan politisi dalam penyusunan sebuah undang-undang sesungguhnya telah berjalan sejak lama. Pernyataan Mahfud hanya mempertegas bahwa lahirnya sebuah undang-undang tidaklah bebas nilai melainkan dipengaruhi berbagai faktor baik politik maupun ekonomi.

George Soros dalam Reforming Global Capitalism menyebut kolaborasi modal dan penguasa dalam proses legislasi sebagai “unholy alliances” dimana prosedur hukum akan tetap dipatuhi, tetapi berbagai fungsi negara telah dipangkas dan dibengkokkan oleh kepentingan bisnis. Penyusunan undang-undang kini tak ubahnya sebagai lahan bisnis baru yang orientasinya berdasar pada kehendak modal bukan kehendak rakyat. Dalam situasi semacam ini ini Michael Zinn mengungkapkan bahwa hukum yang lahir lewat proses konspirasi akan berpotensi mereproduksi sumber‐sumber alienasi dan tekanan.

Kecenderungan dewasa ini menunjukkan bahwa undang-undang dibuat untuk memfasilitasi ekspansi modal dalam konteks pasar bebas. Secara formal pembuat undang-undang adalah DPR bersama pemerintah, tetapi sesungguhnya banyak peraturan lahir karena pesanan atau bahkan tekanan perusahaan multinasional dan lembaga-lembaga keuangan internasional yang berkolaborasi dengan para penyusun undang-undang. Akibatnya fungsi undang-undang sebagai salah satu jalan untuk mewujudkan cita-cita bernegara dikalahkan oleh kepentingan “bisnis” dalam penyusunan undang-undang.

Kita bisa melihat bagaimana Progam WATSAL (Water Resources Sector Adjustment Loan) melahirkan UU Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air merupakan bagian dari syarat Bank Dunia untuk pencairan pinjaman US$ 300 juta yang telah ditandatangani pada April 1998. Forestry Sector Adjustment melahirkan Perpu No 1 Tahun 2004 yang kemudian menjadi UU No 19 Tahun 2004 beserta turunannya yakni Keppres No 41 Tahun 2004. Progam Land Administration Project dari Bank Dunia melahirkan PP 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. Program Land Policy Management Reform Program dari Bank Dunia melahirkan Kepres Nomor 34 Tahun 2003 tentang Kebijakan Nasional di Bidang Pertanahan sebagai dasar keluarnya RUU Sumber Daya Agraria.

Kemudian dokumen Technical Assistance Asian Development Bank yang mengatur teknis penyusunan RUU Pertanahan oleh BPN sebagai bagian dari proyek penyusunan kerangka hukum dan kerangka administrasi pertanahan yang terkait dengan proyek Land Management and Policy Development Project yang diprakarsai oleh Bank dunia sejak tahun 2005. Untuk proyek penyusunan RUU Pertanahan ini, BPN berhasil mengajukan proposal kepada ADB yang membuahkan komitmen ADB berupa pembiayaan proyek sebesar US$ 500.000 dari total biaya proyek sebesar US$ 625.000. Masih banyak undang-undang lainnya yang kelahirannya adalah lewat pesanan dan kepentingan-kepentingan bisnis.

Hukum modern yang kelihatan tenang dan beradab dari luar ternyata sarat dengan desakan dan tuntutan kepentingan bisnis dan juga lembaga keuangan internasional. Ketika kekuasaan bisnis ini menjadi penentu lahirnya suatu produk hukum baik secara langsung maupun tidak, maka dapat diduga arah pembangunan hukum menjadi berorientasi bisnis. Hukum sebagai bisnis, menurut Marc Galanter, merupakan tren dalam dunia kapitalis yang dimotori Amerika Serikat dan negara–negara industri maju lainnya. Kepentingan modal dan investasi terus-menerus diakomodir dalam berbagai aturan hukum guna memberikan jaminan keamanan dan kenyamanan bisnis. Akibatnya ketika hukum sudah menjadi bisnis, tujuan hukum sebagai pemberi rasa keadilan menjadi hilang perlahan karena hukum sudah menjadi komoditas yang mementingkan fasilitas bisnis.

Kondisi hari ini sesungguhnya hanyalah kelanjutan dari sejarah kemunculan positivisme hukum. Perkembangan kapitalisme mempunyai pertalian erat dengan positivisme hukum. Satjipto Rahardjo menjelaskan bahwa tatanan ekonomi yang bersifat kapitalis memerlukan tatanan sosial yang mampu menciptakan medan sosial di mana proses-proses ekonomi dapat berlangsung secara baik. Karenanya diperlukan suatu sistem hukum yang formal-rasional yang dapat memberikan prediktabilitas tinggi sehingga dapat dimasukkan dalam kalkulasi ekonomi. Lebih gamblang, Santos menegaskan bahwa hukum modern yang dibangun saat ini merupakan hukum yang menjadi alat untuk mengatur ekonomi pasar dan pengembangan institusinya

Lebih tragisnya lagi ketika dewasa ini para pelaku bisnis juga masuk ke dalam pemerintahan untuk memuluskan kepentingannya lewat kekuasaan politik. Penelitian Centre for Electoral Reform mengungkapkan bahwa 10% dari jumlah anggota DPR berasal dari kalangan pengusaha. ICW bahkan menggambarkan trio macan yang menguasai sistem politik Indonesia dan proses perumusan undang-undang yakni politikus, birokrat, pengusaha. Akibatnya hukum menjadi lumpuh ketika menyangkut pengusaha yang juga bagian dari pemerintah. Kasus Lumpur Lapindo sudah membuktikan hal ini.

Situasi semacam ini tentunya mendorong kita untuk terus merenungkan apa yang dikatakan oleh Satjipto Rahardjo untuk terus memperbaiki cara berhukum kita sehingga mampu melayani dan membawa rakyat kepada kesejahteraan dan kebahagiaan. Ia mengingatkan kita tentang pentingnya keberanian untuk mengangkat dan menggali nilai-nilai Pancasila sebagai paradigma pembangunan hukum kita sehingga “bisnis” penyusunan undang-undang bisa disudahi.


* Penulis adalah peminat masalah hukum, sekaligus Anggota Forum Belajar Bersama Prakarsa Rakyat dari Simpul Jabodetabek.

** Siapa saja dipersilahkan mengutip, menggandakan, menyebarluaskan sebagian atau seluruh materi yang termuat dalam portal ini selama untuk kajian dan mendukung gerakan rakyat. Untuk keperluan komersial pengguna harus mendapatkan ijin tertulis dari pengelola portal Prakarsa Rakyat. Setiap pengutipan, penggandaan dan penyebarluasan sebagian atau seluruh materi harus mencantumkan sumber (portal Prakarsa Rakyat atau www.prakarsa-rakyat.org).

Oleh : Yenie Oktri*


Sejak Negara Indonesia tegak berdiri, pluralisme selalu menempati ruang abu-abu. Pluralisme tidak pernah menjadi sebuah konsensus politik bersama tapi hanya sekedar kosmetik politik saja. Perbedaan suku, agama dan ras yang merupakan keniscayaan sebagai sebuah negara terpaksa harus meringkuk dalam ruang kompromi dan tidak pernah membuka diri dalam ruang toleransi.

Sejarah menunjukkan bagaimana kosmetik politik justru mewarnai tindakan para pendiri bangsa ketika harus mengkompromikan antara Pancasila dalam naskah UUD 1945 dengan Piagam Jakarta terutama menyangkut penghilangan kata dalam sila pertama. Selama ini banyak pihak beranggapan bahwa penghilangan kata itu merupakan bagian dari toleransi. Padahal penghilangan kata tersebut adalah kompromi politik yang mempunyai konsekuensi logis hanya bersifat sementara.

Dari sinilah, disadari atau tidak, bibit pluralisme setengah hati mulai tertanam di setiap golongan dan lapisan masyarakat. Pluralisme setengah hati yang merupakan sikap hanya mau mengakui adanya perbedaan/kemajemukan tapi tidak bisa menerimanya terutama menyangkut kehidupan berbangsa dan bernegara. Semakin lama pluralisme setengah hati mendapatkan wadahnya berupa anarkisme dan kekerasan.

Konflik berbau suku, agama dan ras hampir mewarnai disetiap rejim pemerintahan di negeri ini tanpa kecuali. Mulai dari Soekarno, Soeharto, Habibie, Gus Dur, Megawati sampai Susilo Bambang Yudhyono terlihat bahwa anak negeri ini telah menguras habis energinya hanya untuk melampiaskan bibit pluralisme setengah hati yang diwariskan turun-temurun.

Bila pada era Soekarno konflik berbau ras, agama dan sara sedikit bisa diminimalisir dalam beragam ideologi partai-partai politik yang tumbuh bak cendawan di musim hujan. Menyikapi perbedaan/kemajukan diselesaikan dengan gerakan politik yang mengedepankan dialog. Tapi kondisi itu berbeda total pada era Soeharto di mana setiap konflik berbau suku, agama dan ras akan berhadapan dengan militer. Habibie yang menjadi penerus Soeharto pun ternyata menganut paham pluralisme setengah hati.

Di era Habibie inilah pluralisme setengah hati mulai merasuki lembaga eksekutif, yudikatif dan legislatif. Hal itu dimungkinkan karena adanya pergantian ataupun rotasi besar-besaran di berbagai lembaga maupun organisasi sebagai efek domino dari eforia reformasi. Akibatnya bisa ditebak berbagai peraturan perundang-undangan tidak lagi mengedepankan kepentingan rakyat yang memang plural tapi lebih mewakili kepentingan satu golongan saja. Dari sinilah konflik berbau suku, agama dan ras di berbagai daerah mulai mengarah kepada konflik bersenjata.

Di era Gus Dur dan Megawati, konflik bersenjata berlatar belakang suku, agama dan ras meledak di berbagai daerah. Penyelesaian yang berlarut-larut menyebabkan banyak anak bangsa yang mati terbunuh secara sia-sia. Tidak hanya itu saja, kekerasan bersenjata yang dilakukan berbagai kelompok masyarakat mulai menemukan bentuk lain untuk mengekspresikan pluralisme setengah hati melalu teror. Teror yang mengatasnamakan agama menjadi sebuah fenomena tragis dalam sejarah peradaban masyarakat.

Pada saat Susilo Bambang Yudhyono naik menjadi presiden dan berkuasa sampai sekarang, konflik berbau suku, agama dan ras bahkan mulai merasuki kota-kota besar yang notabene sebenarnya banyak golongan terpelajar. Bentuknya pun semakin variatif. Bisa pemberlakuan peraturan daerah yang berbasiskan satu agama tertentu dan aksi massa yang terus-menerus melakukan tindakan anarkis terstruktur tapi tidak mampu dihentikan oleh aparatus negara.

Undang-Undang Pendidikan Nasional yang seharusnya menjadi acuan peningkatan kualitas kecerdasan dalam dunia pendidikan ternyata lebih mengutamakan persoalan akhlak dan moral. Sebelum disahkan menjadi undang-undang, mulai dari pembahasannya sudah diwarnai dengan beragam kontroversi. Ujung-ujungnya mengerahkan massa sebanyak-banyaknya untuk menekan satu sama lain. Lahirnya UU Pendidikan Nasional hanya merupakan bentuk lain dari pluralisme setengah hati itu.

Negara dalam kondisi seperti ini ternyata dibuat tak berdaya. Himbauan normatif yang dilontarkan aparat lembaga negara lenyap dalam lengkingan amarah para penganut pluralisme setengah hati. Apalagi himbauan normatif itu tidak didukung oleh penegakan dan sanksi hukum yang tegas sehingga para pelaku kekerasan yang mengatasnamakan suku, agama atau pun ras seperti api mendapat siraman bensin. Membara dan menghancurkan siapa saja yang menghadangnya.

Diperlukan kerja keras serta sikap toleransi yang tinggi dari berbagai golongan dan lapisan masyarakat untuk mengikis pluralisme setengah hati yang sudah menjadi penyakit kronis. Langkah awal dan paling sederhana yang bisa dilakukan adalah dengan saling mengucapkan selamat hari raya kepada siapa saja dan dari latar belakang agama apa saja. Sebab banyak tokoh-tokoh masyarakat yang seharusnya menjadi panutan toleransi ternyata tidak mau menyampaikan selamat hari raya kepada agama lain.


* Penulis adalah jamaah pengajian mingguan Darul Ummah di Tangerang, sekaligus Anggota Forum Belajar Bersama Prakarsa Rakyat dari Simpul Jabodetabek.

** Siapa saja dipersilahkan mengutip, menggandakan, menyebarluaskan sebagian atau seluruh materi yang termuat dalam portal ini selama untuk kajian dan mendukung gerakan rakyat. Untuk keperluan komersial pengguna harus mendapatkan ijin tertulis dari pengelola portal Prakarsa Rakyat. Setiap pengutipan, penggandaan dan penyebarluasan sebagian atau seluruh materi harus mencantumkan sumber (portal Prakarsa Rakyat atau www.prakarsa-rakyat.org).

Oleh : Ade Fauziah*


Neoliberalisme, yang kini diperdebatkan oleh banyak kalangan, salah satunya menjadi hal yang sangat menarik ketika dikaitkan dengan kondisi perempuan. Dari catatan sejarah yang sangat panjang, saat ini ataupun di masa yang akan datang. Misalnya saja, sejarah masih 'belum tuntas' membahas perspektif perjuangan perempuan Kartini di tengah hegemoni budaya feodal yang melingkupinya atau justru akan semakin memperkaya perdebatan karena semakin beragam sudut pandang yang muncul ketika membahas tentang sejarah masa lalu tersebut.

Mari kita lihat, apa yang menjadi masalah umum bagi kaum perempuan yang terpinggirkan di sektor publik. Keterpinggiran itu misalnya saja meliputi nasib buruk kaum buruh perempuan yang 'terjebak' pada jenis-jenis pekerjaan yang berupah rendah, dan kondisi kerja yang buruk serta tidak memiliki keamanan kerja. Padahal, kenyataan bahwa perempuan bekerja bukanlah suatu hal yang baru di tengah-tengah masyarakat kita terutama ketika perkembangan dari masyarakat agraris hingga kemudian menuju masyarakat industri, keterlibatan perempuan pun menjadi semakin besar. Bahkan kalau kita menilik sejarah dalam masyarakat terdahulu, ketika sistem berladang berbagai suku di dunia, yang menjaga ternak dan mengelola ladang dengan baik adalah perempuan. Hal ini jelas menunjukan bahwa keterlibatan perempuan bukanlah sesuatu yang baru tetapi sudah ada sejak zaman dulu.

Walaupun bukan sebuah fenomena baru, tapi masalah perempuan bekerja nampaknya masih terus menjadi perdebatan hingga sekarang. Perdebatan dipicu oleh pemahaman yang masih sangat kental di sebagian masyarakat yang beranggapan bahwa dalam masyarakat yang ideal tentang sebuah keluarga adalah suami yang bekerja dan istri yang bekerja di rumah. Karena perkembangan zaman dan tuntutan ekonomi misalnya, tentu saja peran-peran tersebut mengalami perubahan secara signifikan. Perempuan bekerja, bukan saja menjadi pemain pelengkap sekedar 'membantu' beban ekonomi keluarga namun justru banyak yang kemudian mengambil peran lebih besar dengan menjadi penyangga utama ekonomi keluarga. Meskipun, kemudian perkembangan ini masih sangat dominan menempatkan perempuan dalam posisi ganda, dua peran sekaligus yaitu pengasuh anak sebagai salah wujud tanggung jawabnya dalam ranah domestik dan pencari nafkah. Hal ini akan membawa perempuan kepada beban ganda.

Kerja produktif dan kerja reproduktif

Jika kita lihat lebih jauh lagi bahwa perempuan mempunyai dua bentuk kerja, yaitu kerja produktif dan kerja reproduktif. Kerja produktif berfungsi sebagai pemenuhan kebutuhan dasar manusia seperti pemenuhan untuk sandang, pangan, dan papan. Kerja reproduktif adalah kerja 'memproduksi manusia,' bukan hanya sebatas masalah hamil, menyusui, namun mencakup kepada perawatan sehari-hari manusia baik fisik maupun mental yang semuanya menjadi sangat penting dalam penyusunan stuktur sosial masyarakat.

Dalam masyarakat kapitalisme, dua fungsi kerja itu menjadi sesuatu yang terpisah. Kerja produktif milik laki-laki dan dikerjakan di luar rumah, sedangkan kerja reproduktif di kerjakan oleh perempuan dan biasanya dikerjakan di dalam rumah. Sebuah norma yang ada saat ini kerja reproduksi adalah menjadi tanggung jawab perempuan. Dengan sebuah pembenaran yang disebut dengan tradisi dan kodrat yang dipandang wajar jika seorang perempuan bertanggung jawab dalam ranah domestik. Institusi pendidikan, agama, media massa, mendukung pula pendapat ini.

Kerja reproduksi ternyata mempunyai peranan yang sangat besar yaitu berperan penting guna keberlangsungan suatu bangsa dan umat manusia. Sangat penting pula demokratisasi institusi keluarga, termasuk di dalamnya peran serta laki-laki dalam kerja reproduksi dalam rumah tangga.

Terlepas dari sektor yang digeluti oleh perempuan dalam ranah publik, keterlibatan perempuan sering kali diposisikan sebagai skala bawah. Perempuan yang berada di sektor industri perkotaan, perempuan terlibat sebagai buruh pabrik garmen, tekstil dan elektronik. Sedangkan di pedesaan, perempuan menjadi buruh tani dan di sektor perdagangan perempuan hanya menjadi pedagang usaha kecil.

Hal yang perlu digarisbawahi di sini adalah kecenderungan perempuan terpinggirkan pada pekerjaan marginal tersebut tidak semata-mata disebabkan faktor pendidikan. Namun juga dari kalangan pengusaha sendiri terdapat sebuah klasifikasi untuk mempekerjakan perempuan pada sektor tertentu dan jenis pekerjaan tertentu karena upah perempuan lebih rendah dari pada laki-laki.

Selain persoalan tentang upah, dalam perbandingannya dengan laki-laki, perempuan di sektor publik menghadapi kendala lebih besar untuk melakukan mobilitas vertikal (kenaikan pangkat, posisi, jabatan) karena ideologi patriarki yang dominan. Hal ini bisa dilihat dengan minimnya jumlah perempuan yang berada dalam posisi strategis seperti pengambil kebijakan. Dari gambaran tersebut, dapat dilihat telah terjadi sebuah perbedaan ketimpangan ekonomi antara laki-laki dan perempuan. Hal ini ditandai oleh perbedaan upah serta ketidaksamaan akses keuntungan dan fasilitas kerja, termasuk akses terhadap program-program pelatihan untuk pengembangan sumber daya.

Sebagai penutup dari tulisan ini, kemudian muncul sebuah kebutuhan untuk memberikan jawaban yang setepat-tepatnya agar problematika posisi politik bagi perempuan tidak selamanya termarjinalkan. Jawaban itu adalah kekuasaan dalam arti yang seluas-luasnya. Kita harus mengupayakan lahirnya sebuah sistem kekuasaan yang mampu memberikan jaminan bahwa posisi politik harus menjamin kesetaraan dalam wujud yang senyata-nyatanya. Dan ini, bukan semata-mata tugas kaum perempuan, namun tugas kita secara kolektif.


* Penulis adalah anggota serikat buruh di Karawang, sekaligus Anggota Forum Belajar Bersama Prakarsa Rakyat dari Simpul Jabodetabek.

** Siapa saja dipersilahkan mengutip, menggandakan, menyebarluaskan sebagian atau seluruh materi yang termuat dalam portal ini selama untuk kajian dan mendukung gerakan rakyat. Untuk keperluan komersial pengguna harus mendapatkan ijin tertulis dari pengelola portal Prakarsa Rakyat. Setiap pengutipan, penggandaan dan penyebarluasan sebagian atau seluruh materi harus mencantumkan sumber (portal Prakarsa Rakyat atau www.prakarsa-rakyat.org).



;;