Oleh : Rini Mustofa Yunita*

Berbagai reaksi muncul ketika Surabaya akan menjadi tuan rumah Konferensi Kaum Homoseksual dan Biseksual se-Asia ke-4, 26-27 Maret 2010. Konferensi ini diselenggarakan oleh International Lesbian, Gay, Bisexual, Trans and Intersex Association (ILGA). Pesertanya sekitar 200 orang dari 20 negara seperti Jepang, Filipina, Thailand, Singapura, Malaysia dan Indonesia sendiri sebagai tuan rumah.

Majelis Ulama Indonesia Jawa Timur menolak rencana konferensi tersebut dengan alasan karena bisa menyinggung perasaan umat Islam. Forum Pembela Islam juga bereaksi jika KO ini masih diteruskan. Bahkan polisi mengancam tidak akan memberikan izin acara konferensi ini berlangsung. Kenapa mereka kaum gay, lesbian, biseksual diperlakukan diskriminatif?

Penghormatan terhadap hak dan martabat setiap manusia tanpa membedakan pilihan orientasi seksual dan identitas gender merupakan hak asasi manusia. Sayangnya di Indonesia, kelompok minoritas yang memiliki orientasi seksual yang berbeda belum mendapat pengakuan dan penghormatan oleh masyarakat dan negara secara konsisten.

Ada pandangan yang menyatakan bahwa seksualitas bersifat terberi sehingga tidak dapat diubah. Pandangan tersebut dikeluarkan oleh kelompok-kelompok tertentu dengan mengatasnamakan agama maupun budaya sehingga kelompok orang yang seksualitasnya tidak sejalan dengan konsep tersebut (kelompok LGBT-Lesbian, Gay, Biseksual dan Trangender) dianggap sebagai abnormal, mendapatkan perlakuan buruk, baik dalam bentuk diskriminasi maupun kekerasan. Bentuk- bentuk kekerasan yang dialami oleh kelompok LGBT antara lain: kekerasan seksual, kekerasan fisik, kekerasan emosional. Sedangkan tindakan diskriminatif yang sering dialami kelompok LGBT antara lain: diskriminasi untuk mendapatkan pekerjaan, diskriminasi dalam hal akses terhadap keadilan, diskriminasi dalam pemilihan pasangan.

Kita tahu bahwa Indonesia adalah negara yang majemuk dan beragam (plural), maka harus menghargai realitas keberagaman yang ada dalam masyarakat. Perbedaan jenis kelamin, asal, ras atau etnis, gender, dan agama, termasuk pilihan orientasi seksual adalah nilai-nilai perbedaan yang harus diterima, diakui, dihormati dan tidak digunakan sebagai alasan memperoleh perlakuan diskriminasi. Negara harus mengakui realitas sosial bahwa manusia memiliki perbedaan dalam orientasi seksual dan identitas gendernya. Dan, identitas gender seseorang tidak selalu ditentukan oleh jenis tubuh dimana mereka dilahirkan. Yang kita butuhkan ialah penerimaan masyarakat secara jujur, pendampingan dan perlindungan hukum agar mereka hidup merdeka dan berkarya di tengah masyarakat tanpa menjadi beban atau masalah yang merugikan. Kaum LGBT memiliki hak atas hidup dengan tenang di masyarakat, di dalam keluarga, di bidang pendidikan, di tempat kerja, di ruang publik ataupun di mata hukum.


Negara Bertanggungjawab Melindungi

Perlakuan yaang diskriminatif itu diperkuat dengan peran negara yang ambigu dan tidak konsisten dalam memberikan pengakuan dan perlindungan terhadap kelompok LGBT. Secara legal formal negara sudah mengakui hak asasi manusia melalui amandemen UUD 1945, UU No. 39 tahun 1999, dan Ratifikasi Kovenan Ekosob dan Kovenan Sipol. Bahkan pemerintah secara tegas menyebutkan, bahwa LGBT merupakan kelompok yang harus dilindungi negara dalam Rancangan Aksi Nasional HAM-nya (tahun 2004-2009).

Sebagai negara yang telah meratifikasi Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia (DUHAM) tahun 1948 dan Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan (CEDAW) melalui Undang-undang no.7 tahun 1984, Indonesia seharusnya melindungi hak asasi setiap warga negaranya tanpa memandang jenis kelamin, ras, suku, agama, dan orientasi seksualnya. Namun, kelompok LGTB justru tidak terpenuhi hak-hak mereka dan mengalami kerentanan kekerasan setiap waktu.

Selain itu, dalam Pasal 5 UU No.39 tahun 1999 tentang HAM dengan jelas menyatakan bahwa: (1) Setiap orang diakui sebagai manusia pribadi yang berhak menuntut dan memperoleh perlakuan serta perlindungan yang sama sesuai dengan martabat kemanusiaannya di depan hukum; (2) Setiap orang berhak mendapat bantuan dan perlindungan yang adil dan pengadilan yang objektjf dan tidak berpihak; (3) Setiap orang yang termasuk kelompak masyarakat yang rentan berhak memperoleh perlakuan dan perlindungan lebih berkenaan dengan kekhususannya.

Maka, seharunya sesuai UU HAM tersebut, tidak semestinya kelompok LGBT mengalami kekerasan dan diskriminasi. Hak kaum LGBT juga diakui secara internasional dalam Deklarasi Montreal yang berisi desakan kepada negara-negara di dunia untuk mengakui, memenuhi, dan melindungi hak mereka (Hasil Konferensi Internasional tentang Hak LGBT di Montreal, Canada, Juli 2006), dan Yogyakarta Principles (tahun 2007) yang memuat prinsip-prinsip pemberlakuan hukum internasional (Sipol dan Ekosob) atas hak-hak asasi manusia berkait dengan orientasi seksual dan identitas gender. Homoseksual, heterosksual, dan biseksual merupakan identitas manusia yang harus dihormati. Oleh karena itu, hak LGBT harus dijamin oleh negara dalam peraturan perundang-undangan.

Sehingga semestinya tidak ada satupun alasan bagi pemerintah untuk tidak melindungi mereka dan melanggengkan hate-crimes yang menimpa kaum LGBT. Jika pemerintah belum dan tidak sanggup, maka sebagai manusia yang bermartabat kita mesti melakukan sesuatu. Minimal tidak bereaksi negatif atas Konferensi Homoseksual dan Biseksual se-Asia ke-4.


* Penulis adalah staff Perkumpulan Alharaka Jombang, sekaligus anggota Forum Belajar Bersama Prakarsa Rakyat dari Simpul Jombang.

** Siapa saja dipersilahkan mengutip, menggandakan, menyebarluaskan sebagian atau seluruh materi yang termuat dalam portal ini selama untuk kajian dan mendukung gerakan rakyat. Untuk keperluan komersial pengguna harus mendapatkan ijin tertulis dari pengelola portal Prakarsa Rakyat. Setiap pengutipan, penggandaan dan penyebarluasan sebagian atau seluruh materi harus mencantumkan sumber (portal Prakarsa Rakyat atau www.prakarsa-rakyat.org).

=========================================================

Kawin Gantung Dibolehkan
MAKASSAR -- Peluang menikahi anak yang masih berusia di bawah umur dengan model kawin gantung, terbuka. Nahdlatul Ulama (NU) membolehkan kawin gantung dengan syarat terdapat maslahah dan ijab kabul dilakukan wali mujbir serta memenuhi syarat dan rukun nikah.

Keputusan membolehkan kawin gantung menjadi hasil sidang komisi Bahsul Masail Diniyah Waqi'yah muktamar NU ke-32, Jumat, 26 Maret. Kawin gantung merupakan pernikahan anak di bawah umur untuk mengikat agar anak tidak berjodoh dengan orang lain bila sudah dewasa.

Ketua sidang komisi Bahsul Masail Diniyah Waqi'yah, KH Saefuddin Amsir, mengemukakan, kawin gantung belum memiliki akibat hukum seperti nikah pada umumnya. Tapi sebagian ulama tetap menganjurkan adanya hak waris dan pemberian nafkah.

Prosesi pernikahan dengan kawin gantung bisa dilakukan dengan dua cara. Pengantin pria kecil bisa mengucapkan ijab dan kabul dan adapula yang mewakilkannya kepada pria dewasa.
Hanya saja, meskipun kawin gantung sudah direstui, pihak yang melakukan pernikahan belum dapat melakukan hubungan suami istri. "Harus menunggu sampai kuat disetubuhi," katanya.

Kedua pengantin masih dilarang berkumpul dan melakukan hubungan badan, kecuali keduanya sudah sama-sama dewasa. Bila keduanya sudah dewasa dan memiliki kesiapan berumahtangga, maka mereka dinikahkan kembali dan didaftarkan ke Kantor Urusan Agama (KUA).

Di sisi lain, Undang-undang Perkawinan dan Undang-undang Perlindungan Anak melarang anak di bawah usia 16 tahun untuk dinikahkan. Sanksi pidana menanti pelanggar kedua aturan tersebut. (rif)


=========================================================

NU halalkan kawin gantung

By arif fajar on 26 Maret 2010

Makassar– Kawin gantung adalah mengawinkan dua anak manusia yang masih berusia anak-anak, 6 hingga 7 tahun, baik perempuan dan laki-laki atas kesepakatan orang tua masing-masing.

Salah satu rekomendasi komisi Bahtsul Masail Diniyyah Waqi’iyyah atau komisi yang membahas permasalahan agama dan kekinian dalam Muktamar ke 32 NU, di Asrama Haji Sudiang, Makassar, pernikahan di usia dini seperti ini diperbolehkan.

Sebenarnya, restu NU terhadap kawin gantung atau pernikahan dini ini diawali oleh adanya sejumlah kasus. Sehingga, muktamirin menilai penting hal ini diangkat dan dibahas. Dan ternyata, kesimpulannya organisasi keagamaan tertua di Indonesia ini membolehkan.

KH Syaifuddin Amsir, Ketua Komisi Bahtsul Masail Diniyyah Waqi’iyyah dalam keterangan persnya, Jumat (26/3) di Asrama Haji Sudiangm menjelaskan, kawin gantung (mengikat) antara dua manusia, laki-laki dan perempuan yang masih kecil atau di usia yang setara secara agama (syar’i) dimaksudkan agar saat dewasa tetap pada pasangannya dan tidak berjodoh dengan orang lain.

Menurutnya, memang tidak ada pendapat ulama atau tidak satu pun yang menerangkan soal batas usia perkawinan. Tetapi disarankan agar perkawinan itu sebaiknya pada usia baliq bagi keduanya.

“Kawin gantung belum memiliki akibat hukum sebagimana nikah pada umumnya kecuali dalam hak waris dan pemberian nafkah, menurut sebagian ulama. Sementara soal bersetubuh bagi keduanya harus menunggu sampai kuat disetubuhi,” kata KH Syaifuddin Amsir.

Ditambahkan, jika di usia dewasa keduanya saling tidak merasa cocok, maka keduanya bisa mengambil jalan bercerai.

Meski soal kawin gantung ini telah diputuskan menjadi sebuah rekomendasi komisi Bahtsul Masai’ Diniyyah Waqi’iyyah, bersama sejumlah masalah kekinian lainnya, kawin gantung ini masih akan dibahas dan difinalisasikan lagi melalui sidang pleno.


=========================================================

NU membolehkan kawin gantung
Muktamar NU 32 di Makassar


Komisi mengijinkan nikah dini dan juga menganjurkan khitan perempuan

Komisi Nahdlatul Ulama yang membahas persoalan kontemporer dalam muktamar ke-32 NU memutuskan hukum kawin gantung atau menikah dini diizinkan.

Dalam tradisi nusantara, kawin gantung adalah kondisi dimana pernikahan dilangsungkan saat pasangan masih sangat muda untuk tujuan tertentu seperti menjamin ikatan perjodohan atau menghindarkan perzinahan.

"Tidak ada batasan menikah dalam Al Quran," kata Wakil Ketua Dewan Suro NU Jawa Tengah KH Aniq Muhammadun.

Kiai Aniq menambahkan keputusan NU ini akan bertentangan dengan panduan pernikahan dalam UU Perlindungan Anak serta UU Pokok Perkawinan.
Anjuran khitan perempuan

Keputusan lain komisi muktamar adalah anjuran untuk melakukan khitan bagi perempuan.

...hukum khitan bagi laki-laki pun haram jika membahayakan nyawa yang bersangkutan

Kiai Masyuri

Komisi Batsul Masail Maudluiyah, komisi yang membahas persoalan kontemporer menyimpulkan hukum khitan bagi kalangan muslimah sebagai masyru, artinya bisa sunnah tetapi bisa pula mengikuti kondisi yang terjadi.

Misalnya, seperti dijelaskan Ketua komisi KH Muh Masyhuri Naim, hukum khitan baik bagi laki-laki maupun perempuan bisa menjadi haram bila memang membahayakan.

"Dalam kondisi dhorurah, hukum khitan bagi laki-laki pun haram jika membahayakan nyawa yang bersangkutan," kata Kiai Masyhuri.

Selanjutnya menurut komisi ini, usia ideal untuk melakukan khitan pada perempuan adalah dari tujuh hari dengan mempertimbangkan kondisi fisiknya.

Terkait sejumlah kasus yang disebut sebagai akibat buruk praktek sunat perempuan, Kiai Masyhuri mengatakan kasus-kasus tersebut tidak boleh melunturkan akidah warga NU.

Praktek khitan perempuan banyak dikritik pegiat hak perempuan karena dianggap banyak merugikan kaum perempuan.

Sumber:

=========================================================

MAKASSAR--MI: Nahdlatul Ulama (NU) dalam sidang komisi yang membahas Bahtsatul Masail Diniyyah Waqiiyah (perundang-undangan) bertentangan dengan Undang-Undang (UU) Nomor I/1974 tentang Perkawinan menyatakan bahwa usia minimal pengantin perempuan adalah 16 tahun.

Dalam sidang komisi yang berlangsung, Kamis (25/3) hingga Jumat (26/3) dini hari tersebut, dikemukakan tentang batas minimal usia pernikahan baik pria maupun wanita. Bagi mereka yang mau menikah tidak dibatasi pada usia. Yang penting, sudah akil balig.

Setelah melewati proses dialog yang cukup panjang dan alot, maka diputuskan, tidak ada batasan usia pernikahan dalam Islam, menurut jumhur ulama atau kesepakatan mayoritas ulama. Akan tetapi, sebaiknya pernikahan dilakukan setelah balig.

Dalam forum tersebut juga muncul pernyataan bahwa umur bukan ukuran seseorang telah balig. Keputusan tersebut akan dirumuskan dan direkomendasikan kepada pengurus besar NU yang akan datang.

Dalam sidang komisi yang dihadiri Hasyim Muzadi tersebut sempat membahas tentang kawin gantung. Yakni, apakah kawin gantung memiliki akibat hukum, sebagaimana nikah pada umum, seperti kewajiban nafkah, kewajiban bagi istri taat kepada suami, halalnya bersetubuh, hak waris jika salah satunya meninggal. "Kawin gantung belum memiliki akibat hukum sebagaimana nikah pada umumnya kecuali dalam hak waris sampai memiliki taslim," kata Ketua Komisi Ridwan Lubis. (LN/OL-04)

Sumber:

=========================================================

Komnas Perlindungan Anak Tolak Kawin Gantung
Hukum & Kriminal / Sabtu, 27 Maret 2010 11:34 WIB

Metrotvnews.com, Jakarta: Keputusan Muktamar Nahdlatul Ulama yang mensahkan kawin gantung ditentang Komisi Nasional Perlindungan Anak (KPA). Di Jakarta, Sabtu (27/3), Sekretaris Jenderal KPA, Aris Merdeka mengatakan kawin gantung melanggar dan merugikan hak anak.

Selain tak terdaftar di catatan sipil atau KUA, kawin gantung biasanya banyak terjadi pada anak di bawah umur. Karena itulah, KPA menolak adanya kawin gantung. Aris menegaskan anak Indonesia berhak mendapatkan ataupun diakui negara dalam hal pernikahan dengan tercatat di catatan sipil atau KUA.(Steveman/BEY)

Sumber:

=========================================================

Oleh : Edy Musyadad*

Pemilihan Bupati Kediri periode 2010 - 2015 menjadi perbincangan. Karena dua istrinya maju menjadi kandididat calon bupati. Haryanti sebagai istri pertama sudah “berkuasa” hampir 10 tahun sebagai ketua penggerak PKK Kabupaten Kediri. Sementara, Nurlaila adalah Kepala Desa Wates selama kurang lebih 20 tahun (3 periode). Dua istri bupati incumbent ini akan bersaing dengan calon ketiga, yakni Sunardi, Direktur PT. BISI, sebuah perusahaan benih pertanian yang sering mengkriminalisasi petani di wilayah Kabupaten Kediri dan Kabupaten sekitarnya. Semua kandidat datang dari warga negara yang statusnya orang kaya.

Di Lampung Selatan, artis Ikang Fauzi juga akan maju sebagai kandididat calon bupati. Di Ngawi, artis Ratih Sanggarwati sudah menyiapkan Rp. 5 miliar untuk meraih simpati demi kursi bupati. Banyak artis lain juga maju sebagai kandidat calon bupati dan walikota. Intinya, mereka yang muncul sebagai kandidat adalah orang kaya di Indonesia yang jumlahnya hanya sekitar 17 persen dari total penduduk Indonesia. Namun dari segelintir itulah yang akan menentukan 83 persennya dari sisanya. Dan orang-orang kaya itu akan bersaing di berbagai kabupaten yang tersebar di Indonesia. Karena, tahun 2010 ini, pemerintah akan melaksanakan 246 pemilihan kepala daerah (pilkada) di seluruh wilayah Indonesia.

Nah, apa yang akan diperbuat orang-orang kaya tersebut terhadap suara orang miskin yang akan memilihnya? Yang jelas, praktis saja. Bagaimana suara kaum miskin utuh dikonversikan menjadi suara sah. Caranya? Tentunya ada cara yang praktis pula untuk mengendalikan kaum miskin. Uang, uang dan uang. Karena di tengah himpitan kemiskinan, uang menjadi “surga” sesaat bagi miskin.


Ideologi Uang

Pemilihan kepala desa (pilkades) konon dianggap sebagai arena demokrasi yang paling nyata di desa. Dalam pilkades terjadi kompetisi yang bebas, partisipasi masyarakat, pemilihan secara langsung dengan prinsip one man one vote. Tetapi dalam banyak desa, pilkades yang berlangsung secara demokratis sering harus dibayar dengan resiko politik yang mahal. Politik uang menjadi fenomena nyata di pilkades. Sehingga, tidak ada partisipasi rakyat dalam pilkades yang ada mobilisasi rakyat. Kalaupun bukan calon atau kandidat yang memiliki uang, bandarlah yang menggerakkan rakyat dengan uang untuk datang ke tempat pemilihan.

Fenomena ini sekarang dirasakan juga dalam pilkada. Partisipasi dalam proses demokrasi pilkada rasanya hambar. Kalaupun ada, partisipasi itu telah diracuni dengan uang sehingga yang muncul bukan partisipasi melainkan mobilisasi. Pilkada menghidupkan kembali tradisi buruk dalam Pilkades yaitu sindroma bandar.

Biaya untuk jadi bupati konon mulai Rp 5 miliar sampai Rp 25 miliar. Sehingga, bagi calon bupati yang ingin jadi kandidat tetapi tidak cukup dana, ada bandar yang bisa membantu pendanaan. Bandar ini tidak hanya bertaruh untuk kemenangan calon pilihannya (seperti pejudi pada umumnya), tetapi mereka melakukan apa saja dengan menggunakan kekuatan uangnya agar calon yang didukung menang. Tentunya jika calonnya menang dia bisa “menyetir” bupati yang jadi, agar kepentingannya aman.

Posisi bupati dan bandar dalam pilkada ini sebenarnya dihimpit oleh keberadaan partai politik (parpol). Parpol berperan strategis dalam proses demokrasi di daerah, karena parpol menjadi aktor yang bisa memunculkan calon bupati. Karena kandidat calon bupati harus memperoleh dukungan parpol yang menguasai 15% kursi di DPRD. Di sinilah masalah bagi calon yang tidak ditopang oleh uang. Untuk mendapatkan persetujuan partai politik, berbagai proses di berbagai tingkat harus dilewati calon bupati. Calon bupati harus meyakinkan pimpinan partai lokal sampai ke tingkat DPP. Akibatnya, proses ini menjadi sangat elitis dan hanya orang berduit yang punya peluang untuk ikut serta. Sehingga, secara kasar bisa dikatakan jika parpol saat ini menjadi “makelar” semata perannya akibat adanya dominasi uang yang dikendalikan oleh bandar. Disebut “makelar” karena yang muncul sebagai kandidat bupati bukan kadernya, bukan dari daerah asal bukan orang yang bersih, tetapi orang yang hanya punya duit saja. Dan di banyak daerah parpol memperjuangkan orang-orang seperti ini.

Maka, partisipasi sebagai indikator bahwa demokrasi lokal berjalan sesuai dengan track-nya ternyata kamuflase. Demokrasi saat ini dihadapkan pada konsentrasi kekuatan ekonomi yang hanya dimiliki oleh segelintir orang saja. Kasus di Kabupaten Kediri menujukkan bahwa suaminya (orang berduit) menjadi bandar bagi istri-istrinya untuk sebuah kepentingan dinasti kepemimpinan lokal. Sedangkan parpol di Kabupaten Kediri hanya menjadi “makelar” yang secara sah bisa meloloskan dari seleksi administrasi. Dan ini berlaku juga di 246 kabupaten lain yang akan menjalankan pilkada.

Maka, pilkada di 246 kabupaten dan kota berpotensi dipimpin dan dikendalikan oleh kekuatan “uang untuk mendapatkan uang” bukan dikendalikan oleh kekuatan “rakyat untuk kemakmuran rakyat.” Rasanya pilkada sudah menjadi proses demokrasinya orang kaya, dan mereka hanya membutuhkan partisipasi (mobilisasi) orang miskin. Dan jika proses demokrasi lokal selalu saja dibajak dengan uang, tentunya rakyat akan terus teralienasi dari kepentingannya untuk menuju kemakmuran, keadilan dan kesejahteraan. Inilah pembelajaran penting dalam demokrasi lokal saat ini. Bahwa dalam demokrasi kita, ada yang salah, demokrasi kita sedang sakit.


* Penulis adalah Direktur Punden (Perkumpulan Desa Mandiri) Nganjuk Jawa Timur, sekaligus anggota Forum Belajar Bersama Prakarsa Rakyat dari Simpul Jombang.

** Siapa saja dipersilahkan mengutip, menggandakan, menyebarluaskan sebagian atau seluruh materi yang termuat dalam portal ini selama untuk kajian dan mendukung gerakan rakyat. Untuk keperluan komersial pengguna harus mendapatkan ijin tertulis dari pengelola portal Prakarsa Rakyat. Setiap pengutipan, penggandaan dan penyebarluasan sebagian atau seluruh materi harus mencantumkan sumber (portal Prakarsa Rakyat atau www.prakarsa-rakyat.org).

Oleh : Roger Burbach *

Chili tengah mengalami guncangan sosial sebagai akibat dari gempa berkekuatan 8.8 SR yang menimpa negara itu pada 27 Februari silam. “’Garis patahan’ Keajaiban Ekonomi Chili telah terpapar,” demikian menurut Elias Padila, seorang profesor antropologi di Academic University of Christian Humanism di Santiago. “Pasar bebas, model ekonomi neo-liberal yang telah dijalankan Chili sejak zaman kediktatoran Pinochet, memiliki pijakan yang rapuh.”

Chili adalah salah satu masyarakat dengan tatanan paling senjang di dunia. Saat ini, 14 persen dari penduduknya hidup dalam kemiskinan, 20 persen masyarakat strata atas menguasai 50 persen dari pendapatan nasional, sementara 20 persen strata terbawah hanya memperoleh 5 persen pendapatan nasional. Pada survei Bank Dunia tahun 2005, Chili menduduki peringkat kedua belas dari 124 negara dalam daftar negara dengan distribusi pendapatan terburuk.

Ideologi pasar bebas yang merajalela telah menghasilkan rasa keterasingan yang mendalam pada sebagian besar penduduk. Walaupun koalisi partai-partai kiri-tengah telah menggantikan rezim Pinochet sejak dua puluh tahun silam, mereka memilih untuk mendepolitisasi Chili, memerintah secara top-down, menyelenggarakan pemilu terkendali tiap beberapa tahun, menyingkirkan organisasi-organisasi populer dan gerakan-gerakan sosial yang telah menjatuhkan kediktatoran Pinochet.

Uraian di atas menjelaskan peristiwa penjarahan dan kekacauan sosial di bagian selatan Chili yang telah tersiarkan ke seluruh dunia pada hari ketiga setelah gempa bumi. Di Conception, kota kedua terbesar di Chili yang bisa dikatakan rata dengan tanah, masyarakat hampir tak menerima bantuan apapun dari pemerintah pusat selama dua hari pertama. Rangkaian supermarket dan mal yang telah menggantikan toko-toko lokal di tahun-tahun belakangan ini tetap tutup.


Sebuah Pembalasan

Kekecewaan masyarakat mencapai puncaknya ketika massa turun ke pusat perdagangan dan mengangkut barang apapun. Tak hanya makanan dari supermarket, tapi juga sepatu, pakaian, TV plasma dan telepon seluler. Ini bukanlah penjarahan biasa, melainkan semacam pembalasan terhadap sistem ekonomi yang menetapkan bahwa hanya harta benda dan komoditaslah yang menjadi hal penting. Para “gente decente” atau para kaum mapan dan media terkemuka mulai menyebut mereka paria, pengacau dan penjahat. “Makin besar kesenjangan sosial yang ada, makin meningkat pula kejahatannya,” demikian dijelaskan Hugo Fruhling dari Pusat Studi Keamanan Masyarakat di Universitas Chili.

Dua hari menjelang huru-hara, pemerintahan Michele Bachelet menunjukkan ketidakmampuan mereka dalam memahami dan menangani tragedi kemanusiaan yang menimpa negara tersebut. Banyak menteri yang tengah menikmati liburan musim panas atau mengurusi kerugian mereka sendiri sambil mempersiapkan serah-terima jabatan mereka kepada pemerintahan sayap kanan pimpinan milyarder Sebastian Piñera yang ketika itu akan segera disumpah. Bachelet menyatakan bahwa kebutuhan rakyat Chili harus dikaji dan disurvey sebelum bantuan bisa dikirimkan. Pada Sabtu pagi di hari terjadinya gempa, ia memerintahkan aparat militer menyediakan sebuah helikopter untuk membawanya terbang di sekitar Conception, guna meninjau kerusakan yang terjadi. Hingga Minggu pagi helikopter tidak tersedia, dan rencana tersebut terbengkalai.

Carlos L. menulis sebuah email anonim yang menyebar luas di Chili: “Pastilah sulit untuk menemukan sebuah pemerintahan dalam sejarah negara ini yang memiliki banyak sekali sumberdaya—baik teknologi, ekonomi, politik dan organisasional—yang tak mampu memberikan respon atas kebutuhan sosial mendesak dari seluruh wilayah yang dicekam rasa takut, yang membutuhkan tempat berlindung, air, makanan juga harapan.”

Apa yang hadir di Conception pada hari Senin bukanlah pertolongan ataupun bantuan, melainkan beberapa ribu tentara dan polisi yang datang dengan truk juga pesawat terbang, sementara rakyat diperintahkan untuk tetap tinggal di rumah mereka. Puncak pertempuran terjadi di jalan-jalan Conception ketika gedung-gedung dibakar. Warga angkat senjata untuk melindungi rumah dan lingkungan mereka sementara kota tersebut nyaris berada di ambang perang urban. Pada hari Selasa akhirnya bantuan mulai datang sebagian, disertai lebih banyak tentara dan militerisasi wilayah selatan.

Menteri Dalam Negeri Amerika Serikat Hillary Clinton yang dalam perjalanan dinasnya ke Amerika Selatan dijadwalkan datang ke Chili sebelum peristiwa gempa, terbang ke Santiago di hari Selasa untuk bertemu dengan Bachelet dan Piñera. Ia membawa 20 telepon satelit dan teknisi bersamanya. Menurutnya, “Masalah terbesar biasanya adalah komunikasi, seperti yang kami temui di Haiti beberapa hari setelah gempa.” Namun tidaklah dipaparkan bahwa di Chili, Amerika mengirimkan tentaranya untuk menduduki Porte au Prince sebelum bantuan signifikan apapun terdistribusi.

Warisan Milton Friedman

Koran The Wall Street Journal terjun pula dalam kekisruhan ini sambil menjunjung model neoliberal, mereka menerbitkan artikel yang ditulis oleh Bret Stephens berjudul “Bagaimana Milton Friedman Menyelamatkan Chili.” Ia menegaskan bahwa, “Roh Friedman pastilah melindungi Chili pada Sabtu subuh. Berkat Friedman, Chili dapat bertahan dalam tragedi yang jika terjadi di tempat lain akan mengakibatkan kiamat.” Stephens pun melanjutkan pernyataannya, “Bukanlah kebetulan bahwa penduduk Chili tinggal di rumah tembok—sedangkan warga Haiti tinggal di gubuk jerami—ketika serigala datang meniup rumah mereka.” Chili mengadopsi “beberapa peraturan pendirian bangunan yang paling ketat di dunia,” ketika perekonomian tumbuh pesat akibat pengangkatan para ekonom didikan Friedman dalam kabinet oleh Pinochet, diikuti komitmen pemerintahan sipil terhadap neoliberalisme.

Ada dua permasalahan dalam pandangan ini. Pertama, seperti yang ditunjukkan oleh Naomi Klein dalam “Chile’s Socialist Rebar“ (Pagar Sosialis Chili) di Huffington Post, adalah pemerintahan sosialis Salvador Allende yang menetapkan peraturan pembangunan anti gempa yang pertama di tahun 1972. Aturan tersebut lantas diperkuat, bukan oleh Pinochet, melainkan oleh pemerintahan sipil yang kembali berkuasa di tahun 1990-an.

Kedua, sebagaimana dilaporkan oleh CIPER (the Center of Journalistic Investigation and Information—Pusat Investigasi dan Informasi Jurnalistik) pada 6 Maret silam, sebagian besar wilayah Santiago memiliki 23 kompleks perumahan dan gedung bertingkat yang dibangun dalam lima belas tahun terakhir yang mengalami kerusakan akibat gempa. Aturan pembangunan telah diabaikan, dan “tanggung jawab dari perusahaan-perusahaan real estate kini menjadi bahan perdebatan publik.” Di Chili pada umumnya, dua juta orang dari populasi sebesar tujuh belas juta jiwa adalah tuna wisma. Kebanyakan rumah-rumah yang hancur akibat gempa dibangun dengan bahan batu bata dan bahan bangunan alternatif lainnya. Bangunan-bangunan tersebut berdiri di daerah kumuh sebagai sarana pemukiman murah bagi para pekerja informal di industri dan bisnis terbesar di Chili.

Kecil harapan bahwa pemerintahan Sebastian Piñera akan memperbaiki kondisi kesenjangan sosial yang terekspos akibat gempa. Sebagai orang terkaya di Chili, ia dan beberapa penasihat dan menteri-menterinya terlibat sebagai pemegang saham mayoritas dalam proyek-proyek konstruksi yang rusak berat akibat gempa karena mengabaikan aturan pembangunan. Selepas berkampanye tentang platform untuk mengamankan perkotaan dan memberantas pengacau serta kriminal, ia mengkritik Bachelet yang menurutnya tidak cukup segera mengirimkan pasukan militer setelah gempa terjadi.


Tanda-Tanda Perlawanan

Gejala kebangkitan kembali organisasi-organisasi populer dan gerakan akar rumput yang selama ini telah menyejarah di Chili telah bermunculan. Koalisi enam puluh organisasi sosial dan non-pemerintah mengeluarkan surat pernyataan berisi: “Dalam keadaan dramatis ini, rakyat yang terorganisir telah terbukti mampu memberikan respon yang urgen, segera dan kreatif terhadap krisis sosial yang tengah dialami jutaan keluarga. Berbagai macam organisasi—rukun tetangga, komite untuk perumahan dan tuna wisma, serikat perdagangan, federasi universitas dan perkumpulan pelajar, organisasi budaya, pemerhati lingkungan—serentak bergerak, menunjukkan potensi idealnya serta solidaritas komunal.” Deklarasi tersebut mengerucut pada tuntutan terhadap pemerintahan Piñera agar memberikan hak untuk “memonitor perencanaan dan model rekonstruksi yang melibatkan seluruh komunitas secara partisipatif.”*

*Lihat Asociacion Chilena de ONGs Accion, La Ciudadania, Protagonista de la Reconstruccion del Pais, 7 Maret 2010, dipublikasikan di Clarin, http://www.elclarin.cl/index.php?option=com_content&task=view&id=20384&Itemid=48


* Roger Burbach bermukim di Chili pada masa kekuasaan Allende. Ia adalah penulis buku The Pinochet Affair: State Terrorism and Global Justice terbitan Zed Books dan direktur CENSA (Center for the Study of the Americas – Pusat Studi Amerika) yang berpusat di Berkeley, Amerika. Artikel dimuat di http://globalalternatives.org/node/112

** Terima kasih kepada Roger Burbach yang telah mengijinkan tulisannya dimuat di Buletin Elektronik SADAR, dan kepada Desiyanti Wirabrata yang telah menerjemahkannya dari Bahasa Inggris.

*** Siapa saja dipersilahkan mengutip, menggandakan, menyebarluaskan sebagian atau seluruh materi yang termuat dalam portal ini selama untuk kajian dan mendukung gerakan rakyat. Untuk keperluan komersial pengguna harus mendapatkan ijin tertulis dari pengelola portal Prakarsa Rakyat. Setiap pengutipan, penggandaan dan penyebarluasan sebagian atau seluruh materi harus mencantumkan sumber (portal Prakarsa Rakyat atau www.prakarsa-rakyat.org).


(Tulisan berikut ini juga disajikan dalam website http://umarsaid.free.fr  )
 
Perubahan besar dan bersejarah dalam PRD
 
Di tengah-tengah maraknya gerakan berbagai kalangan dalam masyarakat Indonesia untuk menentang neo-liberalisme, ditambah berkobarnya gejolak dalam opini publik karena timbulnya skandal raksasa Bank Century, Keputusan DPR soal Bank Century, serta berita-berita besar soal korupsi di kalangan "atas", ada peristiwa menarik yang kiranya patut mendapat perhatian dari berbagai fihak.
 
Peristiwa tersebut adalah kongres ke-7 PRD yang diadakan baru-baru ini, yang telah mengambil keputusan-keputusan penting dan bersejarah, yang mencerminkan adanya perubahan-perubahan besar dalam kehidupan dan perjuangan PRD selama 14 tahun. Bagi mereka yang banyak sedikitnya sudah mengenal sepak terjang PRD di masa yang lalu (dan juga bagi yang ingin mengetahui perkembangannya sekarang ini), seyogyanya mencermati dengan teliti (!)  keputusan-keputusan kongres, yang disajikan di bawah ini.
 
Karena, PRD yang bagi banyak kalangan dipandang sebagai organisasi kiri yang menjadi legendaris karena perjuangannya yang berani, gigih dan banyak pengorbanan dalam melawan rejim militer Orde Baru (dan biasanya banyak bekerja di bawah tanah atau clandestine) sudah mengambil keputusan untuk menjadi partai yang bersifat terbuka, mengibarkan azas Pancasila seperti yang digagas oleh Bung Karno. PRD memandang, bahwa nilai-nilai Bung Karno itu perlu kembali diangkat, dipahami, dan digunakan oleh Rakyat Indonesia, sebagai dasar pemikiran (asas) menuju cita-cita nasional.
 
Kongres PRD juga memutuskan sebagai tujuan : "Mewujudkan masyarakat adil dan makmur, menghapuskan penindasan manusia atas manusia serta penindasan bangsa atas bangsa".  Keputusan kongres itu, juga mencerminkan bahwa PRD sekarang ini ingin membuang kesan-kesan dari publik selama ini, bahwa PRD adalah eksklusif  (atau sektaris) dalam era keterbukaan politik, dan karenanya menciptakan sekat atau jarak antara PRD dengan masyarakat.
 
Bisalah kiranya diharapkan, bahwa dengan perubahan-perubahan besar ini, PRD akan dapat berkembang lehih besar dan kuat untuk bisa memberikan sumbangan yang lebih  besar kepada perjuangan bersama  -  dengan golongan demokratis lainnya -  untuk akhirnya mendatangkan perubahan-perubahan besar dan fudamental di negeri kita.
 
Sebab, negara dan bangsa kita membutuhkan adanya gerakan extra-parlementer yang besar, kuat, dan luas, termasuk PRD !
 
 
Paris, 19 Maret 2010
 
A. Umar Said
 
 
 * * **
 
PRD: Titik Balik Dalam 14 Tahun Perjalanan Partai

 
Keputusan kongres ke-7 PRD :

Pada tanggal 1 sampai 3 Maret 2010, Partai Rakyat Demokratik (PRD) menyelenggarakan Kongresnya yang ke-VII (tujuh) di Salatiga, Jawa Tengah. Kongres ini diikuti sekitar 100 kader/perwakilan dari 19 provinsi. Kongres ke-VII ini, disebut-sebut sebagai titik balik (point of return) dalam kurun empat belas tahun perjalanan PRD. Partai Rakyat Demokratik, dideklarasikan tanggal 22 Juli 1996, sempat melewati masa kritis akibat represi rezim otoriter Orde Baru. Namun, di antara tahun 1996-1998 itu, PRD tetap melakukan perlawanan dengan taktik perjuangan bawah tanah (clandestine).


Semangat Berkongres

Setelah Orde Baru ambruk, sejumlah perdebatan internal mewarnai keberadaan dan gerak PRD, baik perdebatan teoritis maupun praktis. Perdebatan menyangkut kesimpulan atas persoalan pokok masyarakat Indonesia, rumusan asas, strategi politik, strategi organisasi, dan bahkan tujuan PRD. Perdebatan-perdebatan ini kerap berujung perpecahan. Namun, saat ini coba dimaknai kembali, bahwa perdebatan-perdebatan tersebut merupakan upaya (atau jalan) untuk mencapai bentuk dan pola perjuangan partai yang terbaik, di atas kondisi-kondisi yang baru. Perdebatan-perdebatan tersebut, dan bercampur pengalaman praktisnya, telah diambil sebagai pelajaran berharga untuk merumuskan dan menatap masa depan.
 
Terkait pemaknaan akan hal tersebut di atas, terbersit semangat yang kuat di kalangan kader PRD untuk: (1) menghilangkan kecenderungan dogmatisme terhadap teori-teori perjuangan. (2) berupaya semakin mengenal kondisi-kondisi masyarakat Indonesia pada bidang ekonomi, politik, dan sosial budaya, sekalian mendalami sejarahnya, dan merumuskan solusi atas masalah-masalahnya.
 

Persoalan pokok Masyarakat Indonesia

Kongres PRD secara aklamasi memutuskan jawaban atas pertanyaan: apa persoalan pokok masyarakat Indonesia saat ini? Disepakati, bahwa gerak perkembangan masyarakat Indonesia, untuk keluar dari kemiskinan dan keterbelakangan, terhambat oleh suatu bentuk penjajahan baru. Sejak pemilihan umum presiden tahun 2009 lalu, khalayak umum mulai mengenal hambatan/persoalan ini dengan istilah: "neoliberalisme".

Neoliberalisme, adalah sebuah sistem sosial yang menyokong penguasaan/perampasan sumber daya ekonomi (tanah/lahan/tempat tinggal, modal/uang, pasar/konsumen/pembeli, alat kerja, dan pengetahuan/teknologi) oleh modal besar yang mayoritas milik asing. Penguasaan/perampasan sumber daya ekonomi tersebut, secara cepat atau lambat, semakin menciptakan ketidakadilan sosial yang luar biasa, antara yang sangat kaya dan yang miskin, antara negeri-negeri/bangsa-bangsa yang maju dan yang terbelakang.

Di Indonesia sekarang, terdapat hampir empat puluh juta pengangguran, dan 70% dari 115 juta angkatan kerja merupakan pekerja sektor informal. Mereka adalah tenaga produktif yang sedang disia-siakan oleh negara, dalam kekuasaan politik/cengkraman neoliberalisme, sehingga juga ditelantarkan. Indonesia tertinggal dalam hal perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Indikasi fakta ini bisa dikongkritkan, bahwa setelah 65 tahun proklamasi kemerdekaan, masih terdapat 55% angkatan kerja yang hanya mengecap pendidikan pada Sekolah Dasar (SD).

Neoliberalisme turut mengancam keberadaan borjuasi (pengusaha/pemilik modal) nasional karena persaingan-persaingan sebagai sesama pengusaha/pemilik modal. Neoliberalisme berpadu dengan korupsi melahirkan penindasan struktural yang tak berperikemanusiaan dan tak berperikeadilan, khususnya terhadap golongan-golongan termiskin dalam masyarakat-yang saat ini berjumlah lebih dari 100 juta jiwa.

Persoalan-persoalan masyarakat lainnya, telah digolongkan sebagai bagian dari sistem neoliberalisme, atau terkait secara tidak langsung. Masalah budaya politik di bawah iklim liberalisme yang berpadu sisa otoritarianisme dan budaya feodalisme (seperti politik pencitraan, politik represi, dan politik uang) cukup sering disebut dalam Kongres. Juga persoalan korporat media yang memonopoli dan mengendalikan isu/materi penyiaran.

Kongres PRD juga menyimpulkan adanya gerak perubahan situasi geopolitik internasional, dari dunia unipolar (dengan sentralnya di Amerika Serikat) menuju multipolar. Indikasinya, antara lain, kemunculan potensi kekuatan-kekuatan dunia baru BIRC - Brasil, India, Rusia, dan Cina/Tiongkok, serta Amerika Latin. Tampak juga, kecenderungan kapital di banyak negeri mulai coba berlindung di balik kepentingan nasionalnya. Meski belum menampak jelas, perubahan situasi geopolitik internasional ini turut membawa dampak tertentu ke dalam negeri.
 

Asas PRD

Hasil penting lain adalah perubahan asas PRD, dari Sosial Demokrasi Kerakyatan menjadi Pancasila. Sosial Demokrasi Kerakyatan masih dinilai positif dalam makna perjuangan bagi demokrasi dan keadilan sosial, namun kurang mengekspresikan semangat kebangsaan/kepentingan nasional-yang telah menjadi kebutuhan obyektif. Perubahan ini tidak membawa argumentasi: "untuk menghindari stigma komunis" yang selama ini dilekatkan kepada PRD. Stigmatisasi tidak merubah kenyataan kongkrit. Lebih jauh, pilihan Pancasila sebagai asas PRD merupakan hasil pendalaman terhadap hakikat Pancasila yang dimaksud oleh pencetusnya dan pada zamannya, Soekarno.

Orde Baru menyalahgunakan Pancasila untuk menyelubungi kejahatannya. Tapi penyalahgunaan ini tidak sanggup menghapus  nilai-nilai dan maksud baiknya bagi seluruh rakyat Indonesia dan masyarakat dunia. PRD memandang, nilai-nilai itu perlu kembali diangkat, dipahami, dan digunakan oleh Rakyat Indonesia, sebagai dasar pemikiran (asas) menuju cita-cita nasional. Asas tersebut ada di tengah kehidupan masyarakat Indonesia: Ketuhanan atau Spiritualitas, Kesetaraan Manusia/Internasionalisme, Kebangsaan/Nasionalisme, Demokrasi/ Kedaulatan  Rakyat, dan Keadilan Sosial/Sosialisme.

Usulan opsi selain Pancasila yang muncul dalam dinamika Kongres adalah: 1) Sosio Demokrasi - Sosio Nasionalisme/Bung Karnoisme; 2) Sosialisme Indonesia/Soekarnoisme; 3) Marxisme-Leninismee, dan; 4) Gotong Royong/Pluralisme Kiri.


Tujuan

Beberapa usulan berbeda sempat kembali muncul dalam pembahasan tujuan PRD. Dan pada akhirnya tujuan PRD yang diputuskan dan ditetapkan adalah "Mewujudkan masyarakat adil dan makmur, menghapuskan penindasan manusia atas manusia serta penindasan bangsa atas bangsa".

Opsi di atas unggul dalam perolehan suara terhadap beberapa usulan lain, yaitu: (1) "membangun pemerintahan persatuan nasional yang berjiwa Tri Sakti", (2) "Membentuk pemerintahan revolusioner sementara buruh dan tani; dan (3) "Esensi Preambule/Pembukaan UUD 1945".


PRD Partai Terbuka

Kongres ke VII PRD secara aklamasi menetapkan PRD sebagai partai yang bersifat terbuka. Kesan eksklusif sempat melekat pada PRD, sebagai konsekuensi mekanisme penyaringan anggota yang ketat, serta pengaruh lanjutan dari taktik perjuangan bawah tanah di era kediktoran Orde Baru-yang tepat pada masa/situasinya. Disadari kemudian, bahwa dua belas tahun penerapan model tersebut dalam era keterbukaan politik, justru menciptakan sekat atau jarak antara Partai dengan masyarakat. Sekat ini tetap ada dan terasa, sekalipun mayoritas kader PRD terlibat aktif dalam pengorganisasian dan perjuangan masyarakat di berbagai sektor, seperti; buruh, petani, rakyat miskin perkotaan, pedagang/pengusaha kecil, mahasiswa, pencari kerja, pekerja paruh waktu, profesional, seniman dan budayawan.

Keputusan menjadi partai terbuka adalah upaya menghilangkan jarak atau sekat tersebut. Dengan demikian, tiap-tiap warga atau rakyat Indonesia yang setuju pada asaz, tujuan, serta Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) PRD dapat menjadi anggota. Dalam konggres sempat tergambarkan konsep untuk menjalankan mekanisme organisasi yang demokratis, dalam mengolah hak dan kewajiban tiap-tiap kader dan anggotanya. Konsep ini akan dielaborasi lebih jauh, agar dapat merajut potensi yang ada menjadi kesatuan perjuangan yang berhari depan. Baik perjuangan di lapangan elektoral maupun di lapangan non-elektoral.

PRD bertekad membangun basis-basis konstituen secara berkelanjutan, dan kaderisasi untuk melahirkan calon-calon pemimpin di tingkat lokal maupun nasional. Capaian pengorganisasian tersebut akan dilaporkan secara reguler kepada seluruh kader dan anggota. PRD tetap dan akan berupaya menjalin kerjasama sebaik-baiknya dengan kekuatan politik nasional lain dalam perjuangan menghadapi neoliberalisme.


Struktur dan Pengurus/Kepemimpinan

Kongres menetapkan struktur badan penyusun PRD terdiri atas: Kongres (sebagai badan pengambil keputusan tertinggi), berikut Presidium Nasional (Presnas), Komite Pimpinan Pusat (KPP), Komite Pimpinan Wilayah (KPW), Komite Pimpinan Kabupaten/Kota (KPK), Komite Pimpinan Kecamatan (KPC), Komite Pimpinan Desa (KPD) dan Komite Pimpinan Kelurahan (KPL).

Pemilihan Ketua dan Sekretaris Jenderal Presidium Nasional (Presnas), yang sekaligus menjabat Ketua dan Sekretaris Jenderal Komite Pimpinan Pusat PRD telah dilangsungkan. Pencalonan bersistem paket ini akhirnya dimenangkan oleh pasangan Agus Jabo Priyono sebagai Ketua, dan I Gede Sandra sebagai Sekretaris Jenderal. Kepemimpinan terpilih mencerminkan perpaduan dua generasi dalam PRD. Agus Jabo Priyono, awalnya seorang aktivis mahasiswa Universitas Negeri Sebelas Maret - Solo (UNS) dekade 1990-an, yang turut menjadi pendiri PRD.

I Gede Sandra adalah aktivis politik, alumnus Institut Teknologi Bandung (ITB) tahun 2005. Paket ini unggul pada putaran kedua pemilihan, atas dua paket lainnya yaitu: Agus Jabo Priyono (calon Ketua) - Binbin Firman Tresnadi (calon Sekjen), dan paket Lalu Hilman Afriandi (calon Ketua) - I Gede Sandra (calon Sekjen). Sejumlah nama lainnya sempat meramaikan putaran pertama sebagai calon Ketua dan Sekjen PRD. Mereka antara lain Marlo Sitompul, Data Brainata, Yulia Evina Bhara, dan Rudi Hartono (mengundurkan diri dari pencalonan).

(Demikian siaran yang disajikan oleh Berdikari Online, organ PRD, pada tanggal 15 Maret 2010)
 

* * *


Assalamualaykum penonton... :-)

Bagi antum yg belum menonton film ttg perjuangan Nabi Muhammad SAW yg berjudul
"MUHAMMAD: The Last Prophet", berikut saya sertakan link download film tersebut. Film ini cukup bagus untuk ditonton oleh semua umur, karena sangat mendidik. Di dalam film ini tentu saja tidak menampilkan gambar sosok Nabi, tapi hanya diilustrasikan saja lewat narasi dan bahasa gambar.

JUDUL FILM:

MUHAMMAD: The Last Prophet (2002)

COVER:

Lihat bagian paling bawah halaman ini

DOWNLOAD URL:
(server lokal)
Klik kanan - Save Link As
Download film Muhammad The Last Prophet.avi
(564 MB)

SUBTITLE:

Klik kanan - Save Link As
- Download subtitle (terjemahan) film Muhammad The Last Prophet.srt ( English, 65.1 KB )

Klik normal (klik kiri untuk menuju ke websitenya )

- Download subtitle (terjemahan) film Muhammad The Last Prophet.aspx ( teks bahasa Indonesia, 71.0 KB, tapi sepertinya harus diperbaiki dulu dng Notepad, karena bahasanya agak aneh :D )


SINOPSIS:

Awan mendung menggelayut di tanah Mekkah. Terik matahari yang garang tetap tak bisa membuat tanah Mekkah bersinar. Mekkah memang tengah dilanda gelap gulita. Kemerosotan akhlak berlangsung di mana-mana. Pemujaan berhala dan penindasan terhadap hamba sahaya menjadi pemandangan kusam di Mekkah. Ya, zaman jahilyiah tengah berlangsung disana.

Sebuah cahaya terang menyeruak di tengah kegelapan yang berkepanjangan itu. Seorang pemuda berjuluk Al-amin (dapat dipercaya) muncul. Dialah Muhammad, keponakan dari tokoh kaum Quraiys Abu Tholib, yang bersahaja dan rendah hati.


Melihat masyarakat dan sejumlah petinggi kaum Quraiys yang dzalim, hati Muhammad tergerak. Ia pun memilih menyendiri di Gua Hira. Tak dinyana, sebuah suara tiba-tiba terdengar. Tubuh Muhammad pun menggigil lemas. Lalu, sebuah perintah pun terlontar, "Iqra (bacalah-red)," Mendengar perintah itu tubuh Muhammad makin mengigil, lalu ia pun menjawab, "Saya tidak bisa membaca." "Iqra," pinta suara itu lagi. Seiring itu pulalah, Muhammad menjawab dengan ucapan yang sama.

Itulah saat-saat Muhammad menerima wahyu pertama, surat Al-Alaq, dari Allah SWT melalui malaikat Jibril di Gua Hira.


Perjuangan menyuarakan agama Allah taklah mudah bagi Muhammad di kalangan kaum Quraiys yang dzalim. Karenanya, Muhammad memilih bergerilya untuk menyebarkan ajaran-ajaran Islam kala itu.


Menggambarkan seluruh perjalanan dakwah Nabi Muhammad jelas membutuhkan waktu yang panjang untuk dijabarkan. Karenanya, film Muhammad, the Last Prophet lebih mengangkat kisah Nabi Muhammad pada periode Mekkah, Madinah dan fathu Mekkah, yakni kembalinya Muhammad ke Mekkah tanpa ada pertumpahan darah dan ratusan berhala-berhala dalam Kabah dibersihkan.


Sebelum dipublikasikan ke publik, film animasi ini diteliti dan disetujui oleh Al-Azhar Islamic Research Academy. Kisahnya sendiri diteliti dan diawasi oleh lembaga pendidikan penulisan Naskah UCLA, Ms. Firdosi Wharton-Ali dan seorang profesor hukum Islam UCLA, Dr Khaled Abou El Fadl.


Muhammad The Last Prophet, penggarapannya dipercayakan kepada Richard Rich, sutradara yang pernah menggarap film animasi klasik "the Fox and the Hound". Bagi Rich, menggarap kisah yang menggambarkan sosok Nabi Muhammad jelas memerlukan kehati-hatian, termasuk menghadirkan sosok Muhammad tanpa mengurangi ruh dari film tersebut.


"Menyajikan kisah ini agar lebih hidup merupakan sebuah tantangan yang sangat besar, tapi itu memberi apresiasi yang luar biasa atas apa yang telah dikerjakan Muhammad untuk peradaban," ujar Rich mengomentari film garapannya.


Untuk memudahkan pemahaman penonton, khususnya anak-anak, Rich juga memasukkan sejumlah narasi ketika menghadirkan sosok Muhammad. Selain menghadirkan sosok Muhammad, Abu Thalib, menjadi sosok yang juga tak kalah penting. Untuk mengisi suaranya, dibutuhkan orang yang suara yang betul-betul pas dengan karakternya.


Pilihan akhirnya jatuh pada Eli Allem, seorang aktor veteran panggung juga film. Sayang, film ini menjadi film terakhir buatnya. Allem meninggal dunia setelah ia menunaikan tugasnya mengisi suara Abu Thalib.


Film yang diproduksi Badr International Corporation, yang bermarkas di Inggris ini, diselesaikan dalam kurun waktu dua tahun serta mencakup 196 ribu gambar. Seluruh kegiatan designingnya sendiri berlangsung di Richrest Animation, Burbank, California.



INFO TAMBAHAN:

Sebelum memutar film ini di PC / laptop, komputer kita harus sudah terinstal codec divx terlebih dahulu. Dan untuk menampilkan subtitle-nya, biasanya banyak para user yg menggunakan aplikasi Media Player Classic. Bagi antum yg belum mempunyai Media Player Classic beserta codec divx, berikut adalah link downloadnya:

Media Player Classic Home Cinema (klik kanan pilih "Save Link As") :

Download Media Player Classic Home Cinema.zip
(6.58 MB)


Untuk penggunaan subtitle, ada dua cara:


  1. Cara pertama, jalankan file film dng menggunakan Media Player Classic yg telah kita instal. Lalu ketika film sudah mulai diputar, kita drag file subtitle dari windows explorer ke jendela Media Player Classic.
  2. Cara kedua, ketika film mulai diputar di Media Player Classic, klik menu FILE > Load Subtitle, dan arahkan dimana kita menyimpan file subtitle yg telah kita download.

COVER:


Muhammad The Last Prophet.jpg

Okeh penonton... sekian saja info dari sayah... ^_^
 
Wassalamualaikum wr wb

X-RAY

Oleh : Ari Yurino*

Kedatangan Barack Obama, Presiden AS, ke Indonesia tentunya telah menyita perhatian para pejabat pemerintah dan masyarakat di Indonesia. Perjanjian-perjanjian baru pun segera dibuat oleh pemerintah Indonesia untuk menyambut Barack Obama. Ada sekitar enam perjanjian kerjasama antara Indonesia dan Amerika Serikat yang akan ditandatangani selama kunjungan Presiden Amerika Serikat tersebut ke Indonesia. Perjanjian tersebut di antaranya melingkupi investasi di bidang pertanian, kehutanan, energi, sumber daya mineral dan pendidikan.

Kedatangan Obama memang dimanfaatkan oleh pemerintah Indonesia untuk mendukung pembangunan nasional semaksimal mungkin. Rencananya bahkan Obama akan didampingi oleh sederet bos-bos besar dari Amerika Serikat. Hal ini lah yang membuat pemerintah Indonesia, beserta pengusaha-pengusaha Indonesia bersiap diri untuk menyambut kedatangan Obama ke Indonesia.

Wacana Pencabutan Larangan Program Pelatihan

Namun yang patut diketahui adalah selain agenda-agenda kerjasama tersebut, ternyata ada satu “permohonan” dari militer di Indonesia kepada pemerintahan Amerika Serikat. Permohonan tersebut adalah dicabutnya pelarangan program pelatihan dari pemerintahan AS ke Kopassus.

Sejak tahun 1997, pemerintahan AS mengeluarkan aturan yang melarang kerjasama militer antara pemerintah AS dan Indonesia. Aturan ini sendiri digolkan seorang senator berpengatuh dari Partai Demokrat, Patrick J. Leahy, sehingga aturan tersebut dikenal dengan nama aturan Leahy (Leahy Law). Keluarnya aturan tersebut dikarenakan sejumlah pelanggaran HAM yang dilakukan oleh pihak Kopassus saat Indonesia masih didominasi oleh kekuatan militer semasa rezim Soeharto. Dalam aturan Leahy disebutkan bahwa pemerintah Indonesia harus mengambil langkah efektif terlebih dahulu untuk membawa anggota-anggota Kopassus ke hadapan hukum, sebelum diberlakukannya kembali kerjasama militer antara AS dan Indonesia.

Hal ini tentu saja dapat dimaknai bahwa senator Leahy menjunjung tinggi penghormatan Hak Asasi Manusia di Indonesia. Aturan tersebut mengharuskan adanya penuntasan kasus pelanggaran HAM yang dilakukan oleh Kopassus terlebih dahulu, baru kemudian memperbaharui kerjasama di bidang pertahanan dengan AS.

Akibat dari aturan Leahy tersebut, kerjasama di bidang pertahanan antara AS dan Indonesia dibekukan (diembargo). Telah beberapa kali Kopassus tidak diikutsertakan dalam International Military Educational Training (IMET) yang diselenggarakan oleh pemerintahan AS.

Upaya untuk melobi pemerintahan AS pun gencar dilakukan oleh petinggi Kopassus dan elit politik, agar pemerintahan AS mencabut aturan Leahy. Menurut informasi dari beberapa sumber yang dihimpun Washington Post dinyatakan bahwa 4 petinggi Kopassus – termasuk Komandan Jenderal Mayjend TNI Lodewijk Paulus – pernah berada di Washington untuk mendiskusikan penawaran pencabutan larangan tersebut.

Beberapa anggota DPR dari Komisi I bahkan mendukung pencabutan larangan tersebut. Argumentasi yang dikemukakan adalah para pelaku pelanggar HAM, khususnya di Kopassus, telah menjalani proses pengadilan. Artinya anggota DPR menganggap bahwa kasus-kasus pelanggaran HAM di masa lalu, khususnya kasus penghilangan paksa aktivis 1997/1998 telah selesai dan tidak perlu diganggu gugat.

Namun penentangan terhadap wacana pencabutan larangan program latihan bagi Kopassus segera dilakukan oleh Patrick J. Leahy. Dia menganggap sebagai sebuah kekeliruan jika pemerintahan AS mencabut larangan tersebut, karena aturan tersebut telah menjadi sebuah kebijakan dalam beberapa era pemerintahan AS. Human Rights Watch juga menyatakan penentangannya terhadap rencana pemerintahan AS untuk kembali memberikan pelatihan bagi Kopassus karena upaya pemerintah Indonesia untuk menyeret pelaku pelanggaran HAM sejauh ini belum signifikan. Bahkan menurut Human Rights Watch, yang disayangkan adalah pelaku pelanggaran HAM tetap bertugas dan mendapatkan promosi jabatan dalam tubuh pasukan bersenjata Indonesia, terutama Kopassus.

Human Rigths Watch juga menyinggung Letnan Jenderal Sjafrie Sjamsoeddin yang kini menjabat Wakil Menteri Pertahanan. Saat masih menjadi pejabat senior Kopassus dan institusi militer, Sjafrie Sjamsoeddin terlibat dalam kasus penghilangan paksa sejumlah aktivis 1997/1998 dan aksi kekerasan di masa-masa referendum kemerdekaan Timor Timur tahun 1999. Pemerintahan AS pun mencekal Sjafrie Sjamsoeddin masuk ke wilayah AS pada September 2009.

Kasus Penghilangan Paksa Aktivis 1997/1998 belum selesai

Upaya penuntasan kasus pelanggaran HAM yang dilakukan oleh Kopassus hingga saat ini tidak pernah dilakukan atau tidak memenuhi rasa keadilan bagi keluarga korban pelanggaran HAM. Beberapa mekanisme penyelesaian kasus memang telah dijalankan oleh pemerintah, seperti halnya Pengadilan Militer atas 11 anggota Tim Mawar Kopassus. Berulang kali, beberapa pejabat militer dan elit politik menyatakan bahwa kasus penghilangan paksa aktivis yang terjadi di tahun 1997-1998 telah selesai karena sudah digelar Pengadilan Militer tersebut. Namun kenyataannya Pengadilan Militer tersebut hanya dilakukan untuk kasus penghilangan paksa yang menyangkut 9 orang saja, yang kesemuanya sudah dibebaskan. Pengadilan Militer telah gagal menjelaskan nasib korban yang lain, yang hingga saat ini masih hilang dan diketahui mereka disekap di tempat yang sama dengan beberapa orang dari korban yang telah dilepaskan.

Pengadilan Militer pun hanya mengadili para pelaku lapangan (11 anggota Tim Mawar Kopassus) dan tidak menyentuh satu orang pun yang menjadi otak dan komandannya. Selain itu, beberapa dari anggota Tim Mawar yang dipecat ternyata saat ini mendapatkan promosi dan menduduki jabatan penting. Kemudian para komandan, seperti Prabowo Subianto, Muchdi PR dan Chairawan hanya diberi sanksi oleh Dewan Kehormatan Perwira (DKP), bukan oleh sebuah putusan pengadilan.

Pelanggaran HAM masa lalu menghambat investasi?

Komentar dari anggota DPR bahwa kasus pelanggaran HAM masa lalu telah selesai, sebenarnya telah menjadi pernyataan yang sangat umum saat ini dikeluarkan oleh para pejabat negara. Beberapa kali dalam pernyataan di kampanye pemilu, pejabat-pejabat negara atau tokoh-tokoh nasional mengajak masyarakat agar “menatap hari depan yang lebih baik” dengan melupakan masa lalu. Penuntasan pelanggaran HAM masa lalu dianggap sebagai sesuatu yang harus dilupakan. Karena dengan menuntaskan pelanggaran HAM masa lalu serta membawa para pelaku ke hadapan hukum, maka akan memberikan citra yang tidak baik bagi Indonesia yang sedang gencar-gencarnya mengejar investor asing. Inilah salah satu dampak dari penerapan neoliberalisme terhadap penegakan HAM di Indonesia.

Pemikiran ini pun akhirnya diamini oleh sebagian masyarakat. Artinya janji-janji hari depan yang lebih baik telah merasuki pemikiran masyarakat sehingga masyarakat beranggapan bahwa penuntasan pelanggaran HAM masa lalu hanya akan menghambat pembangunan nasional. Inilah yang dihadapi oleh korban dan keluarga korban pelanggaran HAM saat ini.

Citra Indonesia pun bisa dibilang dibangun di atas pelupaan masyarakat akan terjadinya kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu. Perjuangan yang seharusnya dilakukan pun menjadi berlipat ganda. Selain bergulat dengan strategi para pelaku yang berupaya mengingkari keadilan, namun juga harus bergulat dengan pandangan masyarakat yang menginginkan hari depan yang lebih baik. Selain itu, korban dan keluarga korban juga harus bergulat dengan kebutuhan dasar hidup yang semakin sulit didapat karena krisis ekonomi dan keganasan neoliberalisme.

Apa yang harus dilakukan?

Sambutan meriah atas kedatangan Obama ke Indonesia, tentunya juga harus dimanfaatkan oleh korban dan keluarga korban pelanggaran HAM untuk melawan lupa. Korban dan keluarga korban pelanggaran HAM harus bersuara untuk mengingatkan pemerintahan AS agar tidak mencabut larangan pelatihan militer antara pemerintahan AS dan Kopassus. Aturan Leahy yang telah diterapkan di AS harus secara konsisten dijalankan oleh pemerintahan AS dan mendesak para pelaku pelanggar HAM, khususnya dari Kopassus, untuk dihadapkan ke hadapan hukum.

Desakan kepada Presiden RI untuk menindaklanjuti 4 rekomendasi sidang paripurna DPR mengenai kasus penghilangan paksa aktivis 1997/1998 juga harus terus dilakukan. Upaya mendesak Presiden RI ini tentu saja tidak mungkin dilakukan oleh korban dan keluarga korban pelanggaran HAM sendirian. Tentunya untuk mendesak tuntutan tersebut dibutuhkan kekuatan massa yang besar. Maka dari itu, dibutuhkan pembangunan jaringan-jaringan sesama organisasi massa seperti organisasi buruh, tani, mahasiswa dan lainnya untuk mendesak Presiden RI agar mengeluarkan kebijakan yang pro terhadap rakyatnya. Beberapa pembangunan jaringan ini sebenarnya sudah dilakukan di beberapa kota di Indonesia, tinggal mensinergikan kerja-kerja antara organisasi yang berada di dalamnya.

Tentunya seluruh rakyat Indonesia memiliki permasalahan yang ditimbulkan oleh sumber yang sama, yaitu neoliberalisme.



* Penulis adalah anggota Divisi Kampanye dan Advokasi Federasi Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia (IKOHI), sekaligus anggota Forum Belajar Bersama Prakarsa Rakyat dari Simpul Jabodetabek.

** Siapa saja dipersilahkan mengutip, menggandakan, menyebarluaskan sebagian atau seluruh materi yang termuat dalam portal ini selama untuk kajian dan mendukung gerakan rakyat. Untuk keperluan komersial pengguna harus mendapatkan ijin tertulis dari pengelola portal Prakarsa Rakyat. Setiap pengutipan, penggandaan dan penyebarluasan sebagian atau seluruh materi harus mencantumkan sumber (portal Prakarsa Rakyat atau www.prakarsa-rakyat.org).

Oleh : Ponisah*

Perempuan malam mandi di kali
Buih-buih busa shampo ketengan
Di atas kepala lewat kereta
Yang berjalan lamban nakal menggoda
Disambut tawa renyah memecah langit
Dengus kereta semakin genit
(Penggalan lirik lagu Perempuan Malam, Iwan Fals)


Beberapa pekan yang lalu, situasi nasional digegerkan dengan isu “nikah siri” yang dilontarkan oleh departemen agama dan menjadi bahan perbincangan dari banyak kalangan. Bahkan isu ini sempat dikhawatirkan menggeser isu Pansus Bank Century yang mendekati episode akhir. Namun tanpa disadari, isu “nikah siri” tersebut akan terhubung dengan satu momentum peringatan Hari Perempuan Sedunia (IWD) yang jatuh pada tanggal 8 Maret.

Tanggal 8 Maret adalah sebuah hari yang oleh rezim berkuasa SBY-Budiono tidak dilirik sedikitpun, bahkan kita juga bisa miris bila melihat ternyata banyak media atau instansi yang tidak tahu apalagi memperingati Hari Perempuan Sedunia. Sebuah hari, dimana pada 8 Maret 1857, gerakan buruh perempuan revolusioner yang mengalami represi saat unjuk rasa di New York, Amerika. Dan yang hebat adalah gerakan perempuan ini dua tahun kemudian membangun serikat buruh, tepatnya 8 Maret 1859. Selanjutnya peristiwa tersebut pada 19 maret 1911 ditetapkan sebagai Hari Perempuan Internasional dalam sidang Konferensi Kopenhagen, Denmark yang dihadiri oleh perwakilan perempuan pekerja dari 17 negara, yang dipimpin oleh Clara Zetkin (Biro Perempuan Partai Sosialis - Demokratik Jerman).

Dalam 100 tahun hari Perempuan Internasional masih kita dapatkan kenyataan yang sangat pahit bagi kehidupan rakyat pekerja, khususnya kaum perempuan. Bisa kita lihat data dari berbagai sumber tentang kondisi perempuan Indonesia: meningkatnya angka kematian ibu melahirkan hingga 420 per 100 ribu kelahiran akibat tidak terjangkaunya layanan kesehatan reproduksi bagi perempuan.   Pada tahun 2009  terdapat 250.000 perceraian yang berujung menyengsarakan kaum Perempuan. Sebanyak 7 dari 10 perempuan hamil di Indonesia menderita anemia. Kemiskinan dan tekanan ekonomi menjadi akibatnya, di tahun 2009, kasus kekerasan terhadap perempuan hampir 3 kali lipat, yaitu sebesar 143.586 kasus dari 54.425 kasus di tahun 2008.  Fakta lain masih banyak lagi, seperti ribuan buruh perempuan di-PHK, ribuan perempuan TKI dideportasi dan mendapatkan kekerasan serta penganiayaan bahkan sampai mati.

Kehidupan tragis kaum perempuan tersebut bukanlah hanya milik kaum perempuan, tetapi juga dialami oleh jutaan rakyat pekerja laki-laki sebagai akibat dari sistem neoliberalisme-kapitalisme yang dengan sengaja melanggengkan oligarki patriarki di dalam sistem ekonomi politik. Dalam keadaan tersebut, maka perempuan menanggung beban berlipat, perempuan mengalami penindasan berlipat pula, baik di rumah tangga, lingkungan, tempat kerja dan relasi kerja serta dalam struktur negara/pemerintahan.

UU Perlindungan Perempuan dan Kesetaraan Gender
Kondisi kaum perempuan yang terpuruk tidaklah bisa hanya diselesaikan hanya dengan membuat undang-undang tentang nikah siri, karena dalam sistem oligarki patriarki dan sistem neoliberalisme-kapitalisme hal tersebut tidak menjadi apa-apa kemudian hari bahkan bisa menjadi “barang bisnis baru.” Bahwa diakui, sebagai salah satu sumber kesengsaraan kaum perempuan adalah akibat pernikahan yang tidak setara, akibat pemodal yang berjenis kelamin laki-laki semaunya memperlakukan kaum perempuan, tentulah diakui. Bahkan kitapun mengakui dalam lingkup keluarga masih terjadi ketimpangan luar biasa dalam relasi perempuan dan laki-laki akibat ajaran patriarki yang turun-temurun diwariskan dalam sistem sosial kita.

Yang seharusnya dibuat oleh negara dalam situasi sekarang adalah undang undang tentang perlindungan terhadap perempuan secara menyeluruh dan kesetaraan gender dalam kehidupan sosial, ekonomi dan politik.

Bila hanya dipotong saja, sebuah aturan tentang UU Nikah Siri, selain menjadi bisnis baru, juga menempatkan kaum perempuan sebagai obyek saja, bukan sebagai subyek yang kuat dan bergerak sendiri. Situasi kapitalisme yang terus menggerus kehidupan sosial dan memecah persatuan antara rakyat pekerja laki-laku dan rakyat pekerja perempuan inilah yang mendasari pembuatan UU Perlindungan Perempuan dan Kesetaraan gender. Sebagai sebuah jembatan agar tercipta kesetaraan dan gerak bersama yang tidak timpang dari rakyat pekerja menghadapi ganasnya kapitalisme global dengan neoliberalismenya. 

Pendesakan UU Perlindungan Perempuan dan Kesetaraan Gender, harus dijadikan satu ikatan bersama, bukan saja kaum perempuan saja tetapi juga tugas kaum laki-laki. Dengan demikian akan jelas relasi perjuangan kelas pekerja Indonesia.

Mendesakkan sebuah kebijakan berskala nasional harus diikuti dengan upaya pembangunan kekuatan yang massif, maka pola relasi setara di dalam rumah tangga dan lingkungan harus dibangun. Tentulah organisasi bisa menjadi jembatan dan alat dalam membangun relasi setara antara perempuan dan laki-laki, bukan sebaliknya.

Sekali lagi, bahwa tidak ada permusuhan antara laki-laki dengan kaum perempuan sejak lahir. Namun kapitalisme-neoliberalisme telah menggunakan sistem sosial patriarki untuk memecah belah kekuatan rakyat pekerja untuk mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya. Maka memulai dari rumah tangga, lingkungan dan organsasi adalah jawaban yang tepat untuk selanjutnya mendesakkan sebuah kebijakan yang memihak kepada rakyat dengan jalan opisisi, bukan kompromi.

Perempuan malam di pinggir jerami
Nyanyikan do'a nyalakan api

(Penutup lirik lagu Perempuan Malam, Iwan Fals)

* Penulis adalah pengurus Persatuan Perjuangan Buruh Bandung, sekaligus anggota Forum Belajar Bersama Prakarsa Rakyat dari Simpul Bandung.
** Siapa saja dipersilahkan mengutip, menggandakan, menyebarluaskan sebagian atau seluruh materi yang termuat dalam portal ini selama untuk kajian dan mendukung gerakan rakyat. Untuk keperluan komersial pengguna harus mendapatkan ijin tertulis dari pengelola portal Prakarsa Rakyat. Setiap pengutipan, penggandaan dan penyebarluasan sebagian atau seluruh materi harus mencantumkan sumber (portal Prakarsa Rakyat atau www.prakarsa-rakyat.org).


Oleh : Lily Pujiati*


Sejak terbitnya Undang-Undang No. 39 Tahun 2004, dunia buruh migran Indonesia atau Tenaga Kerja Indonesia (TKI), bisa dikatakan memasuki sebuah babak baru. Namun dalam perjalanannya, hak dan perlakuan yang layak belum diterima oleh para penyumbang devisa.

Dari hari ke hari kondisi buruh migran Indonesia seperti berada di jalan tak berujung. Tak ada kepastian serta perlindungan yang didapat para buruh migran dari negaranya sendiri, ketika jeritan dan teriakan mereka untuk mengadu nasib di negeri orang tidak mendapatkan perhatian dari pemerintah.

Tapi walau bagaimanapun juga, ketika palu diketok, undang - undang tersebut dirasa belum cukup walau negara menjamin undang- undang tersebut sudah pantas untuk diterapkan. Karena peta persoalan buruh migran di Indonesia begitu kompleks dan beragam.

Kasus-kasus yang menimpa para buruh migran di saat merantau di negeri orang ibarat bola salju yang dibiarkan menggelinding beku, entah sampai kapan gunung es itu baru mencair. Banyak pemberitaan, baik di media cetak maupun elektronik yang sedikit banyak mengulas tentang kasus penganiayaan, pelecehan hingga perdagangan manusia (human trafficking) terhadap buruh migran. Berkaca dari banyaknya kasus tersebut, sepatutnya perlindungan negara terhadap mereka ini lebih dioptimalkan mengingat dalam UUD 1945 disebutkan kewajiban negara untuk melindungi segenap warga negaranya.

Lahirnya Undang-Undanga No. 39 Tahun 2004, diakui belum banyak mengobati kerinduan atas perubahan yang diinginkan, yaitu adanya perlindungan yang nyata dari negara untuk buruh migran Indonesia yang tersebar di berbagai negara. Dalam jangka waktu yang begitu panjang, ibarat sapi perahan, buruh migran kerap dijadikan bulan-bulanan dalam rangkaian pengurusan surat-surat disetiap instansi terkait .

Alhasil, meski lima tahun UU 39/2004 ini berjalan, kondisi buruh migran masih jauh dari harapan. Banyak kasus, baik yang baru ataupun lama terus saja muncul. Sekain itu juga berdampak pada arus gelombang deportasi dari berbagai negara yang semakin meningkat.


Inkonsistensi Pemerintah

Terlepas dari itu, Pemerintah Indonesia telah menandatangani Konvensi Migran tahun 1990 tentang Perlindungan Hak-Hak Buruh Migran dan Keluarganya pada tahun 2004, namun hingga kini tidak ada tindak lanjutnya bahkan terkesan tidak serius untuk segera meratifikasi dengan berbagai alasan yang tidak masuk akal.

Sebab, beberapa instansi pemerintah seperti Departemen Luar Negeri, Depnakertrans dan departemen lain yang terkait tidak pernah mau belajar atau mempelajari apa saja yang ada di dalam konvensi tersebut. Yang dilihat hanyalah sebagian kecil, seperti ketakutan Depnakertrans bahwa warga negara asing yang tinggal di Indonesia bebas berserikat. Selain itu juga pemerintah keberatan untuk melindungi warga negara asing yang berada di Indonesia. Semua alasan itu terkesan sangat tidak dapat diterima karena Indonesia dahulu adalah negara yang memperjuangkan hak asasi manusia.

Sikap ini semakin meyakinkan publik bahwa pemerintah tidak pernah menghargai darah dan keringat serta air mata buruh migran, karena sudah 6 tahun berselang tidak ada niatan untuk segera membebaskan belenggu perbudakan buruh migran dengan meratifikasi Konvensi Migran Tahun 1990.


Akhiri Derita Buruh Migran

Tercatat sudah 42 negara yang meratifikasi Konvensi Migran ini, pihak negara tersebut tidak pernah ada yang mengeluh dan dirugikan karena negara-negara tersebut memang ingin ada perubahan yang nyata untuk melindungi para pekerja migran. Contohnya Meksiko yang juga merupakan negara pengirim tenaga kerja dan juga penerima tenaga kerja. Dengan meratifikasi konvensi, Meksiko dengan mudah membuat berbagai perjanjian perlindungan buruh migran dengan negara-negara lain dimana warga negaranya menjadi buruh migran

Contoh lain yang dapat ditengok adalah negara Filipina yang juga telah meratifikasi konvensi tersebut. Pengaturan penempatan serta perlindungan bagi buruh migran di luar negeri sudah cukup baik karena hukum nasionalnya telah mengadopsi standar hukum internasional yang bersifat universal. Melalui perangkat peraturan yang lengkap, maka perkembangan buruh migran Filipina cukup pesat dan mampu menempatkan 2,5 juta buruh migrannya ke berbagai negara.

Dari dua contoh di atas dapat disimpulkan bahwa pemerintah tidak mempunyai alasan lain selain alasan untuk segera meratifikasi Konvensi Migran. Negara dituntut untuk segera memberikan perlindungan yang nyata bagi buruh migran. Perhatian pemerintah harus difokuskan pada kesejahteraan para pahlawan devisa, bukan lagi pada Pelaksana Penempatan Tenaga Kerja Indonesia Swasta (PPTKIS/PJTKI) yang hanya tertuju untuk kepentingan bisnis semata dengan mengorbankan buruh migran.


* Penulis adalah Koordinator Peduli Buruh Migran, sekaligus anggota Forum Belajar Bersama Prakarsa Rakyat dari Simpul Jabodetabek.

** Siapa saja dipersilahkan mengutip, menggandakan, menyebarluaskan sebagian atau seluruh materi yang termuat dalam portal ini selama untuk kajian dan mendukung gerakan rakyat. Untuk keperluan komersial pengguna harus mendapatkan ijin tertulis dari pengelola portal Prakarsa Rakyat. Setiap pengutipan, penggandaan dan penyebarluasan sebagian atau seluruh materi harus mencantumkan sumber (portal Prakarsa Rakyat atau www.prakarsa-rakyat.org).


Oleh : Sultoni*

Setelah bersekutu dalam sebuah pertemuan yang didanai asing membahas langgam politik kaum buruh (Trade Union Meeting for Political Consensus atau TUMPOC) pada November 2009 silam, kelompok serikat buruh “kuning” kembali menghentak melalui upaya membangkitkan kembali Forum Bipartit Nasional (FBN). Forum ini merupakan “perselingkuhan” terbuka antara sejumlah serikat mainstream dengan organisasi pengusaha. Apa makna dari peristiwa ini?

Disebut perselingkuhan karena berlandaskan pada hubungan “terlarang” dan tak semestinya. Yakni hubungan yang ditopang oleh kepentingan yang jauh berbeda dan bahkan bertentangan. Pengusaha yang terwakili dalam Apindo jelas memiliki kepentingan meningkatkan keuntungan dan perluasan usaha, yang dalam prakteknya acap kali berlawanan dengan kepentingan buruh yang menginginkan kesejahteran diri dan keluarganya.

Dalam pernyataan bersama serikat pekerja/serikat buruh (SP/SB) tergabung FBN (KSPSI, KSBSI, KSPI, FSP BUMN dan Sarbumusi) dan Apindo, dinyatakan bahwa FBN ini pemangku kepentingan (stake holder) dalam pembangunan hubungan industrial. Mereka menyadari bahwa pertumbuhan usaha yang langgeng dalam persaingan global mesti disertai kemampuan memenuhi kewajiban normatif, membutuhkan ketenangan usaha dan ketenangan bekerja yang dapat menjamin kelangsungan usaha dan hubungan kerja.

Mereka “bertekad” menyelesaikan perselisihan hubungan industrial secara internal tanpa adanya campur tangan pihak lain, secara sederhana, cepat, tepat, adil dan konsisten. Terkait dengan pelaksanaan peraturan perundang-undangan perburuhan, mereka juga sepakat mengagendakan program reformasi peraturan perundang-undangan perburuhan. Amandemen UU No. 3 tahun 1992 tentang Jamsostek ditempatkan pada urutan prioritas pertama.

Sangat sulit membayangkan buruh yang kerap berhadap-hadapan dengan pengusaha dalam berbagai tuntutan, tiba-tiba bersanding manis dengan “musuhnya” itu. “Mati surinya” FBN sejauh ini tentu diakibatkan oleh kontradiksi tak terdamaikan ini, meskipun dalam makna yang paling moderat sekalipun.


Lalu kenapa FBN dihidupkan kembali?

Secara teknis, hidupnya kembali FBN tidak berarti sekian juta buruh yang terwadahi dalam serikat buruh kuning ini berdamai dengan sekian ribu pengusaha yang tergabung dalam Apindo. Melainkan hanya hubungan sesama personal pengurus serikat buruh dengan Apindo. Artinya, pembangkitan kembali FBN tidak ada urusan dengan sekian juta buruh. Tetapi semata-mata keputusan sejumlah pihak pimpinan serikat buruh saja (dengan Apindo). Maka, tidak perlu terburu-buru menganggap FBN sebagai bentuk konsiliasi buruh dan pengusaha!


Karena CAFTA?

Melihat konteks waktu pembangkitan kembali FBN yang sebenarnya ditandatangani sejak 2008 silam ini, latar belakang pemberlakuan China-Asean Free Trade Agreement (CAFTA) terlihat mengemuka. Dalam pernyataan di media massa, pengaktifan forum ini untuk mengantisipasi terjadinya Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) secara besar-besaran yang dilakukan perusahaan akibat kerjasama perjanjian perdangan bebas atau China-Asean Free Trade Agreement.

Latar belakang ini menyiratkan tujuan “mulia” dari FBN. Tetapi mungkinkah tujuan besar ini dapat tergapai melalui persatuan (serikat) buruh kuning dan pengusaha? Sangat mungkin yang terjadi justru sebaliknya. Ketika pengusaha lokal-nasional tergempur akibat persetujuan CAFTA, kapitalis nasional justru menindas buruh, yakni dalam wujud pengurangan hak-hak buruh. Apabila produk nasional kalah bersaing dengan produk China, maka pertama-tama yang disasar untuk dikurangi adalah upah buruh, dan di sisi lain memaksa kemampuan produktivitas buruh melampaui batasnya (penambahan waktu lembur, target produksi, dan bentuk lainnya).

Ketika buruh menuntut hak seandainya (dan pasti) berkasus dengan pengusaha, menempatkan FBN berada dalam posisi “aneh”. FBN segera menjelma sebagai amunisi tambahan pengusaha untuk memojokkan upaya dan perjuangan buruh itu sendiri. Demi alasan-alasan ketenangan berusaha dan agar produk kian kompetitif di pasar, tuntutan buruh menjadi terkesan lemah. Apalagi ada komitmen untuk menyelesaikan persoalan secara internal (artinya tak sampai diberitakan media), cepat dan sederhana.

Penyelesaian perselisihan hubungan kerja macam ini sungguh membahayakan kepentingan buruh. Dengan pemaknaan yang berbeda (versi pengusaha dan versi buruh) tentang apa itu cepat dan sederhana (termasuk term “adil”) ditambah tak terpublikasi oleh media masa, menjadikan kemungkinan hadirnya keputusan pro-buruh semakin menjauh. Penyelesaian mandiri dan mengharamkan keberadaan pihak luar (termasuk pemerintah?) semakin mendomestikasi problem-problem perburuhan.

Seperti halnya rumah tangga, ketika perselisihan antara suami dan istri hanya di dalam rumah dan tak terjangkau perhatian publik, sangat memungkinkan terjadinya tindak kekerasan yang kemudian dikenal sebagai KDRT. Dengan posisi lemah dan kemampuan membela diri yang minim, sudah pasti pihak istri lah yang menjadi korban. Maka, jika pengusaha dan buruh berselisih dan mencoba diselesaikan dalam ruang tertutup, 99% buruh sudah berada dalam posisi kalah.

Alih-alih mensiasati CAFTA, pengusahalah (dan pengurus SP/SB kuning!) yang sebenarnya sedang mensiasati buruh. CAFTA jelas-jelas tidak bisa diselesaikan atau dihadapi dengan harmonisasi buruh dan pengusaha, melainkan oleh sikap tegas dan keberpihakkan negara pada mayoritas rakyat.

Maka, keberadaan FBN ini sama sekali tak memberi keuntungan bagi buruh, malah sebaliknya memperkuat posisi tawar pengusaha. Adanya CAFTA sekalipun (dimana forum jahat ini dikatakan sebagai format antisipasinya), FBN takkan berkontribusi bagi pemenuhan tuntutan buruh akan kesejahteraan, tetapi sebaliknya merupakan amunisi pengusaha menekan buruh melalui wakil-wakil serikat buruh kuning dalam FBN.

Pernyataan sikap yang dikeluarkan Perhimpunan Rakyat Pekerja (PRP) menyikapi pembentukan kembali FBN, menggambarkan situasi yang kian mengkhawatirkan: “Rezim neoliberal akan sekuat tenaga berupaya untuk melancarkan agenda-agenda neoliberalisme di Indonesia. Front kelas borjuasi telah dapat dilihat bermunculan di kalangan parlemen. Hal ini terbukti ketika terbentuknya kartel partai politik yang mendukung kebijakan-kebijakan rezim neoliberal. Namun saat ini front-front kelas borjuasi bukan hanya berada di parlemen, namun telah merambah dan menunjukkan wujudnya di lapangan-lapangan sektoral, salah satunya di sektor perburuhan (FBN). Bukan tidak mungkin front-front kelas borjuasi ini juga akan bermunculan di sektor-sektor lainnya, selain sektor perburuhan.”


* Penulis adalah aktivis Serikat Buruh Progresip, sekaligus Anggota Forum Belajar Bersama Prakarsa Rakyat dari Simpul Jabodetabek.

** Siapa saja dipersilahkan mengutip, menggandakan, menyebarluaskan sebagian atau seluruh materi yang termuat dalam portal ini selama untuk kajian dan mendukung gerakan rakyat. Untuk keperluan komersial pengguna harus mendapatkan ijin tertulis dari pengelola portal Prakarsa Rakyat. Setiap pengutipan, penggandaan dan penyebarluasan sebagian atau seluruh materi harus mencantumkan sumber (portal Prakarsa Rakyat atau www.prakarsa-rakyat.org).

;;