Oleh : Khamid Istakhori*


Hidup di pabrik, bagai di bui
Banyak yang harus dipatuhi
Kepala tertunduk diujung jari
Di ini itupun tak peduli
Seakan hidup telah dibeli

(Lagu “Hidup di Pabrik”)


“Saya percaya Bintang Buruh dan saya tak percaya pada Undang-undang perburuhan. Sebab saya tahu Bintang Buruh dibuat oleh pengurus serikat buruh yang berpihak pada buruh. Sementara undang-undang perburuhan? Entah dibuat oleh siapa…”

(Ilham, buruh yang bekerja di Karawang, dikutip dari terbitan Bintang Buruh)


Petikan yang saya tulis di atas, rasanya cukup bagi kita untuk sekedar “menebak” apa yang terjadi dengan buruh saat ini, lebih tepat lagi ketika kemudian pertanyaannya dilengkapi menjadi: apa yang terjadi dengan hukum perburuhan Indonesia saat ini. Dua penggalan kalimat di atas, memberikan konfirmasi kepada kita betapa buruknya kondisi buruh yang disebabkan oleh buruknya hukum perburuhan.

Buruknya hukum perburuhan implikasinya sangat langsung terasa di kehidupan keseharian para buruh di tempat kerja, membuat mereka bekerja tanpa rasa nyaman. Tempat kerja, yang seharusnya menjadi tempat nyaman, ruang ideal bagi mereka mencurahkan kemampuannya untuk menghasilkan barang produksi dan jasa dengan kualitas terbaik, tak lebih terasa bagai bui karena begitu banyaknya aturan “yang harus dipatuhi.”

Ini sama sekali bukan ungkapan buruh yang berjehendak untuk tidak patuh terhadap hukum dan sedang menceritakan bahwa mereka pembangkang terhadap hukum, tapi ekspresi pahit getirnya hidup mereka di pabrik karena hukum, ditafsirkan sebagai kekuasaan tak terbatas oleh satu pihak yang berkuasa mewakili kuasa modal, baik itu muncul dari mulut mandor, supervisor maupun yang lainnya.

Sementara penggalan kalimat yang ke dua, sejujurnya -harus diakui- ditulis dari kecerdasan luar biasa seorang buruh di pabrik yang mampu membuat kesimpulan sederhana tetapi sejatinya sangat dahsyat bahwa hukum perburuhan sama sekali tak berpihak pada buruh, karena dibuat oleh segerombolan orang yang –bukannya tak mengerti kebutuhan buruh- tetapi memang tak mau peduli dengan kebutuhan buruh kecuali hanya menempatkan buruh dalam posisi yang serba sulit dan samakin terjepit.


Hukum Perburuhan Menjadi Sumber Masalah

Kebijakan perburuhan terbukti tidak pernah muncul tiba-tiba. Ia senantiasa dilatarbelakangi oleh kepentingan tertentu yang disusupkan dalam grand strategy kebijakan nasional.

Trauma tiga paket kebijakan perburuhan (UU 21 Tahun 2000, UU 13 Tahun 2003 dan UU 2 Tahun 2004) belum usai, hingga kinipun kaum buruh Indonesia masih harus bersiaga karena teror revisi UUK dan deregulasi yang terus menghantarkan kondisi hukum menjadi lebih buruk.

Tiga paket kebijakan perburuhan tersebut dilatarbelakangi oleh program globalisasi Multinational Corporation (MNC) yang didirikan oleh negara-negara kaya kapitalis di dunia. MNC inilah yang kita kenal antara lain sebagai IMF dan World Bank dan lembaga rentenir lainnya yang hanya fasih menghisap darah rakyat di belahan negeri manapun.

Dengan dalih mengentaskan kemiskinan, IMF menawarkan pemberian utang kepada Indonesia dengan syarat Indonesia harus melakukan perubahan beberapa kebijakan agar lebih menguntungkan negara-negara kapitalis tersebut.

Dalam salah satu pasal dalam Letter of Intent dinyatakan bahwa Indonesia harus melakukan beberapa perubahan yang berkaitan dengan perburuhan, salah satunya adalah adanya flexibility labour market atau dalam bahasa awam dikenal dengan hubungan perburuhan yang bersifat fleksibel:

Following the major reform of the rights of association and union activity in 2000, modernization of complementary labor legislation relating to industrial relations has become a priority. A bill relating to labor protection has now been passed, and we are working closely with Parliament to ensure that the other bill in this area, on industrial dispute resolution, is enacted during the first half of 2003. We are working with labor and business to ensure that the laws strike an appropriate balance between protecting the rights of workers, including freedom of association, and preserving a flexible labor market.


Buruh, Komoditi Murah Pemerintahnya

Liberalisasi hukum yang semakin menjadi-jadi dan tak terkendali, menjadi keniscayaan implikasi dari tekanan pihak asing yang cengkeramannya terasa semakin kuat menusuk ketika negeri ini didera krisis ekonomi pada tahun 1997. Hal demikian, secara otomatis akan membuat undang-undang tersebut disusun secara membabi buta menabrak mekanisme pembuatan undang-undang yang semestinya bersifat partisipatif dengan melibatkan publik dalam penyusunannya. Dan tiga paket kebijakan perburuhan yang memang bermasalah sejak awal tersebut, menunjukkan dengan sangat jelas bagaimana prinsip keterlibatan rakyat dalam proses penyusunannya ditabrak tanpa ampun.

Kalaupun kemudian ada “keterlibatan” serikat buruh, dapat dipastikan itu adalah tipu-tipu muslihat yang hanya digunakan sebagai formalitas dengan aroma sogokan yang sangat kuat. Lagi-lagi, buruh dikorbankan, ironisnya oleh elit serikat buruhnya sendiri. Sehingga, seperti yang kita lihat dan rasakan saat ini, substansi UUK pun memiliki banyak masalah di sana sini, masalah-masalah tersebut ada yang secara nyata telah dialami oleh pekerja adapula yang berpotensi menimbulkan masalah bagi pekerja.

Memang rencana pemerintah untuk melakukan revisi UUK yang buruk tersebut menjadi semakin buruk telah berhasil ditunda (bukan digagalkan) oleh gerakan massa buruh yang secara bergelombang melakukan perlawanan pada tahun 2006, tetapi upaya jalan melingkar menuju pembusukan tetap saja dijalankan. Dan sialnya, semua dilakukan pemerintah dengan dalih yang tegas: demi mengalirkan investasi ke dalam negeri. Ini artinya dapat dibaca pula sebagai langkah tegas: demi terpuruknya kondisi buruh Indonesia.


Kekuatan Di Tangan Buruh

Kondisi yang buruk tersebut, tentulah akan menjadi mimpi yang buruk kalau kita tidak segera bergegas mengupayakan jalan perlawanan secara bersama, bukan terpecah belah dalam berbagai warna yang seakan berbeda dan sulit menyatu hanya karena perbedaan pendapat para elitnya, tetapi upaya perlawanan yang dibangun secara serius dengan mengedepankan kebangkitan perlawanan gerakan buruh Indonesia secara luas. Baik di level kota-kota, daerah terlebih lagi skala nasional.

Kekuatan kita, gerakan buruh ini tentu terletak pada tangan buruh itu sendiri. Jangan berharap kepada kekuatan di luar, karena mereka telah dengan sistematis dan terstruktur memberangus masa depan buruh. Lihatlah apa yang tertulis sebagai pembuka tulisan ini di atas, dari seorang buruh di pabrik yang dengan kesadaran dahsyatnya telah mengingatkan kepada kita untuk tidak percaya kepada siapapun di luar sana, “Saya percaya Bintang Buruh dan saya tak percaya pada Undang-undang perburuhan. Sebab saya tahu Bintang Buruh dibuat oleh pengurus serikat buruh yang berpihak pada buruh. Sementara undang-undang perburuhan? Entah dibuat oleh siapa…”

Kekuatan buruh berada di tangan buruh yang sadar membangun persatuan dengan elemen masyarakat lain yang juga berlawan, apakah itu kaum tani, mahasiswa, miskin kota atau siapapun. Sebab hanya dengan persatuan bersama merekalah, kekuatan buruh akan menemukan daya manfaatnya.

Mari membangun persatuan untuk berlawan!
Mari berlawan, agar hidup tidak semakin gelap!


* Penulis adalah mantan Sekjen PP KASBI dan sekarang aktif di dalam Komite Solidaritas Nasional (KSN) –sebuah Komite yang fokus untuk perlawanan terhadap Sistem kerja Kontrak/Outsourcing, Union Busting & Privatisasi- dan juga sebagai staff departemen pendidikan pada Federasi Serikat pekerja Karawang Jawa Barat. Anggota Forum Belajar Bersama Prakarsa Rakyat dari Simpul jabodetabek.

** Siapa saja dipersilahkan mengutip, menggandakan, menyebarluaskan sebagian atau seluruh materi yang termuat dalam portal ini selama untuk kajian dan mendukung gerakan rakyat. Untuk keperluan komersial pengguna harus mendapatkan ijin tertulis dari pengelola portal Prakarsa Rakyat. Setiap pengutipan, penggandaan dan penyebarluasan sebagian atau seluruh materi harus mencantumkan sumber (portal Prakarsa Rakyat atau www.prakarsa-rakyat.org).

Oleh : Jerry Indrawan Gihartono*

Setiap 21 April kita memperingati Hari Kartini. Pada hari itu tahun 1879, telah lahir seorang pahlawan bagi kaum yang dalam perkembangan jaman, di mana pun di seluruh dunia, sering dinomorduakan. Dialah Raden Ajeng Kartini yang sontak menggegerkan pemerintah kolonial Hindia Belanda karena perjuangannya melawan diskriminasi terhadap kaumnya. Belanda bingung, mengapa seseorang yang dibesarkan oleh kultur budaya patriarki dan berada di bawah jajahannya, bisa memiliki pemikiran semodern itu? Tapi, itulah Kartini. Pada surat-surat Kartini tertulis pemikiran-pemikirannya tentang kondisi sosial saat itu, terutama tentang kondisi perempuan pribumi. Sebagian besar surat-suratnya berisi keluhan dan gugatan khususnya menyangkut budaya di Jawa yang dipandang sebagai penghambat kemajuan perempuan.

Kebanyakan definisi-definisi feminisme berpusat pada tuntutan kesetaraan jenis kelamin. Akan tetapi, definisi tersebut tidak sepenuhnya mencerminkan kekayaan dan luasnya pemikiran feminis. Isu-isu kesetaraan dan persamaan hak bukanlah merupakan satu-satunya perhatian feminisme. Istilah feminisme juga sering menimbulkan prasangka, stigma, stereotip pada dasarnya lebih disebabkan oleh kurangnya pemahaman mengenai arti feminisme yang sesungguhnya. Di Indonesia, sejarah perjuangan kaum feminis telah dimulai pada abad ke-18 oleh Kartini melalui hak yang sama atas pendidikan bagi anak-anak perempuan.

Feminisme di Indonesia

Feminisme sebagai sebuah gerakan pada mulanya berangkat dari asumsi bahwa kaum perempuan pada dasarnya ditindas dan dieksploitasi, sehingga perlu adanya usaha (gerakan) untuk mengakhiri penindasan dan eksploitasi kaum perempuan. Meskipun terjadi perbedaan pandangan antar feminis mengenai apa, mengapa dan bagaimana penindasan dan eksploitasi itu terjadi, namun mereka sepaham bahwa hakikat perjuangan feminis adalah demi kesamaan, martabat dan kebebasan untuk mengontrol badan dan kehidupan baik di dalam maupun di luar rumah. Feminisme bukanlah perjuangan emansipasi perempuan di hadapan kaum laki-laki saja- karena mereka juga sadar bahwa laki-laki (terutama kaum proletar) juga mengalami penderitaan yang diakibatkan oleh dominasi, eksploitasi serta represi dari sistem yang tidak adil.

Gerakan feminisme merupakan perjuangan dalam rangka mentransformasikan sistem dan struktur yang tidak adil, menuju ke sistem yang adil bagi perempuan maupun laki-laki. Dengan kata lain, hakikat feminisme adalah gerakan transformasi sosial dalam arti tidak selalu memperjuangkan soal perempuan belaka. Dengan demikian strategi perjuangan jangka panjang gerakan feminisme tidak sekadar upaya pemenuhan kebutuhan praktis kondisi kaum perempuan, atau hanya dalam rangka mengakhiri dominasi gender dan manifestasinya seperti: eksploitasi, marginalisasi, subordinasi, pelekatan stereotip, kekerasan dan penjinakan belaka, melainkan perjuangan transformasi sosial ke arah penciptaan stuktur yang secara fundamental baru dan lebih baik.

Feminisme Kartini sendiri adalah sebuah sintesis dari patriarki dan feminisme barat, yang kemudian diperkenalkan di Indonesia sebagai sebuah bentuk oposisi terhadap budaya dan otoritas politik (sebelum ada negara ketika itu) yang melakukan penindasan secara sistematis kepada kaum perempuan. Feminisme Kartini penekanannya ada pada budaya “breakthrough” yang diperjuangkannya pada sebuah era saat budaya patriarki dilegalkan baik oleh budaya (Jawa), maupun otoritas politik (pemerintahan Hindia Belanda). Ia bergerak secara komunal, diawali oleh kapasitas individu, bukan karena sifatnya yang feodal, tetapi karena perlunya pemahaman kolektif untuk mendobrak sebuah rezim yang diskriminatif.


Feminisme Kartini juga lebih menekankan pada tuntutan agar perempuan saat itu memperoleh pendidikan yang memadai, menaikkan derajat perempuan yang kurang dihargai pada masyarakat Jawa, dan kebebasan dalam berpendapat dan mengeluarkan pikiran. Pada masa itu tuntutan tersebut khususnya pada masyarakat Jawa adalah lompatan besar bagi perempuan yang disuarakan oleh perempuan juga. Kartini, yang semasa hidupnya dibesarkan oleh kebiasaan-kebiasaan feodal karena berasal dari kalangan priyayi dan berayahkan seorang Bupati, sudah memiliki keberanian untuk melawan budayanya sendiri, bahkan jamannya.

Tetapi, banyak yang tidak memperhatikan bahwa karena budaya patriarki itulah sebenarnya Kartini dapat menjadi seorang Kartini yang kita kenal sekarang sebagai pahlawan bagi kaum perempuan. Hal ini karena ia berasal dari keluarga priyayi, maka kehidupan Kartini sebetulnya bisa dibilang baik. Ia tidak mengalami kesulitan seperti banyak perempuan lain yang pada masa itu masih terjerat kemiskinan dan kebodohan. Kartini diperbolehkan bersekolah di ELS (Europese Lagere School). Di sini antara lain Kartini belajar bahasa Belanda. Karena Kartini bisa berbahasa Belanda itulah ia mulai membaca dari buku-buku, koran, dan majalah Eropa, terutama Belanda.

Perhatiannya tidak hanya semata-mata soal emansipasi perempuan, tapi juga masalah sosial umum. Bahkan, dalam sebuah buku kumpulan suratnya kepada Stella Zeehandelaar berjudul “Aku Mau ... Feminisme dan Nasionalisme,” Kartini banyak bicara masalah yang dewasa ini menjadi perbincangan kita semua, yaitu masalah sosial, budaya, agama, sampai korupsi. Kartini melihat perjuangan perempuan agar memperoleh kebebasan, otonomi dan persamaan hukum sebagai bagian dari gerakan yang lebih luas. Ini inti dari Feminisme Kartini yang tidak terfokus pada perempuan saja.

Salah Tafsir Feminisme

Cukup banyak kesalahan dalam memaknai feminisme, dan hal itu juga terjadi di Indonesia. Wardah Hafiz melihat ada sejumlah kekeliruan tafsir terkait feminisme itu sendiri. Menurutnya, banyak orang yang tidak sepenuhnya memahami apa feminisme itu. Ada semacam tuduhan yang salah kaprah tentang feminisme yang dituduh sebagai gerakan para perempuan "tukang bakar BH," "anti lelaki," "perusak keluarga," "tidak mau punya anak" dan sejenisnya. Sejatinya, tegas Wardah, feminisme pada dasarnya dapat dikategorikan sebagai budaya tandingan (counter culture). Hal ini karena gerakan feminisme memiliki kecenderungan perlawanan terhadap konstruksi sosial masyarakat yang feodal, dan pastinya patriarkis.

Menilik pada fenomena globalisasi pasar informasi dan komunikasi dengan berbaurnya berbagai komodifikasi gaya hidup anak muda perkotaan dalam atribut-atribut hedonisme, konsumerisme dan seks bebas, yang telah difasilitasi kapitalisme sedemikian rupa, merupakan salah satu fenomena sentral yang menggambarkan apa yang ditegaskan Wardah di atas sebagai kekeliruan memaknai feminisme.

Sebagai contoh saja, bila kekeliruan memaknai feminisme dialamatkan pada mahasiswi-mahasiswi di perkotaan, hampir setali tiga mata uang alias sama saja. Hal ini ditengarai semakin mempopulerkan pandangan bahwa isu-isu miring yang mengatasnamakan perempuan-perempuan kampus sangat santer terdengar. Dari yang berprofesi sebagai "ayam kampus" sampai beredarnya sejumlah VCD khas erotisme mahasiswa merupakan rahasia umum di lingkungan akademis dan masyarakat luas. Fenomena ini adalah pemerkosaan alami terhadap perjuangan Kartini. Emansipasi yang dimaksud bukan tafsiran ala liberalis yang menghalalkan manifestasi bebas sebebas-bebasnya, tapi sebuah sikap hidup yang komplementatif sebagai bagian dari masyarakat.

Quo Vadis Gerakan Feminisme

Sudah saatnya perempuan tidak hanya ditempatkan sebagai objek pembangunan (woman in development), akan tetapi berkedudukan sebagai subjek pembangunan (woman and development). Hal ini yang secara substansif diperjuangkan oleh Kartini, walaupun mungkin masih dengan bahasa dan konteks yang berbeda ketika itu. Tetapi permasalahan yang justru muncul bukan terletak pada sikap apologi dan permisif pria terhadap keterlibatan perempuan, akan tetapi perempuan an sich. Apakah kesadaran untuk memperjuangkan hak-haknya dan hasrat untuk memperbaiki citranya yang selama ini dianggap sebatas teman di ranjang, pelipur stress pria, ibu yang mengurusi anak-anaknya, telah benar-benar dilakukan perempuan untuk memperoleh kesetaraannya?

Bukan tidak mungkin, upaya-upaya gerakan feminisme yang selama ini masih menjadi perbincangan hangat di semua kalangan hanya cerita dan citra eksklusif para perempuan yang sudah "tercerahkan" dari kehidupan rumah tangga saja. Eksklusif artinya, untuk menunjukkan sejumlah minoritas perempuan yang benar-benar getol mempromosikan dirinya sebagai orang yang kuat secara kognitif-psikologis dan punya pengaruh besar dalam rimba laki-laki. Tidak ada yang salah dengan hal ini, hanya saja konsep kesetaraan gender tidak bermain di sini. Yang bermain adalah superioritas individu sebuah gender tertentu. Jika pembangunan dirumuskan sebagai proses pembangunan masyarakat seutuhnya dan di mana pria-perempuan menjadi sasaran pembangunan, seyogyanya kedua unsur tersebut dapat berpartisipasi secara setara.

Sensitivitas gender dan altruisme merupakan strategi yang jelas dalam upaya peningkatan citra dan status perempuan. Namun yang perlu disadari oleh perempuan khususnya, bagaimana bisa mengadopsi seoptimal mungkin segala potensi serta terlepas dari kendala struktural, nilai-nilai budaya dan interpretasi ajaran agama yang bias gender dan bias nilai-nilai patriarki. Sementara mayoritas perempuan yang lain, justru memahami feminisme bukan lagi pada persoalan bahwa mereka tidak sanggup keluar dari "penjara" rumah tangga untuk bersikap lebih "jantan."

Dengan kata lain, tanpa harus mereduksi peran perempuan sejatinya, ketika sebuah pembongkaran wacana feminisme menjadi sebuah keharusan yang niscaya bagi sebuah peradaban bangsa, feminisme ala Kartini menjadi efektif karena ia muncul dari semangat komunal untuk mendobrak sebuah sistem yang bergerak secara diskriminatif. Bukan dari nafsu individu untuk memperoleh penghargaan hanya dari modal “kebebasannya.”

Selamat berjuang, Kartini-Kartini muda!


* Penulis adalah pemerhati sosial politik, sekaligus Anggota Forum Belajar Bersama Prakarsa Rakyat dari Simpul Jabodetabek.

** Siapa saja dipersilahkan mengutip, menggandakan, menyebarluaskan sebagian atau seluruh materi yang termuat dalam portal ini selama untuk kajian dan mendukung gerakan rakyat. Untuk keperluan komersial pengguna harus mendapatkan ijin tertulis dari pengelola portal Prakarsa Rakyat. Setiap pengutipan, penggandaan dan penyebarluasan sebagian atau seluruh materi harus mencantumkan sumber (portal Prakarsa Rakyat atau www.prakarsa-rakyat.org).


Oleh : Fredy Wansyah*


Menghebohkan! Itulah apresiasi terhadap perilaku masyarakat hari ini. Perilaku yang cenderung merealitaskan dunia yang bukan realitas. Hasilnya, masyarakat sangat menggemari realitas itu yang seharusnya bukan realitas.

Perilaku itu, misalnya, yang baru-baru ini terjadi, cerita Briptu Norman dengan goyang India-nya di dalam penyedia layanan video (Youtube). Selain itu, cerita lagu “Udin Sedunia” dan kisah miris penipuan pernikahan yang bermula dari fesbuk. Tidak hanya itu, bila kita telusur lagi waktu-waktu yang telah lewat, ada “Keong Racun” ala Sinta-Jojo.

Ada pula kisah-kisah kepedulian yang menggunakan fesbuk maupun twitter, seperti penggalangan dukungan Bibit-Candra dan koin Prita Mulyasari. Bahkan, sikap-sikap politik praktis pun ada yang menggunakan media fesbuk dan twitter sebagai media kampanye atau penggalangan massa, misalnya trik politik Obama, dan kisah konflik Mesir yang diduga pada awalnya twitter turut serta sebagai media publik.

Hal-hal terkecil selain fakta-fakta di atas, kita juga sering mendengar perbincangan dalam lingkungan sehari-hari yang menceritakan perihal status fesbuk seseorang. Status fesbuk dianggap sesuatu yang nyata, sehingga mendapatkan reaksi yang serius melalui perbincangan-perbincangan serius. Inilah dunia hiperrealitas.

Contoh menarik dari Baudrillard, di dalam Ritzer, mengenai analogi apa itu hiperrealitas adalah pornografi. Bahwa pornografi dianggap lebih seksual dibandingkan seks, yang kemudian disebutnya dengan term hiperseksualitas. Jadi, dunia-dunia yang belum jelas sumber serta fakta riilnya seperti apa yang ada di dalam media-media dunia maya sama halnya seperti sebuah pornografi tadi, yang dianggap lebih riil dan layak berada pada realitas.

Dalam perspektif Baudrillard, uraian-uraian faktual di atas tadi menandakan bahwa masyarakat kita cukup aktif sebagai masyarakat konsumen. Masyarakat konsumen merupakan masyarakat yang bergantung pada kapitalisme, yang kemudian dikendalikan melalui komoditas-komoditas sebagai perebutan makna di balik konsumsi. Makna di balik konsumsi tadi disebut dengan istilah kode.

Misalnya, dengan membeli kartu perdana telepon seluler yang menawarkan gratis sms seharian berarti kita menandakan diri sebagai pengguna aktif sms dan sibuk berinteraksi. Arti-arti di balik konsumsi tersebut adalah arti yang dikendalikan oleh sistem kapital tadi. Oleh karena itu, sebagai komoditas, fesbuk atau dunia maya tidak sekadar media sosial atau sarana informasi, melainkan ada arti di balik itu.

Pengguna dan Faktor

Pada suatu media menyatakan bahwa perkembangan fesbuk mencapai 135 persen per tahun. Pada awal tahun 2009 pengguna aktif fesbuk di Indonesia telah mencapai 1 juta. Bila persentase tadi dikombinasikan dengan jumlah pengguna aktif 2009, maka dapatlah akumulasi pengguna fesbuk saat ini di Indonesia, yakni mencapai 3 juta lebih pengguna aktif.

Penggunaan fesbuk yang terus berkembang pesat didasari oleh faktor pemberitaan dan faktor fasilitas. Faktor pemberitaan ini merupakan pemberitaan fenomena-fenomena yang berkaitan terhadap fesbuk. Media pemberitaannya adalah media-media massa mainstream, seperti stasiun televisi ternama. Dampak atas pemberitaan tersebut adalah ketertarikan terhadap apa yang diberitakan tadi. Sedangkan faktor fasilitas maksudnya, sarana-sarana yang disediakan telepon seluler untuk mengakses fesbuk semakin mudah dan relatif bervariasi. Penyediaan itu tidak lagi terbatas oleh harga.

Uraian perihal fesbuk ini terkait pula dengan penggunaan internet. Bila pengguna fesbuk semakin meningkat, berarti kuantitas tersebut menandakan pengguna aktif dunia maya (internet) pula. Begitu pula terhadap faktor peningkatannya yang tidak jauh berbeda dengan pola-pola peningkatan pengguna layanan internet lainnya, salah satunya adalah Youtube.

Mau tidak mau, sebagai konsekuensi masyarakat konsumen, kita harus memberikan kepada publik perihal kesadaran. Kesadaran mengenai masyarakat konsumen yang terasosiasi terhadap nilai-arti yang dikehendaki dalam suatu komoditas tertentu. Jika tidak, konsekuensinya adalah, kita akan menjadi masyarakat realitas yang diartikan melalui komoditas oleh produsen komoditas itu.


* Penulis adalah Mahasiswa Sastra Indonesia Universitas Padjajaran, sekaligus Anggota Forum Belajar Bersama Prakarsa Rakyat dari Simpul Bandung.

** Siapa saja dipersilahkan mengutip, menggandakan, menyebarluaskan sebagian atau seluruh materi yang termuat dalam portal ini selama untuk kajian dan mendukung gerakan rakyat. Untuk keperluan komersial pengguna harus mendapatkan ijin tertulis dari pengelola portal Prakarsa Rakyat. Setiap pengutipan, penggandaan dan penyebarluasan sebagian atau seluruh materi harus mencantumkan sumber (portal Prakarsa Rakyat atau www.prakarsa-rakyat.org).

DATA BUKU:

Judul: 1453: Detik-Detik Jatuhnya Konstantinopel ke Tangan Muslim
Penulis: Roger Crowley
Penerjemah: Ridwan Muzir
Editor: Muhammad Husnil
Genre: Sejarah
Cetakan: I, April 2011
Ukuran: 15 x 23 cm (flap 9 cm)
Tebal: 408 halaman
ISBN: 978-979-3064-99-4
Harga: Rp. 75.000,-

SINOPSIS:

Selama lebih dari seribu tahun, Konstantinopel adalah pusat dunia Barat sekaligus pertahanan Kristen terhadap Islam. Selama itu pula kota ini tak lepas dari ancaman, namun selalu selamat dari penyerangan rata-rata setiap empat puluh tahun. Hingga akhirnya, sultan Usmani, Mehmet II, pemuda 21 tahun yang haus keagungan, berhasil melewati tembok pertahanan kota dengan bala tentaranya yang sangat besar. Berbekal persenjataan baru nan canggih, pada April 1453, sebanyak 80.000 pasukan Muslim memulai serangan mereka terhadap 8.000 pasukan Kristen di bawah pimpinan Konstantin XI, kaisar Byzantium ke-57. Konstantinopel akhirnya jatuh, menandai tersungkurnya kekuasaan Byzantium dan berakhirnya dunia Abad Tengah. Seperti apakah pertempuran dramatis yang berlangsung selama lima puluh lima hari itu?
Dengan riset sempurna, buku yang ditulis dengan gaya penceritaan novel ini mengisahkan peristiwa besar dalam sejarah dunia yang terlupakan: jatuhnya Konstantinopel ke tangan bangsa Muslim Turki Usmani pada 1453. Buku ini sekaligus menampilkan kontestasi dua tokoh inspirasional, Sultan Mehmet II dan Kaisar Konstantin XI, yang berjuang demi keyakinan agama dan kekaisaran. Lebih dari itu, inilah kisah tentang momentum dan mata rantai kunci berbagai peristiwa penting dalam sejarah dunia yang mengantarkan Timur Tengah menuju dunia modern.

ENDORSEMENT:

“Salah satu cerita paling menarik dalam sejarah dunia. Penuturannya dahsyat… membuat iri para sejarawan.”
—Noel Malcolm, Sunday Telegraph

“Tulisan yang hidup dan enak dibaca tentang pengepungan Konstantinopel. Petunjuk yang sangat baik untuk mengetahui mengapa Istanbul menjadi kota Muslim.”
—Philip Mansel, Guardian

“Ulasan Crowley sangat memikat... seperti membaca kisah fiksi yang hidup. Karakter para tokohnya digambarkan dengan sangat rinci… membuat mereka seolah-olah hidup di setiap halaman.”
—Michael Standaert, Los Angeles Times

“Pengepungan Konstantinopel ditulis dalam prosa berderak oleh mantan warga Istanbul, Roger Crowley. Dalam buku ini, kita disuguhi narasi sejarah yang sangat memikat.”
—Silvester Christopher, Daily Express

“Crowley menuturkan kembali kisah pengepungan Konstantinopel dengan begitu dramatis.”
—San Francisco Chronicle

“Buku yang cerdas dan memesona! Kisah yang agung, dan Roger Crowley menuturkannya dengan paduan memikat antara wawasan, kecerdasan dan kejenakaan, membuat buku ini menyenangkan untuk dibaca.”
—History Book Club

“Sangat menarik! Roger Crowley menyuguhkan suatu drama melalui kisah yang mengagumkan. Dengan referensi yang kaya, buku ini menggabungkan cerita tentang sejarah militer dan agama yang saling memengaruhi.”
—The Economist

“Segar dan hidup.... Mehmed, sultan Utsmani berusi 21 tahun, tampil sebagai sosok yang kejam tapi inovatif, berang namun fleksibel, dan—di atas segalanya—tak kenal lelah: penerus Alexander dan para kaisar Romawi yang ia kagumi seperti halnya para pahlawan Muslim.”
—Sunday Times

“Cerita lama, tapi dikisahkan dengan baik, dengan bakat besar dan otoritas. Sebuah narasi yang menarik, beralur maju-mundur, dan proporsional.”
—Times Literary Supplement

“Penceritaan yang cepat. Panduan ringkas untuk memahami sejarah panjang perseteruan Islam dan Kristen.”
—Kirkus Reviews


BIODATA PENULIS:

ROGER CROWLEY (lahir pada 1951 di Inggris) adalah lulusan Cambridge University. Usai menuntaskan sekolah dasar dan menengah, ia menghabiskan masa musim panas di Yunani untuk membuat barang tembikar. Setamat dari universitas, anak dari keluarga angkatan laut ini hijrah ke Istanbul dan mengembangkan minat yang besar pada sejarah Turki: selama bertahun-tahun, ia bertualang ke seluruh kawasan Mediterania dan mendalami pengetahuan geografi dan masa lalu wilayah ini. Beberapa tahun terakhir, ia melakukan perjalanan kembali ke daerah-daerah berbahasa Yunani, termasuk dua kali kunjungan ke Gunung Athos, rumah spiritual dalam tradisi Byzantium. Alhasil, muncullah karya pertamanya, buku ini: 1453 (2005). Ia juga menulis Empires of the Sea (2008), kisah lanjutan dari sejarah dramatis tentang kontes besar abad ke-16 antara dinasti Usmani dan dinasti Hapsburg untuk mengendalikan Mediterania.
Roger Crowley kerap menjadi narasumber tentang kekaisaran di kawasan Mediterania, antara lain untuk program In Our Time di BBC, Pusat Analisis Naval di Washington, NATO, dan Hay Festival. Baru-baru ini, ia memberi andil untuk serial televisi yang bertajuk “Usmani versus Kristen: Benturan Peradaban di Eropa Abad ke-16”. Kini, ia tinggal di Inggris, di kawasan perdesaan Gloucestershire.


=============================
PT Pustaka Alvabet (Penerbit)
Jl. SMA 14 No. 10, Cawang, Kramat Jati,
Jakarta Timur, Indonesia 13610
Telp. +62 21 8006458
Fax.  +62 21 8006458
www.alvabet.co.id

Oleh : Ignatius M K *


Begitu banyak berita dan komentator yang mengagung-agungkan media internet karena berperan dalam memulai revolusi di Timur Tengah. Begitulah mereka merendahkan peran kaum muda, kelas buruh dan pengangguran yang mengorbankan darah, harta dan air mata dalam perlawanan di jalan-jalan. Bagi para kaum “pintar” tersebut revolusi datang dari sekedar memasang status di Facebook, Twitter ataupun media online lainnya. Nyatanya fakta dan sejarah menegaskan bahwa perubahan atau revolusi terjadi dari perjuangan panjang massa yang dilakukan oleh kaum muda, kelas buruh dan lainnya. Perubahan terjadi karena saling pengaruh antara kondisi objektif masyarakat dan kondisi subjektif perlawanan gerakan rakyat.

Satu faktor yang sedikit sekali dibicarakan dalam konteks kemunculan perlawanan di berbagai negara di Timur Tengah dan Afrika Utara adalah pangan atau lebih tepatnya kekurangan pangan. Sejak tahun 2008, kenaikan harga makanan telah mengakibatkan 40 kerusuhan di berbagai belahan dunia dan PBB melaporkan bahwa 37 negara sekarang menghadapi krisis pangan. Harga untuk komoditi pangan dasar seperti jagung, gula dan daging sapi telah melonjak dalam 12 bulan terakhir. Hal tersebut mengakibatkan di berbagai belahan dunia, jumlah asupan makanan berkurang drastis. Pemerintahan Kenya, Uganda, Indonesia, Brazil dan Philipina semua mengeluarkan peringatan pada tahun 2010 mengenai kemungkinan kekurangan pangan (Guardian, 26 Oktober 2010).

Demikian juga walaupun laporan luar biasa dari Bank Dunia, dan juga lembaga dunia yang dikontrol oleh Amerika lainnya, atas ekonomi Timur Tengah nyatanya menutupi kebobrokan ekonomi Timur Tengah. Di Tunisia, pengangguran berjumlah sekitar 18 persen (bahkan mencapai 32 persen di Sidi Buzid, daerah pertama kali muncul protes di Tunisia). Investasi dalam bidang turisme sekitar 80 persen dikuasai oleh perusahaan multinasional. Di Mesir, hampir 40 persen rakyat Mesir diperkirakan hidup di bawah garis kemiskinan. Sekitar 9 juta orang hidup di perkampungan kumuh di Cairo. Di kota Suez perdagangan yang berjumlah total 90 juta dollar hanya pada tahun 2009 juga tidak bisa mempersempit jurang antara orang kaya dan miskin. Ini tidak terlepas dari masuknya tenaga kerja asing dan ekspor industri banyak dimakan oleh korupsi birokrat.

Persoalan kedua yang menjadi basis bagi munculnya pergolakan di Afrika Utara dan Timur Tengah adalah model ekonomi yang mereka bangun. Kebanyakan negara-negara di daerah tersebut kecuali Jordania adalah berbasiskan pendapatan dari hasil minyak bumi dan gas serta turisme. Sektor ekonomi ekspor ini tidak memiliki hubungan dengan ekonomi domestik produktif yang beragam: minyak bumi diekspor dan barang-barang manufaktur serta layanan finansial dan teknologi tinggi semua diimpor dan dikontrol oleh perusahaan multinasional asing dan ekspatriat yang berhubungan dengan kelas berkuasa. Turisme memperkuat pendapatan “penyewaan,” sebagai sektor, yang menyediakan “mata uang asing” dan pajak kepada negara.

Ekonomi tersebut mungkin menghasilkan kekayaan, terutama jika harga energi meningkat, namun kekayaan tersebut diambil oleh kelas berkuasa yang tidak punya kepentingan untuk memperdalam dan memperluas perkembangan dan inovasi ekonomi. Kelas yang berkuasa fokus pada spekulasi keuangan, investasi luar negeri melalui perusahaan privat, konsumsi luar biasa atas barang-barang mewah dan tabungan rahasia jutaan dollar dan jutaan euro di bank-bank luar negeri. Ekonomi semacam itu juga menyediakan sedikit pekerjaan dalam aktivitas produksi modern. Selain itu kelas berkuasa juga mendorong “perdagangan bebas” yaitu mengimpor produk jadi murah, yang merusak upaya domestik dalam sektor manufaktur “produktif,” pertanian atau teknik. (James Petras, Roots of the Arab Revolts and Premature Celebrations).

Di Libya ketika pertama kali naik ke dalam tampuk kekuasaan, Gaddafi dikenal sebagai pemimpin Afrika Utara yang sangat anti terhadap Imperialisme AS dan Eropa. Namun pada akhir tahun 1990-an negosiasi rahasia untuk membangun hubungan kembali dengan AS dan pemerintahan barat lainnya dimulai. Pertama, sanksi PBB dicabut pada tahun 1999 dan pada tahun 2006, AS mencabut sanksinya dan menormalisasi hubungan dengan Libya. Tahun-tahun berikutnya mulailah dijalankan kebijakan neoliberalisme di Libya. Anak Gaddafi, Saif berada di garis depan, dia menawarkan akses besar untuk kapital, konsensi pajak dan privatisasi. Menurut laporan bulan April 2010 dari pemerintahan Libya, selama 10 tahun sebelumnya pemerintahan Libya telah memprivatisasi 110 perusahaan milik negara. Laporan yang sama juga menjanjikan privatisasi 100 persen ekonomi Libya.

Sementara ekspor minyak Libya telah membuatnya dapat membangun cadangan mata uang asing sebesar 150 miliar USD, hampir setengah dari kaum mudanya adalah pengangguran. Menurut African Online News, sebuah kantor berita Afrika independen melaporkan bahwa Libya adalah negeri di Afrika Utara terkaya namun itu tidak menggambarkan ekonomi riil dari rata-rata rakyat Libya, dimana setengah dari populasi jatuh di luar ekonomi yang digerakan oleh minyak. Angka pengangguran berada pada tingkat sekitar 30 persen, dimana kaum muda yang menganggur diperkirakan sekitar 40 hingga 50 persen. Ini adalah tingkat tertinggi di Afrika Utara.

Indikator pembangunan yang lainnya menunjukan bahwa sedikit sekali uang minyak digunakan untuk kesejahteraan 6,5 juta rakyat Libya. Tingkat pendidikan jauh lebih rendah dibandingkan tetangganya Tunisia, yang memiliki sedikit minyak dan yang mengejutkan adalah 20 persen rakyat Libya adalah buta huruf. Perumahan layak tidak tersedia untuk setengah dari populasi yang tidak beruntung. Tingkat harga-harga yang umumnya tinggi di Libya memberikan beban yang lebih besar pada rumah tangga tersebut. Sektor perminyakan hanya mempekerjakan 4.900 penduduk Libya dengan 1.000 orang dilatih di luar negeri menurut laporan bulan Oktober 2010 yang dikeluarkan oleh Libyan National Oil Company (NOC).

Kondisi yang memiskinkan tersebut telah lama memunculkan perlawanan dari kelas buruh dan rakyat di Timur Tengah. Di Tunisia, General Union of Tunisian Workers (UGTT) ketika presiden pertama Tunisia, Habib Bourguiba, memainkan peran aktif dalam protes popular. Namun peran tersebut semakin berkurang dalam masa Ben Ali. Kepemimpinan serikat buruh pada akhirnya dipaksa untuk tunduk kepada tekanan basis anggotanya dan mengambil peran penting dalam memobilisasi rakyat dan menyediakan kerangka organisasional untuk menggulingkan Ben Ali. Tiga menteri yang diangkat dalam pemerintahan sementara oleh pengganti Ben Ali yaitu Muhammad al Ghanouchi berasal dari UGTT namun mengundurkan diri setelah jelas bahwa pemerintahan sementara memasukan elemen-elemen dari rejim Ben Ali yang telah digulingkan.

Sementara itu Mesir telah lama bergolak walau tidak besar. Dalam tiga tahun terakhir sekitar 3.000 demonstrasi terjadi di seluruh negeri. Dari tahun 2004 hingga 2008 terjadi sekitar 1.900 pemogokan buruh yang melibatkan lebih dari 1,7 juta buruh. Sementara itu dua tahun lalu gerakan buruh menjadi fokus utama dalam pemogokan yang berubah menjadi pemberontakan di kota Mahalla. Kota dengan jumlah buruh terbesar di Timur Tengah, diperkirakan berjumlah 28 ribu buruh berada di kota Mahalla. Pemberontakan buruh pada tahun 2008 tersebut memunculkan dua serikat buruh independen di Mesir. Yang pertama dalam masa empat puluh tahun, serikat buruh tersebut adalah serikat bagi pemungut pajak property dan teknisi kesehatan (berjumlah total 70 ribu buruh). Rejim Mubarak sendiri dalam 26 tahun terakhir telah menolak untuk menaikan upah minimum. Rejim ini juga mengontrol kehidupan masyarakat dan kelas buruh dengan ketat. Aparatus kepolisian dibanding masyarakat adalah satu polisi untuk setiap 37 orang penduduk. Sementara itu juga terdapat UU No 100 yang mengatur dan mengontrol aktivitas internal serikat buruh.

Revolusi yang terjadi dan terus berkembang serta menjalar ke berbagai negara juga menandakan kebangkitan gerakan buruh di daerah tersebut. Di Tunisia, para buruh memaksa pimpinan serikat mereka untuk bertindak dan bergabung dengan gerakan rakyat. Di beberapa perusahaan para buruh juga menangkapi para manajer yang ditengarai merupakan kroni keluarga Ben Ali (presiden terguling Tunisia). Sementara itu di Mesir mulai bermunculan serikat buruh-serikat buruh independen yang dibangun oleh para buruh sendiri untuk memperjuangkan kepentingan kelas buruh. Termasuk di berbagai kota muncul organisasi-organisasi yang dibangun oleh rakyat sendiri untuk mengatur tata kelola kota sementara pemerintahan lumpuh. Revolusi mengajarkan banyak hal kepada kelas buruh. Maju atau mundurnya revolusi akan sangat bergantung bagaimana kelas buruh percaya pada kekuatannya sendiri. Termasuk juga bergantung pada organisasi kelas buruh tersebut.


* Penulis tergabung dalam Perhimpunan Pekerja Warnet, sekaligus Anggota Forum Belajar Bersama Prakarsa Rakyat dari Simpul Jawa Tengah.

** Siapa saja dipersilahkan mengutip, menggandakan, menyebarluaskan sebagian atau seluruh materi yang termuat dalam portal ini selama untuk kajian dan mendukung gerakan rakyat. Untuk keperluan komersial pengguna harus mendapatkan ijin tertulis dari pengelola portal Prakarsa Rakyat. Setiap pengutipan, penggandaan dan penyebarluasan sebagian atau seluruh materi harus mencantumkan sumber (portal Prakarsa Rakyat atau www.prakarsa-rakyat.org).

Oleh : Sultoni*

Angka pertumbuhan Industri di Indonesia yang dilansir beberapa media massa berada pada titik terendah dan cukup membahayakan. Tahun 2009 hanya tumbuh 2,6% menurun dari tahun 2008 yang tumbuh 3,66 dan tahun 2007 yang tumbuh 5,15. Bahkan angka pertumbuhan itu jauh dari pertumbuhan industri ketika krisis 1997-1998 dimana industri masih tumbuh 12% per tahun.

Data lain ditunjukkan oleh hasil survei Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) di lima provinsi pada 2010 bahwa banyak pengusaha kecil dan menengah beralih menjadi pedagang.


Arah Industri Nasional?

Memaknai data di atas harus dilihat dari beberapa sisi. Pertama, hancurnya industri nasional bukan berarti tidak ada lagi perusahaan/pabrik di Indonesia, tetapi perusahaan tersebut bukan lagi milik bangsa ini dan tidak mampu menggerakkan perekonomian bangsa ini. Kedua, industri yang ada (perusahaan/pabrik) bukanlah produsen, tetapi semacam tempat merakit saja, sekedar memberi label, menjadi perusahaan distributor atau sekedar sub kontraktor dari investor asing. Ketiga, para pengelola perusahaan bukanlah pemilik, tetapi hanya kepanjangan tangan dari pemodal asing. Keempat, pekerja yang bekerja tidak lagi satu kesatuan bagian dari perusahaan tetapi bagian terpisah dari perusahaan tersebut (outsourcing). Kelima, keberadaan industri tidak lagi mampu menjawab kebutuhan konsumen/masyarakat dan tidak mampu membuat buruhnya hidup layak.

Kekawatiran di atas sudah pada titik puncak yang paling kritis. Karena penyebab dari semua hal tersebut adalah terletak pada ketidakmauan pemerintah untuk menyelamatkan industri nasional itu sendiri. Bila ditelisik lebih dalam, penyebab dari kehancuran industri nasional adalah bahan baku yang sulit didapat di dalam negeri, gempuran produk impor (akibat kebijakan pemerintah memberikan banyak keringanan pada biaya impor sebagai akibat pasar bebas), persaingan dengan modal luar negeri yang begitu besar akibat pasar bebas.

Kita bisa membayangkan pada tahun-tahun ke depan keadaan di negeri ini, bila industri nasional tidak diselamatkan dan dibangun satu sistem baru yang lebih kuat.

Arah perbaikan itu tidak terlihat sama sekali dari pemerintah, bahkan menuju kehancuran yang sangat terlihat. Dilepasnya BUMN sebagai perusahaan negara ke pihak swasta menunjukkan titik kusam kehancuran itu sendiri. Pada saatnya perusahaan BUMN akan berkeping-keping bukan satu kesatuan produksi dan tidak ada pendapatan yang didapat dari negara. Di sisi lain para pekerjanya menghadapi situasi buruk, di-PHK atau diberi upah murah dengan status kontrak dan outsourcing.

Yang sangat disayangkan pula adalah para ekonom dan intelektual di Indonesia, yang begitu “abai” pada fakta tersebut dan mengamini kebijakan pasar bebas sebagai alat canggih menghancurkan industi nasional di Indonesia yang merupakan resep World Bank, IMF dan WTO. Kehancuran sudah di depan mata, rakyat Indonesia menjadi kuli di rumah sendiri, mengontrak di tanah sendiri, menjadi gelandangan di halamannya sendiri sudah menjadi sebuah keniscayaan. Itu semua bila tidak ada penyelamatan sistematis dan jangka panjang pada industri nasional kita.


Nasionalisasi Industri

Di tengah rasa kekuatiran yang cukup tinggi, masih banyak jalan untuk bisa dijadikan program penyelamatan industri nasional. Program nasionalisasi dan pembangunan Industri nasional yang berbasis kekuatan sumber daya rakyat Indonesia bisa menjadi program pokok secara bersama oleh negara dengan melibatkan seluruh unsur pekerja dan rakyat yang berhubungan dengan industri seperti petani dan nelayan.

Industri nasional dapat terwujud di Indonesia, mengingat Indonesia merupakan negeri yang cukup berlimpah dengan sumber daya alamnya. Kandungan sumber daya alam yang tersedia memadai untuk kebutuhan pembangunan industri nasional, dari hulu sampai ke hilir. Misalnya, kita punya kapas sebagai bahan baku yang dapat dijadikan titik hulu industri tekstil. Lalu untuk pengadaan alat-alat dan insfrastruktur pengembangan prosesnya pun dapat disiapkan. Industri baja pun dapat dirintis dan diselenggarakan pengadaannya, kemudian potensi-potensi pembangunan industri nasional lainnya yang terbentang luas. Namun ironisnya hingga saat ini pemerintahan komprador dan rente yang berkuasa, tidak mempunyai perspektif konsepsi demikian. Justru sebaliknya, pemerintah mengeksploitasi dan mereguk rente. Akhirnya semua sumber daya kekayaan alam berada di bawah penguasaan asing.

Sumber daya manusia Indonesia pun menjadi faktor tidak terpisah dalam rangka pemastian pembangunan industri nasional. Dengan pengadaan bahan mentah dalam negeri yang siap, diikuti dengan partisipasi rakyat Indonesia dalam pengelolaan, pengawasan, penguasaan serta peruntukan hasil-hasil produksinya.

Sehingga Indonesia tidak hanya sebatas menjadi negeri perakit, negari sub ordinat dari negara yang industri nya lebih maju. Sumber daya alam kita dipakai dan dijual dengan harga murah, lalu Indonesia hanya mampu merakit barang yang boleh jadi bahan mentahnya berasal dari dalam negeri, yang kemudian dipasarkan dengan harga yang berlipat-lipat.

Industri nasional sangat mungkin diadakan dan dengan kontrol rakyat akan mampu menjadi tulang punggung ekonomi. Akan menjawab kebutuhan konsumsi dalam negeri, bahkan kemudian mampu bersaing dalam pasar dunia, berpotensi besar menyerap tenaga kerja. Dan akhirnya mampu memandirikan sekaligus mampu memajukan industri dalam negeri, serta akan mendongkrak tingkat kesejahteraan rakyat.

Ini semua dapat direalisasikan tentunya dengan syarat jika negeri ini tidak berada di bawah kekuasaan pemerintahan yang masih terjerat dan tunduk pada modal sebagai tuannya. Hanya di bawah pemerintahan yang pro rakyat dan kaum buruh, akan mampu memastikan terwujudnya industri nasional sebagai jawaban atas keterpurukan industri yang implikasinya berkelindan dengan persoalan penyerapan tenaga kerja, termasuk persoalan ekonomi dalam negeri.


* Penulis adalah Sekretaris wilayah KASBI Jakarta, sekaligus Anggota Forum Belajar Bersama Prakarsa Rakyat dari Simpul Jabodetabek.

** Siapa saja dipersilahkan mengutip, menggandakan, menyebarluaskan sebagian atau seluruh materi yang termuat dalam portal ini selama untuk kajian dan mendukung gerakan rakyat. Untuk keperluan komersial pengguna harus mendapatkan ijin tertulis dari pengelola portal Prakarsa Rakyat. Setiap pengutipan, penggandaan dan penyebarluasan sebagian atau seluruh materi harus mencantumkan sumber (portal Prakarsa Rakyat atau www.prakarsa-rakyat.org).

;;