Oleh : Suratmi Anung *

Beberapa bulan yang lalu sebagian besar warga DKI Jakarta, disibukkan dengan pendaftaran Sekolah Dasar untuk anak-anak mereka. Pendaftaran sekolah yang menggunakan sistem On Line dan pendaftaran langsung dengan beberapa persyaratan tertentu, cukup membuat sebagian kalangan calon orang tua murid mengalami kesulitan, ditambah dengan batas waktu yang boleh dikatankan cukup singkat. Penerapan sistem On Line menjadi hal yang baru untuk pendaftaran Sekolah Dasar, walaupun pada tahun sebelumnya sistem On Line tersebut telah diterapkan oleh Pemerintah DKI Jakarta untuk SMP dan SLTA.

Selain penerapan sistem On Line yang belum mampu diakses oleh calon orang tua murid, persyaratan administrasi lainnya selain Kartu Keluarga yang menjadi kewajiban dalam pendaftaran seperti adanya Akta Kelahiran anak calon peserta didik dari Kantor Catatan Sipil pun menjadi tambahan beban bagi orang tua. Kalau pun Dinas Pendidikan Pemprov DKI Jakarta memberikan sedikit kelonggaran atas persyaratan administratif, yakni dengan surat Keterangan Kelahiran dari Kelurahan setempat sebagai pengganti Akta Kelahiran. Namun tetap saja keluhan orang tua calon peserta didik masih ada, semisal bertambah biaya yang harus dikeluarkan dan juga perbedaan penafsiran pegawai kelurahan atas permohonan Surat Keterangan Kelahiran. Karena didapati pernyataan dari pegawai kelurahan, bahwa kelurahan tidak bisa memberikan Surat Keterangan Kelahiran namun hanya bisa memberikan Surat Keterangan sebagai pengantar untuk pembuatan Surat Akte Kelahiran ke Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil.

Beban biaya tambahan dimaksud yang harus dikeluarkan oleh orang tua calon peserta didik untuk mendapatkan surat keterangan dari kelurahan, antara lain uang untuk kas RT atas permintaan surat pengantar, kemudian meminta stempel dan tanda tangan RW pun ada sumbangan untuk kas, ditambah transportasi ke kelurahan dan bolak-balik ke sekolah tujuan.

Penerapan sistem On Line oleh Dinas Pendidikan Pemprov DKI Jakarta bukan tanpa kelemahan khususnya untuk yang reguler, sekalipun untuk mempermudah pendaftaran dan tertib administrasi selain tujuan, prinsip dan azas yang dituliskan oleh Dinas Pendidikan DKI Jakarta. Setidaknya kelemahan itu terlihat dari tidak adanya pengawasan yang ketat oleh Dinas Pendidikan, yakni dalam memasukan nomor-nomor tertentu yang menjadi persyaratan pokok dalam proses Pendaftaran Peserta Didik Baru (PPDB). Mudah saja bagi panitia penerimaan pendaftaran di tempat sekolah tujuan, untuk memasukan asal nomor yang wajib diisi dalam kolom pertama bertuliskan Nomor Akte Kelahiran atau Nomor Surat Keterangan Kelahiran.


Jika kita menilik sedikit kepada azas yang dibuat oleh Dinas Pendidikan DKI Jakarta, dimana disebutkan dalam point 3 huruf (d) yang berbunyi sebagai berikut, "Tidak diskriminatif, artinya PPDB di Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta tidak membedakan Suku, Agama, dan Ras atau Golongan." Namun kemudian jika dikaitkan dengan Persyaratan Calon peserta didik baru yang terdiri dari 5 butir, tentu boleh kita katakan masih adanya ruang diskrimintatif.

Mengapa masih bisa dikatakan diskriminatif dalam hal ini?

Persyaratan pendaftaran Sekolah Dasar yang mewajibkan adanya Surat Akte Kelahiran, Surat Keterangan Kelahiran dari Kelurahan dan juga Kartu Keluarga tentu menjadi kendala serius bagi orang tua yang memiliki anak usia sekolah sebagai Warga Negara Indonesia yang hidup dan tinggalnya di pinggiran bantaran sungai, di gerobak-gerobak dan pinggiran rel kereta api yang boleh dibilang tidak termasuk atau berada dalam catatan kota administratif tertentu, mulai dari tingkat RT, RW dan seterusnya. Seharusnya keberadaan mereka jauh-jauh sebelum persyaratan itu ditetapkan, Pemprov DKI Jakarta khususnya Dinas Pendidikan memikirkan ruang kemudahan bagi anak-anak mereka agar tetap bisa mengikuti proses verifikasi dan seleksi. Artinya bagi anak-anak yang orang tuanya tidak memiliki catatan domisili kota administratif tertentu, masih memiliki kesempatan untuk mengenyam pendidikan formal.

Walaupun demikian, penulis cukup memberikan apresiasi yang tinggi kepada Dinas Pendidikan DKI Jakarta dalam memberikan layanan pendidikan. Karena penulis memandang dengan tidak menerapkan persyaratan pernah mengikuti pendidikan tertentu misalkan TK atau ukuran nilai tertentu kepada calon peserta didik baru, merupakan tindakan yang baik dalam memberikan kesempatan bagi calon-calon peserta didik baru yang "mungkin" tingkat kecerdasannya di bawah rata-rata. Ekstrimnya penulis hendak mengatakan, seorang anak yang bodoh sekalipun dan orang tuanya tidak memiliki tempat tinggal, anak tersebut tetap memiliki hak yang paling mendaasar untuk mendapatkan pendidikan yang setinggi-tingginya serta dibiayai oleh negara. Dengan begitu, maka Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia benar-benar terpenuhi dan hal itu menjadi tanggungjawab negara.

* Penulis adalah Ibu rumah tangga, buruh konveksi di  Jakarta Utara, sekaligus Anggota Forum Belajar Bersama Prakarsa Rakyat dari Simpul Jabodetabek.

** Siapa saja dipersilahkan mengutip, menggandakan, menyebarluaskan sebagian atau seluruh materi yang termuat dalam portal ini selama untuk kajian dan mendukung gerakan rakyat. Untuk keperluan komersial pengguna harus mendapatkan ijin tertulis dari pengelola portal Prakarsa Rakyat. Setiap pengutipan, penggandaan dan penyebarluasan sebagian atau seluruh materi harus mencantumkan sumber (portal Prakarsa Rakyat atau www.prakarsa-rakyat.org).

Oleh : Fredy Wansyah*


Politik pencitraan tidak asing lagi bagi masyarakat, mengingat beberapa tindakan yang sering dilakukan oleh SBY. Bahkan politik pencitraan semakin dekat dengan gaya berpolitik penasehat demokrat tersebut atas reaksi-reaksi politisnya. Jika ada suatu aksi yang mungkin dapat merusak citra atau pandangan masyarakat terhadap dirinya, maka reaksi cepat untuk meresponnya pun segera dilakukan. Reaksi ini cenderung ditampilkan di ruang-ruang publik, seperti televisi dan media massa cetak.

Reaksi atas pencitraan beberapa hari lalu kembali dilakukan oleh SBY. Bermula dari SMS gelap yang dianggap merugikan, baik kerugian individu maupun kerugian partai, SBY melakukan konferensi pers dengan pihak-pihak media televisi untuk menanggapi beredarnya SMS “Nazaruddin.” Jelas tujuannya adalah merespon opini publik atas wacana SMS gelap tersebut. Reaksi yang berupa opini publik tersebut ditujukan juga pada opini publik.

Inilah serangkaian politik simulasi, perilaku pencitraan yang diperankan melalui media-media publik. Politik simulasi ini maksudnya perilaku politik hiperrealitas. Perilaku tersebut tidak mengacu pada suatu esensi realitas, melainkan demi pencitraan semata. Hal ini mengacu pada pandangan Baudrillard, yang menganggap bahwa simulasi merupakan suatu tatanan hilangnya pesona realitas. Gun Gun Heryanto juga pernah menegaskan, dalam tulisannya Hyper Realitas Politik Citra, bahwa kecenderungan politik citra mengarah pada simulasi realitas.

Perilaku-perilaku reaksi dilakukan demi membangun suatu citra atau penggambaran. Tidak ada pembahasan yang esensi secara radikal perihal suatu persoalan-persoalan politik. Misalnya, persoalan kesejahteraan rakyat tidak diambil sikap tegas dan cepat, persoalan keamanan sosial tidak disikapi dengan bijak dan adil, bahkan persoalan korupsi tidak ada pembahasan yang secepat reaksi respon isu SMS “Nazaruddin.”

Publik sebagai penerima (receiver) politik simulasi hanya menkonsumsi sesuatu yang gelap dan semu. Karena perilaku-perilaku tadi tidak didasari atas realitas dan esensi kerja. Kecenderungan politik simulasi muncul dengan berbagai wujud. Wujud-wujudnya adalah berupa polling, pemilu, media-media publik seperti opini publik, tayangan-tayangan publik seperti talk show.

Polling sering digunakan di dalam dinamika politik nasional. Contohnya, baru-baru ini saja terjadi polling yang cukup menghebohkan. Lembaga survei Indobarometer merilis tentang persepsi publik terhadap kepemimpinan negara ini. Soeharto, sebagai presiden terlama dalam jabatannya, menduduki peringkat pertama. Spesifikasinya adalah, Soeharto mendapat 36,5% dari 1.200 responden (domisili responden hanya di Jakarta), SBY mendapat 20,9%, sementara presiden lainnya berada di bawah kisaran 10%. Di satu sisi pembicaraan perihal kepemimpinan Soeharto masih dianggap kontroversial, namun pada kesempatan survei ini justru Soehartolah yang mendapatkan perhatian publik.

Pada kesempatan Pemilu elektoral 2009 kemarin pun polling (survei) tidak luput dari dinamika politik. LSI (Lembaga Survei Indonesia), Juli 2009, menyatakan bahwa kepuasan publik terhadap kinerja pemerintah mencapai 85%. Lalu di awal tahun berikutnya dimunculkan lagi survei yang sama, yang menyatakan bahwa kepuasan publik menurun 15% atau menjadi 70% dari 2.900 responden.

Polling, opini publik, pemilu, dan talk show hanyalah serangkaian upaya-upaya pembentukan citra ke publik tanpa pembahasan persoalan yang lebih esensial. Contohnya adalah kedua survei di atas, pandangan terhadap kepemimpinan dan kepuasan publik tidak hanya sebatas menjajaki pendapat. Hal utamanya adalah menjajaki kualitas kepemimpinan dan hakikat kepuasan sosial yang bersifat kesejahteraan, bukan sebatas perilaku semu berupa survei. Apalagi tindakan-tindakan survei bersifat terbatas atas respondennya. Terbatas dalam wilayah dan terbatas dalam pemahaman. Dari keterbatasan-keterbatasan itulah unsur-unsur simulasi dirangkai oleh pelaku survei dengan “seolah-olah” survei merupakan hasil akhir yang bersifat nyata.

Akibat dari seringnya politik simulasi ini adalah anggapan publik terhadap wujud-wujud simulasi ini merupakan hal yang biasa, lumrah, dan sewajarnya. Padahal, sebuah simulasi berada dalam lingkaran hyperrealitas, yang bagi Baudrillard sama halnya dengan hyperseksualitas, yang diwujudkan seolah-olah beranjak dari realitas. Contoh sederhana dari simulasi adalah film. Film dirangkai menjadi sebuah tontonan atas kerja-kerja pekerja film dan konsepsi-konsepsi pekerja film. Jadi film hanyalah suatu wujud manipulasi realitas yang telah disusun oleh pekerja filmnya.

Keberadaan perilaku-perilaku politik simulasi sebaiknya kita, sebagai bagian dari publik, mampu memahami tindakan-tindakan yang bersifat nyata dan esensial yang sedang dilakukan oleh politikus. Sebab, tanpa pemahaman itu kita justru akan semakin teraduk-aduk dalam kubangan yang tidak lagi mampu membedakan antara kenyataan dan bukan kenyataan.


* Penulis adalah Mahasiswa Sastra Indonesia Universitas Padjajaran, sekaligus Anggota Forum Belajar Bersama Prakarsa Rakyat dari Simpul Bandung.

** Siapa saja dipersilahkan mengutip, menggandakan, menyebarluaskan sebagian atau seluruh materi yang termuat dalam portal ini selama untuk kajian dan mendukung gerakan rakyat. Untuk keperluan komersial pengguna harus mendapatkan ijin tertulis dari pengelola portal Prakarsa Rakyat. Setiap pengutipan, penggandaan dan penyebarluasan sebagian atau seluruh materi harus mencantumkan sumber (portal Prakarsa Rakyat atau www.prakarsa-rakyat.org).

Oleh : Rinto Tri Hasworo*

Mencerdaskan kehidupan bangsa merupakan salah satu tujuan dari Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia. Selain melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum dan ikut melaksanaka ketertiban dunia, alinea keempat Pembukaan UUD Tahun 1945 mengamanatkan bahwa beban mencerdaskan kehidupan bangsa ada pada pemerintah. Dan oleh karena itulah Pemerintah Negara Indonesia dibentuk melalui Undang-Undang Dasar Negara Indonesia.

Dengan kemerdekaan, proses mencerdaskan kehidupan bangsa lebih mungkin untuk dilakukan. Sebab tanpa kemerdekaan tidak akan mungkin terselenggara pendidikan berkualitas dan berkeadilan yang dapat mencerdaskan segenap bangsa Indonesia. Tanpa kemerdekaan pendidikan hanya akan dinikmati oleh anak-anak kaum penjajah dan para priyayi. Kemerdekaan membuka akses terhadap pendidikan kepada siapapun.

Kemerdekaan dan pendidikan adalah dua elemen yang saling mendukung, satu membutuhkan yang lainnya. Kemerdekaan mampu menciptakan pendidikan yang lebih baik. Namun, tanpa pendidikan tidak akan lahir gagasan tentang kemerdekaan. Gagasan tentang bangsa merdeka yang diusung oleh tokoh-tokoh pergerakan nasional pun tidak bisa dilepaskan dari proses pendidikan yang telah mereka terima.

Salah satu tokoh pergerakan nasional tersebut adalah Soewardi Surjaningrat atau yang lebih dikenal dengan nama Ki Hajar Dewantara. Pendidikan tidak hanya melahirkan gagasan kemerdekaan dalam khasanah berpikir Ki Hajar, namun juga menjadi alat perjuangannya untuk mewujudkan kemerdekaan. Soewardi menjadikan kemerdekaan sebagai azas pendidikan. Bagi Ki Hajar, mengisi jiwa merdeka pada anak-anak Indonesia yang sedang dijajah berarti mempersenjatai bangsa dengan keberanian untuk berjuang.

Setelah menggunakan pers, partai politik dan organisasi massa, pendidikan adalah alat perjuangan terakhir yang digunakan Ki Hajar untuk mewujudkan cita-cita kemerdekaannya. Dengan memberikan pendidikan yang memadai kepada rakyat akan menciptakan wawasan yang luas bagi mereka, yang pada akhirnya akan melahirkan kehendak untuk memerdekakan jiwa dan raganya. Taman Siswa lahir dengan latar belakang ini.

Sama seperti alat perjuangan yang pernah ia gunakan, pendidikan sebagai alat perjuanganpun harus menghadapi berbagai macam hambatan yang dipasang oleh pemerintah kolonial. Melalui wilde scholen ordonantie (ordonansi ‘sekolah liar’) pemerintah kolonial berupaya membendung perjuangan kemerdekaan melalui jalur pendidikan.

Ordonansi ini mengatur tentang izin penyelenggaraan pendidikan. Sekolah yang dianggap mengganggu ‘ketertiban umum’ tidak akan diberikan izin, dan dianggap sebagai ‘sekolah liar.’ Namun ordonansi ini tidak dapat diberlakukan secara efektif karena mendapatkan perlawanan yang luar biasa dari para tokoh dan organisasi pergerakan nasional.

Ya, elok dan luhur nian konsep pendidikan menurut Ki Hajar. Konsep yang tetap relevan hingga saat ini. Jika pada era sekarang – yang katanya begitu canggih – saja konsep ini begitu cemerlang, apalagi pada saat konsep ini dilahirkan. Bisa jadi pada masa kelahirannya konsep ini tidak terlalu cemerlang, karena keluhuran hati dan pikiran, mudah kita dapatkan pada masa itu. Sementara di era milenium yang menampilkan berbagai macam kecanggihan ini, keluhuran sulit didapatkan, termasuk dalam dunia pendidikan.

Ironi Pendidikan Nasional

Taman Siswa berdiri tahun sejak 3 Juli 1922, 89 tahun lalu. Lebih jauh lagi, “Medan Prijaji”, koran pertama yang dikelola oleh kaum pribumi terbit pada tahun 1903. Namun kenyataan yang ada seolah menampilkan sebuah ironi. Hingga September 2010, 5,3 persen atau 8,7 juta orang penduduk negeri ini menyandang status buta aksara. Selain keterisolasian, kemiskinan memberikan kontribusi besar terhadap angka kebutaaksaraan.

Seorang teman yang menjadi guru di salahsatu sekolah menengah swasta di Kabupaten Sorong, mengatakan bahwa kemampuan membaca sejumlah siswanya masih menjadi persoalan. Mereka masih kesulitan dalam membaca. Selain itu, guru juga harus ‘berjuang’ memilih kata atau kalimat yang sangat sederhana agar dapat dimengerti oleh murid-muridnya. Maklum, sekalipun para murid adalah putera-puteri bangsa Indonesia, namun pengetahuan mereka tentang kosa kata bahasa Indonesiapun masih sangat terbatas.

Padahal, program wajib belajar sudah dicanangkan sejak tahun 1950, lima tahun setelah Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya. UU Nomor 4 tahun 1950 jo UU Nomor 12 tahun 1954 menjadi payung hukum penyelenggaraan pendidikan. Setiap anak yang berusia 8 sampai 14 tahun diwajibkan mengikuti program ini. Program wajib belajar pada era ini tidak berjalan efektif, bukan hanya karena kemiskinan, namun juga karena berbagai pergolakan politik dan pemberontakan yang mendera perjalanan negara belia ini.

Pergantian kepemimpinan nasional ternyata tidak membawa arti bagi wajah pendidikan nasional. Jangankan pendidikan sebagai sebuah nilai, yang namanya (bangunan) sekolahpun tidak diurus secara pantas. Kasus bangunan sekolah rusak dan roboh serta ditukarguling untuk kepentingan bisnis masih kerap terjadi. Jika di Jakarta saja persoalan seperti ini masih terjadi, kita sudah dapat membayangkan nasib pendidikan di daerah-daerah lain.

Ujian Nasional
Melalui Ujian Nasional Pemerintah berusaha meningkatkan kualitas dan membuat standar pendidikan nasional. Nilai UN menjadi penentu kelulusan para siswa. Alih-alih meningkatkan mutu dan standar pendidikan, pembentukan standar pendidikan melalui UN justru menuai kritik dan kecaman. Bahkan sejumlah orangtua murid, guru dan para pemerhati pendidikan menggugat Pemerintah secara perdata melalui mekanisme citizen law suit (CLS). Pada setiap tingkatan pemeriksaan pengadilan hingga Mahkamah Agung, permohonan para penggugat dikabulkan.

Sejatinya, UN bukan hanya tidak memiliki legitimasi sosial dan moral, namun juga legal. Namun pada kenyataannya UN masih tetap diselenggarakan dan masih menjadi penentu kelulusan dan standar pendidikan nasional, walaupun belakangan pemerintah melalui Kementerian Pendidikan menetapkan kelulusan tidak lagi hanya ditentuka oleh UN, namun penggabungan dari nilai sekolah sebesar 40 persen dan 60 persen nilai UN.

Masuknya 40 persen nilai ujian sekolah sebagai komponen nilai kelulusan tidak serta-merta mengurangi ‘kepanikan’ para siswa, guru, kepala sekolah dan orangtua murid dalam menghadapi UN. Beragam jurus mereka gunakan untuk menghadapi UN. Mulai dari jurus yang paling elok dengan memberikan pelajaran tambahan hingga praktik curang memberikan bocoran jawaban dan mencontek (massal atau individual).

Sepanjang penyelenggaraannya, selain kasus bunuh diri, UN ternyata menyumbang pada kenaikan angka kriminalitas, seperti kasus pembocoran soal ujian, joki dan penipuan. Kualitas pendidikan tidak mengalami peningkatan sebagaimana yang diinginkan, penyelenggaraan UN justru semakin menjauhkan pemangku kepentingan dari esensi pendidikan.

Nilai-nilai luhur yang harusnya ditumbuhkan dan dijaga oleh lembaga sekolah justru dihancurkan. Mencontek yang pada awalnya adalah ‘kejahatan’ intelektual justru dianjurkan. Nilai-nilai solidaritas dan kesetiakawanan diartikan memberikan jawaban kepada teman-teman yang tidak bisa menjawab soal UN. Nilai-nilai kemandirian digadaikan dengan kelulusan. Kepala sekolah dan guru-guru beramai-ramai ‘menggebuki’ rekan sejawatnya yang membongkar kecurangan UN di sekolahnya.

‘Kecelakaan’ dalam dunia pendidikan tidak hanya terjadi di institusi pendidikan, namun sudah merembes hingga komunitas masyarakat paling bawah. Siami harus terusir dari rumahnya sendiri. Warga sekampung yang juga orangtua murid mengusirnya karena ia membongkar praktik contek massal di sekolah anaknya. Para orangtua seakan lupa bahwa ketika mereka bersekolahpun mencontek adalah perbuatan yang bertentangan dengan nilai-nilai pendidikan. Demi anaknya lulus UN, para orangtua seakan mendukung anak-anaknya terlibat aksi meruntuhkan nilai-nilai pendidikan di sekolah.

Aksi contek yang memperoleh legitimasi dari kepala sekolah, guru dan orangtua murid tidak sepenuhnya bisa disalahkan. Setuju atau tidak setuju dengan berbagai macam praktik curang dalam menghadapi UN, tindakan tersebut bisa kita lihat sebagai bentuk perlawanan atau pembangkangan dari pihak sekolah. Sebab Pemerintah (pusat) yang tidak pernah memberikan perhatian kepada sekolah mereka, justru banyak mengatur, mengevaluasi dan menentukan lulus tidaknya siswa yang telah mereka didik selama sekian tahun.

Alangkah bijaksananya jika sebelum memberikan standarisasi mutu melalui UN, pemerintah mengurus standarisasi proses pendidikan. Misalnya standar perpustakaan, laboratorium dan lapangan olahraga yang harus dimiliki oleh sekolah. Termasuk standar kualitas dan kompetensi guru serta rasio guru dan murid.

Jika Pemerintah tidak mau mengurus standar proses pendidikan, maka menjadi tidak adil jika Pemerintah melakukan standarisasi output melalui UN. Dan tidak adil pula jika para murid dari belantara Papua harus ‘bertanding’ dengan siswa yang bersekolah di kota besar dengan fasilitas yang lengkap dan canggih.

RSBI
Penyelenggaraan pendidikan yang berkualitas semestinya terjadi di seluruh sekolah dan jenjang pendidikan, tidak dijelmakan dalam rintisan sekolah berstandar internasional (RSBI). Dalam praktik, RSBI semakin menjauhkan akses orang miskin terhadap pendidikan. Sebab, selain anak harus memiliki nilai UN yang memenuhi syarat, orangtua juga harus membayar berbagai macam pungutan yang jumlahnya mencapai jutaan rupiah. (Kompas 6 Juli 2011)

Jika RSBI dianggap sebagai model pendidikan yang paling baik, harusnya ia diselenggarakan di setiap sekolah. Bukan pada sekolah-sekolah tertentu yang justru melahirkan ekslusivitas sekolah. Konstitusi menjamin bahwa setiap warga negara berhak mendapat pendidikan dan Pemerintah wajib membiayai. Pemerintahpun dituntut untuk mengusahakan sistem pendidikan nasional, bukan sekolah dengan standar internasional.

Jika sistem penyelenggaraan pendidikan seperti ini masih tetap dipertahankan, maka keadilan di bidang pendidikan tidak akan pernah terwujud. Pendidikan tidak lagi menjadi bagian dari hak asasi manusia, tapi sebuah komoditi. Angka putus sekolah pun makin sulit dibendung. Dan angka kemiskinan pun akan terus melambung, karena pendidikan sebagai sarana transformasi tidak dapat dikecap oleh si miskin.


* Penulis adalah Advokat dan Peneliti, bekerja pada Institute for Ecosoc Rights, sekaligus Anggota Forum Belajar Bersama Prakarsa Rakyat dari Simpul Jabodetabek.

** Siapa saja dipersilahkan mengutip, menggandakan, menyebarluaskan sebagian atau seluruh materi yang termuat dalam portal ini selama untuk kajian dan mendukung gerakan rakyat. Untuk keperluan komersial pengguna harus mendapatkan ijin tertulis dari pengelola portal Prakarsa Rakyat. Setiap pengutipan, penggandaan dan penyebarluasan sebagian atau seluruh materi harus mencantumkan sumber (portal Prakarsa Rakyat atau www.prakarsa-rakyat.org).



Robert Collier

DATA BUKU

Judul: The Secret of the Ages
Penulis: Robert Collier
Penerjemah: Dewi Wulansari
Editor: Wendratama
Penerbit: Gemilang (Kelompok Pustaka Alvabet)
Genre: Pengembangan Diri
Cetakan: I, Agustus 2011
Ukuran: 15 x 23 cm (flap 9 cm)
Tebal: 336 hlaman cm
ISBN: 978-979-19974-8-5
Harga: Rp. 69.000,-


SINOPSIS

Dalam The Secret of the Ages, Robert Collier mengungkapkan rahasia-rahasia untuk mencapai kesuksesan: rahasia-rahasia ini telah terbukti (dan akan terus terbukti) mujarab sepanjang zaman. Collier menunjukkan bahwa keputusan yang Anda buat serta bagaimana cara Anda berpikir akan berpengaruh langsung pada seberapa sukses dan bahagia hidup Anda. Dengan metode-metode sederhana yang dapat mengubah seluruh pandangan Anda, buku ini memberi Anda alat untuk mencapai hidup sukses dan bahagia.

Sejak terbit pertama kali secara pribadi pada 1926, buku ini terus dicetak ulang hingga kini meskipun penulisnya sudah meninggal pada 1950. Buku klasik ini telah mengubah kehidupan banyak orang di berbagai belahan dunia, sebuah testimoni bagi keyakinan penulisnya bahwa kelimpahan dan kebahagiaan benar-benar berada dalam jangkauan setiap orang.

Inilah salah satu buku pengembangan diri paling hebat yang pernah ditulis. Dan tahukah Anda bahwa tanpa gagasan dasar yang Robert Collier tuangkan dalam The Secret of the Ages, buku fenomenal karya Rhonda Byrne, The Secret, tidak akan pernah ditulis dan tidak akan pernah Anda rasakan pengaruhnya. Bahkan, jauh sebelum Michael Losier dan James Arthur Ray—melalui Law of Attraction dan The Science of Success—mengingatkan dunia betapa efektif kekuatan berpikir positif, buku The Secret of the Ages telah lebih dulu ada.


ENDORSEMENT

“Tak ada keinginan yang tak dapat Anda miliki. Bila pikiran Anda menerima kenyataan bahwa Anda bisa melakukannya, maka semuanya bisa Anda lakukan.”
—Robert Collier

“Buku klasik yang luar biasa. Robert Collier menyajikan kebenaran yang mendalam tentang keajaiban kekuatan pikiran, dan memberi kita panduan yang jelas untuk mencapai Potensi Tertinggi. Buku yang dahsyat!”
—Noel Cox, Dublin

“Inilah buku tentang Hukum Tarik-Menarik (Law of Attraction). Banyak penulis lain dalam tema tersebut mengutip dan merujuk ke buku ini. Membaca buku ini, Anda akan mendapatkan wawasan yang mendalam. Anda pun akan mengakui inilah salah satu karya terbaik yang pernah Anda baca.”
—L. Power, trainer, San Francisco

“Jika Anda benar-benar ingin sukses dan kepuasan, Anda akan menemukan bahwa pikiran benar-benar penting untuk mewujudkannya, dan itulah yang dikatakan Robert Collier dalam buku ini.”
—Tom Carpenter


TENTANG PENULIS

ROBERT COLLIER adalah kutu buku yang produktif. Kegemarannya membaca memberinya dasar-dasar penulisan yang kemudian menjadi karirnya. Karya-karyanya yang inspiratif mengubah kehidupan banyak orang, yang paling terkenal yaitu The Secret of the Ages: berkat buku ini, Collier menerima ribuan surat yang menceritakan hasil yang mereka peroleh dari membaca buku ini. Collier menulis empat buku lainnya, yaitu The God in You, The Power Secret, The Magic Word, dan The Law of the Higher Potential, yang kemudian ia gabungkan menjadi satu buku yang menarik, The Law of the Higher Potential.

Collier semula dididik di sekolah gereja untuk diharapkan menjadi pendeta. Tetapi kemudian, ia memilih pergi ke West Virginia untuk bekerja sebagai insinyur pertambangan. Setelah itu, ia pergi ke New York City dan bekerja di bagian periklanan pada Collier Publishing Company. Di sana, ia mengembangkan ide-ide penjualan. Hasilnya fantastis. Dia menjual ribuan buku dari Harvard Classics, diikuti pesanan lebih dari 70.000 buku tentang sejarah Perang Dunia. Bapak enam anak yang lahir pada 1885 di St. Louis, Missouri, ini meninggal akibat kanker pada 1950. Namun, buku-bukunya masih ada dan terus dibaca banyak orang hingga sekarang.

=============================
Jl. SMA 14 No. 10, Cawang, Kramat Jati, 
Jakarta Timur, Indonesia 13610
Telp. +62 21 8006458
Fax.  +62 21 8006458

;;