Oleh : Rinto Tri Hasworo*


Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan

(Pasal 27 Ayat (2) Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia)

Kasus Sumiati kembali menyadarkan kita bahwa persoalan buruh migran belum selesai. Masih banyak hal yang harus dilakukan oleh pemerintah untuk melindungi warga negaranya yang bekerja di luar negeri, terutama untuk pekerjaan sektor domestik. Kasus penyiksaan Sumiati merupakan kasus kesekian yang menghentakkan nurani kemanusiaan kita dan melemparkan harga diri bangsa ke titik yang paling rendah.

Ketika Sumiati masih tergolek lemah di ruang perawatan, kita kembali dikejutkan dengan berita buruh migran bernama Kikim Komalasari, TKW asal Sukabumi. Nasibnya jauh lebih tragis. Ia tewas di tangan majikan kemudian mayatnya ditemukan di tempat sampah. Mengerikan, nyawa seorang manusia disetarakan dengan sampah. Alam pikiran kita (yang waras) tentu tidak bisa membayangkan bagaimana manusia bisa memperlakukan manusia lain dengan perlakuan sebiadab itu.


Pola Rekrutmen

Pasal 10 Undang-undang Nomor 39 Tahun 2004 Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri mengamanatkan bahwa pelaksana penempatan buruh migran terdiri dari pemerintah dan pelaksana penempatan swasta (Perusahaan Jasa Tenaga Kerja Indonesia – PJTKI). Dalam praktiknya, PJTKI mengambil peran lebih besar dalam pelaksanaan penempatan buruh migran. Lebih ironis lagi, PJTKI lebih banyak mengirim buruh migran untuk sektor yang sangat rentan, yaitu pembantu rumah tangga (PRT). Ini disebabkan karena PRT bekerja dalam lingkungan yang terbatas (terisolir).

Bermain dalam bisnis penempatan jelas memberikan keuntungan yang tidak sedikit, maka bisa dipahami para PJTKI berlomba merekrut calon buruh migran hingga pelosok desa. Padahal, perekrutan calon buruh migran harus disesuaikan dengan job order. Pada kenyataannya, ada atau tidak ada job order PJTKI tetap melakukan perekrutan. Mereka menerapkan sistem “ready stock.” Calon buruh migran direkrut dengan berbagai iming-iming. Mereka ditampung dalam barak penampungan (yang lebih mirip ruang isolasi), tanpa kepastian kapan akan diberangkatkan. Sistem ini (“ready stock”) jelas telah menempatkan buruh migran sebagai komoditi.

Tingginya permintaan buruh migran di luar negeri (terutama untuk sektor domestik) mendorong PJTKI menciptakan berbagai strategi jitu dalam merekrut calon buruh migran. Dengan memberikan imbalan yang lebih besar, PJTKI menempatkan calo sebagai ujung tombak perekrutan. Mereka masuk ke desa-desa, terutama desa miskin, untuk mencari calon buruh migran. Iming-iming mereka berikan untuk meyakinkan sang calon: gaji besar, kondisi kerja yang enak, diberi pelatihan atau pendidikan keterampilan, penampungan yang nyaman, memberikan uang saku kepada calon TKI dan keluarganya selama TKI belum memperoleh gaji. Semua tentu tidak gratis, karena mereka harus membayar dari gaji yang akan mereka terima.

Para calo juga rela merogoh kocek pribadi untuk memberangkatkan TKI, sebesar dua hingga lima juta rupiah per orang. Nantinya, seluruh biaya tersebut diganti oleh agen dan PJTKI. Imbalan bagi para calo ini bervariasi. Untuk pemula, upah biasanya berkisar Rp 500 ribu hingga Rp 1 juta setiap merekrut orang. Peran para calo tidak hanya berhenti pada proses perekrutan, masalah dokumen pun bisa diurusnya. Calo menyediakan jasa mengurus surat identitas palsu. Mulai dari kartu keluarga hingga kartu tanda penduduk. Kartu identitas palsu mudah dikantongi, tentunya dengan memanipulasi usia calon TKI. Dan pastinya dengan uang pelicin. Tak banyak, hanya Rp 100 ribu hingga Rp 200 ribu, aparat pun bisa diajak bermain mata (Gerilya Pemburu TKI ABG, Tim Sigi SCTV, 2010).

Minimnya pengawasan terhadap praktik PJTKI, menyebabkan berbagai kasus kriminal dilakukan atau melibatkan PJTKI. Mulai dari pemalsuan dokumen, pemerasan, perdagangan manusia (human trafficking), penipuan, dan tindak kriminal lainnya. Untuk itu, pola perekrutan harus dirubah, mekanisme pengawasanpun harus diperkuat. Tidak bisa lagi PJTKI, apalagi calo, dengan leluasa ‘menjemput bola’ hingga ke desa-desa. Peran pemerintah melalui Kemenakertrans dan Dinas-dinas Tenaga Kerja di daerah harus lebih dioptimalkan. PJTKI sebaiknya tidak diperkenankan menempatkan buruh migran pada sektor-sektor yang memiliki tingkat kerentanan tinggi. Tugas itu harus dilakukan oleh pemerintah melalui Dinas Ketenagakerjaan di daerah-daerah yang berperan sebagai pelaksana penempatan.


Dinamika di Tempat Kerja

Sulit membayangkan jika selama berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun kita tidak dapat menghubungi atau mengetahui kabar anggota keluarga yang bekerja di luar negeri. Padahal, mereka bekerja di negara yang cukup maju dengan sarana komunikasi (telepon) yang canggih. Mereka seakan lenyap ‘tertelan’ bumi setelah tiba di negara tujuan bekerja. Tapi, inilah realitas yang dihadapi ribuan keluarga buruh migran. Tidak jarang sebagian dari buruh migran baru diketahui nasib dan keberadaannya setelah menjadi korban penganiayaan majikannya. Mencari anggota keluarga yang menjadi buruh migran seakan mencari jarum yang jatuh di padang pasir.

Kajan adalah salah seorang yang bertahun-tahun tidak dapat mengetahui nasib dan keberadaan anaknya, Sunesih. Sunesih seperti lenyap tertelan bumi Arab Saudi setelah ia diberangkatkan pada 27 Mei 2007. Berbagai upaya telah dilakukan Kajan dan anggota keluarga lain untuk memperoleh kepastian kondisi Sunesih. Mulai dari menghubungi perusahaan penyalur hingga menghubungi majikannya di Arab Saudi. Namun kabar tentang Sunesih tidak juga ia peroleh.

Setelah bolak-balik mendatangi dan mendesak perusahaan penyalur, barulah Kajan memperoleh kabar bahwa Sunesih sudah meninggal. Ironisnya, kabar kematian Sunesih baru diperoleh Kajan tanggal 12 Agustus 2010. Padahal menurut catatan yang ada Sunesih meninggal tanggal 18 Juli 2007. Artinya Kajan baru mengetahui kematian anaknya setelah tiga tahun Sunesih meninggal dunia (Kompas, 22/11/2010).

Setelah kasus Sumiati dan Kikim mengemuka, berbagai reaksi bermunculan menyikapi nasib kedua buruh migran ini dan kebijakan ketenagakerjaan migran. Akses komunikasi dan informasi kepada tiap buruh migran menjadi salah satu sorotan penting. Tidak adanya akses ke dan dari TKI menyebabkan tidak adanya pemantauan terhadap nasib TKI. Untuk meretas persoalan ini, Presiden SBY mengusulkan agar tiap TKI dibekali telepon seluler (HP). Alasannya, jika terjadi sesuatu, mereka (buruh migran) bisa segera berkomunikasi dengan pejabat perwakilan RI di negara tempat bekerja. Ide yang cemerlang namun naif jika kita melihat hubungan kerja antara buruh migran dengan majikannya.

Bisa memiliki dan menggunakan HP atau sarana komunikasi lainnya di tempat bekerja merupakan suatu ‘kemewahan’ bagi buruh migran. Sebab, jangankan alat komunikasi sekelas HP, buku saku yang berisi catatan alamat dan nomor telepon perwakilan RI atau lembaga-lembaga yang dapat dihubungi buruh migran jika mengalami masalah pun ditahan majikan. Termasuk dokumen keimigrasian buruh migran. Mungkin SBY (berlagak) lupa, bahwa ia pun menyetujui majikan menahan dokumen buruh migran lewat nota kesepahaman (MoU) ketenagakerjaan migran dengan Pemerintahan Malaysia.

Penahanan dokumen oleh majikan tidak hanya berimplikasi pada perendahan martabat bangsa, namun juga berimplikasi pada nasib dan status buruh migran. Dengan ditahannya dokumen maka memaksa buruh untuk tetap ‘setia’ pada majikan, sekalipun kondisi kerja lebih mirip perbudakan. Jika buruh migran nekat memlih kabur, maka ia harus siap dengan status sebagai buruh migran ‘ilegal.’ Artinya, penahanan dokumen oleh majikan menjadi salah satu penyebab lahirnya buruh migran ‘ilegal’ (Atase Tenaga Kerja & Perlindungan TKI , antara Indonesia–Singapura–Malaysia, The Institute for Ecosoc Rights, 2010).


Buruh Migran dan Sumbangsihnya
Dalam hal remitansi tentu tidak ada pembicaraan mengenai sumbernya: dari buruh migran legal atau ilegal. Sebagaimana yang kerap terjadi dalam penanganan buruh migran yang sedang menghadapi masalah, yang kerap mempersoalkan status (legal ilegal) buruh migran.

Desakan ekonomi dan kesederhanaan berpikir menyebabkan sebagian besar buruh migran tidak menyadari bahwa tiap lembar mata uang asing yang ia peroleh dan kirimkan ke tanah air memberikan sumbangan yang luar biasa terhadap cadangan devisa dan pembangunan negeri ini. Namun demikian kesederhanaan berpikir, ketidakmengertian tentang kalkulasi politik dan ekonomi buruh migran tidak serta-merta membuat negera menjadi abai terhadap tanggung jawabnya memberikan perhatian dan perlindungan kepada mereka.

Remitansi menjadi primadona bagi negara untuk ‘menebalkan’ pundi-pundi devisa. Menurut Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Kemenakertrans), penempatan TKI di luar negeri hingga awal Februari 2010 mencapai 2.679.536 orang. Pemasukan devisa dari remitansi TKI pada 2009 mencapai USD 8,2 miliar. Remitansi nasional pada 2006-2009 masing-masing mencapai USD 5,56 miliar, USD 6 miliar, USD 8,24 miliar, dan USD 8,2 miliar. Dengan 2.679.536 orang warga negaranya yang bekerja di luar negeri, negara melalui Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Muhaimin Iskandar menargetkan angka remitansi dari TKI pada 2010 sebesar USD10 miliar atau naik 21,95 persen dibanding 2009 (okezone.com).

Tidak hanya negara, bisnis perbankan pun berebut dan bersaing untuk mereguk keuntungan dari remitansi. Persaingan menajam manakala bank nasional yang mayoritas sahamnya dikuasi oleh pihak asing pun terjun ke pasar remitansi. Untuk memenangi persaingan sengit itu, beberapa bank nasional menempatkan perwakilannya di bank koresponden di luar negeri. Tengok saja, BNI sebagai pemimpin pasar telah menempatkan remittance representative di Malaysia dan negara-negara Timur Tengah, seperti Arab Saudi, United Arab Emirates (UAE) untuk menjemput bola bisnis remitansi langsung dari sumbernya. Perwakilan yang semula tingkat analis kini ditingkatkan hingga level manajer bahkan assistant vice president(AVP) (okezone.com).

Mulai negara hingga bisnis perbankan mereguk keuntungan dari keringat buruh migran dalam bentuk remitansi. Kondisi ini ironis dengan nasib buruh migran. Tidak ada skema perlindungan yang memadai bagi mereka, seakan mereka dibiarkan hidup dan bekerja berdampingan dengan kerentanannya di luar negeri. Perhatian bagi mereka pun masih sangat minim. Kalaupun ada, sifatnya kasuistik, datang bergelombang manakala media massa melakukan ekspos berita terhadap buruh migran yang sedang menghadapi masalah. Mereda dan hilang tertelan waktu dan berita-berita lain yang lebih ‘seksi.’

Sumbangsih buruh migran kepada ekonomi negara tidak sebanding dengan perlindungan yang mereka terima dari pemerintah. Berbagai kasus yang mendera buruh migran masih terus saja terjadi, jumlahnya pun terus meningkat dari tahun ke tahun. Untuk kasus kematian buruh migran Kementerian Luar Negeri menyatakan bahwa jumlah buruh migran Indonesia yang meninggal di luar negeri sepanjang 2009 mencapai 1.107 jiwa atau naik 124 persen, dibandingkan angka kematian buruh migran tahun sebelumnya, 494 jiwa.

Sedangkan untuk kasus penganiayaan, pada tahun 2009 sebanyak 4.822 kasus. Jumlahnyapun meningkat tajam jika dibandingkan tahun sebelumnya, 3.470. Dan sakit akibat kerja 10.153. Masalah lainnya adalah PHK sepihak oleh Majikan. PHK sepihak merupakan kasus terbesar yang dialami buruh migran Indonesia, jumlahnya 13.155 kasus (Republika Online, 11/2/2010).


Sumiati dan Kikim: Babak Akhir Masalah Buruh Migran?

Sama dengan kasus-kasus yang menimpa buruh migran sebelumnya, kasus Sumiati dan Kikim juga dianggap sebagai momentum yang baik untuk menata kembali sistem ketenagakerjaan buruh migran. Mulai dari membuat MoU ketenagakerjaan migran yang berpihak pada buruh migran dengan negara-negara tujuan bekerja (khususnya Arab Saudi), moratorium pengiriman buruh migran ke negara-negara Arab hingga menghentikan samasekali pengiriman buruh migran ke Arab Saudi.

Sejatinya, dalam melihat persoalan buruh migran tidak hanya ‘mengutuk’ kebijakan ketenagakerjaan migran negara tujuan bekerja, namun juga mesti melihat dan membenahi sistem (perlindungan) ketenagakerjaan migran di dalam negeri. Baik peraturan perundang-undangan maupun kelembagaan yang berkaitan dengan kebijakan ketenagakerjaan migran.

Undang-Undang nomor 39 tahun 2004 jelas sudah tidak memadai lagi untuk mengatasi persoalan buruh migran. Selain karena lebih banyak mengatur soal bisnis penempatan ketimbang perlindungan buruh migran, sejumlah pasal krusial undang-undang ini juga melahirkan multi tafsir.

Lembaga yang memiliki mandat khusus untuk memberikan perlindungan dan pengawasan terhadap ketenagakerjaan migran pun mendesak untuk dibentuk, apapun namanya. Karena Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) juga sudah tidak memadai lagi untuk memberikan perlindungan, karena lembaga ini juga berperan sebagai pelaksana penempatan.

Kita tentu berharap kasus Sumiati dan Kikim sungguh menjadi momentum untuk dilakukannnya perubahan mendasar dalam sistem ketenagakerjaan migran negara kita. Tidak seperti kasus-kasus Nirmala Bona, Ceriati, Siti Hajar. Menggema ketika lukanya masih menganga. Hilang tertelan waktu dan kasus-kasus lain. Jangankan menjadikannya sebagai pintu masuk membuat perubahan, (proses hukum) kasusnya pun tidak jelas rimbanya.

Lewat Sumiati dan Almarhumah Kikim Komalasari kita tetap berharap dan mendesak pemerintah untuk melakukan yang terbaik bagi buruh migran atau calon migran. Memenuhi hak buruh migran adalah memenuhi hak asasi manusia, karena hak buruh migran adalah hak asasi manusia.


* Penulis adalah Advokat, Peneliti pada Institute for Ecosoc Rights, sekaligus Anggota Forum Belajar Bersama Prakarsa Rakyat dari Simpul Jabodetabek.

** Siapa saja dipersilahkan mengutip, menggandakan, menyebarluaskan sebagian atau seluruh materi yang termuat dalam portal ini selama untuk kajian dan mendukung gerakan rakyat. Untuk keperluan komersial pengguna harus mendapatkan ijin tertulis dari pengelola portal Prakarsa Rakyat. Setiap pengutipan, penggandaan dan penyebarluasan sebagian atau seluruh materi harus mencantumkan sumber (portal Prakarsa Rakyat atau www.prakarsa-rakyat.org).

Sumber: Prakarsa Rakyat

Oleh: Odi Shalahuddin

12903934061394316599
Yayak Iskra, pada saat Jambore Gema Merdeka di Tanah Gempa
Banyak orang telah mendengar dan akrab dengan lagu-lagu dan gambar-gambar karya Yayak Iskra yang tersebar secara tersembunyi, namun belum mengetahui sosoknya atau tidak tahu bahwa Yayak Iskra adalah sang penciptanya.

”Ini karya merdeka, anonim, siapa saja boleh mengklaimnya, merubah, mengganti, dan menyebarluaskan lagi. Ilmu itu harus disebarkan, biar rakyat kita pintar,” katanya pada suatu ketika yang tidak mempersoalkan orang tahu atau tidak tentang karya-karyanya.

Maka, ketika kepulangan pertama di tahun 2002, saya sungguh berbahagia ikut terlibat merancang kegiatan apa yang bisa dilakukan olehnya. Mulai dari rencana penyambutan, workshop-workshop untuk pendamping anak, hingga workshop musik dan lagu rakyat merdeka. Akhirnya beberapa kawan sepakat hanya mengadakan workshop musik dan lagu rakyat merdeka saja. Saya dipercaya untuk mengorganisir workshop di Yogyakarta dan workshop nasional-nya yang juga digelar di Yogyakarta.

Pada workshop nasional sebagai penutup dari rangkaian workshop di berbagai kota, mantan-mantan aktivis 80-an dan awal 90-an serta aktivis-aktivis muda dari berbagai latar belakang seperti aktivis mahasiswa, aktivis buruh, aktivis anak jalanan, yang masih aktif dari berbagai kota seperti Yogyakarta, Semarang, Solo, Surabaya, Mataram, Medan, Bandung, Jakarta, Kediri, Pontianak, turut terlibat. Acara ini tampak seperti temu kangen para aktivis yang telah mengenal Yayak Iskra dan juga rasa penasaran karena selama ini hanya mendengar namanya saja. Memang, banyak orang-orang terkejut ketika mendengar lagu-lagu yang akrab dengan mereka dan kerap dinyanyikan di jalan-jalan adalah karya dari Yayak Iskra. Yayak hanya tertawa saja ketika mereka menanyakan kebenaran itu.


1290522621952170692
Turut mendukung acara Temu Anak Nasional Anti Perdagangan Anak
Selama tiga hari workshop di gelar di Studio Puskat. Lagu-lagu anak/rakyat merdeka-pun berkumandang. Semua orang bebas memegang dan memainkan berbagai alat musik, menyesuaikan iramanya, dan menyanyikan bersama-sama. Workshop kilat, kemudian hasilnya di rekam di Studio Puskat dan di SMKI Yogyakarta. Upaya dokumentasi untuk disebarluaskan ke kawan-kawan yang lain. Gambar-gambar karya bersama juga dibuat. Masing-masing orang bebas menggambarkan apapun yang dia mau. Dasar aktivis, kepalanya hampir sama, menyuarakan ketidakadilan yang ada di negeri ini. 
 
Pada akhir acara, digelar pementasan musik. Bertempat di Pendopo Taman Siswa. Sebuah sekolah yang pernah menjadi sekolah dari Yayak ketika di TK dan di tingkat SD. Ajaran-ajaran yang diterima selama bersekolah yang melekat dan menjadi bagian dari hidupnya memandang tentang metode pendidikan. Hal itulah yang selalu berulang ia ceritakan baik secara lisan ataupun melalui tulisan-tulisannya. 

Yayak menjadi bintang pada malam itu. Ia menyanyikan lebih dari 10 lagu. Setiap menyanyi, para penonton mengikutinya. Satu persatu ikut bergabung di panggung, memegang alat musik, dan jadinya hampir separuh orang yang ada di pendopo berada di atas panggung. Acara berlangsung lancar. Semua puas, semua senang. Demikian pula dengan diriku.

* * *

12905167071864505547
Desain acara jambore yang dibuat oleh Yayak Iskra

Bagiku, lagu-lagu Yayak Iskra tidaklah asing. Aku telah mendengarnya sejak tahun 1985, ketika Yayak Iskra bersama Mohammad Farid (Aktivis hak anak terkemuka) dan kawan-kawannya menyelenggarakan program Olah Anak Kreatif. Aku bersama kawan-kawan, yang ketika itu masih SMP sering menyanyikan lagu-lagunya. Lagu yang paling disuka pada saat itu adalah lagu Aku Anak Indonesia yang berirama melayu. 

”Aku Anak Indonesia”

Aku anak Indonesia
Aku punya cita-cita
Punya mobil punya sawah
Jadi mentri atau bupati

Aku cinta indonesia
Aku cinta pancasila
Apa daya uang tak punya
Sekolahpun aku binasa

Reff:
Indonesia kaya raya
Mengapa aku menderita
Tapi aku tetap gembira
Karena Indonesia merdeka

Aku anak siapa saja
Bapak kerja ibuku juga
Pagi sampai sore hari
Upahnyapun habis sudah

Aku makan propaganda
Dengan lauk janji-janji
Terka aku anak siapa
Aku anak indonesia

Kembali ke Reff:

Pada akhir tahun 80-an, lagu-lagu ini selalu menjadi kutipan dari pemberitaan media massa karena banyak dinyanyikan oleh anak-anak di berbagai lokasi yang terkena penggusuran. Misalnya oleh anak-anak Kedung Ombo. Tapi pemberitaan tidak pernah menuliskan siapa nama pengarangnya. Perkembangan lainnya, kata anak bisa berubah menjadi ”buruh”, ”Petani”, ”rakyat”, dan sebagainya yang disesuaikan dengan kelompok yang menyanyikannya.

Mengenai lagu ini, Yayak pernah menuliskan bagaimana lagu ini lahir. Pada suatu hari, katanya, ada anak muda dari dusun, tak selesai SD, pengamen, nyasar ke kampus. Dia bawa gitar bobrok dengan tiga senar. Kita stem string itu, dan diciptakanlah lagu itu. Pengamen itu terlihat sangat gembira.

Mengenai Lagu Anak merdeka, lagu yang pertama kali diciptakan oleh Yayak Iskra adalah lagu

”Roti Matahari”

Kubawa bawa matahariku,
Kubagi bagi layaknya roti,
Semua mendapatkannya,
Semua suka bersama sama.
(1980)

12905168991109597127
Roti Matahari

Menurut Yayak, Syairnya terilhami dari gambar anak-anak yang seringkali menyertakan matahari dalam obyek gambar-gambar mereka. Matahari menjadi semacam simbol dari semangat hidup mereka. Terutama setelah mereka terbebas dari kungkungan gambar simbolik stereotyp: 2 gunung mengapit matahari terbit. 

Lagu ini iramanya riang, dari lambat ke cepat. Pada pengulangan ke III ke V, seketika berhenti serta berteriak Merdeka sekeras-kerasnya sebanyak tiga kali. Hal ini juga bisa dilakukan pada lagu-lagu yang lain. Tujuannya jelas yaitu penanaman jiwa merdeka, lewat penghayatan kata dan sikap. Jemari dikepalkan, tinjulah langit sekuatnya.

Metode untuk menyanyikan lagu-lagu Yayak (yang biasanya lirik-liriknya pendek) secara berulang-ulang dengan tempo yang semakin cepat dan diakhiri dengan teriakan ”merdeka” berulang kali, sering kami praktikkan ke anak-anak. Ini bisa menjadi penyemangat bagi anak-anak. Metode ini juga bisa menjadi semacam trauma healing bagi anak-anak korban bencana. Misalnya yang kami lakukan kepada anak-anak korban gempa di Kabupaten Bantul pada tahun 2006 dan juga pada anak-anak yang menjadi korban letusan merapi yang terjadi pada tahun ini. Hal serupa juga dilakukan oleh kelompok-kelompok lain.

Lagu-lagu Anak Merdeka, juga sering dinyanyikan oleh orang dewasa. Utamanya para aktivis mahasiswa dan rakyat tergusur. Misalnya saja lagu ”Topi Jerami” yang irama lagunya banyak menjadi lagu untuk para supporter bola. 

”Topi Jerami”

Di bawah topi jerami
Kususuri garis matahari
Sejuta kali putar bumi
Bagiku satu langkah kaki

“Titik Api”

Dari titik api matahari pagi
Kan kutangkap semangat menyala nyala
Bakar badanku bakarlah jiwaku
Biar matang merdeka
(1985)

Lagu untuk anak, yang kemudian dikembangkan menjadi lagu orang dewasa dan menjadi lagu jalanan adalah lagu ”Satukanlah” yang akhirnya berubah judul menjadi ”Rakyat Bersatu”

Lirik awalnya:
Satukanlah dirimu semua
jadi bangsa senasib seraga
sakit suka dirasa sama
bangun-bangun segera
Satukanlah berai jemarimu
kepalkanlah dan jadikan tinju
bara lapar jadikan palu
‘tuk pukul lawan tak perlu meragu

Setelah itu mendapat tambahan lirik oleh Kris dari Lontar Band Surabaya, yaitu:

Reff:
Pasti menang, harus menang
Rakyat berjuang
Pasti menang, harus menang
Rakyat merdeka

Hari terus berganti
Haruskah kalah lagi
Si Penindas harus pergi
Tuk hari esok yang lebih baik

Reff:
Pasti menang, harus menang
Rakyat berjuang
Pasti menang, harus menang
Rakyat merdeka

Jangan mau ditindas
Jangan mau dijajah
Jiwa dan pikiran kita
Tuk hari esok yang lebih baik

Reff. (10 X)
Pasti menang, harus menang
Rakyat berjuang
Pasti menang, harus menang
Rakyat merdeka
(1987-1996)

Pada masa-masa akhir 80-an, Yayak Iskra banyak mencipta lagu-lagu tentang isu tanah rakyat yang tergusur atau rakyat yang terpinggirkan, seperti Kedung Ombo, Badega, Buruh, Ciliwung, dan sebagainya.

Beberapa contoh lirik lagunya:

“Ada apa di Kedung Ombo”

Kedung Ombo jadi berita
Orang pun ribut, pro dan kontra
Apa yang nyata disana
Segeralah simak saja:

Reff:
Disana telah terjadi
Bencana yang terencana
Anak-anak jadi tumbal
Sakit dan mati tenggelam

Masa depannya ditebas
Demi listrik dan restoran
Diperbodoh, ditelantarkan
Demi turis dan pelacuran

”Badega Menjerit”

Kudengar swara, tanah terluka
Bumi Badega menjerit lara
Bumi ibunda nyata dihina
Kaki kaki busuk jiwanya nista

Reff.
Bangunlah kawan, apikan jiwa
Si Pemakan Tanah, usirlah musnah
Yakinlah benar kita tlah sadar
Bumi Badega kita empunya
(1988)

“Kebun Aceh”

Tanah kebun di Aceh ini
Sudah lama kami rasa punya
Dia nyawa seluruh keluarga
Tak mungkin kami sia-sia

Reff:
Lompatilah nyawa kita
Bila mau merebutnya
Tanah Aceh tanah bunda
Kan kami jaga sampai menang
(1988)

”Buruh Bersatu Tak Bisa Dikalahkan”

Kepalkan tangan, satukanlah tujuan
Bangkit bergerak melawan penindasan
Rebut kemenangan, tegakkan lah keadilan
Buruh bersatu, tak bisa dikalahkan
Buruh bersatu, tak bisa dikalahkan
(1999)

Selain lagu-lagu di atas, ada puluhan lagu-lagu yang diciptakan oleh Yayak. Beberapa ada yang merupakan adaptasi dari lagu-lagu perlawanan dari berbagai negara.

Yogyakarta, 23 November 2010

Baca tulisan Sebelumnya:

Sumber: Kompasiana

Oleh: Odi Shalahuddin

1290447628393894843
Lukisan diri Yayak Iskra


Pendidikan di Taman Siswa memiliki pengaruh besar bagi Yayak Iskra. Ia sering kali mengemukakan kisah-kisah ketika ia bersekolah di Taman Siswa kepada rekan-rekannya. Ia merasa bahwa system pendidikan di Taman Siswa melalui kegiatan seni budaya telah berhasil menancapkan kesadaran yang melekat selama hidupnya.

Ia menuliskan dalam sebuah surat kepada seorang sahabatnya:

Ketika memutuskan (diantaranya) untuk memilih ladang garapan pendidikan untuk anak, seketika aku diingatkan kembali kepada pengalaman masa lampau, masa ketika aku anak-anak juga. Sungguh beruntung aku pernah hidup dan dibesarkan di lingkungan Keluarga Besar Perguruan Taman Siswa, yang hampir seluruh guru-gurunya adalah seniman atau mengagungkan seni dan budaya. Puluhan (ratusan?) lagu-lagu rakyat dari banyak daerah dan bangsa nancap utuh dalam ingatan.
Puluhan lainnya tak hapal syair tapi ingat melodinya. Puluhan tembang dolanan dan operet jawa seutuhnya bisa diulang mainkan dan nyanyikan. Bahkan menarikannya. 
Saat aku mahasiswa itu, aku terhenyak. Bah, ini bukan sekedar main-main. Ini methode pengajaran yang berhasil. Tanyaku, buat apa menghapal dan menyukai serta mengingat itu semua? Kenapa pengalaman dan dasar sederhana itu tak luluh, hilang atau menguap diganyang dan dikikis banyak pengaruh selama pertumbuhan menjadi dewasa selama ini? Atau karena aku diberkati kemampuan daya ingat tinggi? Tidak juga. Terbukti ketika kutanya banyak Kakak, kawan dan sodaraku, para alumni (Taman Muda/SD Taman Siswa), hampir semuanya pula memiliki kemampuan yang sama. Luar biasa itu methode..
12904484251117783550
Salah satu poster anti pelarangan buku

Lebih-lebih lagi bila mengingingati syair-syair atau teks lagu sederhana itu. Kebijaksanaan, keriangan, kegembiraan dan kesenangan kerja, kesetiakawanan, kerakyatan, cinta alam lingkungan, kedamaian dst. mengisi nafas dan ketukan2 irama. Pendidikan itu tidak netral. Aku telah jadi korban didik Taman Siswa. Jiwa kebangsaan, cinta tanah air dan kerakyatan mengisi dan menguasai bawah sadar secuil jiwaku, saat ke saat. Dan aku tak pernah menyesali. Bahkan bersyukur dan berterimakasih. Kesemua ini menjadi kebenaran -kalau menganggap diri sebagai batu uji methode- maka mesti disebar, diteruskan.

Kegiatannya mengembangkan pendidikan bagi anak dimulai ketika tahun 80-an. Pada masa itu ada gerakan anti kebodohan yang dimotori oleh para aktivis mahasiswa di ITB. Yayak bersama beberapa kawannya mulai mendampingi anak-anak yang berada di seputar kampus, dan beberapa perkampungan miskin.
Pada tahun 1985, bersama kawan-kawannya, ia membuat program ”Olah Anak Kreatif” yang kemudian dikembangkan dengan mendirikan Yayasan Sekretariat Anak Merdeka Indonesia (SAMIN) yang dimaksudkan untuk promosi dan memberikan dukungan kepada organisasi atau pihak-pihak yang bekerja untuk anak-anak. Ia menduduki posisi sebagai Koordinator sampai terjadi kasus yang menyebabkan ia meninggalkan Indonesia.

1290448491225839867
Mensikapi isu cicak VS Buaya…
12904485401137607555
Selain banyak mencipta lagu, sebenarnya Yayak Iskrasangat dikenal sebagai ”tukang gambar”.
  Ada berbagai lukisan dan karikaturnya yang sangat menyengat para penguasa, khususnya pada masa rejim Orde Baru. Gambar-gambarnya banyak menghiasi penerbitan-penerbitan alternatif, dibuat untuk kaos-kaos perlawanan, dan poster-poster.
Salah satu karikaturnya adalah mengenai berbagai persoalan tanah rakyat di berbagai wilayah di Indonesia, yang dijadikan poster kalender ”Tanah untuk Rakyat” yang dipublikasikan oleh berbagai organisasi radikal pada masa itu. Akibat poster kalender tersebut, Yayak dimasukkan ke dalam daftar orang yang harus diburu. Poster Kalender itu sendiri telah melahirkan korban dengan ditangkapnya beberapa mahasiswa yang diketahui turut mengedarkannya. Setelah hidup berpindah-pindah, akhirnya Yayak Iskra berhasil meloloskan diri dan hidup bersama istri dan anak-anaknya yang telah lebih dulu pindah di Koln Jerman. 
Berada dalam pengasingan tidak membuat jiwa perlawanannya berhenti. Ia masih terus menggubah lagu dan membuat gambar-gambar yang mengkritik penguasa. Goresan tangannya sangat fasih membangun sosok Soeharto dalam gambar. Terasa lekat. Sehingga kawan-kawannya sempat melontarkan komentar: ”Yayak mungkin setiap bangun tidur dan bermimpi selalu tergambar Soeharto. Sehingga Yayak begitu paham dan detil dalam menggambar anatomi wajah Soeharto, meski dalam ukuran kecil sekalipun, orang yang melihat akan paham bahwa yang digambar Yayak adalah Soeharto,”
1290448605392590439
Selama dalam masa ”pelarian”, ia aktif membuat pameran tunggal ataupun pameran bersama di berbagai kota di Eropa (lihat Riwayat Hidupnya). 
12904486651668579707
Poster Anti Pelarangan Buku

Lantaran gambar-gambarnya yang sangat tajam menusuk para penguasa, tanpa ragu-ragu Prof. DR. Benedict Anderson menyebut Yayak sebagai penerus Sibarani, kartunis terkemuka dekade 1960-an. Hal ini disebabkan keberanian Yayak menuding langsung kepada para pejabat publik yang dianggap bersalah, tanpa khawatir resikonya.

Setelah rejim otoriter Soeharto tumbang, Yayak baru bisa kembali ke Indonesia. Statusnya dalam DPO telah dicabut. Kepulangan pertamanya disambut oleh kawan-kawannya dengan menyelenggarakan Workshop Musik dan Lagu Rakyat Merdeka di beberapa kota. 
Pada Agustus 2003, untuk pertama kalinya ia menggelar pameran tunggal di Indonesia dengan tajuk ”Manusia Bumi Selatan” di Galeri Surabaya Dewan Kesenian Surabaya, yang disusul setahun berikutnya, pada Agustus 2004, atas sponsor dari Dewan Kesenian Jakarta, ia kembali berpameran tunggal Di Galeri Cipta Taman Ismail Marzuki dengan tema ”Semua orang itu guru semua tempat itu adalah sekolah” 
Akhirnya Yayak memutuskan untuk tinggal di Indonesia lagi, dan sesekali mengunjungi istri dan anaknya di Jerman. 
Ia tetap berkarya, menyoroti berbagai kasus di Indonesia melalui gambar-gambarnya. Dari persoalan Pelarangan buku, soal Buaya, soal Lapindo dan sebagainya. Di tengah kesibukannya, Ia juga selalu menyempatkan diri bila ada kegiatan-kegiatan bersama anak-anak yang terpinggirkan.
1290448735296246568
Poster untuk sebuah acara yang dibuat Yayak Iskra

Perhatian Yayak Iskra yang lain adalah pada masalah lingkungan. Ia selalu mengkampanyekan ke banyak orang untuk selalu menanam. Setiap ada acara bersifat masal yang melibatkan banyak orang, ia selalu meminta panitia untuk mengorganisir peserta membawa bibit-bibit tanaman untuk di tanam di seputar lokasi acara. 
Yayak Iskra yang sering berpakaian hitam-hitam, masih memiliki mobilitas tinggi untuk keliling ke berbagai wilayah di Indonesia, melakukan sesuatu bagi perubahan. 
Ia telah memberi inspirasi bagi banyak orang untuk membangun perlawanan atas ketidakadilan baik melalui lagu-lagunya maupun gambar-gambarnya, serta provokasi-provokasinya untuk kelestarian alam. 

Tetaplah sehat, dan semangat Guru Yayak…..
1290449198718930141
Yang Tak Mau Menyerah


Bahan Bacaan:
  • Brosur pameran ”Karya Eksil Yayak Iskra: Manusia Bumi Selatan”, Agustus 2003
  • Surat Yayak Iskra , tertanggal 30 April 2002
  • Wawancara dengan Yayak Iskra, dalam buku ”Berjalan sambil Buat Jalan”, Save the Children – SAMIN, 2010
  • Gambar-gambar Yayak Iskra dalam account FB-nya
—————————————————-
RIWAYAT HIDUP YAYAK ISKRA
  • 1956 Lahir di Yogyakarta
  • 1977 – 1984 Fakultas Senirupa dan Disain, Institut Teknologi Bandung, jurusan Desain Grafis
  • 1977 – 1989 Disaner grafis dan ilustrator beberapa majalah di Indonesia
  • 1992 Tinggal di Koln, Jerman
  • 1993 Pendiri Kelompok Seniman Wulung, Koln, Jerman
  • 1998 Anggota Federatian Critique, Paris, Perancis
Pameran Tunggal:
  • 1990 “Anak Selatan Bumi”, di 35 sekolah di Perancis Selatan
  • 1992 “Karikatur Politik dan Gambar”, Evangelishe Akademie, Iserlohn
  • “Karikatur Politik dan Gambar”, Wekstatt 3, Hamburg
  • “Aksi Gambar”, Palais du Trocadero, Paris
  • “Karikatur Politik dan Gambar”, Dam, Amsterdam
  • 1993 “Karikatur Politik dan Gambar”, Rote Fabrik, Zurich
  • “Karikatur Politik dan Gambar”, Okobildungswerk, Koln
  • 1994 ”Anak Selatan bumi”, Bilderschec, Koln
  • 1995 ”Selatan VS Utara” Jendela Seni Componet, Koln
  • ”Karikatur Politik dan Gambar” Universitas Humbold, Berlin
  • “General und Hightech” Cafe International, Hannover
  • ”Karikatur Politik dan Gambar”, Institut und Sammlung fur Volkerkunde Universitat Gottingen, Gottingen.
  • ”Aksi Gambar” Pasar Maling, Utrecht
  • 1997 ”Message From the Future” Galeria Asia Pasific Reisen, Koln
  • 1998 “Pekerja Anak dari Asia, Amerika Latin dan Afrika” Global March, Poitiers, Perancis
  • “Anak Sial Bumi Selatan,” Drittewelt Zentrum, Aachen
  • 2003 ”Manusia Bumi Selatan” Galeri Surabaya, Dewan Kesenian Surabaya
  • 2004 ”Semua Orang Itu Guru, Semua Tempat adalah Sekolah,” Cipta Galeri, Taman Ismail Marzuki, Jakarta
Pameran Bersama
  • 1984 Galeri Utama Taman Ismail Marzuki, Jakarta
  • 1990 Kunstschalter, koln
  • 1992 Kunstschalter, koln
  • 1995 Begegnung, EuroCentres, Koln
  • 1996 Alles Quadrat, Hotel Et Cetera, Koln
  • ”Gambar-gambar”, Chiang Mai, Thailand
  • 1998 Federation Critique, Grande Arche La Defense, Paris
  • 1999 “Seniman Melayu” Alte Leder Fabrik, Koln
  • 2000 ”Seni untuk Rakyat” Asien Haus, Essen
  • 2001 ”Seniman Jerman VS Indonesia” Deustsche Welle, Koln
  • 2002 “Anti Militerisme” Indonesia House, Amsterdam
  • 2003 “Seni Mutahir Indonesia” Atmoshphaere Galery, Koln
Publikasi
  • 1990 ”Tini” Komik, ORCADES, Poitiers
  • 1992 Ilustrasi majalah SuOstASIEN Essen, TAPOL, London, IFM Amsterdam, dan beberapa koran di Jerman, Inggris dan Swiss
  • 1993 ”Air untuk Sahel: material untuk pengembangan kesaedaran, ORCADES, Poitiers
  • ”Hak Asasi Anak” Poster, Terre des Hommes Germany
  • 1994 ”Buah dari Selatan bumi” seri poster dan mainan, ORCADES Poitiers
  • ”Salam dari Selatan”, Katalog, ORCADES, Poitiers
  • 1995 ”General und Hightect” LIT Verlag, Munster
  • ”Welcome to Indonesia” Poster, Amnesty International, London
  • 1996 ”Thibaud a la decouverte du Cacao” Pekerja Anak di Perkebunan Coklat di Pantai Gading, Komik, ORCADES, Poitiers
  • 1997 ”Thibaud a la decouverte de la banana” Pekerja Anak di Perkebunan Pisang Ecuador, Komik, ORCADES, Poitiers
  • ”Thibaud a la decouverte du The”, Pekerja Anak di Perkebunan Teh di India, Komik, ORCADES, Poitiers
  • 2000 ”Militerisme di Indonesia, untuk Pemula” Komik, penerbit bersama, Jakarta
  • 2002 “Pembantaian Massal Sejak Oktober 1965”, Poster, Penerbit Bersama, Jakarta
Sumber: Kompasiana

;;