Haruki Murakami

DATA BUKU:
Judul: Dunia Kafka
Penulis: Haruki Murakami
Penerjemah: Dewi Wulansari
Editor: A. Fathoni
Genre: Novel
Cetakan: Juni 2011
Ukuran: 12,5 x 20 cm (flap/kuping 8 cm)
Tebal: 608 halaman
ISBN: 978-602-9193-03-9
Harga: Rp. 69.900,-


SINOPSIS:

Novel dengan dua plot berbeda namun saling terkait ini bercerita tentang dua tokoh yang berlainan dunia. Di satu sisi, novel ini menuturkan kisah Kafka Tamura, remaja yang kabur dari rumah untuk menghindari kutukan ayahnya serta untuk mencari ibu dan saudara perempuannya. Dalam petualangannya, ia menemukan tempat penampungan yang tenang di sebuah perpustakaan pribadi di Takamatsu, yang dikelola Nona Saeki yang tertutup dan penyendiri serta Oshima yang ramah dan cerdas. Kafka menghabiskan hari-harinya dengan membaca buku, hingga suatu ketika polisi menginterogasinya terkait dengan kasus pembunuhan brutal.

Sisi lain novel ini berkisah tentang Satoru Nakata, lelaki tua yang—berkat kemampuan luar biasanya—bekerja paruh waktu sebagai penemu kucing hilang. Pada suatu kasus, demi seekor kucing, ia membunuh seorang lelaki misterius. Kasus ini membawanya hengkang jauh dari rumahnya dan berakhir di jalanan, hingga bertemanlah ia dengan sopir truk bernama Hoshino yang membawanya menuju kota tempat pelarian Kafka. Nakata dan Kafka berbeda dunia, namun di alam metafisik kisah keduanya terhubung—dan begitu pula yang terjadi dalam realitas sesungguhnya.

Dengan Oedipus complex sebagai bunga cerita, novel surealis ini menyuguhkan bacaan memukau ihwal identitas, cinta, tragedi, takdir, dan pergulatan hidup. Gagasannya eksploratif dan filosofis. Alur ceritanya berkelok-kelok dan penuh teka-teki. Gaya bahasa dan narasi dialognya ringan dan menghibur. Sebuah novel memikat dari penulis hebat yang patut Anda baca!


ENDORSEMENT:

“Membaca (karya) Murakami … adalah pengalaman yang menggugah kesadaran.”
—Chicago Tribune
“Saya membaca novel ini dalam waktu sekali makan non-stop.... Untuk sebuah narasi cinta, novel ini menyuguhkan kemuliaan.”
—David Mitchell, Guardian
“Karya yang brilian, hebat dalam lingkup surrealis, seksi, dan digerakkan oleh plot yang tajam dan lucu. … Saya merekomendasikan buku ini kepada siapa pun….”
—James Urquhart, Independent
“Buku yang sangat enak dibaca. … Murakami membangun ketegangan dengan terampil dan menyeret Anda ke dalam alur cerita yang berkelok-kelok dan fantastis….”
—Ludovic Hunter-Tilney, Financial Times
“Kekuatan imaginasi penulis begitu besar, demikian pula keyakinannya pada kekuatan kuno. Dalam novel ini, semua itu tampak nyata."
—Laura Miller, New York Times
“Novel dengan disiplin campuran antara thriller, genre fantasi dan novel sastra, serta cerita dengan keyakinan khas tertentu. Lagi-lagi, Murakami memiliki kemampuan untuk menciptakan kejutan bagi Anda.”
—Hugo Barnacle, Sunday Times
“Novel kesepuluh Murakami ini bisa disebut gila, lucu dan konyol, seperti karya-karya sebelumnya. ... Novel ini sangat memukau meskipun mungkin bukan karya terbaik Murakami.”
—Tobias Hill, Times

TENTANG PENULIS:

HARUKI MURAKAMI (lahir di Kyoto pada 1949) adalah penulis Jepang kontemporer yang sangat ternama. Ia menggenggam banyak penghargaan di dunia kepenulisan, antara lain Yomiuri Literary Prize (1995), Kuwabara Takeo Academic Award (1998), Frank O’Connor International Short Story Award (Irlandia, 2006), Franz Kafka Prize (Cekoslowakia, 2006), dan Asahi Prize (Japan, 2006). Terakhir, ia meraih Kiriyama Prize 2007, penghargaan untuk penulis unggul di kawasan Pasifik dan Asia Selatan.

Pria yang semula mengelola bisnis bar jazz di Tokyo ini telah menulis belasan novel, puluhan cerpen, serta beberapa buku nonfiksi. Karya-karyanya diterjemahkan ke dalam lebih dari 40 bahasa dan terjual lebih dari 80 juta eksemplar di dunia. Selain menulis, lulusan Universitas Waseda, Tokyo, yang pernah tinggal empat tahun di Amerika Serikat ini juga menerjemahkan ke dalam bahasa Jepang lebih dari 40 buku berbahasa Inggris karya penulis Amerika dan Eropa.

Berkat kiprahnya yang luar biasa di bidang kepenulisan, Haruki Murakami dianggap sebagai tokoh penting dalam sastra postmodern. The Guardian memujinya sebagai salah satu novelis terbesar dunia yang masih ada hingga saat ini.

=============================
Jl. SMA 14 No. 10, Cawang, Kramat Jati,
Jakarta Timur, Indonesia 13610
Telp. +62 21 8006458 | Fax. +62 21 8006458

Ketika Ruyati membunuh majikannya, Pemerintah Arab Saudi dengan tegas menjatuhkan hukuman mati. Namun, ketika tenaga kerja Indonesia yang diperlakukan buruk oleh majikan, pemimpin bangsa ini asyik berwacana dan berpidato. Mereka tega membiarkan pekerja dan keluarganya berjuang sendiri.

Lebih dari setahun Sri pergi menghadap Sang Khalik. Namun, Yanto, suaminya, belum juga mampu melupakan peristiwa kelabu yang mengiringi kepergian ibunda dari tiga anaknya itu. Luka di hatinya teramat dalam sehingga sulit menghapus kenangan pahit saat ia harus berjuang sendiri menuntut keadilan.

Sri adalah tenaga kerja wanita (TKW) asal Kabupaten Madiun, Jawa Timur, yang berangkat Agustus 2009. Pekerja rumah tangga (PRT) ini tewas dibunuh majikannya dengan tuduhan berbuat kriminal. Ia meninggal pada 1 Januari 2010, tetapi keluarga baru mendapat kabar pada 26 Maret 2010.

Alih-alih mendapat pembelaan dari Pemerintah Indonesia, diuruskan jenazahnya saja tidak. Yanto berusaha sendiri memulangkan jenazah istrinya yang tertahan selama enam bulan pada 29 Juni 2010. Ia juga berhasil menuntut keadilan sehingga majikan laki-laki dihukum mati dan istri majikannya dipenjara.

Tidak terbilang berapa besar biaya, pikiran, dan tenaga yang dihabiskan, apalagi harus menyewa jasa pengacara untuk membantu selama persidangan di Arab Saudi. Dengan keterbatasan pengetahuan, uang, dan kekuasaan, terbayang bagaimana sulitnya perjuangan Yanto. Karena itu, pantas jika ia kesal terhadap pemerintah yang memiliki segalanya, tetapi tak berbuat apa-apa.

”Pemerintah kita sangat lamban, benar-benar mengecewakan. Tidak punya inisiatif, harus menunggu ada kejadian, baru melakukan tindakan. Mereka ini benar-benar tidak bisa diharapkan. Kalau bukan rakyat sendiri yang berusaha, tidak akan bisa,” katanya, Selasa (21/6).

Perjuangan yang tidak kalah hebat juga dilakukan oleh Bejo, suami Susianti, TKW asal Kabupaten Madiun yang bekerja di kota Abha, Arab Saudi. Hampir tiga tahun ayahanda Edi Santosa (6) ini mencari kejelasan nasib istrinya yang ditahan majikan sejak keberangkatannya pada 31 Desember 2007.

Susianti tak hanya tidak bisa pulang, tetapi juga tidak digaji selama bekerja. Kini, perempuan 25 tahun itu berstatus pekerja ilegal setelah masa kontrak kerjanya habis pada 31 Desember 2009. Jangankan pulang, keluar rumah majikan pun ia tak berani, takut ditangkap polisi.

”Katanya jika tidak ada halangan, istri saya dijanjikan pulang tanggal 20 Arab atau sekitar 4 Juli 2011. Semoga kali ini istri saya benar pulang. Jangan seperti sebelumnya, janji-janji pemulangan itu tidak pernah ditepati,” ujar Bejo di rumahnya.

Petani ini bercerita, istrinya berangkat melalui PJTKI di Jakarta, PT Sabrina Pramitha. Sesuai kontrak, Susianti dibeli sebagai budak oleh Saad Muhammad al-Syahroni. Namun, dalam perjalanannya, dia dipekerjakan di rumah adik Saad bernama Sofiah.

Tahun pertama bekerja, Susi tak bisa dikontak. Kiriman surat juga tak sampai. Saat itulah Bejo mulai gelisah dan mencari tahu lewat perusahaan. Bejo nekat ke Jakarta dengan modal uang Rp 3,5 juta hasil menjual sapinya. Namun, tanggapan yang didapat sungguh mengecewakan.

Tak mau menyerah, Bejo mengadu kepada Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI). Apes, pengaduan Bejo hanya dicatat pada selembar kertas dan diminta bersabar karena ada ribuan TKI bermasalah yang lebih dulu mengadu.

Akhirnya, satu tahun berlalu tanpa kabar. Bejo nekat kembali ke Jakarta pada November 2010 dengan modal uang hasil menjual sapi milik keluarga mertua. Akan tetapi, uang Rp 4 juta itu pun habis tanpa hasil kecuali selembar formulir laporan yang kembali Bejo dapatkan dari petugas di BNP2TKI.

Sampai sekarang sudah empat sapi atau sekitar Rp 20 juta dihabiskan untuk mencari kejelasan nasib istrinya. Selama itu belum pernah sepeser uang pun terkirim dari Arab Saudi. Jangankan dapat rezeki, semua uangnya ludes, bahkan ia harus berutang.

Meminta bantuan ke lembaga swadaya masyarakat (LSM) juga sudah dilakukan, tetapi belum membuahkan hasil. Setelah usaha ke sana-sini, Bejo berhasil menghubungi istrinya pada 2009. Namun, bukannya merasa lega karena mengetahui keadaan Susi baik, Bejo malah sedih. Pasalnya, Susi tak bisa pulang karena gajinya masih ditahan. Setelah negosiasi dengan majikan, disepakati Susi dibayar 600 riyal (sekitar Rp 1, 4 juta) per bulan dari kontrak 800 riyal per bulan.

Setelah semua pengorbanan yang mereka lalui, Minggu (19/6), istrinya mengabarkan gajinya belum cair, bahkan diserahkan oleh majikannya kepada polisi. Alasannya, polisi akan memberikan uang itu kepada Susi setelah ia mengurus dokumen resmi. Alamak, masalah apa lagi ini?

Yanto dan Bejo hanya contoh kecil perjuangan keluarga pahlawan devisa ini demi menyelamatkan nyawa yang berada di ujung petaka serta mencari keadilan. Di negeri penghasil buruh migran ini terdapat ribuan, bahkan jutaan, keluarga yang melakukan perjuangan serupa.

Lily Pujiati, koordinator Peduli Buruh Migran, sebuah LSM advokasi hukum dan kesehatan buruh migran, mengatakan, hampir setiap hari pihaknya menerima pengaduan dari buruh migran atau keluarganya. Dalam sebulan ada lebih dari 30 kasus. Terbanyak masalah penyiksaan, gaji tidak dibayar, dan pemutusan hubungan kerja secara sepihak oleh majikan.

Pada hampir semua kasus, buruh migran dan keluarganya berjuang sendiri mencari keadilan. Peran pemerintah hampir tidak terasa.

Sumber:
Kompas.com, Kamis, 23 Juni 2011 | 04:33 WIB
dan Harian Kompas, 23 Juni 2011
Oleh Runik Sri Astuti

Sumber: Peduli Buruh Migran

Oleh : Ign Mahendra K *

Perang melawan teror adalah terminologi yang menunjuk pada serangan ofensif militer Amerika Serikat paska-911. Tujuan dari perang tersebut adalah untuk menghancurkan kekuatan Al Qaeda yang dinyatakan bertanggung jawab atas Peristiwa 911. Demikian perang melawan teror dalam perjalanannya berkembang hingga Amerika Serikat dengan dukungan negara-negara Imperialis lainnya melakukan invasi ke Afganistan dan Irak termasuk juga meningkatkan permusuhan dengan beberapa negara lain seperti Iran, Kuba, Korea Utara dan Venezuela dengan landasan perang melawan teror.

Salah satu target dari perang melawan teror yang diungkapkan oleh Amerika Serikat adalah untuk menangkap hidup atau mati Osama bin Laden yang merupakan pendiri Al Qaeda dengan hadiah sebesar 25 juta USD. Setelah diburu bertahun-tahun oleh Amerika Serikat dengan segala cara pada tanggal 2 Mei 2011, Presiden AS, Barack Obama mengumumkan kematiannya. Osama bin Laden ditembak dan terbunuh di dalam sebuah rumah di Abbottabad, Pakistan oleh operasi rahasia yang dilakukan oleh CIA dan Navy SEALs, yang diperintah langsung oleh Barack Obama. Tidak lama setelah kematiannya, tubuh Osama bin Laden dikuburkan di laut dan pada tanggal 6 Mei 2011, Al Qaeda memberikan pernyataan mengakui kematian Osama dan bersumpah akan melakukan balas dendam.

Namun apakah kematian Osama bin Laden menandakan berakhirnya teror yang terjadi di berbagai belahan dunia? Apakah kematian tersebut juga berarti berakhirnya perang terhadap teror yang dilancarkan oleh Pemerintahan AS paska-911? Apakah kemudian arti dari kematian Osama bin Laden? Dan bagaimana nasib perang melawan teror?

Kematian Osama dirayakan di berbagai negara. Gedung Putih mendapatkan ucapan selamat dari berbagai negara. Berbagai media massa seantero dunia selama berhari-hari memberikan liputan yang luas mengenai berita kematian Osama bin Laden. Namun Al Qaeda bukanlah organisasi yang sentralis yang bergantung pada “sentral kekuasaan” yang diarahkan oleh satu orang atau satu badan organisasi. Osama bin Laden adalah simbol ideologis ketimbang seorang pemimpin yang mengarahkan operasi. Demikian juga berbagai macam kelompok di berbagai daerah menurut beberapa ahli sedikit sekali berkoordinasi ataupun memiliki hubungan. Al Qaeda sangat terdesentralisasi, kumpulan kelompok-kelompok longgar yang berada di daerah-daerah konflik. Dengan masing-masing memiliki pemimpin, program, strategi dan taktiknya sendiri.

Propaganda yang demikian luas dan intens telah berkontribusi pada meningkatnya citra kekuatan militer Amerika Serikat. Namun hal itu menutupi kenyataan menurunnya dominasi AS di tingkat internasional dan juga menutupi kepentingan mendasar dari perang melawan teror. Kepentingan mendasar dari perang melawan teror terlihat dari komponen yang menyusunnya, seperti yang diungkap James Petras dan Henry Veltmeyer dalam bukunya yaitu bagaimana menegakkan kembali subordinasi Eropa pada Washington; memastikan ulang kontrol AS di daerah Timur Tengah dan Teluk Persia; meluaskan penetrasi militer di Asia; meningkatkan perang militer di Kolombia dan proyek kekuasaan di seluruh Amerika Latin lainnya; membatasi dan menindas protes dan oposisi terhadap perusahaan transnasional dan institusi keuangan internasional seperti Bank Dunia, International Monetary Fund (IMF) dan World Trade Organization (WTO); melawankan hak-hak demokratik dengan kekuasaan kediktaktoran; serta penggunaan dana negara untuk senjata dan subsidi perusahaan trasnasional yang hampir bangkrut (penerbangan, perusahaan asuransi, agen turis) dan pengurangan pajak regresi untuk menahan resesi yang semakin dalam yang akan merusak dukungan publik bagi proyek pembangunan tatanan Imperial baru.

Menurunnya dominasi Amerika Serikat itu sendiri terlihat dari penurunan relatif dalam kekuasaan ekonomi dan politk AS sepanjang tahun 1990-an di area kunci dunia, terutama sekali di daerah Timur Tengah/Teluk Persia, Amerika Latin, Asia dan Eropa. Di sisi yang lain ekspansi luas kepentingan ekonomi AS pada Dunia Ketiga melalui perusahaan-perusahaan transnasional dan bank-bank, melemahnya secara bertahap rejim klien yang telah menyokong ekspansi tersebut. Institusi keuangan internasional (IFI) seperti Bank Dunia dan IMF melalui kebijakan penyesuaian mereka, doktrin pasar bebas dan arahan privatisasi, telah begitu menurunkan kesejahteraan ekonomi lokal sehingga negara klien dilemahkan dan penuh dengan korupsi, seiring elit sektor swasta dan politikus menjarah harta-harta negara.

Sementara itu surplus perdagangan yang diakumulasikan di Asia dan Eropa atas pengeluaran AS. Pada tahun 2000, AS mengalami defisit perdagangan sebesar $430 milyar. Sebanyak 350 juta konsumen Eropa Barat semakin meningkat membeli barang buatan Eropa – lebih dari dua pertiga perdagangan Uni Eropa (UE) ada di dalam UE sendiri. Di Amerika Latin, perusahaan transnasional Eropa, terutama Spanyol, mengalahkan pesaing dari AS dalam membeli perusahaan yang diprivatisasi. Perlawanan terus-menerus secara politik, terutama di Amerika Latin terhadap dominasi AS. Perlawanan tersebut antara lain oleh Presiden Venezuela Hugo Chavez, gerakan gerilya bersenjata di Kolumbia dan gerakan massa di Ekuador, Brazil dan pelbagai tempat lainnya. Juga terdapat pertumbuhan gerakan melawan globalisasi, terutama di seluruh Eropa Barat, Amerika Utara dan tempat lainnya. Serta meningkatnya krisis ekonomi di dalam negeri dan akhir dari gelembung spekulatif di bidang teknologi Informasi, bioteknologi, dan optik fiber.

Paska-911 ketika AS menginvasi Irak tahun 2003 sudah muncul berbagai kecurigaan tentang kepentingan mendasar dari invasi tersebut. Amerika Serikat dengan sekutunya menyatakan bahwa tujuan dari invasi tersebut adalah untuk melucuti Irak dari senjata pemusnah massal, membebaskan rakyat Irak dari tirani Saddam Hussein dan karena Irak melindungi Al Qaeda. Namun nyatanya hingga kini tidak ada satupun tuduhan tersebut yang terbukti nyata. Saat ini oposisi utama terhadap Imperialis AS di Irak adalah mayoritas Shiah, minoritas Sunni dan mantan-mantan anggota Partai Ba’ath. Tindakan teror Al Qaeda memainkan peran minor dan tidak berhubungan dengan tuntutan rakyat Irak agar AS mundur. Gerakan religius melawan pendudukan yang utama memiliki pemimpin, milisi dan basis komunitasnya sendiri; tidak ada yang menerima kepemimpinan atau bahkan berkolaborasi dengan Al Qaeda. Ditarik mundurnya pasukan AS dari Irak adalah karena tekanan rakyat, bukan hasil dari bom bunuh diri Al Qaeda. Dengan demikian kematian Osama bin Laden tidak berakibat apapun terhadap penarikan mundur pasukan AS ataupun para pengikutnya akan dapat mempengaruhi proses transisi yang terjadi.

Demikian juga di Afganistan, terbunuhnya Osama bin Laden akan berakibat kecil, karena kekuatan utama yang melancarkan perang adalah Taliban dan berbagai macam gerakan nasionalis independen lainnya. Taliban sepenuhnya mandiri dari Al Qaeda dalam asal-usul, struktur, kepemimpinan, taktik, strategi dan komposisi sosialnya. Taliban komposisinya kebanyakan “nasionalis” sementara Al Qaeda adalah “internasional” (Arab) dalam keanggotaan dan kepemimpinannya. Petras mengungkapkan bahwa Taliban mungkin telah mentoleransi atau bahkan dalam beberapa kondisi secara taktis bekerja sama dengan Al Qaeda, namun tidak ada bukti bahwa mereka menerima perintah dari Osama bin Laden.

Di Iran walaupun yang berkuasa di Iran adalah Rejim Islam namun Iran pada awal invasi ke Afganistan berkolaborasi dengan Amerika Serikat untuk mengejar dan memenjarakan para pendukung Al Qaeda. Demikian pula Al Qaeda memainkan peran kecil dalam gejolak yang merambat di seluruh Timur Tengah dan Afrika Utara. Gerakan rakyat di Timur Tengah dan Afrika Utara didominasi oleh mahasiswa sekuler, serikat buruh, kelompok-kelompok sipil dan gerakan Islam moderat.

Demikan maka kematian Osama bin Laden tidak mengakhiri perang melawan teror. Karena pertama kepentingan mendasar perang tersebut adalah meningkatkan dominasi Amerika Serikat di tingkat internasional dan nasional, serta kedua karena Osama bin Laden dan Al Qaeda tidak berperan dominan dalam gejolak yang muncul di berbagai belahan dunia, terutama Timur Tengah.


* Penulis adalah Mahasiswa fellowship angkatan II, University of York - Inggris, sekaligus Anggota Forum Belajar Bersama Prakarsa Rakyat dari Simpul Jawa Tengah.

** Siapa saja dipersilahkan mengutip, menggandakan, menyebarluaskan sebagian atau seluruh materi yang termuat dalam portal ini selama untuk kajian dan mendukung gerakan rakyat. Untuk keperluan komersial pengguna harus mendapatkan ijin tertulis dari pengelola portal Prakarsa Rakyat. Setiap pengutipan, penggandaan dan penyebarluasan sebagian atau seluruh materi harus mencantumkan sumber (portal Prakarsa Rakyat atau www.prakarsa-rakyat.org).

Oleh : Maria Sentika*

Mari berjalan kaki di sepanjang jalan raya Jakarta, Bandung atau Surabaya. Maka kita seperti menghadapi ancaman begitu besar pada jiwa kita. Pejalan kaki seperti tidak berharga sama sekali, harus mengalah dari kendaran motor dan mobil. Bahkan ketika mau menyeberang pada jalan yang tidak tersedia jembatan penyeberangan, pejalan kaki harus mengalah pada kendaraan untuk lewat dahulu, padahal tempat menyebrang itu terdapat zebra cross. Kejadiian ini menjadi sebuah budaya hidup yang sangat penuh ironi, sepertinya pemilik kendaraan ikut alur pemikiran pemerintah, abai pada keselamatan jiwa mereka yang lebih lemah.

Walaupun pemerintah membangun trotoar bagi pejalan kaki, namun hanya sekedar formalitas. Selain lebarnya yang tidak sesuai, juga kegunaan trotoar banyak yang bergeser tanpa kontrol dari negara. Banyak pedagang menggunakan trotoar, karena pedagang tidak diberi tempat berdagang oleh negara. Mereka sering digusur oleh pemerintah, tetapi pedagang membayar pungutan uang ke aparat. Hal ini jelas menimbulkan kerugian kepada pihak pejalan kaki dan pedagang kecil. Dari sini sering timbul konflik horisontal antar masyarakat awam.

Di lain hal adalah kondisi infrastruktur jalan yang mayoritas tidak memberikan ruang keselamatan pada pemakai jalan, yang sesungguhnya adalah pemilik negeri ini. Pembayar pajak sekaligus pekerja/buruh yang menggerakkan ekonomi riil negeri ini. Kondisi jalan yang sangat parah, cepat rusak karena hujan atau beban mobil besar atau tidak tersedianya pemisah jalan antara mobil dengan motor roda dua. Bahkan sekarang jalan raya tidak ada ruang untuk jalur sepeda dan pembatas jalan untuk pejalan kaki.

Akibat itu semua bisa kita lihat dan rasakan. Salah satu media nasional merilis berita, ”Hingga saat ini kecelakaan jalan raya masih memegang predikat ”pembunuh” terbesar ketiga di dunia, setelah penyakit jantung dan TBC. Data Kepolisian RI tahun 2009 menyebutkan, sepanjang tahun itu terjadi sedikitnya 57.726 kasus kecelakaan di jalan raya. Artinya, dalam setiap 9,1 menit sekali terjadi satu kasus kecelakaan. Dari jumlah tersebut, total korban meninggal dunia di lokasi mencapai 28 ribu orang. Itu berarti, tiga jiwa melayang setiap tiga jam, atau setiap 20 menit ada satu nyawa yang hilang di jalan raya.”

Dari fakta di atas bisa kita tarik sebuah kesimpulan dan arah positif untuk pembangunan infrastruktur di Indonesia. Trotoar sebagai tempat pejalan kaki di pinggir jalan hanya salah satu faktor saja untuk memberikan tempat dan perlindungan bagi pejalan kaki. Tetapi semua itu harus didukung oleh penggunaan akan fungsi, pengamanan dan kontrol yang tepat. Selain harus mulai diterapkan pembagian jalan dengan tepat, antara mobil besar, motor dan sepeda. Tanpa pengaturan yang jelas selalu akan terjadi kecelakaan, kemacetan dan korban jiwa yang berjatuhan.

Infrastruktur Berbasis Rakyat

Problem pokok dalam transportasi dan tingkat kecelakaan tinggi adalah pembangunan infrastruktur jalan yang tidak berperspekstif pembangunan untuk masyarakat. Tetapi selama ini pembangunan menggunakan perspektif “kejar untung” bagi pengusaha dan pemerintah, sehingga mengorbankan masyarakat luas.

Pembangunan infrastruktur secara umum dan jalan secara khusus tidak pernah didasarkan atas kebutuhan besar masyarakat, tetapi lebih memberikan fasilitas kepada pengusaha, dalam hal ini investor. Karena “kejar untung” tersebut, maka penilaian atas kebutuhan masyarakat, kondisi tanah dan proses yang lebih manusiawi. Maka, banyak proses pembangunan mengorbankan masyarakat dengan penggusuran paksa.

Seharusnya masyarakat sudah mulai sadar akan bahaya yang setiap saat menantinya, bentuk nyata atas kerakusan pembangunan ala kapitalisme, yang menjadi korban adalah masyarakat. Dalam ranah praktis seperti ini, maka seharusnya mulai menyatukan kekuatan bersama agar pembangunan yang dijalankan pemerintah berbasis kebutuhan masyarakat dengan proses keterlibatan penuh dan aktif dari masyarakat.

Dengan keterlibatan dan berbasis kebutuhan maka keselamatan dan kegunaan akan infrastruktur maupun jalan menjadi pertimbangan pokok serta proses pembebasan lahan dilakukan dengan cara yang manusiawi, negosiasi dan tidak saling merugikan.

Sekarang dituntut kesadaran dan keberanian kita sebagai masyarakat untuk menekankan proses pembangunan infrastruktur tersebut. Karena proses tersebut tidak terpisah dari kontrol masyarakat dalam setiap proses pembangunan yang berasal dari uang rakyat.


* Penulis adalah buruh pabrik yang tergabung pada Federasi Persatuan Perjuangan Buruh (FPPB-KASBI) Bandung, sekaligus Anggota Forum Belajar Bersama Prakarsa Rakyat dari Simpul Bandung.

** Siapa saja dipersilahkan mengutip, menggandakan, menyebarluaskan sebagian atau seluruh materi yang termuat dalam portal ini selama untuk kajian dan mendukung gerakan rakyat. Untuk keperluan komersial pengguna harus mendapatkan ijin tertulis dari pengelola portal Prakarsa Rakyat. Setiap pengutipan, penggandaan dan penyebarluasan sebagian atau seluruh materi harus mencantumkan sumber (portal Prakarsa Rakyat atau www.prakarsa-rakyat.org).

;;