Oleh : Wiwin*


Kondisi perburuhan dengan lahirnya UU 13/2003 tentang Ketenagakerjaan dan UU 2/2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, sangat merugikan buruh karena secara terang-terangan memberlakukan sistem perburuhan yang longgar (fleksibel). Secara konseptual, sistem fleksibilitas perburuhan terbagi ke dalam dua macam yaitu fleksibilitas eksternal dan fleksibilitas internal. Fleksibilitas eksternal adalah penerapan subkontrak atau outsourcing dan pemaksimalan tenaga magang (trainees). Sementara fleksibilitas internal diterapkan dengan cara memberlakukan jam kerja yang tidak tentu, tugas atau perintah kerja yang tidak tentu, dan pemberian upah yang tidak tentu. Penerapan fleksibilitas perburuhan, baik eksternal maupun internal dimungkinkan dengan diberlakukan sistem hubungan kerja kontrak melalui perjanjian kerja waktu tertentu.

Keberpihakan negara menjadi tidak jelas terhadap kaum buruh, khususnya dalam UU 13/2003, ketentuan-ketentuan yang mengacu pada konsep fleksibilitas perburuhan seperti: Pertama, beberapa peraturan tentang sistem kerja kontrak yang disebut dengan istilah perjanjian kerja waktu tertentu. Kedua, adanya percaloan dalam merekrut buruh melalui perusahaan penyedia jasa buruh. Ketiga, hak mogok yang dipersulit bagi buruh. Keempat, memberikan hak bagi pengusaha untuk melakukan penutupan pabrik.

Hal pertama dan kedua adalah hal pokok yang merinci penerapan sistem hubungan perburuhan fleksibel. Sementara hal ketiga dan keempat dalam uraian di atas adalah ketentuan-ketentuan yang pada gilirannya semakin mempersulit posisi tawar buruh dalam hubungan industrial. Selain ketentuan di atas, sistem perburuhan yang fleksibel juga “didukung” oleh UU 2/2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial. Undang-undang ini mengatur prosedur penyelesaian sengketa industrial yang menganut prinsip neoliberal. Selain itu, UU tersebut secara tidak langsung memberikan kemudahan bagi kalangan pengusaha untuk semakin memperlonggar hubungan kerja dengan buruhnya melalui mudahnya langkah-langkah yang ditempuh untuk menyelesaikan sengketa hubungan industrial seperti kasus PHK.

Pola penerapan buruh berstatus kontrak dilakukan dengan berbagai macam, di antaranya yang diketahui menjadi pola umum seperti: Pertama, merekrut langsung buruh kontrak pada saat perusahaan memperoleh tambahan order. Kedua, merekrut melalui perantaraan perusahaan penyedia tenaga kerja. Ketiga, memberlakukan status kontrak setelah manajemen memaksa buruhnya untuk mengundurkan diri, baik dengan iming-iming pesangon maupun hanya dengan janji akan dipekerjakan kembali. Keempat, merekrut buruh dengan status kontrak setelah perusahaan dengan alasan mengalami kerugian melakukan efisiensi atau relokasi pabrik.

Merekrut buruh dengan status kontrak memang menguntungkan bagi pengusaha. Pengusaha dapat dengan mudah memakai atau memberhentikan tenaga kerja kontrak dengan tidak ada kewajiban untuk membayar pesangon ketika mengakhiri hubungan kerja. Pengusaha pun tidak memiliki kewajiban untuk mengikutsertakan buruh kontrak ke dalam program Jamsostek. Selain itu tidak seperti buruh tetap yang memperoleh banyak jaminan menurut undang-undang buruh yang berstatus kontrak hanya memperoleh bayaran sesuai dengan upah minimum kabupaten/propinsi.

Tidak adanya jaminan dan perlindungan kerja serta kecilnya penghasilan yang diterima memaksa buruh kontrak untuk memperpanjang jam kerja dengan mengambil lembur. Saking banyaknya buruh yang ingin memperoleh lembur, membuat pengusaha memberlakukan sistem penjatahan lembur bagi buruhnya, meskipun sebenarnya tidak semua pengusaha bersedia membayar upah lembur. Otomatis jam kerja riil buruh yang berstatus kontrak jauh lebih tinggi atau kembali ke masa sebelum 1886, yakni 12 sampai 14 jam per hari. Dengan demikian, secara tidak langsung diterapkan fleksibilitas dalam hal jam kerja.

Dengan kondisi demikian bahwa sistem kontrak dan outsourcing sangat merugikan buruh seperti halnya kondisi-kondisi pada masa 1886. Hanya dengan perjuangan yang tak pernah lelah, akan bisa mewujudkan cita-cita kesejahteraan buruh. Kesadaran setiap buruh akan kondisinya sendiri hari ini dengan adanya UU 13/2003 dan UU 2/2004 sangat penting dan menjadi jelas bahwa UU tersebut tidaklah berpihak kepada kaum buruh.


* Penulis adalah anggota Serikat Buruh untuk Keadilan, Wonosobo, sekaligus Anggota Forum Belajar Bersama Prakarsa Rakyat dari Simpul Jawa Tengah.

** Siapa saja dipersilahkan mengutip, menggandakan, menyebarluaskan sebagian atau seluruh materi yang termuat dalam portal ini selama untuk kajian dan mendukung gerakan rakyat. Untuk keperluan komersial pengguna harus mendapatkan ijin tertulis dari pengelola portal Prakarsa Rakyat. Setiap pengutipan, penggandaan dan penyebarluasan sebagian atau seluruh materi harus mencantumkan sumber (portal Prakarsa Rakyat atau www.prakarsa-rakyat.org).

Oleh : Edwin Partogi*


Berurusan dengan penegak hukum dan pengadilan sama seperti memasuki dunia pasar bawah tanah. Transaksi berlangsung dalam gelap dan ilegal. Kasus Gayus Tambunan dalam dunia perpajakan atau Hakim PN Jakarta Pusat Syarifuddin Umar mempertontonkan keadilan diperjualbelikan secara murah.

Situasi demikian yakinlah tak mewakili semua aparat penegak hukum. Masih ada yang berintegritas, menjaga martabat dan kehormatan hakim untuk menyediakan hukum sebagai sarana pencapaian keadilan.

Ini tergambar dari putusan kasasi Mahkamah Agung (MA) dalam kasus Susandhi bin Sukatma alias Aan. Pada bulan Mei lalu, Majelis Hakim Kasasi perkara Aan membebaskan Aan dari segala dakwaan (vrijspraak).

Mengapa kasus Aan perlu diketengahkan? Ada pertarungan alot antara mereka yang berkehendak menghukum dan sebaliknya, membebaskan Aan. Kedua pihak ini berjuang sama gigihnya. Bujukan, rayuan materi hingga tekanan mental menjadi hal biasa bagi pembelanya, orang yang membantunya, termasuk wartawan.

Aan dan kuasa hukumnya menilai kasus ini sarat rekayasa. Cerita berawal pada 14 Desember 2009 dari gedung Artha Graha, Jakarta. Istri Aan melaporkan suaminya telah dianiaya petinggi perusahaan Viktor Laiskodat di depan petugas Polda Maluku yang menginterogasi. Saat interogasi, Aan dipaksa mengaku kebenaran adanya senjata api illegal milik David Tjioe, petinggi perusahaan yang semula seatap dengan Artha Graha. Cara ini gagal. Dicari-carilah kesalahan Aan. Tiba-tiba Aan ditelanjangi dan dituduhkan menyimpan narkoba di dompetnya. Aan pun dijemput Polda Metro, menjalani tes urine yang hasilnya negatif, tapi Polda tetap menahannya.

Saat itu Kadiv Propam Irjen Ogroeseno mencium ketidakberesan dan memproses petugas-petugas polisi tersebut secara hukum. Anehnya, Polda Metro Jaya justru mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) atas laporan perkara penganiayaan ini, tanpa memperhatikan kejanggalan interogasi petugas polisi Polda Maluku di teritori Polda Metro Jaya. Oegroseno digeser ke Polda Sumut.

Satgas Pemberantasan Mafia Hukum menyebut ada perwira Polri berinisial GM terlibat rekayasa kasus ini. Dalam istilah Satgas “ada big mafia di balik kasus ini.” Tapi proses hukum Aan berlanjut hingga pengadilan tinggi. Rekayasa perkara ini tak terdeteksi Komisi Yudisial, lembaga penjaga harkat martabat dan kehormatan hakim. Bisa jadi karena terbatasnya mandat atau ikut dipengaruhi mafia.

Nah, itu semua kini menemui titik terang. Putusan MA ini membelokkan kehendak perekayasa perkara. Aan yang semula menghirup udara kebebasan sejak putusan PN Jakarta Selatan, lama mengecap gundah atas putusan pengadilan tinggi yang memvonis 4 tahun penjara dan denda 800 juta rupiah, kini kembali menjadi warga merdeka tanpa status pesakitan.

Menariknya, meski putusan MA dan PN Jakarta Selatan memiliki konsekuensi yang sama bagi Aan, makna hukumnya berbeda. Putusan MA menyatakan Aan bebas, membuktikan dakwaan terhadapnya tidak benar. Sementara, putusan PN Jakarta Selatan yang membatalkan dakwaan, menegaskan proses lidik-sidik terhadap kasus ini tidak profesional sehingga dakwaan dinyatakan batal demi hukum. Dua putusan itu menyimpulkan dakwaan terhadap Aan mengada-ada dan proses lidik-sidik sarat rekayasa.


Lebih jauh lagi, putusan MA ini patut mendapat apresiasi.

Pertama, melalui putusan ini MA menyampaikan pesan bahwa hakim tidak tunduk pada mafia perekayasa yang selama ini dianggap kebal hukum. Kedua, putusan ini berguna bagi pembenahan institusi penegak hukum khususnya kepolisian. Karena rekayasa kasus bermula dari penyelidikan dan penyidikan polisi.

Mari kita elaborasi. Rekayasa kasus di kepolisian terjadi karena faktor ekstenal dan internal. Faktor eksternal yaitu kepentingan di luar hukum (perilaku korup) karena motif penanganan kasus lebih membuat target operasi sebagai obyek pemerasan. Di sisi lain, penyidikan juga dilakukan berdasarkan order dari pihak berkepentingan baik dengan imbalan materi maupun janji-janji lainnya.

Sementara faktor internal yang cukup berpengaruh yaitu sikap gampangan yang mengakibatkan berkas penyidikan asal jadi tanpa mengukur bobot. Pengejaran capaian kerja mengutamakan kuantitas daripada kualitas. Mengukur keberhasilan penyidik dari jumlah tangkapan, target operasi dan batas waktu yang diberikan atasan juga memicu rekayasa. Ditambah rendahnya komitmen penghormatan hak asasi manusia kalangan penyidik mengabaikan hak-hak tersangka yang dijamin KUHAP.

Ketiga, putusan MA ini adalah teguran bagi Jaksa yang menyusun perkara tetapi menutup diri dari konteks peristiwa yang lebih luas. Akibatnya adalah JPU menjadi doktriner, menuntut tanpa jiwa keadilan, seperti dapat kita lihat dalam kasus curi kakao nenek Minah yang dituntut 6 bulan penjara. Sementara kasus narkoba Jaksa Esther dituntut 18 bulan. Bahkan terdakwa pelanggaran HAM berat Timtim dan Tanjung Priok dituntut dengan tuntutan bebas.

Keempat, putusan MA membuktikan bahwa dalam perkara ini, majelis hakim banding telah mengabaikan fakta-fakta persidangan. Akibatnya, putusan terkesan lebih didasarkan oleh pesanan. Meski hukum memberi hakim kemandirian untuk menentukan putusan. Padahal PN telah mensinyalir praktik suap saat penyidikan.

Tentu tak mudah untuk menyeret mafia hukum di balik kasus ini. Ruang yang tersedia bagi pihak berperkara hanya upaya banding dan kasasi. Tetapi putusan MA kali ini, membuktikan bahwa keseluruhan upaya mencari keadilan itu tidak sia-sia.

* Penulis adalah advokat hak asasi manusia, sekaligus Anggota Forum Belajar Bersama Prakarsa Rakyat dari Simpul Jabodetabek.

** Siapa saja dipersilahkan mengutip, menggandakan, menyebarluaskan sebagian atau seluruh materi yang termuat dalam portal ini selama untuk kajian dan mendukung gerakan rakyat. Untuk keperluan komersial pengguna harus mendapatkan ijin tertulis dari pengelola portal Prakarsa Rakyat. Setiap pengutipan, penggandaan dan penyebarluasan sebagian atau seluruh materi harus mencantumkan sumber (portal Prakarsa Rakyat atau www.prakarsa-rakyat.org).

Sumber: PrakarsaRakyat

Oleh : Priyanto *

Di manakah Pancasila kini berada? Demikian awalan pidato Presiden RI ketiga, Habibie saat peringatan Hari Pancasila 1 Juni 2011 di hadapan Presiden SBY dan pejabat negeri ini. Sebuah pertanyaan sederhana tetapi patut direnungkan lagi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Tahun 2011 menjadi sangat menarik karena SBY dan lembaga negara kembali “marak” membuat peringatan hari lahirnya Pancasila. Entah kenapa? Ada apa di balik ini semua?

Pertanyaan itu muncul karena seolah Pancasila menghilang begitu saja dalam kehidupan bernegara. Menghilang dalam konteks tulisan ini lebih pada teks dan roh Pancasila. Bila pada Orde Baru Soeharto, Pancasila diagungkan dalam teks namun lemah dalam praktek kehidupan. Sementara pascareformasi keduanya seperti hilang. Hilangnya Pancasila dari kehidupan bernegara, bukan karena faktor rakyatnya. Karena kalau kita lihat dari keseharian masyarakat masih berbangga memasang Garuda Pancasila, memperingati hari kemerdekaan dan hari lahir Pancasila dengan berbagai ragam kegiatan yang dilakukan. Bila kita cermati hilangnya Pancasila dari rohnya dilakukan secara pokok oleh pemerintah ini bisa kita lihat dari “amandemen” UUD 1945 dari sejak 2002 dan dibuatnya UU atau Peraturan yang bertentangan deng roh dan kepribadian Pancasila itu sendiri.

Lalu kenapa tiba-tiba SBY seperti seolah mengingatkan kembali soal Pancasila? Ada banyak argumentasi muncul, di antaranya berpendapat sebagai upaya pencitraan kembali di tengah terpuruknya rezim ini karena kebijakan, skandal korupsi yang terus mendera baik di parlemen, pemerintahan maupun partai-partai politik serta konflik-konflik sosial yang tidak terselesaikan dengan baik.

Argumen lain berpendapat bahwa ini hanya sebuah seremonial untuk menyatukan kembali kekuatan elite politik negeri ini yang mulai tidak bisa terarah dalam menjaga kepentingan modal. Sementara para penjaga modal dan pengusung neoliberalisme melihat Pancasila adalah hadangan atau hambatan bagi kapitalisme.

Kedua argumen tersebut sebenarnya tidak saling bertentangan, tetapi semakin mendukung bahwa Pancasila hanya dibuat seremonial dan formalitas agar rakyat dan terutama elite politik tidak lagi mengganggu jalannya neoliberalisme yang berjalan agak tersendat di Indonesia.

Sementara ada argumen lain dalam peringatan Pancasila tersebut, yakni cukup senang dengan terlahirnya kembali Pancasila. Tentulah yang berpendapat seperti ini adalah pendukung secara lahiriah saja, belum sampai pada hakikat Pancasila itu sendiri.


Pancasila: Anti Neoliberalisme

Kita masih mengingat dan memahami dengan sangat dalam akan sila-sila Pancasila itu sendiri, Ketuhanan Yang Maha Esa; Kemanusiaan yang adil dan beradab; Persatuan Indonesia; Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan dan Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia.

Pancasila bukan sekedar teks, tetapi roh kehidupan berbangsa dan bernegara yang dituangkan dalam kebijakan atau peraturan yang dibuat oleh pemerintah. Turunan akan Pancasila tersebut adalah UUD, UU, PP serta peraturan lain. Namun sayangnya kebijakan tersebut hingga saat ini jauh dari prinsip yang terkandung dalam Pancasila.

Bahkan di tengah pidatonya, Habibie menyatakan dengan gamblang, “Kalau sila kelima Pancasila mengamanatkan terpenuhinya Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia, bagaimana implementasinya pada kehidupan ekonomi yang sudah mengglobal sekarang ini?”

Kita tahu bahwa globalisasi mempunyai berbagai bentuk, tergantung pada pandangan dan sikap suatu negara dalam merespon fenomena tersebut. Habibie mengatakan bahwa salah satu manifestasi globalisasi dalam bidang ekonomi, misalnya, adalah pengalihan kekayaan alam suatu negara ke negara lain. Sumber daya alam yang setelah diolah dengan nilai tambah yang tinggi, kemudian produk-produk itu dijual kembali ke negara asal, sedemikian rupa sehingga rakyat harus “membeli jam kerja” negara lain. Ini adalah penjajahan dalam bentuk baru, neo-colonialism atau dalam pengertian sejarah kita, suatu VOC (Verenigte Oostindische Companie) dengan baju baru.


Tanpa Praktek Pancasila

Bahkan dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara sangat jauh dari apa yang menjadi inti ajaran Pancasila. Kenyataan itu dapat dilihat dengan maraknya konflik sosial, terutama konflik horinsontal yang dipicu oleh pemerintah dan elite politik. Contoh itu tampak dalam kasus Cikeusik maupun Temanggung. Di lain hal juga skandal korupsi yang terbongkar dilakukan oleh orang parpol berkuasa, orang dalam lingkaran rezim beserta keluarganya.

Bahkan model pencitraan menjadi budaya bagi banyak pejabat dari level bawah hingga atas bahkan di kalangan masyarakat itu sendiri. Perilaku menjadi buas bagi sesama, korup dan kleptokrasi menjadi budaya serta pencitraan yang seakan moralis dan seolah peduli pada rakyat.

Dalam situasi akut seperti ini, Pancasila seharusnya menjadi ajang pemersatu rakyat sekaligus pemompa semangat mengembalikan kemandirian bangsa ini dalam perekonomian, politik dan budaya. Hanya rakyat sendirilah yang mampu mengembalikan Pancasila dalam nafas kehidupan dan langkah bangsa ini.


* Penulis adalah anggota Paguyuban Pemulung Semut Ireng-Surakarta, sekaligus Anggota Forum Belajar Bersama Prakarsa Rakyat dari Simpul Jawa Tengah.

** Siapa saja dipersilahkan mengutip, menggandakan, menyebarluaskan sebagian atau seluruh materi yang termuat dalam portal ini selama untuk kajian dan mendukung gerakan rakyat. Untuk keperluan komersial pengguna harus mendapatkan ijin tertulis dari pengelola portal Prakarsa Rakyat. Setiap pengutipan, penggandaan dan penyebarluasan sebagian atau seluruh materi harus mencantumkan sumber (portal Prakarsa Rakyat atau www.prakarsa-rakyat.org).
Sumber: PrakarsaRakyat

Oleh : Gugun G *


Mari kita ke tempat-tempat publik yang sangat vital bagi rakyat kecil seperti terminal, stasiun atau samsat. Anda atau siapapun yang baru datang ke tempat-tempat tersebut akan didatangi bahkan secara beramai-ramai oleh orang yang tidak dikenal, dengan cara yang halus hingga menekan atau memaksa “untuk membantu anda.”

Mereka yang mendatangi anda selalu meyakinkan, berpakaian rapi dan menjelaskan banyak hal. Bila di terminal akan diyakinkan akan tujuan, kendaraan yang akan dipakai dan waktunya. Bila kita masih tak mau mengikuti kemauannya, maka mereka akan memaksa dengan berbagai cara bahkan dengan ancaman-ancaman. Itulah cerminan perilaku calo di terminal bis dan perilaku itu akan kita temukan di banyak tempat lain. Bahkan ada yang sangat miris, di sebuah RSUD ada percaloan obat dan labu darah.

Di lain tempat kita juga akan temukan dengan gamblang praktek percaloan tersebut. Ada calo yang menawarkan sekolah yang bonafit kepada orang tua murid yang tidak bisa masuk melalui jalur biasa. Ada calo nilai ujian yang baru saja dibongkar dari Surabaya. Ada percaloan saat lowongan pekerjaan dibuka dan ada juga percaloan di dalam jual-beli yang sering disebut makelar. Dan yang hebat baru saja dibuka begitu gamblang adalah calo anggaran di DPR RI dan calo proyek negara ala Kemenegpora yang melibatkan anggota DPR, Nazaruddin.

Itulah kenyataan yang bisa kita lihat kasat mata tanpa perlu menggunakan mikroskop. Dari level rendah di kampung hingga negara ini yang berperan dalam menghubungkan atau memastikan sebuah transaksi adalah calo. Pertanyaanya, bagaimana calo itu ada? Sengajakah atau memang sebuah skema bisnis? Menguntungkan rakyat dan negara atau sebaliknya merugikan? Bisakah kita mengatasinya?


Problem sosial yang akut

Percaloan bisa kita kategorikan dalam dau hal. Pertama adalah yang dilegalkan oleh negara melalui perijinan dan dikenai pajak. Biasanya istilahnya diperhalus menjadi perantara atau agen. Kita lihat kategori ini seperti perantara pembuat SIM/STNK, mengurus pajak, agen perjalanan, penyalur TKI dan agen pengiriman tenaga kerja. Kedua, calo yang ketegorinya illegal atau tanpa identitas resmi. Sebutan mereka tetaplah calo, seperti calo tiket, calo tanah, calo terminal, bahkan calo TKI.

Menilik kategori di atas dengan sebutannya, maka awal mula percaloan sebenarnya sengaja dibuat oleh manajemen bisnis atau manajemen birokrasi. Kesengajaan ini dibuat untuk “membantu atau mempermudah” kerja mereka dalam mencari konsumen atau pasar. Sebagai kepanjangan tangan untuk kerja perusahaan, calo sangatlah berperan dalam meyakinkan konsumen dengan berbagai cara termasuk melayani segala kebutuhannya, sehingga konsumen merasa menjadi raja yang dilayani.

Sementara itu, calo yang tidak terkoordinir oleh perusahaan atau birokrasi adalah sebuah usaha yang patut dilihat sebagai dampak. Dampak atas sulitnya akses pekerjaan, dampak dari perilaku usaha dan juga dampak dari sistem pemerintahan saat ini. Tentu jenis calo seperti ini berbeda dengan calo kelas atas, seperti calo proyek atau calo anggaran. Sementara calo di kalangan bawah adalah bagaimana bertahan hidup dengan berbagai cara karena sulitnya pekerjaan, sementara calo anggaran dan calo proyek adalah jenis korupsi mutakhir untuk memperkaya diri sendiri dengan mengelabui negara dan rakyat.

Tapi dari semua proses percaloan yang ada, yang dirasakan masyarakat lebih banyak kerugiannya daripada keuntungannya. Hal yang ditawarkan oleh calo, baik resmi atau tidak biasanya adalah “mudah dan murah.” Selanjutnya patut kita lihat, kemudahan dan kemurahan yang diterima oleh konsumen atau masyarakat? Tidak ada yang murah dalam soal-soal yang berurusan dengan calo, baik tiket atau TKI. Demikian juga dalam hal kemudahan, hampir semua resiko yang diterima oleh konsumen, sang calo tidak ikut bertanggung jawab.

Inilah problem sosial akut saat ini, calo seolah mendominasi pelayanan publik. Selain karena lapangan pekerjaan yang susah, ada sebab lain yakni pengelolaan layanan publik oleh swasta bukan negara, minimnya informasi kepada masyarakat, lemahnya kontrol bahkan lemahnya peraturan tentang kewajiban negara melayani kepentingan publik.


Mengurai dari keakutan

Problem yang akut harus dibongkar melalui sistem sosial, politik dan ekonomi. Tetapi karena situasi itu belum juga menemukan waktu dan momentumnya, maka langkah sedarhana sudah harus dilakukan oleh rakyat yang sadar. Langkah sederhana adalah dengan membangun kelompok/paguyuban dan organisasi untuk bisa mendapat informasi, menghindari praktek percaloan dan menekankan kebijakan yang tepat untuk rakyat. Tanpa sebuah kelompok penekan maka percaloan yang merugikan akan terus menjamur.


* Penulis adalah perangkat desa di Sukamanah-Bandung, sekaligus Anggota Forum Belajar Bersama Prakarsa Rakyat dari Simpul Bandung.

** Siapa saja dipersilahkan mengutip, menggandakan, menyebarluaskan sebagian atau seluruh materi yang termuat dalam portal ini selama untuk kajian dan mendukung gerakan rakyat. Untuk keperluan komersial pengguna harus mendapatkan ijin tertulis dari pengelola portal Prakarsa Rakyat. Setiap pengutipan, penggandaan dan penyebarluasan sebagian atau seluruh materi harus mencantumkan sumber (portal Prakarsa Rakyat atau www.prakarsa-rakyat.org).

Oleh : Musrianto*

Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang baru-baru ini dihukum pancung oleh pemerintah Arab Saudi, merupakan sebuah berita yang menyedihkan dan membuat kita menjadi sangat miris. Menerima hukuman pancung, tentu bukan yang dimimpikan oleh seluruh TKI di Arab Saudi, harapan dan mimpi mereka bekerja di luar negeri adalah bagaimana bisa mendapatkan uang dari hasil jerih payah untuk memenuhi kebutuhan hidup sanak saudara serta keluarganya. Kita tidak pernah tahu seperti apa perilaku majikan di Arab Saudi kepada TKI, sehingga dikabarkan TKI kita sampai berani melakukan tindakan yang melanggar hukum.

Tindakan membela diri atas ancaman bahaya terhadap dirinya sampai dengan terbunuhnya majikan, merupakan sebuah tindakan yang tidak seluruhnya salah dan juga menjadi pembenaran. Tapi kondisi demikianlah yang harus dihadapi oleh para TKI kita, tentu seperti sibuah malakama. Pilihan-pilihan yang diambil semua mengandung resiko, jika TKI tersebut tidak membunuh maka sangat dimungkinkan dirinya yang akan terbunuh oleh majikan. Kejadian matinya TKI oleh majikannya sendiri, pun sudah beberapa kali terjadi dan pulang ke tanah air hanya jasadnya.

Dengan kejadian tersebut, tentu menjadi tanda tanya besar kepada kita. Siapa yang salah dan harus bertanggung jawab atas hal ini?

Bagi penulis, yang bersalah dan seharusnya bertanggung jawab adalah Pemerintah Indonesia sendiri. Pemerintah bersalah karena tidak mampu menciptakan, memberikan lapangan pekerjaan dan memberikan pendapatan yang layak serta bermartabat bagi seluruh Warga Negara Indonesia. Sehingga, memaksa sekian banyak WNI yang mengais rejeki di negeri orang dengan berbagai macam profesi pekerjaan dan yang paling banyak adalah dengan menjadi pekerja rumah tangga.

Ketidakmampuan dalam menciptakan, memberikan lapangan pekerjaan dengan pendapatan yang layak tidak saja menjadi tanggung jawab pemerintah, namun juga menjadi tanggung jawab seluruh anggota DPR RI dan DPR Daerah. Para elite politik, baik di eksekutif maupun legislatif sekarang ini lebih sibuk bersaing membangun citranya masing-masing, tentu untuk kepentingan Pemilu 2014. Selain pencitraan yang dibangun, mereka berlomba-lomba, berdebat dan saling mengklaim partainya bebas dan bersih dari korupsi. Luar biasa memang permainan yang disuguhkan mereka kepada rakyat, sampai-sampai tidak mengetahui ada warga negaranya mati di hukum pancung. Lebih parahnya lagi, Kedutaan Besar Republik Indonesia untuk Arab Saudi dalam penyampaiannya secara langsung melalui telepon mengatakan bahwa mengetahui kejadian itu dari berita media Arab Saudi.

Kalaupun saat ini pemerintah Indonesia berupaya untuk menambah dana untuk pengacara TKI, bukan sebuah solusi yang akan mampu mencegah terjadinya korban hukuman mati atau hukuman dalam bentuk lain bagi TKI yang bermasalah dengan hokum di negara setempat. Pemerintah Indonesia seharusnya berbenah diri dengan memperbaiki aturan-aturan atau regulasi dalam negeri sendiri secara baik dan detil, semisal menghapuskan atau meniadakan rekrutmen calon tenaga kerja oleh PPTKIS. Hingga saat ini PPTKIS masih bisa menerima CTKI dari calo atau sponsor. Karena PPTKIS dan agensi tidak lebih menjadikan TKI sebagai ladang bisnis semata. PPTKIS dan agensi di negara penempatan, tidak punya perspektif bagaimana kemudian melindungi TKI yang direktrutnya. Lagi-lagi karena orientasinya bisnis semata, selesai transaksi dengan majikan maka selesailah sudah urusannya.

Oleh karenanya mulai dari rekrutmen, pendidikan, seleksi (majikan) pengguna jasa tenaga kerja Indonesia sudah harus dikerjakan oleh pemerintah yang bekerja sama dengan pemerintah negara penempatan (G to G). Lembaga atau badan yang mengerjakan untuk itu sudah ada, selanjutnya bagaimana mengefektifkan lembaga tersebut secara maksimal. Kemudian selama pemerintah memperbaiki regulasi, tetap harus ada upaya cepat yang dilakukan untuk saat ini. Yakni menjalin kerja sama dengan pemerintah di negara penempatan dengan membentuk tim pengawas bersama, untuk melakukan pengawasan secara ketat dan regular terhadap majikan dan TKI serta melaporkan secara berkala kepada pemerintah dan kepada publik. Agar kemudian masyarakat mengetahui dan turut mengawasi kinerja dari tim pengawas TKI, sehingga tim tersebut benar-benar bekerja secara baik.

Cukup sudah anak bangsa jadi korban dari lalainya negara dalam memberikan perlindungan. Jangan ada lagi Ruyati-Ruyati berikutnya. TKI bukanlah komoditi, tetapi TKI adalah warga negara yang berhak mendapatkan perlindungan dan dilindungi hak asasinya oleh negara.


* Penulis adalah Pengurus Pusat Konfederasi Serikat Buruh KASBI, sekaligus Anggota Forum Belajar Bersama Prakarsa Rakyat dari Simpul Jabodetabek.

** Siapa saja dipersilahkan mengutip, menggandakan, menyebarluaskan sebagian atau seluruh materi yang termuat dalam portal ini selama untuk kajian dan mendukung gerakan rakyat. Untuk keperluan komersial pengguna harus mendapatkan ijin tertulis dari pengelola portal Prakarsa Rakyat. Setiap pengutipan, penggandaan dan penyebarluasan sebagian atau seluruh materi harus mencantumkan sumber (portal Prakarsa Rakyat atau www.prakarsa-rakyat.org).

Sumber: PrakarsaRakyat

Oleh: Mohd. Amin MS.


DATA BUKU
Judul: Anak-Anak Langit
Penulis: Mohd Amin MS
Editor: Wiyanto Suud
Penerbit: Alvabet
Genre: Novel
Cetakan: I, Juli 2011
Ukuran: 13 x 20 cm (flap 8 cm)
Tebal: 508 halaman
ISBN: 978-602-9193-04-6
Harga: Rp. 69.900,-

SINOPSIS

Anak-Anak Langit adalah kisah menakjubkan tentang anak-anak rantau di pesantren modern binaan pemerintah di Koto Baru, sebuah kawasan sejuk di kaki Gunung Singgalang dan Gunung Merapi di Padang Panjang. Anak-anak penuh bakat ini sejak awal dijanjikan bakal menerima pendidikan unggul yang akan menempa mereka menjadi ulama, pemimpin, dan manusia berguna di masa depan.

Namun, sistem dan praktik pendidikan yang dijanjikan itu hanyalah bumbu harapan yang tak serasa dengan kenyataan. Bagaimana “anak-anak langit” itu mengatasi rasa putus asa mereka menghadapi keadaan yang jauh dari harapan? Bagaimana pula mereka dapat terus memelihara impian-impian mereka untuk meraih kesuksesan di masa depan?

Terinspirasi kisah nyata, novel ini mampu menggambarkan dengan baik kisah unik kehidupan remaja dalam menggapai cita-cita mereka. Sebagaimana novel Melayu lainnya, narasi-narasi yang berpadu peribahasa dan metafora merupakan kekuatan utama novel ini.
Endorsement

"Muatan tekad, perjuangan, dan keinginan untuk maju menjadikan karya ini sangat inspiratif, menggugah, mendidik, dan mencerahkan. Sebagai Negeri Shahibul Kitab, Riau pernah melahirkan penulis-penulis besar seperti Raja Ali Haji dan Suman Hs. Saya yakin, Negeri Para Pujangga ini akan terus melahirkan penulis dan sastrawan andal. Karya ini setidaknya mengangkat kembali nama Riau sebagai sumber inspirasi penulis Nusantara.”
—HM Rusli Zainal, Gubernur Riau

"Novel-novel semi biografi memang menarik, karena bagian yang diambil adalah sisi hidup yang membangkitkan semangat kemandirian. Semangat kemandirian inilah esensi dari spirit entrepreneurship, di mana kita selalu menemukan jalan hidup yang sukses setelah belajar dari kesalahan sebelumnya. Prinsipnya: ’jika sungguh-sungguh berusaha, pasti berhasil’. Dan pesantren adalah salah satu tempat di mana kemandirian itu dibangun.’’
—Rida K Liamsi, Direktur Utama Jawa Pos National Network (JPNN)

"Jika Anda terpesona pada Ayat-Ayat Cinta dan takjub pada Laskar Pelangi, novel ini adalah gabungan keduanya."
—Prie GS, budayawan, penulis buku Catatan Harian Sang Penggoda Indonesia.

"Kekuatan novel ini terletak pada setting-nya. Dengan bahasa yang mengalir rancak dan kaya kosakata, Amin memeragakan kisah remajanya ketika berlabuh di Madrasah Aliyah Program Khusus (MAPK); sebuah proyek intelektual Departemen Agama. Amin berhasil menceritakan mimpi intelektual anak-anak MAPK disertai bumbu-bumbu cinta remaja yang terhalang tembok asrama. Layak dibaca dan penuh insipirasi!"
—Burhanuddin Muhtadi, pengamat politik, alumni MAPK Solo

"Ada tiga kekuatan dahsyat budaya Minang, yaitu kemampuan diplomasi tingkat tinggi, pepatah yang sarat filosofi, dan adat yang bersendikan syar’i. Tiga kekuatan ini saya rasakan saat menempuh studi selama tiga tahun di MAPK Koto Baru dan mewarnai kehidupan saya hingga saat ini. Novel ini dengan cukup baik menggambarkan tiga kekuatan tersebut. Sayang sekali jika dilewatkan...!"
—Dr. Iswandi Syahputra, M.Si, anggota KPI Pusat

"Sekali Anda membaca novel ini, Anda akan terdorong untuk membacanya lagi dan lagi... Anda akan diajak merenung, berpikir, bernostalgia, bahkan menangis di satu bagian, tapi kadang tersenyum dan tergelitik di bagian lain. Sebuah novel yang menceritakan tentang perjuangan anak-anak berbakat menuju takdirnya!"
—Dr. Firdaus Siraj, MA, akademisi IAIN Imam Bonjol Padang

"Inspiring and enlightening! Bagi yang pernah mondok di pesantren atauboarding school, membaca novel ini seperti membaca kisah sendiri. Saya seringkali tertegun dan kembali ke masa lalu di beberapa penggalan kisah dalam novel ini."
Ali, MA, M.Sc, pengamat dan pelaku ekonomi syariah di Jakarta

"Novel ini bagaikan kaca rias, membuat kita tahu rupa kita sesungguhnya. Sebuah cerita yang memesona, dikupas dengan hati-hati, perpaduan rekaman kisah nyata dan fiksi yang disertai gagasan kreatif penulisnya untuk mengungkap sisi kemanusiaan dan kecemerlangan. Bagi yang optimis dan ingin maju, rugi besar jika tidak membaca karya yang luar biasa ini."
—Jufrizal SHI, pengusaha asal Bagan Siapi-api, mantan anggota DPRD Rokan Hilir

BIODATA PENULIS

Mohd Amin MS adalah alumni Madrasah Aliyah Program Khusus (MAPK) Koto Baru, Padang Panjang, Sumatera Barat, angkatan ke-5 (1991-1994). Kisah dalam novel ini terinspirasi dari semua romantika remaja di sekolah unggulan Departemen Agama tersebut.

Setelah tamat MAPK Koto Baru, ia melanjutkan pendidikan di IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, dan lulus dengan predikat cum laude. Dia kemudian memutuskan kembali ke daerah asalnya, Pekanbaru. Atas permintaan sang ibu, ia melanjutkan pendidikan pascasarjana di IAIN Suska Riau, sekaligus memimpin adik-adiknya yang memerlukan bimbingan. Dia pun harus mengubur mimpinya dalam-dalam untuk melanjutkan sekolah ke luar negeri.

Karya buku yang telah terbit adalah Dilema Demokrasi (2007) dan Mengislamkan Kursi dan Meja (2009). Sedangkan Anak-Anak Langit yang ada di tangan Anda ini merupakan novel perdananya dari rencana trilogi. Pria ini pernah mengabdi sebagai guru bahasa Inggris di Madrasah Tsanawiyah almamaternya, dosen luar biasa UIN Suska Riau, dan pernah pula menjadi anggota Panwas Pilkada Provinsi Riau. Saat ini, Amin tunak sebagai jurnalis di Riau Pos, dan bermastautin di Pekanbaru. Hobinya menulis dan main catur. Obsesinya keliling dunia dan menantang Gary Kasparov.

=============================
PT Pustaka Alvabet (Penerbit)
Jl. SMA 14 No. 10, Cawang, Kramat Jati,
Jakarta Timur, Indonesia 13610
Telp. +62 21 8006458
Fax.  +62 21 8006458

;;