Oleh : Yenie Oktri*


Sejak Negara Indonesia tegak berdiri, pluralisme selalu menempati ruang abu-abu. Pluralisme tidak pernah menjadi sebuah konsensus politik bersama tapi hanya sekedar kosmetik politik saja. Perbedaan suku, agama dan ras yang merupakan keniscayaan sebagai sebuah negara terpaksa harus meringkuk dalam ruang kompromi dan tidak pernah membuka diri dalam ruang toleransi.

Sejarah menunjukkan bagaimana kosmetik politik justru mewarnai tindakan para pendiri bangsa ketika harus mengkompromikan antara Pancasila dalam naskah UUD 1945 dengan Piagam Jakarta terutama menyangkut penghilangan kata dalam sila pertama. Selama ini banyak pihak beranggapan bahwa penghilangan kata itu merupakan bagian dari toleransi. Padahal penghilangan kata tersebut adalah kompromi politik yang mempunyai konsekuensi logis hanya bersifat sementara.

Dari sinilah, disadari atau tidak, bibit pluralisme setengah hati mulai tertanam di setiap golongan dan lapisan masyarakat. Pluralisme setengah hati yang merupakan sikap hanya mau mengakui adanya perbedaan/kemajemukan tapi tidak bisa menerimanya terutama menyangkut kehidupan berbangsa dan bernegara. Semakin lama pluralisme setengah hati mendapatkan wadahnya berupa anarkisme dan kekerasan.

Konflik berbau suku, agama dan ras hampir mewarnai disetiap rejim pemerintahan di negeri ini tanpa kecuali. Mulai dari Soekarno, Soeharto, Habibie, Gus Dur, Megawati sampai Susilo Bambang Yudhyono terlihat bahwa anak negeri ini telah menguras habis energinya hanya untuk melampiaskan bibit pluralisme setengah hati yang diwariskan turun-temurun.

Bila pada era Soekarno konflik berbau ras, agama dan sara sedikit bisa diminimalisir dalam beragam ideologi partai-partai politik yang tumbuh bak cendawan di musim hujan. Menyikapi perbedaan/kemajukan diselesaikan dengan gerakan politik yang mengedepankan dialog. Tapi kondisi itu berbeda total pada era Soeharto di mana setiap konflik berbau suku, agama dan ras akan berhadapan dengan militer. Habibie yang menjadi penerus Soeharto pun ternyata menganut paham pluralisme setengah hati.

Di era Habibie inilah pluralisme setengah hati mulai merasuki lembaga eksekutif, yudikatif dan legislatif. Hal itu dimungkinkan karena adanya pergantian ataupun rotasi besar-besaran di berbagai lembaga maupun organisasi sebagai efek domino dari eforia reformasi. Akibatnya bisa ditebak berbagai peraturan perundang-undangan tidak lagi mengedepankan kepentingan rakyat yang memang plural tapi lebih mewakili kepentingan satu golongan saja. Dari sinilah konflik berbau suku, agama dan ras di berbagai daerah mulai mengarah kepada konflik bersenjata.

Di era Gus Dur dan Megawati, konflik bersenjata berlatar belakang suku, agama dan ras meledak di berbagai daerah. Penyelesaian yang berlarut-larut menyebabkan banyak anak bangsa yang mati terbunuh secara sia-sia. Tidak hanya itu saja, kekerasan bersenjata yang dilakukan berbagai kelompok masyarakat mulai menemukan bentuk lain untuk mengekspresikan pluralisme setengah hati melalu teror. Teror yang mengatasnamakan agama menjadi sebuah fenomena tragis dalam sejarah peradaban masyarakat.

Pada saat Susilo Bambang Yudhyono naik menjadi presiden dan berkuasa sampai sekarang, konflik berbau suku, agama dan ras bahkan mulai merasuki kota-kota besar yang notabene sebenarnya banyak golongan terpelajar. Bentuknya pun semakin variatif. Bisa pemberlakuan peraturan daerah yang berbasiskan satu agama tertentu dan aksi massa yang terus-menerus melakukan tindakan anarkis terstruktur tapi tidak mampu dihentikan oleh aparatus negara.

Undang-Undang Pendidikan Nasional yang seharusnya menjadi acuan peningkatan kualitas kecerdasan dalam dunia pendidikan ternyata lebih mengutamakan persoalan akhlak dan moral. Sebelum disahkan menjadi undang-undang, mulai dari pembahasannya sudah diwarnai dengan beragam kontroversi. Ujung-ujungnya mengerahkan massa sebanyak-banyaknya untuk menekan satu sama lain. Lahirnya UU Pendidikan Nasional hanya merupakan bentuk lain dari pluralisme setengah hati itu.

Negara dalam kondisi seperti ini ternyata dibuat tak berdaya. Himbauan normatif yang dilontarkan aparat lembaga negara lenyap dalam lengkingan amarah para penganut pluralisme setengah hati. Apalagi himbauan normatif itu tidak didukung oleh penegakan dan sanksi hukum yang tegas sehingga para pelaku kekerasan yang mengatasnamakan suku, agama atau pun ras seperti api mendapat siraman bensin. Membara dan menghancurkan siapa saja yang menghadangnya.

Diperlukan kerja keras serta sikap toleransi yang tinggi dari berbagai golongan dan lapisan masyarakat untuk mengikis pluralisme setengah hati yang sudah menjadi penyakit kronis. Langkah awal dan paling sederhana yang bisa dilakukan adalah dengan saling mengucapkan selamat hari raya kepada siapa saja dan dari latar belakang agama apa saja. Sebab banyak tokoh-tokoh masyarakat yang seharusnya menjadi panutan toleransi ternyata tidak mau menyampaikan selamat hari raya kepada agama lain.


* Penulis adalah jamaah pengajian mingguan Darul Ummah di Tangerang, sekaligus Anggota Forum Belajar Bersama Prakarsa Rakyat dari Simpul Jabodetabek.

** Siapa saja dipersilahkan mengutip, menggandakan, menyebarluaskan sebagian atau seluruh materi yang termuat dalam portal ini selama untuk kajian dan mendukung gerakan rakyat. Untuk keperluan komersial pengguna harus mendapatkan ijin tertulis dari pengelola portal Prakarsa Rakyat. Setiap pengutipan, penggandaan dan penyebarluasan sebagian atau seluruh materi harus mencantumkan sumber (portal Prakarsa Rakyat atau www.prakarsa-rakyat.org).

0 Comments:

Post a Comment