Oleh : Engkos*


Mari kita persilahkan pejabat negeri ini untuk mengunjungi pinggiran jalan-jalan kota besar, seperti di Gasibu Bandung, sepanjang Dago, dan daerah industri Rancaekek-Cileunyi. Di sana kita akan disuguhkan ratusan atau bahkan ribuan pedagang kaki lima (PKL) dan pedagang asongan. Dari rupa-rupa makanan dan minuman juga berbagai pernik hiasan, diperdagangkan di emperan jalan. Pemandangan serupa juga dapat kita temukan di daerah Ibukota, Jakarta.

Kehidupan kota-kota di Indonesia sepertinya tidak lepas dari yang namanya PKL, asongan, pemulung serta berbagai jenis pekerjaan yang sering disebut sektor informal. Dengan berbagai sebutannya, seperti angkringan dan jongko adalah tenaga-tenaga produktif yang bergeliat dari sebelum fajar menyingsing hingga matahari tenggelam. Bahkan hingga pagi kembali datang terus bergerak menjajakan dan melayani kebutuhan masyarakat yang membutuhkannya.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) per Februari 2011, jumlah tenaga kerja yang bekerja baik di sektor formal maupun informal sebanyak 111,30 juta orang. Namun, sekitar 73,20 juta orang atau 65,77 persen merupakan tenaga kerja informal. Sedangkan sisanya, 34,23 persen atau sebanyak 38,10 juta orang merupakan tenaga kerja formal atau dalam hubungan kerja.

Coba kita hitung berapa banyak pemasukan kepada negara oleh para penggerak sektor informal tersebut. Bisa kita sebut sedikit saja, para PKL membayar pajak tempat dan keamanan serta kebersihan setiap hari atau per bulan rata-rata 60 ribu rupiah. Belum lagi untuk pihak-pihak yang berkaitan hingga berkehidupan dari usaha-usaha informal, seperti tukang parkir.

Hal itu menunjukkan perputaran ekonomi yang besar dari penggerak ekonomi yang jumlahnya sangat besar pula, yaitu sektor informal. Namun dari nilai ekonomi yang sudah dihasilkan dan besarnya pengaruh atas gerak ekonomi tersebut tidak diikuti dengan perlindungan dan pemberian kebijakan yang berpihak pada mereka.

Ketiadaan perlindungan tersebut dapat dilihat dari beberapa hal:

Pertama, untuk PKL, asongan, penarik becak dan tukang ojek tidak diberikan sebuah aturan hukum yang khusus melindunginya. Sebaliknya pemerintah menggalakkan adanya pasar modern atau mal serta rumah makan cepat saji yang keberadaannya membunuh mereka.

Kedua, tidak disediakannya lahan secara khusus yang memudahkan mereka berjualan. Seringkali yang terjadi adalah sektor informal digusur dengan brutal dan tanpa adanya perlindungan sedikitpun. Penggusuran model seperti ini menunjukkan bahwa sektor informal seolah tidak diperlukan dan tidak berkontribusi bagi negara.

Ketiga, tidak adanya perlindungan akan jaminan sosial, seperti jaminan kecelakaan, jaminan kematian dan jaminan kesehatan. Seolah pekerja sektor informal dianggap tidak ada keberadaannya. Negara telah abai terhadap hal ini sekaligus menunjukkan bahwa sektor informal sama sekali tidak diperhitungkan.

Keempat, tidak adanya bantuan modal secara massif dan berkelanjutan untuk menjaga pergerakan sektor informal. Termasuk dalam hal ini adalah perencanaan matang pemerintah terhadap keberadaan sektor informal sehinga tetap bisa menggerakkan ekonomi dan berkembang.

Bila untuk investor diberikan banyak kebijakan perlindungan dan kemudahan, seperti keringanan pajak serta kebijakan pemberian lahan dan modal, namun mengapa sektor informal tidak mendapatkan sedikitpun dari pemerintah. Padahal mereka adalah anak negeri dan murni bergerak dari kebutuhan dan modal sendiri. Seharusnya pemerintah berterima kasih dengan cara memberikan perlindungan kepada sektor informal.

Sudah seharusnya dan saatnya lahir sebuah kebijakan yang memberikan perlindungan terhadap sektor informal. Sebuah kebijakan memang tidak akan lahir begitu saja tanpa adanya desakan. Maka untuk perlindungan sektor informal ini harus lahir desakan yang berasal dari rakyat, dari penggerak atau pekerja sektor informal.

Para PKL, asongan, tukang ojek dan becak sudah saatnya membangun kekuatan organisasinya lalu mendesakkan tuntutan untuk perlindungan dari negara. Paling tidak bisa dimulai dari tingkat desa, kecamatan, kota/kabupaten, provinsi dan akhirnya bisa menjadi kekuatan nasional. Bila ini bisa terwujud, maka sebenarnya pasar bebas serta kebijakan pro asing paling tidak bisa dikurangi.


* Penulis adalah pengrajin alat musik tradisional Celempung dan Karinding, tergabung dalam serikat buruh luar perusahaan KASBI Jawa Barat, sekaligus Anggota Forum Belajar Bersama Prakarsa Rakyat dari Simpul Bandung.

** Siapa saja dipersilahkan mengutip, menggandakan, menyebarluaskan sebagian atau seluruh materi yang termuat dalam portal ini selama untuk kajian dan mendukung gerakan rakyat. Untuk keperluan komersial pengguna harus mendapatkan ijin tertulis dari pengelola portal Prakarsa Rakyat. Setiap pengutipan, penggandaan dan penyebarluasan sebagian atau seluruh materi harus mencantumkan sumber (portal Prakarsa Rakyat atau www.prakarsa-rakyat.org).

0 Comments:

Post a Comment