Tulisan ini juga disajikan dalam website http://umarsaid.free.fr/
yang sampai sekarang sudah dikunjungi 698 700 kali
================

Partandingan final sepak bola AFF : Indonesia - Malaisia

Garuda (Bung Karno) di dadaku, Garuda (Bung Karno) kebanggaanku!

Berikut di bawah ini disajikan sekadar penjelasan mengapa judul tulisan kali ini disusun dengan kalimat seperti tersebut di atas. Intinya adalah bahwa, dilihat dari berbagai segi dan sudut pandang, Garuda Indonesia adalah Bung Karno. Mengapa ? Silakan simak selengkapnya. Terimakasih

Luar biasa ! Sungguh luar biasa, hebatnya antusiasme rakyat Indonesia untuk mendukung tim nasional Garuda kita yang menghadapi tim Malaisia dalam pertandingan final AFF, baik yang di Kuala Lumpur (tanggal 26 Desember) maupun di Jakarta (tanggal 29 Desember). Boleh dikatakan bahwa seluruh negeri bergolak dan seperti mendidih serta menggelora, lebih dari pada yang sudah-sudah. Fenomena yang luar biasa ini (!) patut untuk sama-sama kita telaah, apa artinya bagi kehidupan bangsa dan negara kita, baik untuk dewasa ini maupun untuk masa datang

Padahal, di luar dugaan banyak orang, timnas Indonesia telah dikalahkan oleh Malasia dengan angka yang cukup besar, yaitu 3 lawan 0, dalam pertandingan final babak pertama di Kuala Lumpur tanggal 26 Desember yang lalu itu. Sudah tentu, kekalahan ini membikin banyak orang kecewa. Namun, ternyata antusiasme dan dukungan kepada Timnas Garuda masih tetap besar dan luas sekali , dengan harapan bahwa kemenangan akan diperoleh dalam pertandingan final babak kedua di Jakarta tanggal 29 Desember ini. Dan ternyata bahwa harapan ini tercapai juga, dengan kemenangan Indonesia, dengan angka 2 lawan 1.

Dengan hasil yang demikian maka Malaisialah yang berhasil menggondol piala AFF, karena jumlah total gol dalam kedua pertandingan final ini menjadi 4 untuk Malaisia dan 2 untuk Tim Nasional Garuda Indonesia. Sudah tentu, hal yang demikian ini mengecewakan banyak orang, karena timnas Garuda sudah mengalahkan 6 kali berbagai kesebelasan negara-negara lain dan hanya dikalahkan satu kali.


Antusiasme dan dukungan rakyat yang luar biasa

Namun demikian, banyak hal yang menunjukkan bahwa kebangkitan dunia sepakbola kita merupakan sumbangan penting bagi tumbuhnya kembali nasionalisme, mengobarkan lagi kebanggaan menjadi orang Indonesia, menggelorakan semangat persatuan di kalangan rakyat. Hal-hal yang demikian inilah yang jarang sekali kita saksikan di Indonesia akhir-akhir ini.

Kita lihat di TV puluhan ribu orang selama berhari-hari berebut untuk membeli tiket di Jakarta, kepanasan dan kehujanan, dan banyak yang harus antre panjang sampai lebih dari 10 jam. Bahkan ada yang pingsan atau jatuh terhimpit karena berdesak-desakan, atau yang terpaksa tidur berhari-hari di tempat. Contoh lainnya adalah bahwa di Medan saja ada gerakan untuk mengumpulkan sejuta tandatangan untuk mendukung timnas. Supporter-pun berdatangan ke Jakarta dari Sumatera, dan berbagai daerah di Jawa, Sulawesi. Kali ini sepakbola membuat banyak orang di negeri kita betul-betul menjadi tergila-gila atau “kesurupan”, lebih dari pada yang sudah-sudah.

Kita lihat bahwa dimana-mana rakyat senang dan bangga sekali bahwa sepakbola Indonesia yang sejak tahun 1991 tidak menunjukkan kemampuan untuk unggul di arena Asia, akhir-akhir ini meraih kemenangan berturut-turut menghadapi kesebelasan negara-negara tetangga. Sudah terlalu lama kesebelasan Indonesia sering dikalahkan oleh kesebelasan Singapura, Malaisia, Thailand, Filipina, Vietnam, Taiwan atau negara-negara lainnya. Sehingga banyak orang mengatakan bahwa selama ini mereka malas atau malu menonton pertandingan kesebelasan Indonesia melawan negara lainnya.

Sekarang ini situasi sudah berubah. Animo kalangan luas untuk menonton pertandingan sepakbola naik membubung tinggi, sehingga membikin banyak orang geleng-geleng kepala, termasuk di kalangan pencinta sepakbola sendiri. Ini kelihatan nyata pada tingkah laku dan wajah berbagai kalangan masyarakat di mana-mana di seluruh negeri yang mengenakan baju kaos merah berlambang Garuda, dan meneriak-riakkan lagu “Garuda di dadaku, Garuda kebanggaanku”!


Kebanggaan menjadi orang Indonesia timbul kembali

Kebanggaan menjadi orang Indonesia timbul kembali, sesudah puluhan tahun bangsa kita dipandang rendah oleh berbagai bangsa lain akibat banyaknya masalah besar dan parah yang selalu dihadapi rakyat selama puluhan tahun. Di antara masalah-masalah besar dan parah itu adalah pembantaian jutaan orang tidak bersalah, yang umumnya terdiri dari orang-orang kiri pendukung politik Bung Karno, pemenjaraan tanpa pengadilan ratusan ribu orang selama puluhan tahun, kediktaturan militer yang sewenang-wenang, korupsi yang merajalela (sampai sekarang !!!), menggilanya mafia hukum dan mafia peradilan, dan kebobrokan moral di banyak bidang kehidupan.

Sebagian dari masalah-masalah itu masih terrus menjangkiti bangsa kita dewasa ini, yang diperparah oleh bermacam-macam persoalan-persoalan yang buruk di bidang sosial ekonomi, yang menyebabkan banyaknya pengangguran dan kemiskinan. Sebagian terbesar rakyat kita hidup dalam keadaan sempit atau kekurangan. Sementara itu penyelengggaraan negara dan kehidupan politik dewasa ini juga semrawut, kacau atau ambur-adul. Di tengah-tengah situasi yang begitu itulah berlangsung kebangkitan kembali dunia olahraga sepakbola kita. Karena itu, sepakbola merupakan pelipur lara bagi banyak orang, yang bisa melupakan sejenak berbagai persoalan yang sedang dihadapi bangsa.

Agaknya, ketandusan perasaan kebanggaan yang sudah begitu lama menimpa rakyat kita, dan kerinduan akan adanya prestasi besar yang bisa dipersembahkan bangsa, adalah salah satu di antara berbagai faktor yang menyebabkan begitu banyaknya orang yang sudah berhari-hari berkerumun disekitar Gelora Bung Karno, dan memasang lambang Garuda Pancasila di baju mereka, serta menyanyikan lantang lagu “Garuda di dadaku, Garuda kebanggaanku”. Jelaslah bahwa kali ini rakyat merasa betul-betul memiliki negeri ini, bahwa kali ini rakyat betul-betul menunjukkan kecintaan mereka kepada Sang Saka Merah Putih. Sudah lama sekali, sejak lebih dari 45 tahun, tidak pernah kelihatan lagi fenomena yang begitu mempesonakan banyak kalangan rakyat seperti itu.


Yang menggembirakan para pencinta Bung Karno

Satu hal yang agaknya menarik untuk diperhatikan adalah fenomena yang mengindikasikan bahwa di antara berbagai kalangan yang gembira dengan kebangkitan kembali dunia sepakbola sekarang ini terdiri dari para pencinta Bung Karno. Bukan saja bahwa pertandingan-pertancingan semi final dan pertandingan final dengan Malaisia diadakan di Gelora Bung Karno (yang didirikan atas gagasan beliau) , melainkan juga banyaknya orang yang memasang lambang Garuda di baju mereka.

Dengan banyaknya orang memakai kaos merah yang berlambang Garuda dan memenuhi Gelora Bung Karno dan sekitarnya (dan juga di banyak tempat di seluruh tanah air), dan menyanyikan “Garuda di dadaku”, maka hari-hari pertandingan di Gelora Bung Karno ini sudah menjadi semacam pesta besar rakyat untuk mengelu-elukan atau mengenang kembali Bung Karno. Mungkin, bagi sebagian orang, hubungan antara Bung Karno dan lambang Garuda tidak begitu jelas. Tetapi, umumnya, bagi para pencinta Bung Karno jelas sekali.

Bagi para pencinta Bung Karno (dan bagi banyak orang lainnya) lambang Garuda yang berisi simbul-simbul Pancasila adalah pengejawantahan dari jatidiri Bung Karno. Bung Karno-lah penggagas Pancasila, ideologi dan dasar negara, dan pedoman besar seluruh rakyat dan bangsa kita, yang gambar-gambarnya tercantum dalam lambang Garuda itu. Karena itu, lambang Garuda itu bernama lengkapya Garuda Pancasila. Di bawah pimpinan Bung Karno-lah gambar lambang Garuda Pancasila digarap dan diselesaikan oleh suatu panitia, dan akhirnya disempurnakan oleh Bung Karno.

Di samping itu, dalam lambang Garuda Pancasila juga tercantum dengan gagah dan jelas Bhinneka Tunggal Ika, motto agung atau semboyan luhur seluruh bangsa dan negara kita yang terdiri dari ratusan suku dan bahasa daerah, berbagai agama dan kepercayaan serta 17 000 pulau. Di bagian bawah gambar Garuda Pancasila itu kelihatan kaki burung perkasa ini mencengkeram pîta yang bertuliskan Bhinneka Tunggal Ika, kalimat yang berasal dari kitab kuno Mpu Tantular dan berarti : Berbeda-beda tetapi tetap satu jua.


Bung Karno adalah Garuda, Pancasila, dan Bhinneka Tunggal Ika

Bung Karno bukanlah pencipta Bhinneka Tunggal Ika, tetapi sejarah sudah menunjukkan bahwa sosok Bung Karno adalah pengejawantahan isi semboyan yang luhur ini. Fikiran-fikiran besar Bung Karno, pandangan hidupnya dan ajaran-ajarannya mencerminkan Bhinneka Tunggal Ika ini. Sikapnya sejak ia umur 25 tahun untuk mempersatukan seluruh bangsa dalam perjuangan sudah diperlihatkannya dalam tulisannya yang terkenal “Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme” (tahun 1926), juga petunjuk bahwa Bhinneka Tunggal Ika betul-betul menjadi darah daging atau “tali-nyowo” Bung Karno, sampai wafatnya dalam tahanan Suharto.

Dewasa ini, puluhan juta rakyat Indonesia memasang lambang Garuda Pancasila dibaju mereka atau menyanyikan lagu “Garuda di dadaku”. Walaupun sebagian dari mereka itu mungkin saja tidak tahu apa arti yang sebenarnya lambang-lambang itu dan arti penting hubungannya dengan sosok sejarah Bung Karno, kegandrungan mereka kepada Garuda Pancasila sudah merupakan fenomena penting yang positif sekali bagi bangsa.

Adalah suatu hal yang sudah patut sangat menggembirakan kita semua bahwa sebagian besar rakyat kita menunjukkan kecintaan mereka kepada tim nas kita, kepada sang Merah Putih, kepada Garuda Pancasila, kepada Bhinneka Tunggal Ika, walaupun tidak menyebut-nyebut nama Bung Karno, oleh karena berbagai sebab

Sebab, pada hakekatnya, atau pada akhirnya, mereka yang betul-betul (sekali lagi : betul-betul !!!) mencintai Merah Putih, Garuda Pancasila, dan Bhinneka Tunggal Ika berarti juga mencintai atau menghormati Bung Karno. Tidak bisa lain ! Orang tidak bisa mengatakan betul-betul cinta kepada Garuda Pancasila atau hormat kepada Bhinneka Tunggal Ika, tetapi juga sekaligus bersikap anti Bung Karno atau melawan ajaran-ajaran revolusionernya ! Sebab, seperti sudah ditunjukkan secara jelas sekali oleh sejarah bangsa kita, Bung Karno adalah satu dan senyawa dengan Merah Putih, dengan Pancasila, dengan Bhinneka Tunggal Ika, dengan Indonesia.


Garuda adalah pilihan utama Bung Karno

Sampai-sampai seorang tokoh politik (alm. Subadio Sastrosatomo, “gembong” PSI) pernah menerbitkan suatu buku kecil yang diberi judul “Indonesia adalah Sukarno, dan Sukarno adalah Indonesia”. Oleh karena itu, dapatlah kiranya juga diartikan bahwa pesta rakyat besar-besaran di seluruh negeri sekarang ini untuk mendukung tim nasional, dengan dimeriahkan dimana-mana lagu “Garuda di dadaku, Garuda kebanggaanku” adalah -- pada hakekatnya, meskipun tidak langsung -- juga pesta besar rakyat untuk menghormati Bung Karno.

Bagi para pencinta Bung Karno, ketika melihat burung Garuda yang terdapat dalam lambang Bhinneka Tunggal Ika berarti juga seperti melihat sosok Bung Karno sendiri. Hal yang demikian.bisa dimengerti dan wajar-wajar saja. Sebab, bukan saja Bung Karno memang tokoh yang menyukai Garuda sebagai simbul keperkasaan atau kebesaran dan kejayaan, namun juga sebagai sesuatu yang gagah dan berani dalam perjuangan. Itulah sebabnya Bung Karno sering menyebut-nyebut Garuda dalam pidato-pidatonya. Bukan pemimpin-pemimpin Indonesia lainnya, termasuk bukan Suharto atau orang-orang lain sejenisnya. Dan Bung Karno pulalah yang memilih nama Garuda untuk maskapai penerbangan kita, yaitu Garuda Indonesian Aîrways.
Tentu saja, bagi para pencinta Bung Karno (dan juga bagi banyak orang lainnya) pemilihan nama Tim Nasional Garuda untuk tim nasional adalah kebanggaan tersendiri Sebab, bagi mereka, ini adalah salah satu manifestasi dari cita-cita Bung Karno untuk menjadikan olahraga Indonesia salah satu dari 10 olahraga bangsa yang teratas di dunia. Cita-cita ini sudah mulai diusahakan direalisasi dengan penyelenggaraan Asian Games (tahun 1961) dan Games of the New Emerging Forces (GANEFO) dalam tahun 1963 (di Jakarta) yang besar, megah dan menghebohkan dunia olahraga internasional waktu itu.


Gemuruh Gelora Bung Karno akan berkumandang terus

Sekarang, pertandingan-pertandingan untuk memperebutkan piala AFF sudah selesai, dan kehidupan rakyat sehari-hari akan kembali seperti biasanya lagi. Yang penuh dengan masalah-masalah besar dan parah di bidang politik, ekonomi, sosial dan moral (!) dan korupsi yang tetap merajalela( !!!). Namun begitu, agaknya, pertandingan-pertandingan memperebutkan piala AFF 2010 yang dilakukan oleh Timnas Garuda secara gemilang akan tetap menjadi kenang-kenangan indah yang membanggakan banyak kalangan rakyat Indonesia.

Sementara itu, Gelora Bung Karno akan tetap menjadi tanda kenang-kenangan kepada bapak bangsa yang sejak lama sudah mencintai dunia olahraga kita. Lambang Garuda Pancasila akan tetap dicintai oleh sebagian terbesar rakyat Indonesia, terutama kalangan muda (!!!) dan pencinta sepakbola. Dan nyanyian « Garuda di dadaku, Garuda kebanggaanku » masih akan sering disuarakan. Inilah pertanda-pertanda yang penting dalam perkembangan situasi bangsa kita dewasa ini.

Gemuruh Gelora Bung Karno akan berkumandang terus, dan makin lama akan makin nyaring dan makin besar, untuk menyongsong datangnya perubahan besar dan fundamental di tanah air kita.

Paris 30 Desember 2010
A. Umar Said


= = = = =

Oleh : R. Suharyanto *


Draft Rancangan Undang Undang Keistimewan Yogyakarta (RUUKY) telah resmi diserahkan pemerintah kepada DPR untuk dibahas. Bola panas terkait Keistimewaan Yogyakarta ada di tangan DPR mengingat selama diluncurkan RUUKY telah menyulut kontroversi baik dalam lingkup politik nasional maupun lokal. Salah satunya menyangkut status Sri Sultan Hamengkubowono sebagai gubernur dan Sri Paku Alam sebagai wakil gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta. Apakah langsung ditetapkan atau mengikuti prosedur demokrasi dengan pemilu kepala daerah langsung.

Dalam draft RUUKY yang merupakan inisitatif pemerintah tertuang bahwa Sri Sultan Hamengkubowono dan Sri Paku Alam akan otomatis menempati posisi sebagai Parardhya. Di mana Parardhya merupakan kepala daerah yang mempunyai kewenangan meliputi pertanahan, kebudayaan, tata ruang dan pemerintah yang terkait dengan keistimewaan. Sosok Sri Sultan Hamengkubowono dan Sri Paku Alam hanya menjadi simbol kultur sebagai identitas keistimewaan Yogyakarta. Sedangkan Gubernur dan Wakil Gubernur dipilih secara langsung melalui mekanisme pemilihan kepala daerah (pilkada) sesuai dengan undang-undang yang berlaku. Gubernur dan Wakil Gubernur hasil pilkada inilah yang akan menjalankan tugas dan kewenangan sebagai kepala daerah tingkat provinsi.

Memanasnya RUUKY dimulai dari pernyataan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang dilontarkan dalam rapat terbatas kabinet terkait dengan tidak boleh adanya monarki absolut dalam sistem demokrasi. Semua kepala daerah mulai dari gubernur, walikota/bupati harus melalui mekanisme pilkada langsung. Sontak ucapan Presiden SBY itu memancing reaksi keras dari banyak pihak terutama masyarakat Yogyakarta. Banyak pihak menuding bahwa Presiden SBY melupakan kesejarahan dan peran penting Yogyakarta dalam masa revolusi perang kemerdekaan Republik Indonesia. Tidak hanya itu saja, ribuan massa turun ke jalan menuntut adanya penetepan secara langsung Sri Sultan Hamengkubowono X sebagai Gubernur dan Sri Paku Alam IX sebagai wakil Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta.

Bagi masyarakat Yogyakarta, keistimewaan Yogyakarta tidak hanya dalam konteks budaya semata tapi juga menyangkut tata pemerintahan. Posisi Sri Sultan Hamengkubuwono dan Sri Paku Alam langsung ditetapkan sebagai gubernur dan wakil gubernur tanpa harus melalui mekansime pilkada. Namun tampaknya pemerintah pusat menanggapi respon masyarakat terkait RUUKY secara reaksioner. Menteri Dalam Negeri Gawaman Fauzi bahkan tanpa tedeng aling mempertanyakan keterwakilan aspirasi masyarakat Yogyakarta dalam aksi massa rakyat Yogyakarta. Tidak hanya itu saja, hasil keputusan DPRD Provinsi Yogyakarta yang menginginkan Sri Sultan Hamengkubuwono X dam Sri Paku Alam IX langsung ditetapkan menjadi gubernur dan wakil gubernur ternyata tidak digubris oleh pemerintah pusat.

Dalam berbagai forum diskusi, baik di pusat maupun Yogyakarta, isu RUUKY menjadi sebuah jurang pemahaman berdemokrasi antara kemauan pemerintah pusat dan keinginan masyarakat luas yang tidak pernah bertemu. Pemerintah pusat memaksakan kemauannya dengan berlandaskan sederet peraturan perundang-undangan, di sisi lain masyarakat mengutarakan keinginannya dengan menjabarkan fakta-fakta historis.

Namun yang terjadi, respons pemerintah pusat ini seakan menjadi bukti bahwa memang pemerintahan di bawah Presiden SBY tidak pernah paham atas aspirasi rakyatnya. Setiap kondisi, keunikan lokal, catatan kesejarahan atas sebuah wilayah terpaksa harus dihilangkan dan tunduk kepada undang-undang semata. Padahal dalam konstitusi, UUD 1945 tertuang jelas bahwa negara harus melindungi dan mengayomi kearifan maupun budaya lokal baik dalam konteks sosial budaya maupun juga politik.


Bias Kepentingan

Sayangnya dalam dinamika kontroversi RUUKY yang seharusnya bisa dijadikan wahana pembelajaran berpolitik dan berdemokrasi bagi rakyat mengalami pergeseran makna. Isu RUUKY terjebak dalam konteks konflik elite-elite politik dan mengabaikan peran maupun hak partisipasi dari rakyat (khususnya masyarakat Yogyakarta) untuk mengurus diri sendiri tanpa harus memisahkan dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Persoalan RUUKY hanya masuk dalam substansi jabatan kekuasaan politik belaka. Melupakan nilai-nilai budaya dan historisitas yang menjadi akar dari demokrasi itu sendiri. Demokrasi yang berarti pemerintahan rakyat bergeser maknanya menjadi pemerintahan elite-elite politik. Pergeseran ini terlihat jelas ketika seolah-olah ada konflik antara Presiden SBY dengan Sri Sultan Hamengkubuwono. Komentar maupun pernyataan yang dikeluarkan oleh dua tokoh nasional ini tidak pernah memberikan pencerahan politik. Karena yang terjadi adalah masing-masing saling merasa paling benar dan paling tahu. Tidak berhenti di situ saja, mundurnya Prabukusumo dari jabatan dan struktur Partai Demokrat menjadi penanda nyata bahwa RUUKY hanya menyulut konflik kepentingan elite-elite politik.

Partai-partai politik yang beroposisi dengan pemerintah, terkait draft RUUKY, menjadikan mainan politik baru untuk menekan pemerintah dan meraih simpati massa. Partai-partai politik yang berseberangan itu tidak ragu-ragu untuk menyerang kebijakan pemerintah tanpa harus memahami bahwa pendidikan dan pencerahan politik sangat penting untuk membangun kedewasaan berdemokrasi bagi rakyat kebanyakan.

Di sisi lain, feodalisme yang selama ini mengungkungi dinamika masyarakat Yogyakarta pun membuat situasi dan kondisi politik menjadi semakin runyam. Bagi masyarakat Yogyakarta, sultan adalah raja yang mempunyai hak istimewa sekaligus pemimpin daerah yang harus dipatuhi secara mutlak. Konsep orang jawa, kedudukan sultan bukan hanya sekedar sebagai simbol pemimpin tapi juga panutan dan imam. Apapun yang dikatakan oleh raja harus dilaksanakan. Ibaratnya, setiap perkataan yang keluar dari sultan adalah sabda pandita ratu. Bagi siapapun yang tidak melaksanakan titah raja niscaya akan mengalami malapetaka.

Bahkan ketika Sri Sultan Hamengkubuwono dianggap melakukan kesalahan atau merugikan rakyat maka rakyat tidak boleh protes. Rakyat harus nrimo ing pandum dan tidak berhak menyalahkan rajanya. Sebagai catatan, pada saat gempa melanda Yogyakrta pada tahun 2006 lalu ternyata pascabencana terjadi korupsi besar-besaran yang melibatkan aparat pemerintahan terutama aparat desa. Jumlah yang dikorupsi mencapai miliaran rupiah. Tapi peristiwa itu ternyata tidak menjadi sebuah persoalan bagi Sri Sultan yang juga menjabat sebagai gubernur. Padahal rakyat yang sedang tertimpa musibah akibat gempa sangat membutuhkan biaya untuk membangun kembali rumah yang hancur.

Selain itu, ketika terjadi penggusuran tanah di kawasan Parang Tritis dan Sepanjang Pantai Kulon Progo, yang notabene merupakan tanah Sultan Ground dan Pakualam ground, tidak ada sikap keberpihakan dari kedua tokoh terkait dengan kepentingan rakyat banyak. Padahal ribuan petani selain harus rela kehilangan hak atas tanah yang selama ini garap, juga harus menelan pil pahit menjadi pengangguran. Gubernur dan wakil gubernur yang seharusnya memberikan solusi atas penggusuran itu ternyata tidak pernah dan terkesan tidak mau tahu. Yang penting investasi masuk dan tumbuh walaupun harus mengorbankan nasib rakyat.


Rembug Rakyat

Kontroversi RUUKY yang menyeret kepada konflik elite politik dan cenderung mengabaikan hak maupun kepentingan masyarakat harus segera diakhiri. Semua pihak harus mau duduk bersama dan berjiwa besar untuk melakukan dialog setara menyangkut keistimewaan Yogyakarta. Pemerintah pusat, pemerintah daerah, Kesultanan Hamengkubuwono dan Paku Alam, para tokoh masyarakat nasional maupun Yogyakarta, para perwakilan masyarakat Yogyakarta dari berbagai wilayah di Yogyakarta, para akademisi/pakar, mau duduk setara melakukan rembug bersama.

Rembug bersama atau rembug rakyat merupakan forum tertinggi menyangkut nasib, status dan masa depan Yogyakarta. RUUKY tidak hanya dilihat dari masa sekarang saja, tapi juga harus melibatkan masa lalu, dan bagaimana menatap masa depan Yogyakarta. Benang merah dari masa lalu, masa sekarang, maupun masa depan, terkait dengan keistimewaan Yogyakarta, tidak lain dan tidak bukan adalah kepentingan rakyat banyak.

Yogyakarta selama ini terkenal sebagai kota pendidikan mau pun kota budaya yang dihuni oleh beragam etnis suku bangsa. Yogyakarta merupakan miniatur dari Indonesia. Keistimewaan Yogyakarta tidak hanya semata pada penetapan atau pemilihan kepala daerah saja. Tapi yang paling hakiki adalah bagimana menjaga roh keberpihakan masyarakat Yogyakarta untuk selalu menjadi bagian dan menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.


* Penulis adalah Ketua Dewan Pengurus Harian Paguyuban Kawula Alit “Mrantasi Gawe“ Yogyakarta, sekaligus Anggota Forum Belajar Bersama Prakarsa Rakyat dari Simpul Jawa Tengah.

** Siapa saja dipersilahkan mengutip, menggandakan, menyebarluaskan sebagian atau seluruh materi yang termuat dalam portal ini selama untuk kajian dan mendukung gerakan rakyat. Untuk keperluan komersial pengguna harus mendapatkan ijin tertulis dari pengelola portal Prakarsa Rakyat. Setiap pengutipan, penggandaan dan penyebarluasan sebagian atau seluruh materi harus mencantumkan sumber (portal Prakarsa Rakyat atau www.prakarsa-rakyat.org).



Oleh: Masdar Farid Mas'udi

ENDORSMENT

“Untuk menghadirkan kancah permainan (playing field) yang fair bagi kemajemukan kepentingan, semua warga harus taat azas pada konsensus dasar, yakni konstitusi. Demokrasi yang benar harus berjalan di atas rel konstitusi, karenanya lazim disebut demokrasi konstitusional. Bagi masyarakat Muslim, kesetiaan terhadap konstitusi memerlukan usaha untuk mengakhiri mentalitas ‘luar pagar’, dengan cara menemukan kesesuaian antara nilai-nilai substantif keislaman dan nilai-nilai dasar konstitusi.
…Orang-orang Islam diharapkan mampu mewujudkan diri dalam sikap hidup kebangsaan yang tidak lagi melihat kesenjangan antara keislaman dan keindonesiaan. Sebagai pendukung dan sumber utama nilai-nilai keindonesiaan, Islam semakin diharapkan tampil dengan tawaran kultural yang produktif dan konstruktif, khususnya dalam pengisian nilai-nilai keindonesaan dalam kerangka Pancasila dan UUD 1945.
Dalam semangat itulah kami melakukan syarah terhadap UUD 1945 menurut perspektif nilai dan ajaran keislaman. Dengan syarah ini ditunjukkan bahwa nilai dan aturan dasar konstitusi tidaklah bertentangan, sebaliknya justru sejalan dengan substansi nilai keislaman. Oleh sebab itu, tantangannya bukanlah bagaimana memperjuangkan formalisasi negara Islam, melainkan bagaimana merealisasikan nilai dan aturan konstitusi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara secara adil, jujur, dan konsekuen.”
—Masdar Farid Mas’udi, dalam Prakata

“Sangat menarik! Buku ini memberikan rujukan dalil-dalil naqliyyah untuk hampir semua ketentu­an di dalam UUD 1945. Dari buku ini, kita dapat menyimpulkan bahwa kandungan konstitusi kita adalah Islami. Ini berarti, Indonesia dengan dasar Pancasila dan UUD 1945 adalah negara yang Islami, tapi bukan negara Islam. Negara Islami secara resmi tidak menggunakan nama dan simbol Islam, tapi substansinya mengandung nilai-nilai Islam….”
—Prof. Dr. Moh. Mahfud MD, SH, Ketua Mahkamah Konstitusi RI 2008-2011

“Pemahaman dan pengertian umat beragama terhadap isi Undang-Undang Dasar sangatlah penting untuk mengutuhkan kepribadian setiap warga negara sebagai warga bangsa yang religius. Dalam kehidupan sehari-hari, tak boleh ada pertentangan ataupun usaha mempertentangkan keyakinan keagamaan dengan keterikatan pada hukum negara yang sah dan konstitusional. Karena itu, sangat tepat apabila UUD 1945 dapat dimasyarakatkan di kalangan umat beragama dengan menggunakan bahasa agama yang mereka yakini.”
—Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH, Ketua Mahkamah Konstitusi RI 2003–2008

”Ada kebutuhan mutlak bagaimana nilai-nilai dasar dan konsep-konsep utama dalam UUD 1945 bisa diterima sepenuh hati oleh umat Islam. Hanya dengan cara ini umat Islam akan bersedia memikul tanggung jawab kebangsaan dan kebernegaraannya dengan sepenuh hati.... Buku ini sangat penting untuk meretas benang keraguan dan sikap setengah hati umat Islam yang di sana-sini masih kerap muncul dalam hidup berbangsa dan bernegara.”
—KH MA Sahal Mahfudh, Rais Am PBNU dan Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia

Lembaga Kajian Islam dan Perdamaian (LaKIP) adalah lembaga nirlaba yang peduli dalam menyebarkan benih keislaman yang damai dan ramah di tengah maraknya aksi kekerasan dalam beragam bentuk dan pelembagaan. Melalui serangkaian program dan kegiatannya, LaKIP memberikan solusi serta alternatif pemikiran, gagasan dan konsep bagi penanganan isu-isu terorisme dan deradikalisasi di tingkat masyarakat; memfasilitasi masalah-masalah terkait isu terorisme dan deradikalisasi melalui pelatihan, advokasi dan pendampingan program di tingkat masyarakat; serta melakukan riset, survei, dan publikasi di bidang terorisme dan deradikalisasi dengan pendekatan yang rahmah dan ramah.


[TENTANG PENULIS]

Masdar Farid Mas’udi lahir pada 1954 di Purwokerto. Ia belajar agama Islam dari Kyai Chudlori (alm.) di Pesantren Tegalrejo, Magelang (1966-1968), Kyai Ali Maksoem (alm.) di Pesantren Krapyak, Yogyakarta (1968-1974), dan di Fakultas Syariah IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta (1972-1979). Ia juga belajar filsafat pada Program Pascasarjana UI (1994-1996).

Di lingkungan kaum Nahdliyin, Kyai Masdar termasuk sosok berpengaruh. Ia pernah menjabat Wakil Ketua Tim Asistensi Pemikiran Keagamaan untuk Rais Am dan Ketua Umum PBNU (1984-1994), Katib I Syuriah PBNU (1999-2004), Pelaksana Harian Ketua Umum PBNU (2004), dan Ketua PBNU (2005-2010). Setelah Muktamar ke-32 PBNU, kini ia dipercaya menjabat Rais Syuriah PBNU (2010-2015).

Kiprahnya di dunia profesional tak kalah hebat. Berbagai posisi penting pun ia jabat, antara lain anggota Komisi Ombudsman Nasional (2001-2009), anggota Komisi Ombudsman Harian KOMPAS (2000-2004), anggota Dewan Etik ICW (2004-2009), Direktur P3M (2000-2009), anggota Panel-45 Presiden RI untuk Sidang Umum PBB 2005, dan anggota Delegasi Indonesia untuk Konferensi PBB tentang HAM di Jenewa (Maret, 2008).

Pemikiran Kyai Masdar termaktub dalam sejumlah buku, yakni Agama Keadilan: Risalah Zakat [Pajak] dalam Islam (1993) serta Islam dan Hak-Hak Reproduksi Perempuan (1997). Selain itu, ia kerap pula menuangkan gagasannya dalam banyak artikel di berbagai koran dan majalah serta makalah untuk beragam seminar di dalam negeri maupun di luar negeri.

[DATA BUKU]
Judul: Syarah Konstitusi: UUD 1945 dalam Perspektif Islam
Penulis: Masdar Farid Mas’udi
Editor: Aisyah
Genre: Hukum
Cetakan: I, November 2010
Ukuran: 13 x 20 cm (plus flap 8 cm)
Tebal: 232 halaman
ISBN: 978-979-3064-93-2
Harga: Rp. 49.900,-

Ingin tahu buku-buku terbaru dari Pustaka Alvabet?
Coba klik disini ® http://www.facebook.com/pages/Pustaka-Alvabet/84729357872?ref=ts
=============================
PT Pustaka Alvabet (Penerbit)
Jl. SMA 14 No. 10, Cawang, Kramat Jati,
Jakarta Timur, Indonesia 13610
Telp. +62 21 8006458
Fax.  +62 21 8006458

 
Date Released: 8 September 2010
Quality: BDRip
Info: imdb.com/title/tt1612768
Starring: Doni Alamsyah, Ario Bayu and Atiqah Hasiholan
Genre: War
----------------------------------


R E S E N S I [Indonesian]

DARAH GARUDA adalah film ke 2 dari sebuah trilogy MERAH PUTIH. Film ini merupakan fiksi sejarah yang mengambil perang gerilya di tahun 1947 sebagai inspirasi.

Epik penuh dengan action yang tegang dan dipotret dengan brilian oleh aktor-aktor berbakat papan atas Indonesia, film DARAH GARUDA menceritakan pengalaman tersebut.

Walaupun memiliki latar belakang yang berbeda dan kadang ada konflik yang menajam karena perbedaan dalam hal kepribadian, kelas sosial dan agama keempat lelaki muda itu mampu bersatu melawan Belanda. Mereka dipersatukan oleh rasa kebangsaan dan patriotisme. Dengan berani mereka melancarkan sebuah serangan terhadap kamp tawanan milik Belanda, dan berhasil sekaligus menyelamatkan para perempuan yang mereka cintai.

Pada suatu saat, para kadet ini memperoleh sebuah tugas yang sangat rahasia. Melakukan serangan gaya komando di daerah Jawa Barat, menggempur sebuah lapangan udara vital untuk melawan kezaliman yang telah dilakukan Jendral Van Mook pada Agustus 1947. Ketika sedang berada didalam hutan, mereka bertemu dengan kelompok lain yang ternyata adalah kelompok separatis. Kelompok ini dapat menjadi sekutu baru para kadet tetapi juga berpotensi diantara mereka ada pengkhianat karena menjadi mata-mata kolonial Belanda.

Terkepung, baik oleh musuh dari luar maupun dari dalam, para pejuang harus bersatu dan saling percaya karena mereka berjuang demi satu tujuan: Kemerdekaan Indonesia.
downloadLink 1 via FileServe [334MB-mkv] (join dengan hj-split):
MerahPutihII_Part01 | MerahPutihII_Part02
 downloadLink 2 via MediaFire [334MB-mkv] (join dengan hj-split):
MerahPutihII_Part01 | MerahPutihII_Part02
 PASSWORD For Open Mediafire Link : thehack3r.com
Keterangan:
(join dengan hj-split LALU extract dengan WinRar)
Jika Play Dgn GOM / K-Lite Codec With MPC tidak bisa, Coba Play Dengan Real Player
Sumber: thehack3r
 

Oleh : Muhammad Djali *

Grasi adalah salah satu hak presiden di ranah yudikatif yang dapat memberikan pengurangan hukuman, pengampunan, atau bahkan pembebasan hukuman sama sekali. Sedangkan remisi adalah pengurangan masa hukuman yang didasarkan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Dengan landasan inilah, hampir 300 lebih narapidana kasus korupsi pernah mendapat grasi dan remisi dari pemerintah.

Langkah pemerintah ini menuai kritik banyak pihak. Keputusan pengurangan masa pidana penjara itu bahkan diartikan bahwa pemerintah lebih berpihak pada koruptor dibanding memberi rasa keadilan hukum. Karena grasi dan remisi yang diberikan kepada narapidana tindak pidana korupsi menjadi hadiah dari pemerintah yang tidak memberikan efek jera bagi pelaku korupsi.

Grasi yang diterima mantan Bupati Kartanegara Syaukani Hassan Rais dikatakan sebagai pengecualian karena yang bersangkutan sakit. Semestinya hal ini tidak dilakukan karena apapun alasannya kasus korupsi merupakan kejahatan melawan kemanusiaan. Sedangkan sakitnya ini tidak boleh menjadi alasan negara memaafkan. Kalau alasan kemanusiaan, negara bisa merawat di rumah sakit tertentu dengan jaminan pelayanan yang layak.

Kebijakan ini memang terasa diskriminatif bagi narapidana lain. Kalau alasan kemanusiaan semestinya pemerintah juga memberi grasi kepada narapidana yang sakit tak tersembuhkan. Setahu saya, sampai saat ini pemerintah belum pernah memberikan grasi terhadap narapidana karena terinfeksi HIV/AIDS. Padahal HIV/AIDS merupakan salah satu faktor penyebab angka kematian di penjara.

Bagaimana dengan remisi? Remisi antara lain diberikan pada Aulia Pohan, besan Presiden SBY. Koruptor lainnya seperti Artalyta Suryani, Al Amin Nasution, dan Widjanarko Puspoyo juga mendapat pengurangan hukuman. Sangat terasa jika Presiden SBY tidak memiliki komitmen dengan aksi pemberantasan korupsi yang telah berulang-ulang disampaikan dalam pidatonya. Justru para pelaku korupsi dapat menggunakan alasan apapun untuk lepas dari tuntutan hukuman.

Banyak celah yang disediakan oleh pemerintah untuk kasus korupsi. Sehingga pemberian remisi dan grasi bagi koruptor merupakan wujud ketidakseriusan pemerintah dalam pemberantasan korupsi. Dalam hal ini, Presiden SBY dianggap bermain-main dengan janjinya sendiri soal komitmen pemberantasan korupsi, padahal isu ini menjadi salah satu jualan politiknya saat kampanye Pilpres yang lalu. Pemberian grasi dan remisi terhadap para koruptor, juga dianggap melukai hati rakyat yang menginginkan penegakan hukum seadil-adilnya.


Opera Show Korupsi

Memang ada celah dalam perundang-undangan kita, sehingga pemerintah bisa memberikan grasi dan remisi ke siapapun. Sehingga, payung hukum pemberian ampunan (grasi) dan pengurangan hukuman (remisi) perlu dievaluasi ulang. Salah satunya harus memuat pencabutan pemberian remisi dan grasi bagi terpidana kasus korupsi. Sebab, pemberian grasi dan remisi pada koruptor tidak memenuhi rasa keadilan bagi masyarakat.

Namun, jika undang-undang masih mengatur dan belum dicabut semestinya pemerintah bisa berpandangan lebih luas dalam menyikapi korupsi tanpa melanggar undang-undang. Kebijakan pemerintah tersebut justru berangkat dari cara pandang koruptor sebagai terpidana (yang selalu mohon ampun), bukan berangkat dari rakyat secara luas sebagai korban praktek korupsi (yang ingin koruptor jera). Justru kita melihat kualitas Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Patrialis Akbar yang tidak menunjukkan rasa keberpihakannya kepada proses pemberantasan korupsi dalam remisi narapidana korupsi ini.

Sejak awal, pemerintah seharusnya melakukan tindakan represif bagi para koruptor. Grasi dan remisi hanya akan membuat para pencuri uang rakyat tersebut tidak kapok. Hukuman-hukuman bagi koruptor harus ditingkatkan, hingga penerapan sanksi sosial. Misalnya pelaku koruptor harus dimiskinkan, hukuman akumulatif seperti pidana maupun perdata, narapidana koruptor tidak boleh lagi menjabat sebagai pejabat publik. Kita perlu mencontoh di negeri Thailand, di negeri gajah tersebut, koruptor dihukum sekeras-kerasnya dan tidak diperkenankan menduduki jabatan publik selama lima tahun setelah bebas.

Upaya- uapaya ini semestinya dilakukan oleh pemerintah kita. Saat ini wajah korupsi di Indonesia seperti opera show dalam penanganannya. Misalnya kasus kekerasan terhadap aktivis ICW yang melaporkan indikasi korupsi. Presiden sendiri yang turun tangan menjenguk dan memberikan pernyataan keras terhadap kekerasan dan korupsi. Namun, hingga saat ini kasus tersebut tidak ada baunya. Hal yang sama terhadap kriminalisasi KPK sebagai lembaga antibodi yang menjadi mandat konstitusi. Hingga sekarang presiden tidak mengambil sikap tegas atas kejanggalan-kejanggalan yang terjadi bahkan dilakukan oleh Kejagung dan Kapolri dalam persoalan rekaman Ari-Ade. Pemerintah nampaknya masih tidak bisa keluar dari opera show korupsi.


Daur Korupsi dan Upaya Melawan

Maka, Indonesia seperti menjadi negara subur korupsi dan aman bagi pelakunya. Selain karena tuntutannya yang ringan, setelah di penjara bisa menikmati fasilitas yang berbeda sesuai keinginan kita. Jika mau, kita bisa mengajukan grasi atau pengampunan dan juga remisi atau pengurangan. Setelah itu, kita bisa menjadi pejabat publik kembali tanpa ada sanksi apapun dari masyarakat dan negara. Dan tentu saja bisa korupsi kembali. Daur korupsi ini menujukkan jika memang kita lemah dalam persoalan pemberantasan dan pencegahan korupsi.

Melihat situasi ini, penting kiranya kita melakukan berbagai langkah aksi. Pertama, mendorong sanksi sosial yang lebih efektif untuk membuat efek jera. Konsep ini perlu didorong dan dikampanyekan dengan berangkat dari pengalaman negara-negara lain yang sukses dalam memberantas korupsi, misalnya pemiskinan koruptor, kerja sosial bagi koruptor, pelaku korupsi dilarang menjadi pejabat publik. Kedua, mengawasi dan mengontrol institusi kejaksaan dan kepolisian agar serius dalam menangani kasus-kasus korupsi. Ketiga, kampanye hukuman sosial bagi pelaku koruptor, misalnya tidak mensholatkan jika mati, tidak mengajak berkomunikasi.

Berbagai aksi ini harus dilakukan untuk membantu pemerintah yang tidak lagi memilki komitmen kuat dalam pemberantasan korupsi. Kelompok masyarakat sipil dari ormas, akademisi, organisasi komunitas, dan aktor-aktor di luar negara lainnya harus bergerak dan peduli terhadap isu korupsi ini. Praktek ”koruptornya terus diburu tapi juga terus dimaafkan” seperti saat ini harus dihentikan.


* Penulis adalah Program Manajer PUNDEN Nganjuk, sekaligus Anggota Forum Belajar Bersama Prakarsa Rakyat dari Simpul Jombang-Jawa Timur.

** Siapa saja dipersilahkan mengutip, menggandakan, menyebarluaskan sebagian atau seluruh materi yang termuat dalam portal ini selama untuk kajian dan mendukung gerakan rakyat. Untuk keperluan komersial pengguna harus mendapatkan ijin tertulis dari pengelola portal Prakarsa Rakyat. Setiap pengutipan, penggandaan dan penyebarluasan sebagian atau seluruh materi harus mencantumkan sumber (portal Prakarsa Rakyat atau www.prakarsa-rakyat.org).

Oleh : Ign Mahendra K*

Teknik interogasi diperbaiki (enhanced interrogation techniques) diadopsi oleh Pemerintahan George W Bush di Amerika Serikat untuk menggambarkan metode interogasi yang digunakan oleh intelijen militer AS dan Central Intelligence Agency (CIA) untuk mengambil informasi dari individu yang ditangkap dalam War on Terror segera setelah kejadian 11 September 2001.

Sementara pemerintahan Inggris menyatakan bahwa beberapa teknik tersebut dapat diklasifikasikan sebagai penyiksaan di bawah hukum Eropa. Penggunaan istilah “enhanced interrogation” itu sendiri, pertama kali muncul pada memo tahun 1937 oleh Kepala Gestapo Heinrich Muller. Istilah tersebut untuk menggambarkan penggunaan suhu dingin yang ekstrim, perampasan tidur, pemukulan berulang-ulang, sel yang dingin, waterboarding dan sengaja membuat lelah di antara berbagai teknik interogasi lainnya.

Menurut pengungkapan dari mantan maupun agen-agen aktif CIA salah satu teknik yang paling efektif adalah menempatkan subyek dalam posisi stres. Posisi stres adalah menempatkan tubuh manusia dengan cara tertentu sehingga sejumlah besar beban ditempatkan hanya pada satu atau dua otot. Salah satu bagian dari teknik posisi stres yang paling efektif adalah berdiri dalam jangka waktu yang lama.

Dalam cara tersebut subyek dipaksa untuk berdiri, diborgol dan kaki mereka dibelenggu di lantai selama lebih dari 40 jam. Teknik tersebut menghasilkan rasa sakit luar biasa, pergelangan kaki membesar, kulit menjadi “tegang dan sangat menyakitkan,” melepuh dan mengeluarkan cairan bening, detak jantung meningkat tinggi, ginjal berhenti bekerja dan khayalan semakin dalam.

Apa yang digambarkan di atas serupa dengan apa yang saya alami dengan kawan saya pada tanggal 14 November 2010. Keterpaksaan memaksa kami memasuki ruangan tersebut. Kapasitas ruangan tersebut seharusnya sekitar 100 orang namun diisi oleh lebih dari 150-an orang. Bahkan ada yang duduk dan tiduran di lantai, kamar mandi sempit pun sesak dengan orang-orang. Beberapa yang beruntung bisa menggunakan koran sebagai alas untuk melawan dinginnya lantai besi ruangan tersebut.

Sejak pertama kali masuk kami tidak mendapatkan tempat sama sekali untuk bergerak. Kami terpaksa harus berdiri di antara kerumunan sesak orang. Selama lebih dari 12 jam kami harus berdiri sering di atas tumit kaki kami. Pada beberapa jam pertama saya masih kuat untuk berdiri di kedua kaki saya, namun setelah itu sakitnya tidak tertahankan lagi. Saya mencoba mengistirahatkan satu kaki saya sementara menggunakan yang satunya untuk berdiri, namun teknik itu juga tidak bertahan lama.

Di tengah kesesakan dan kelelahan terpaksa mencari cara untuk mencoba menggeser posisi orang lain atau meminta orang lain untuk bergantian berdiri. Sehingga setidaknya dapat sekejap duduk atau bahkan jika beruntung (sayangnya saya tidak seberuntung itu) dapat berbaring.

Kamar mandi sama sekali tidak dapat kami gunakan. Satu-satunya waktu dimana kami bisa membuang hajat adalah ketika kami dapat keluar dari ruangan tersebut. Namun ternyata ketika kami dapat keluar dari ruangan tersebut ada ratusan orang yang juga bertujuan sama dengan kami. Kamar mandi yang adapun tidak cukup menampung ratusan orang tersebut. Orang kemudian menggunakan sembarang tempat yang ada, bahkan tempat terbuka.

Dengan begini maka mereka yang paling menderita adalah kaum perempuan. Karena mereka yang mengalami kesulitan dengan norma-norma masyarakat yang berlaku. Semua itu harus dilakukan dengan cepat karena dengan ratusan orang, waktu dan ruang menjadi sangat terbatas. Jika kita terlambat maka ruang tersebut akan hilang meninggalkan kita. Jika begitu maka masalah baru akan kita hadapi, dan nyatanya seorang perempuan mengalami hal tersebut di akhir perjalanan kami.

Pada akhir perjalanan, tidak berarti penderitaan kami berakhir. Ya, karena ketidakmampuan PT Kereta Api Indonesia maka walaupun tujuan kami adalah ke Yogyakarta kami terpaksa turun di Solo. Kami membeli tiket kereta ekonomi Gaya Baru dari stasiun Jatibarang dengan tujuan Lempuyangan, Yogyakarta. Namun ketika kereta tersebut datang, kondisinya begitu penuh sesak sehingga banyak penumpang yang tidak dapat naik ke dalam kereta.

Maka kami dipaksa untuk memilih menunggu kereta ekonomi Gaya Baru berikutnya, yaitu pada keesokan hari atau menggunakan kereta ekonomi berikut yang akan datang. Kereta ekonomi berikut yang dijadwalkan datang adalah Kereta Matarmaja. Kereta yang melewati jalur utara dan stasiun pemberhentian terdekat dengan tujuan kami adalah Stasiun Solo Jebres. Ketika kami bertanya pada kepala stasiun Jatibarang bagaimana kami bisa melanjutkan perjalanan dari Solo ke Yogyakarta dia hanya berpaling dan mengatakan nanti coba tanya Kepala Stasiun Solo Jebres atau tunggu saja besok untuk naik kereta Gaya Baru.

Dengan menggunakan Kereta Gaya Baru seharusnya tiba di Lempuyangan pada pukul 21:31. Namun Kereta Matarmaja baru akan tiba di Solo Jebres pada pukul 00: 26, itu yang seharusnya terjadi menurut jadwal yang dikeluarkan oleh PT KAI. Namun nyatanya kami tiba di Solo Jebres sekitar pukul 2 dini hari. Setelah sepanjang perjalanan kami berdiri, dengan segala kelelahan, kepenatan dan keterbatasan kami pun harus melanjutkan perjalanan ke Yogyakarta.

Penderitaan yang dialami oleh rakyat pengguna kereta api ekonomi bukanlah satu kebetulan semata. Ini sudah menjadi pola yang berulang-ulang. Penumpang yang sering menggunakan jasa kereta ekonomi mengetahui di stasiun mana mereka sebaiknya turun untuk pergi ke kamar mandi. Demikian juga para penjual makanan di stasiun-stasiun tertentu telah menunggu persis di samping rel dan mengajak para penumpang kereta api untuk turun dan makan. Karena hanya di stasiun-stasiun tersebutlah kereta ekonomi akan berhenti cukup lama. Sehingga memungkinkan penumpang untuk ke kamar mandi ataupun mendapatkan makanan hangat.

Semua “pelayanan” (penyiksaan) tersebut bertolak belakang dengan besarnya gaji yang diterima oleh direksi PT KAI. Rata-rata direksi BUMN mengantongi take home pay di atas Rp 100 juta per bulan. Para direktur BUMN tersebut juga mendapatkan berbagai fasilitas seperti asuransi, fasilitas mobil mewah, bahan bakar dan sopir pribadi, hingga pulsa, telepon rumah, kartu kredit unlimited hingga gaji pembantu semua ditanggung oleh Negara.

Saya teringat kelakar kawan saya dalam perjalanan tersebut, dia mengatakan bahwa Indonesia adalah negara modal bukan negara demokrasi. Buktinya kereta api ekonomi dengan penumpang yang jauh lebih banyak dari kereta api eksekutif diharuskan mengalah agar kereta api eksekutif dapat melaju lebih dahulu. Kalau ini demokrasi maka suara penumpang kereta api ekonomi jauh lebih banyak dari suara penumbang eksekutif. Tapi karena penumpang kereta api eksekutif membayar lebih banyak maka kekuatan modal mereka yang menang mengalahkan demokrasi.

Modal adalah sesuatu yang aneh, menjijikkan dan mungkin juga lucu. Semakin besar modalmu semakin kita didorong untuk mengakumulasikannya lebih banyak. Semakin besar modalmu juga maka semakin besar aksesmu kepada kenikmatan duniawi di tengah masyarakat kapitalis ini. Modal juga bisa memberimu akses kepada kekuatan politik yang besar. Tanpa modal yang cukup maka kau akan menjadi seperti tahanan War on Terror yang dipaksa masuk ke ruang penyiksaan (kereta api ekonomi).

Perspektif modal tidak mengenal belas kasihan, rasa kemanusiaan dan modal pasti bertentangan dengan perspektif kerakyatan. Kekayaan alam yang demikian besar ditambah sumber daya manusia yang dimiliki oleh bangsa ini nyatanya tidak berujung pada kesejahteraan dan kemajuan bangsa. Puluhan juta rakyat masih hidup di bawah garis kemiskinan, puluhan juta buruh mendapatkan upah yang jauh dari layak, jutaan pemuda menganggur dan tidak dapat sekolah.

Mungkin fit and proper test untuk pimpinan PT KAI bisa dilakukan dengan melihat kemampuan mereka bertahan di dalam kereta ekonomi dari Jakarta ke Surabaya. Yang paling jauh bertahan, berdiri, berdesak-desakan, tidak ke kamar mandi berjam-jam itulah yang paling cocok menjadi pimpinan PT KAI. Sehingga mereka memahami bagaimana penderitaan rakyat kecil menggunakan kereta api ekonomi dan memahami layanan yang harus diberikan oleh PT KAI.

Pun itu saja tidak akan cukup. Kita tetap harus berpikir bagaimana membangun sistem yang memungkinkan sumber daya, kekayaan bangsa ini dapat digunakan untuk kesejahteraan dan kemajuan rakyat. Termasuk salah satunya adalah menyediakan saranan transportasi yang layak, nyaman, aman, murah untuk rakyat.


* Penulis adalah Pengurus Perhimpunan Rakyat Pekerja, sekaligus Anggota Forum Belajar Bersama Prakarsa Rakyat dari Simpul Jabodetabek.

** Siapa saja dipersilahkan mengutip, menggandakan, menyebarluaskan sebagian atau seluruh materi yang termuat dalam portal ini selama untuk kajian dan mendukung gerakan rakyat. Untuk keperluan komersial pengguna harus mendapatkan ijin tertulis dari pengelola portal Prakarsa Rakyat. Setiap pengutipan, penggandaan dan penyebarluasan sebagian atau seluruh materi harus mencantumkan sumber (portal Prakarsa Rakyat atau www.prakarsa-rakyat.org).

Sumber: PrakarsaRakyat

Oleh : Edy Musyadad*

Kepolisian Republik Indonesia beberapa bulan yang lalu mendapat bantuan senilai 3,6 juta dollar Australia dari Kepolisian Federal Australia atau AFP terkait penanganan penyelundupan manusia pencari suaka yang melintasi wilayah Indonesia sebelum ke Australia. Bantuan itu tidak diberikan secara cuma-cuma. Australia berharap dengan bantuan ini jangan ada lagi penyelundupan yang masuk ke Australia, baik melalui Indonesia maupun langsung ke Australia sebagai negara tujuan.

Harapan ini jauh-jauh hari sudah diamini oleh presiden kita di awal tahun 2010. Presiden SBY mendapat sambutan berupa standing ovation dari anggota Parlemen Australia ketika pidato di hadapan anggota parlemen. Dalam pidato itu, Presiden berjanji untuk memenjarakan para penyelundup manusia perahu lebih dari lima tahun.

Fakta ini menjadikan kita turut prihatin dan juga risih. Bagaimana kepolisian kita dikontrol oleh pihak asing. Dikontrol dalam bahasa halusnya diberi dana untuk melakukan sesuatu yang dikehendaki pihak luar (Australia). Artinya kepolisian kita menjadi agen pihak lain. Kasus ini menjadi runyam jika kita telusuri lebih dalam, berkaitan tentang hubungan Australia dan Indonesia dalam masalah imigran gelap dan peran polisi.

Persoalan imigran gelap bagi Indonesia seperti keranjang sampah. Karena para imigran itu tujuannya adalah Australia, bukan Indonesia. Tapi yang menghadapi masalahnya selalu saja pihak pemerintah Indonesia. Hampir setiap tahun di Indonesia selalu ada imigran gelap yang kebanyakan berasal dari Pakistan dan Afghanistan. Selama bulan April sampai Juni 2009, tercatat ada 500 imigran gelap yang transit di Indonesia dan Juli sebanyak 126 orang.

Fenomena sampah manusia ini akan semakin besar karena pihak pemerintah Australia sudah memutuskan tidak lagi membuka peluang suaka politik bagi warga negara lain. Yang artinya, para imigran tersebut mau tidak mau ”terdampar” di Indonesia karena Australia tidak lagi membuka peluang suaka politik.

Inilah yang menjadi persoalan bagi Indonesia. Persoalan imigran gelap semestinya menjadi hubungan yang saling menguntungkan antara Indonesia dan Australia, tidak seperti sekarang dimana Kepolisian kita yang dibebani dengan persoalan imigran ini.

Bahwa kasus imigran gelap bukan persoalan angka semata, dampak dari persoalan imigran akan sangat luas. Bagi pemerintah Indonesia, kita dituntut untuk memberikan penampungan yang layak dan menjamin hak-hak mereka, karena kalau tidak, Indonesia akan mendapat sorotan buruk di mata dunia internasional.

Namun, nampaknya Australia tidak ingin ambil resiko berhadapan dengan dunia internasional. Sehingga memilih mencegah imigran ilegal dengan pemberian dana ke Indonesia sekitar Rp 27,7 miliar. Dana itu akan digunakan untuk operasional Badan Reserse Kriminal serta Badan Pembinaan dan Keamanan, khususnya polisi laut yang menangani masalah ini. Selain itu, dana akan digunakan untuk merenovasi tempat-tempat penampungan para pencari suaka yang tertangkap.

Gelontoran dana dari Australia ini merupakan bentuk kekalahan diplomasi kita. Gelontoran dana sama artinya yang memberi lebih mampu dan yang menerima membutuhkan bantuan. Masalahnya, siapa yang berhak mendefinisikan siapa yang membutuhkan masalah imigran gelap ini selesai.

Dalam persoalan imigran, Australia sebagai negara tujuan sangat berkepentingan agar dinilai bersih dari pelanggaran HAM. Sehingga Indonesia sebagai negara kunci di wilayah pasifik, dipasang sebagai penghalau imigran gelap tersebut agar jangan sampai masuk ke Australia.

Persoalan imigran gelap tersebut membuat posisi kepolisian semakin sulit. Di satu sisi kepolisian kita sedang gencar-gencarnya menjalankan reformasi agar menjadi kepolisian yang bertugas menjaga ketertiban umum dan tunduk kepada kontrol demokrasi. Namun, di lain sisi, reformasi itu justru didorong-dorong untuk “mendukung” kepentingan asing.

Kepolisian diarahkan menjadi penjaga kepentingan pihak luar bukan memberikan pelayanan, tanggap dalam merespon ancaman, serta responsif dalam memahami kebutuhan masyarakat. Kepolisian kita diperkuat tetapi untuk sebuah tujuan menyelesaikan masalah yang dipesan pihak luar. Apakah dengan begitu kepolisian kita mulai diborgol oleh pihak asing?

Di tengah realitas kepolisian yang sedang dibelit dengan berbagai persoalan yang membuat posisi kepolisian lemah, maka kita sebagai organisasi sipil patut mendorong dan memperkuat kepolisian kita dengan mendorong polisi agar independen dalam menjalankan tugas dan menjauhkan diri dari pengaruh politik.

Jangan sampai posisi kepolisian yang lemah saat ini justru diambil alih oleh pihak asing dengan memperkuat kepolisian menjadi agen kepentingan global. Karena polisi adalah alat negara yang sesuai konstitusi sebagai penjaga ketertiban dan kenyamanan rakyat, bukan kenyamanan pihak asing. Dengan demikian arah reformasi kepolisian semakin dekat dengan yang kita impikan sebagai polisi sipil yang kuat dan bertanggungjawab atas setiap tindakan yang diambil serta menghormati hak asasi manusia.


* Penulis adalah Penulis adalah alumnus Workshop dan Pelatihan Advokasi Reformasi Sektor Keamanan Untuk Ahli Sipil, sekaligus Anggota Forum Belajar Bersama Prakarsa Rakyat dari Simpul Jombang-Jawa Timur.

** Siapa saja dipersilahkan mengutip, menggandakan, menyebarluaskan sebagian atau seluruh materi yang termuat dalam portal ini selama untuk kajian dan mendukung gerakan rakyat. Untuk keperluan komersial pengguna harus mendapatkan ijin tertulis dari pengelola portal Prakarsa Rakyat. Setiap pengutipan, penggandaan dan penyebarluasan sebagian atau seluruh materi harus mencantumkan sumber (portal Prakarsa Rakyat atau www.prakarsa-rakyat.org).

Oleh : Hadi Purnomo*

Derita buruh migran memang seakan-akan tidak pernah ada habisnya. Kasus penyiksaan dan pembunuhan terhadap pahlawan devisa Sumiati dan Kikim di Arab Saudi membuat reaksi beragam di dalam negeri. Berbagai kecaman datang ditujukan ke Pemerintah Arab Saudi yang dianggap memperlakukan buruh migran ini layaknya budak.

Berbagai kritik dan aksi protes digelar untuk mengecam tindakan tersebut dan lemahnya pemerintah Indonesia dalam melindungi bangsanya sendiri. Atas peristiwa itu kedaulatan negara dan harga diri sebagai bangsa Indonesia dipertanyakan. Isu tentang nasionalisme dan kebanggaan atas Indonesia mencuat kembali ke permukaan seolah-olah menutup kekecewaan rakyat terhadap kemiskinan dan penindasan terhadap buruh yang terjadi selama ini. Isu ini seakan untuk melupakan bahwa selama ini ternyata di dalam negeripun rakyat setiap hari dilecehkan oleh penguasanya sendiri.

Isu tentang nasionalisme memang dengan mudah dihembuskan oleh para elite borjuasi karena memang dalam sejarahnya republik ini diproklamirkan dengan semangat nasionalisme melawan Neo Kolonialisme dan Imperialisme (Nekolim) Belanda. Sayang kondisi itu kini dimanipulasi hingga rakyat pekerja tidak mampu lagi mengenali mana perspektif nasionalisme ala rakyat pekerja yang sebenarnya. Segala keributan dan sentimen nasionalisme yang dikobarkan oleh para elite politik belum tentu membuktikan kalau mereka sungguh-sungguh memiliki semangat kebangsaan yang sejati dan konsisten.

Dalam pidato lahirnya Pancasila 1 Juni 1945, Bung Karno menegaskan bahwa, “Nasionalisme bangsa Indonesia bukanlah nasionalisme yang sempit melainkan nasionalisme yang terbuka dan tumbuh subur dalam taman sari internasionalisme.” Sikap ini menegaskan sikap para pendiri bangsa akan perlunya persatuan internasional untuk melawan segala bentuk penjajahan seperti yang tertulis dalam pembukaan UUD 1945.

Pertanyaannya apakah benar sekarang bangsa ini telah terlepas dari penjajahan? Jangan-jangan justru ketika kita asyik menghujat Pemerintah Arab saudi, justru di dalam negeri harga diri dan harta kekayaan hasil perjuangan antinekolim, dirampok di depan mata kita. Privatisasi dengan penjualan aset-aset hasil perjuangan para pendahulu kita, telah terjadi atas nama investasi.

Privatisasi juga disertai eksploitasi kekayaan alam dan politik upah murah dengan standar Labour Market Flexibility (pasar buruh/pekerja yang lentur). Pemerintah mengkondisikan semua ini sebagai sesuatu yang wajar sehingga tidak membuat kita tergerak untuk mempertahankannya. Padahal demikianlah praktek neoliberalisme (penjajahan bentuk baru) yang nyata-nyata telah menghisap rakyat pekerja dan memiskinkan negeri yang kaya-raya ini.

Dalam prakteknya, rakyat pekerja seringkali didominasi oleh pemahaman tentang nasionalisme yang sempit dengan tujuan melindungi “pekerjaan mereka” berhadapan dengan “saingan“ rakyat pekerja lainnya. Kita bisa melihat sikap sektarian bernuansa politik ketenagakerjaan yang mencuat dalam berbagai sentimen anti imigran asing.

Kondisi ini juga terjadi pada tahun 1948 ketika terbangun sentimen anti- Irlandia yang dianut oleh buruh-buruh Inggris dengan kepentingan untuk menolak kehadiran mereka karena Buruh Irlandia bersedia bekerja dengan upah yang lebih murah.

Tidakkah kondisi itu masih berlaku sampai sekarang? Banyak terbentuk ormas (organisasi kemasyarakatan) yang berbasis rakyat pekerja, namun prakteknya justru terkooptasi oleh elite borjuasi yang menonjolkan identitas sektarianismenya. Akibatnya adalah muncul perjuangan menuntut kesejahteraan dari proses pembangunan di daerahnya saja tanpa memperjuangkan sistem ekonomi-politik yang lebih adil dan berpihak bagi kepentingan rakyat pekerja.

Oleh karena itu, rakyat pekerja harus membangun kesadaran nasionalismenya sendiri sehingga siap bertarung dengan perspektif nasionalisme ala elit borjuasi yang semu. Cita-cita sejati gerakan buruh adalah persatuan internasional kelas pekerja. Karena sejatinya, penindasan dan penghisapan bukan hanya terjadi dalam satu wilayah negara, melainkan di semua belahan dunia ini.

Praktek neoliberalismelah yang mengendalikan akumulasi modal dan persaingan antara borjuasi-borjuasi lokal yang kerap kali menyeret pemahaman rakyat pekerja terhadap isu-isu sektarian. Praktek ini menyebabkan rakyat pekerja melupakan pertarungan sesungguhnya yang terjadi karena penghisapan kapitalisme.

Lantas bagaimana sikap rakyat pekerja berhadapan dengan isu nasionalisme sempit yang sering dipakai oleh para elit borjuasi? Sebagai Internasionalisme gerakan rakyat pekerja harus mendukung persatuan yang membawa buruh terhadap kehidupan yang homogen dan demokratis.

Persatuan tersebut membutuhkan sebuah federasi sosialis sebagai esensinya yang dibangun atas dasar suka rela dan tanpa paksaan. Konsep ini harus dibangun sesuai dengan karakteristik bangsa Indonesia. Gagasan ini bukanlah seperti otonomi daerah yang hanya mampu menciptakan raja-raja kecil yang ada di daerah.

Federasi sosialis tersebut harus mampu menjawab kebutuhan rakyat pekerja dan mampu mempersatukan seluruh rakyat pekerja yang ada di Indonesia. Dan tentu denagn mulai membangun kekuatan solidaritas secara internasional untuk mengkampanyekan dan melakukan perlawanan terhadap segala bentuk penjajahan termasuk perlawanan terhadap proyek neoliberalisme.

Pemahaman nasionalisme rakyat pekerja harus ditempatkan pada kemandirian dan penguasaan atas sistem ekonomi-politik secara nasional seperti pada gerakan buruh tahun 1957. Tahun itu, kaum buruh mampu melakukan tindakan pengorganisiran politik dan penguasaan atas modal kolonial Belanda. Mereka menuntut pemerintahan yang berkuasa untuk melakukan nasionalisasi atas perusahaan- perusahaan asing.

Meski kini kondisi pemerintahan berbeda dan praktiknya justru menghamba pada kepentingan modal tetapi perjuangan tidaklah boleh menjadi surut. Cita-cita perjuangan nasional rakyat pekerja harus disandarkan pada prinsip keadilan sosial dengan pengelolaan secara mandiri atas sumber daya manusia dan alam. Pengelolaan yang dilandasi semangat untuk kesejahteraan bersama tanpa eksploitasi dan kerakusan akumulasi modal.

Jika perjuangan itu bisa terwujud maka kita tidak perlu lagi menghinakan diri untuk bekerja sebagai budak di negeri orang. Kekayaan alam yang didukung industrialisasi nasional yang kuat dari Hulu ke hilir dan dikontrol oleh rakyat pekerja akan mampu memenuhi kebutuhan hidup dan kesejahteraan rakyat seperti amanat dan cita-cita UUD 1945.


* Penulis adalah Pengurus Serikat Buruh Kerakyatan (SBK) Surabaya, sekaligus Anggota Forum Belajar Bersama Prakarsa Rakyat dari Simpul Jawa Timur.

** Siapa saja dipersilahkan mengutip, menggandakan, menyebarluaskan sebagian atau seluruh materi yang termuat dalam portal ini selama untuk kajian dan mendukung gerakan rakyat. Untuk keperluan komersial pengguna harus mendapatkan ijin tertulis dari pengelola portal Prakarsa Rakyat. Setiap pengutipan, penggandaan dan penyebarluasan sebagian atau seluruh materi harus mencantumkan sumber (portal Prakarsa Rakyat atau www.prakarsa-rakyat.org).

Sumber: PrakarsaRakyat

Oleh : Fitri Bintang Timur*


Violence can be justifiable, but it will never be legitimate
(Kekerasan bisa saja dilegalkan, tapi tidak pernah mendapatkan legitimasinya)
Hannah Arendt, Crises of the Republic, 1972

Tindak kekerasan di negara ini telah sampai pada tataran yang mengkhawatirkan. Bukan hanya karena kekerasan terjadi di banyak lini –mulai dari atas nama agama, hingga usaha cari uang yang berakhir dengan bentrok petugas keamanan diskotik– tapi juga karena adanya proses pelegalan dari tindakan tersebut.

Contoh nyata dari ini adalah adanya jaringan preman yang membuka usaha security alias satpam; Forum Pembela Islam (FPI) yang masih bebas melakukan aksi kekerasan melalui ancaman dan tindakan lainnya; serta Protap Anarki milik Polri. Kondisi bagaimana kekerasan bertransformasi dari tindakan kriminal menjadi sesuatu yang legal ini perlu dicermati.


Kekerasan Legal versi Masyarakat

Bentuk yang jelas terlihat, namun sering dihiraukan, dari upaya legalisasi kekerasan di masyarakat adalah bagaimana preman menemukan tempatnya dalam bisnis keamanan. Misalnya saja geng Ambon Basri Sangaji, dimana pemimpin geng telah terbunuh pada tahun 2007, kini menjadi Grup Haji Luhung yang melakukan usaha kolektor (debt collector). Juga grup preman Herkules yang dulu merupakan jawara di Tanah Abang, sekarang memiliki beberapa perusahaan pemasok satpam untuk kantor-kantor di Jakarta Pusat dan Jakarta Barat.

Usaha jasa keamanan ini besar perputaran dananya, hal yang diakui oleh Ketua Perhimpunan Pengusaha Rekreasi dan Hiburan Umum (PPRHU) Andrian Maelite. Menurut Andrian, sekitar 20% dari pendapatan 400 club, bar, panti pijat dan diskotik di Jakarta digunakan untuk membayar jasa keamanan. Jumlahnya bisa mencapai Rp. 360 milyar per tahun (Jakarta Post, 1/11).

Selain uang, upaya preman dan pengusaha mencari dasar hukum resmi untuk bisnis kekerasan adalah karena ketatnya persaingan. Dahulu di antara penyedia jasa keamanan preman terjadi perang pada November 1998. Saat itu geng Ambon dan preman berbasis agama, yakni FPI, bentrok di Jl. Ketapang, Jakarta Pusat. Bentrokan ini menewaskan 16 orang serta membakar sejumlah gedung dan gereja. Sedikit yang tahu bahwa bentrok tersebut disebabkan oleh perebutan jatah preman untuk membayar jasa keamanan.

Melemahnya preman yang berasal dari Indonesia bagian timur karena kejaran polisi, membuat naiknya premanisme berbasis daerah dan agama terutama di kota-kota besar, seperti Forum Komunikasi Anak Betawi (Forkabi), Forum Betawi Rempug (FBR) dan FPI. Hal ini membuat para preman membuka usaha bisnis satpam ke perusahaan, sementara ormas-ormas ini menargetkan figur publik dan event besar, misalnya pembuatan film Mengejar Miyabi. Namun tidak semuanya sukses mencari legalisasi untuk tindakannya, misalnya saja Komando Laskar Islam (KLI) yang harus menghadapi tuntutan karena tindak kekerasannya atas Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Umat Beragama di Monas, Juni 2008.

Pencarian legalitas kekerasan masyarakat sipil tidak selalu diawali dengan membuat badan hukum formal, tapi bisa juga dengan mencari pendukung melalui agama mayoritas negara. Kekerasan terhadap Ahmadiyah yang dilakukan oleh FPI dan KLI, misalnya, akhirnya mendapatkan legalisasinya dengan Surat Keputusan Bersama dari Menteri Agama, Menteri Dalam Negeri dan Jaksa Agung. Sebegitu suksesnya mobilisasi kekerasan pada Ahmadiyah, bahkan pemerintah Lombok Barat menawarkan mereka untuk pindah ke pulau untuk usaha pengamanannya.


Kekerasan Legal versi Penegak Hukum

Tidak hanya di masyarakat umum, aparat penegak hukum negara lebih lagi membutuhkan legalitas dalam mempraktekkan kekerasan. Kapolri Timur Pradopo belum sebulan menjabat posisi barunya, namun ia sudah harus memberi tanggapan atas Protap Penanggulangan Anarki No. 1/X/2010 yang dikeluarkan pendahulunya Kapolri Bambang H. Danuri.

Jenderal Timur menyatakan bahwa Protap tersebut bukan ditujukan untuk demonstran namun untuk mengatasi kekerasan yang dihadapi oleh aparat kepolisian sendiri ataupun bentrok antar massa (Media Indonesia, 28/10). Sementara Kapolri terdahulu, Jenderal BHD menyatakan bahwa pengeluaran Protap ini merupakan reaksi dari kerusuhan di Tarakan, Kaltim; bentrok massa di depan PN Jakarta Selatan di Ampera; kerusuhan di Lebak, Banten; dan penyerangan Polsek Hamparan Perak, Medan. Konflik-konflik ini menimbulkan kebingungan bagaimana polisi merespon karena dianggap tidak adanya kewenangan untuk tembak di tempat, akhirnya keluarlah Protap tersebut.

Permasalahan terjadi ketika Protap ini tidak disertai prosedur pelaksanaan di lapangan sehingga timbul masalah ketika polisi menembak demonstran. Kondisi ini terjadi pada 20 Oktober lalu saat demo setahun pemerintahan SBY Periode II, dimana seorang mahasiswa Universitas Bung Karno tertembak kakinya ketika demo berubah ricuh. Karena insiden tesebut, enam polisi diperiksa dan harus melewati sidang disiplin. Sampai saat ini upaya legalisasi kekerasan aparat kepolisian sendiri belumlah seberhasil preman, yang mana menjadi masalah tersendiri bagi perlindungan masyarakat sipil. Namun idealnya, kekerasan bukanlah jalan keluar yang mampu membawa kedamaian yang langgeng (perpetual peace).


Keluar dari Siklus Kekerasan

Bila membawa teori ke dalam fenomena legalisasi kekerasan, Hannah Arendt memiliki pendapat yang cukup tajam. Menurutnya kekerasan adalah cara untuk mendapatkan kekuasaan (power). Kekerasan digunakan untuk membuat orang patuh pada suruhan penguasa. Arent membedakan antara legalisasi kekerasan dan legitimasi kekerasan. Kekerasan dapat dilegalisasi melalui seperangkat proses hukum, melalui alasan dan pembenaran; namun tidak pernah mendapat legitimasi atau pembenarannya.

Riset yang dilakukan Arent menyatakan bahwa kekuasaan yang didapat dengan cara kekerasan memiliki power lebih kecil dibandingkan dengan kekuasaan yang diraih dengan jalan tanpa kekerasan. Contohnya kekejaman Kaisar Nero dan Kaligula yang justru menghilangkan legitimasi kekuasaan mereka. Tentu saja sebagai penguasa, keduanya melakukan proses legalisasi kekerasan, namun akhirnya justru menjadi kontraproduktif karena ‘membisukan’ dialog.

Aksi main gebuk adalah bentuk ketidakmampuan masyarakat kita untuk berdialog, berbicara dan mendengar. Mungkin selama ini kita tuli terhadap orang miskin yang berkata 'lapar' sehingga harus merampok, memalak dan akhirnya menjadi preman. Kemudian polisi yang merasa terancam melakukan kekerasan lebih kuat lagi. Namun masalah tidak akan selesai dengan kekerasan, kita hanya memupuk siklusnya, melahirkan gerilya-gerilya kecil, kelompok separatis yang sakit hati yang terus ada dan menjadi duri dalam daging. Maka ada baiknya kita mulai bicara, mulai mendengar, dan mencari solusi yang lebih beradab untuk menyelesaikan masalah bersama.


* Penulis adalah Periset IDSPS dan Master bidang Manajemen Pertahanan Keamanan ITB-Cranfield UK, sekaligus Anggota Forum Belajar Bersama Prakarsa Rakyat dari Simpul Jabodetabek.

** Siapa saja dipersilahkan mengutip, menggandakan, menyebarluaskan sebagian atau seluruh materi yang termuat dalam portal ini selama untuk kajian dan mendukung gerakan rakyat. Untuk keperluan komersial pengguna harus mendapatkan ijin tertulis dari pengelola portal Prakarsa Rakyat. Setiap pengutipan, penggandaan dan penyebarluasan sebagian atau seluruh materi harus mencantumkan sumber (portal Prakarsa Rakyat atau www.prakarsa-rakyat.org).
Sumber: Prakarsa Rakyat

;;