Oleh : Sunarno*


Awal bulan ramadhan atau bulan puasa bagi umat Islam di dunia terjadi kejutan walau belum membesar. Di antara kenaikan harga Tarif Dasar Listrik (TDL) dan melambungnya harga kebutuhan rakyat yang semakin memperpuruk kehidupan rakyat Indonesia, ada usulan agar Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) diberi gelar kehormatan “Bapak Kesejahteraan.” Usulan ini disampaikan oleh Ketua Dewan Direktur Center for Information and Development Studies (CIDES) Ricky Rachmadi (Matanews.com,12/8/2010).

Berita di atas tentu bisa kita cari makna yang ada di dalamnya. Dan tentu bisa kita simpulkan bahwa usulan tersebut mengandung kebohongan besar kepada seluruh masyarakat sekaligus menunjukkan sikap cari muka, dan yang lebih penting semakin menunjukkan keberpihakannya kepada pemerintahan neoliberalisme.


Ukuran Kesejahteraan?


Kebohongan publik dilakukan oleh si pengusul agar SBY menjadi Bapak Kesejahteraan, karena alasan yang diajukan terbantahkan oleh fakta-fakta yang ada saat ini. Alasan yang diutarakan, “Seperti misalnya sebagai Bapak Kesejahteraan karena berbagai programnya yang pro peningkatan kesejahteraan rakyat, di antaranya pemberian dana bantuan langsung tunai (BLT), skim investasi untuk rakyat kecil seperti PNPM dan KUR, dan seterusnya...”

Benarkah rakyat sejahtera karena program tersebut? Fakta menunjukkan bahwa program tersebut didanai dari utang. Dan seperti diketahui, utang pemerintah Indonesia periode Januari-Juli 2010 tercatat sebesar Rp 1.625,63 triliun atau 26% dari PDB. Angka itu bertambah Rp 34,97 triliun dari posisi akhir tahun 2009 yang sebesar Rp 1.590,66 triliun. Secara persentase terhadap PDB memang utang Indonesia terus turun, namun secara nominal terus meningkat (detikfinance.com,12/08/2010).

Selain itu program tersebut tidaklah mengangkat kehidupan masyarakat, terbukti pengangguran masih besar dan bahkan tidak berkurang tetapi semakin bertambah. Dalam bulan ini saja 100 juta penduduk Indonesia mengalami kesulitan dalam mendapatkan kebutuhan hidupnya yang melambung tinggi harga-harganya (metrotv,13/08/2010).

Artinya selain tidak mandiri dalam menjalankan program untuk rakyat, pemerintahan SBY tidak mampu mengeluarkan rakyat dari kesulitan hidup dan kemiskinan. Program yang didengung-dengungkan oleh CIDES semakin memperlihatkan ketergantungan negara pada utang dan melilit rakyat pada situasi sulit, bukan sebuah jalan keluar.

Ukuran lain dari kesejahteraan di Indonesia sebenarnya bisa kita lihat dari fakta lainnya, yakni cukup banyaknya penggusuran terhadap rakyat, khususnya pedagang kaki lima, masyarakat kecil serta rumah-rumah dinas pejuang. Ketidakpastian hukum untuk rakyat juga menunjukkan betapa lemahnya kepemimpinan SBY terhadap hukum yang berpihak kepada rakyat, contoh kasus Prita, nenek Minah, kasus Manisih di Batang hanyalah sedikit kasus hukum yang menyengsarakan rakyat.

Belum lagi melihat yang lebih besar, seperti tidak adanya kebijakan melindungi buruh/pekerja dari ancaman PHK, sistem kerja kontrak dan outsourcing serta upah murah. Tidak ada perlindungan buat melindungi petani dari tengkulak dan perlindungan harga jual serta ketersediaan pupuk dan bibit murah buat petani. Itu semua menunjukkan tidak berpihaknya SBY pada rakyat dan sebaliknya memihak kepada pemodal.


Membohongi Publik

Dengan fakta di atas menunjukkan usulan tersebut jelas merupakan bentuk keberpihakan CIDES kepada program neoliberalisme yang dijalankan oleh SBY di Indonesia. Karena bagaimanapun, mengusulkan SBY sebagai Bapak Kesejahteraan memiliki arti mendukung kebijakan pemerintahan di bawah SBY, termasuk pengesahan UU PMA dan UU Privatisasi.

Selain itu, usulan dengan argumentasi yang sudah di sebut diatas menunjukkan sebuah upaya kebohongan publik terhadap seluruh rakyat Indonesia serta sejarah kehidupan bangsa ini. Maka tidak ada kata lain selain menolak usulan terebut dan harus dijadikan salah satu alat perekat persatuan rakyat melakukan perlawanan, bukan saja perlawanan terhadap Sistem neoliberalisme, tetapi juga pemerintahan SBY serta lembaga-lembaga pendukungnya.

Bukan Bapak Kesejahteraan yang seharusnya diberikan kepada SBY, tetapi Bapak Neoliberalisme.


* Penulis adalah Pengurus Pusat Konfederasi KASBI-Divisi Litbang, sekaligus Anggota Forum Belajar Bersama Prakarsa Rakyat dari Simpul Jabodetabek.

** Siapa saja dipersilahkan mengutip, menggandakan, menyebarluaskan sebagian atau seluruh materi yang termuat dalam portal ini selama untuk kajian dan mendukung gerakan rakyat. Untuk keperluan komersial pengguna harus mendapatkan ijin tertulis dari pengelola portal Prakarsa Rakyat. Setiap pengutipan, penggandaan dan penyebarluasan sebagian atau seluruh materi harus mencantumkan sumber (portal Prakarsa Rakyat atau www.prakarsa-rakyat.org).



Oleh : Heru Yuanta*


Hidup di negeri ini, bagi sebagian besar warganegaranya, lebih banyak energi yang keluar daripada yang masuk, dengan kata lain sirkulasinya tidak seimbang, terutama energi yang dibutuhkan oleh tubuh. Hidup di negeri ini harus memiliki banyak energi apalagi bagi mereka yang sudah mempunyai anak usia sekolah atau bagi yang sering sakit-sakitan, karena biaya pendidikan dan kesehatan yang semakin mahal.

Hal ini bertolak belakang dengan Indonesia yang kaya akan energi tapi rakyatnya banyak yang kekurangan energi, tiba-tiba terdengar berita bahwa ada sebuah keluarga yang harus makan rumput dan siput untuk memenuhi kebutuhan energi tiap harinya. Karena begitu penting dan “langkanya” energi di negeri ini maka tidak heran kalau produk-produk penambah stamina makin banyak beredar, dari yang berbentuk cair sampai yang berbentuk padat seperti sandal bakiak. Makin banyak pula orang-orang yang mencari jalan pintas untuk memperoleh kekayaan untuk memenuhi kebutuhan energi bagi dirinya sendiri maupun keluarganya.

Energi di negeri ini harusnya mampu untuk mencukupi kebutuhan energi rakyatnya, tapi yang terjadi hanya bisa nikmati oleh segelintir golongan (oligarki). Pemberian subsidi bahan bakar dan lain-lain menjadi hal yang aneh karena konon katanya negeri ini memiliki kekayaan yang berlimpah bahkan pemilik dan pengelolanya sudah dituangkan dengan jelas dalam Pembukaan Undang-undang dasar 1945 dan secara khusus di dalam UUD 1945 yang dalam Pasal 28 G ayat 1, ”Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapat lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.”

Kemudian dalam Pasal 33 ayat 2, ”Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang mengusai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.” Serta pada ayat 3, ”Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.” Serta ayat 4, “Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi, berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.” Tetapi hal ini tidak serta-merta membuat rakyatnya bebas dari rasa khawatir akan kekurangan energi. Kenaikan harga-harga: harga listrik, bahan bakar minyak, sembako, pupuk, masih menjadi momok yang selalu menteror kehidupan warganegaranya. Seolah-olah kita adalah negara yang sangat miskin dan bodoh sehingga memerlukan campur tangan swasta sebagai boss dalam pengelolaannya.

Pemerintah justru merestui berlakunya sistem pasar di bidang energi dengan mengijinkan penglolaannya kepada swasta. Hal ini bisa dilihat dalam UU Ketenagalistrikan yang baru (UU No 30/2009), kewenangan PLN sebagai satu-satunya Pemegang Kuasa Usaha Ketenagalistrikan (PKUK) telah dipangkas. Artinya pemerintah daerah, koperasi dan pemilik modal dapat melakukan bisnis di bidang ketenagalistrikan, yang sebelumnya menjadi monopoli PLN (milik negara).

Masyarakat kelas bawah kini tambah pusing ketika tarif dasar listrik mengalami kenaikan karena kenaikan TDL akan berimbas terhadap kenaikan harga kebutuhan pokok. Rakyat tidak pernah tahu kenapa harga listrik selalu naik, pihak PLN dan pemerintah selalu berkata bahwa mereka selalu merugi. Walaupun merugi tapi mereka masih bisa menikmati gaji yang tinggi, segala macam jaminan hidup, dan fasilitas yang mewah. Seperti yang diungkapkan oleh Ketua Umum Serikat Pekerja (SP) PT PLN (Persero) Ahmad Daryoko, keuntungan PLN pada 2009 mencapai 10,355 triliun rupiah. Karena itu, tidak sepantasnya jika PLN menaikkan TDL pada tahun ini.

Keputusan pemerintah menaikkan TDL itu, tidak lepas dari adanya agenda tersembunyi dari pihak-pihak tertentu yang tetap ngotot untuk menjual PLN Jawa-Bali, setelah batalnya Undang-undang No 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan. (MediaIndonesia.com,01/07/10). Hal ini sejalan dengan yang disampaikan oleh Menteri Keuangan Agus Martowardojo dalam konferensi pers di kantornya, Jakarta, Rabu (30/6/2010), bahwa kenaikan TDL itu berarti sejalan dengan komitmen G-20 untuk mengurangi subsidi energi (Detikfinance.com, 30/06/10). Hal ini menjadi masuk akal karena energi listrik merupakan salah satu kebutuhan yang memberikan keuntungan besar kepada PT.PLN (Persero) sebagai pihak yang memonopoli/menguasai selama ini.

Rakyat tidak pernah tahu kenapa tarif dasar listrik selalu naik padahal bukan lagi menjadi rahasia umum kalau kinerja PT.PLN (Persero) masih sangat buruk yang berarti tidak pernah ada perbaikan. Kita masih mengalami “byar-pet” alias listrik mati-hidup, masih banyak daerah belum dapat aliran listrik, manajemen yang tidak profesional. Kita bisa menemukan 609.000 tulisan kalau kita mencari tentang kinerja PT.PLN di Google dengan kata kunci “Kinerja PLN buruk.” Lalu pertanyaan dari masyarakat adalah apa saja yang mereka (pemerintah dan PT.PLN) kerjakan selama ini. Gas dan batubara sebagai bahan bakar utama pembangkit listrik PT. PLN justru dijual keluar negeri dengan alasan lebih mahal dan menguntungkan.

Indonesia kaya akan energi tapi pemerintahnya tidak serius mendukung perkembangan energi alternatif yang sebenarnya sudah ada sejak dahulu: energi panas bumi, angin, gas metan/biogas, ombak, pohon jarak, dan sinar matahari. Inisiasi pembangunan instalasi biogas justru hadir dari inisiatif warga, jauh sebelum banyak tabung gas yang meledak. Entah sampai kapan lagi rakyat kelas bawah Indonesia harus mengeluarkan energi ekstra untuk mengadakan energi dan membangkitkan listrik di rumahnya.


* Penulis adalah anggota Jagongan Buruh (Sekolah Buruh) Yogyakarta, sekaligus Anggota Forum Belajar Bersama Prakarsa Rakyat dari Simpul Jawa Tengah.

** Siapa saja dipersilahkan mengutip, menggandakan, menyebarluaskan sebagian atau seluruh materi yang termuat dalam portal ini selama untuk kajian dan mendukung gerakan rakyat. Untuk keperluan komersial pengguna harus mendapatkan ijin tertulis dari pengelola portal Prakarsa Rakyat. Setiap pengutipan, penggandaan dan penyebarluasan sebagian atau seluruh materi harus mencantumkan sumber (portal Prakarsa Rakyat atau www.prakarsa-rakyat.org).


Oleh: Arkilaus A. Baho

Tragedi paling tragis adalah seketika Negara mengubur kemerdekaan pers. Tidak ada Negara demokrasi tanpa kebebasan pers. Sebab kepanjangan aspirasi rakyat selama ini ada di tangan pers. Siapa yang paling andil dalam membungkam kebebasan pers di bumi Papua?. Ialah tangan-tangan tak kelihatan.

Dengan karakternya yang tersistemik ini, para pemodal ( investasi ) punya peranan penting dalam membungkam kemerdekaan pers. Iya, Kabiro kompas di Kaltim tewas setelah menulis kerusakan lingkungan akibat tambang batu bara. Tidak lama setelah meliput kasus MIFEE di Merauke, Wartawan Merauke TV, Ardiansyah Matrais yang diduga dianiaya dan diceburkan hidup hidup kedadalam sungai. Hingga kematian kontributor SUN TV di Tual, Maluku, Ridwan Salamun. Miris jika Negara membiarkan nasib Jurnalis terancam dalam peliputan suatu masalah.

Kejadian yang semakin berantai dan menyebar seluruh nusantara ini tidak bisa dibiarkan, dan itu fakta bahwa kelumpuhan penegakan hukum dan keamanan bagi segenap warga Negara sudah menurun drastis dan berbahaya. Dan inilah fakta mengapa Negara sekecil Malaysia pun seenaknya mempermainkan Indonesia hanya dengan kasus batas negara dan Para tenaga kerja ( TKI ).

Keberadaan junta kapitalis di Papua yang telah merasuki setiap lini pemerintahaan ini, tidak bisa dipandang berdiri sendiri dari haluan Negara hari ini menerima dan menerapkan konsep pasar bebas sebagai junta pembangunan di era abad 21 ini.

Bahaya nyata sudah ada dan terus dibiarkan. Memang tak di duga, revolusi industry melahirkan konsep dan paradigma baru yang mendesain dan membuat adanya pembagian kelas politik dan ekonomi di Negara-negara dunia. Menjadi berkat bagi Negara lain yang sesungguhnya menyatakan era millennium bukan panglima, tetapi rakyatlah panglima. Fakta, Amerika Latin ( contoh; Venezuela ) mampu mendobrak dominasi neoliberalisme yang menjadi momok bagi penindasan kelas pekerja dan kelas buruh di berbagai lapisan aktivitas ekonomi dan politik pemerintahan.

Tragedi kekerasan yang paling banyak dialami jurnalis Indonesia di tahun 2010 ini. Khusus untuk Tanah Papua, masih tersirat dalam memori kita kasus pelucutan kamera wartawan di areal Freeport 12 sptember 2008. Tragedy ini memalukan seketika seorang jenderal yang menjadi kemanan perusahaan Freeport menegur wartawan yang hendak meliput di areal Freeport dengan kata " pencuri ". Bayangkan, petinggi militer saja sudah mengangap jurnalis sebagai pencuri disaat peliputan dilakukan di areal tambang. Ini memalukan. Peristiwa tersebut terjadi dan Negara melalui para penegak hukum tidak berbuat banyak demi investasi yang nyaman.

Dengan dalil sebagai pemodal utama bagi pemasukan devisa Negara, komponen investasi mendapat perlindungan istimewa dari Negara. Maka tak salah jika terror, pembunuhan, pengabaian hak-hak warga Negara hari ini menjadi fakta bahwa pemerintahan modal bersekutu bersama pemerintahan Negara. Sektor-sektor Negara yang mestinya menjadi benteng bagi rakyat menjadi keropos akibat dominasi pemodal. Capital Violence menjadi isntrumen yang tidak memiliki kepekaan bagi pemenuhan demokrasi di era modern hari ini.

Penegak Hukum Dilematis, Fakta Desentralisasi Yang Keropos


Berbeda dengan represifitas di wilayah lain, Papua menarik sekali karena keroposan penegakan hukum akibat pelimpahan dua kewenangan Negara dalam bingkai kordinasi Pemerintahan Jakarta dan Pemerintahan Otsus Papua. Inilah fakta bahwa keterlambatan polisi dalam mengusut kasus kematian wartawan Merauke TV dan peristiwa pelucutan kamera wartawan September 2008 silam, akibat tumpang tindih kewenangan yang semakin melebarkan rentang kendali aparat Negara dalam menegakan hukum di Tanah Papua.

Iya, biaya operasional kepolisian maupun TNI seharusnya bersumber dari APBN nasional dan bukan APBD, sebab APBD khusus untuk kebutuhan Otonomi Khusus. Jika ada pembiayaan APBD otsus kepada keamanan dan pertahanan, akibatnya kompromi dijalankan. Kepala otonomi di kabupaten adalah Bupati setempat. Sedangkan investasi yang memberi modal tentunya di ijinkan bupati. Praktek pemodal yang melingkari para pejabat otsus ini mengakibatkan lemahnya dukungan moral politik bagi kinerja penegakan hukum selama ini di Papua.

Laju desentralisasi justeru meningkat dengan laju investasi. Papua diera otsus memberi lapangan luas bagi investor yang sebenarnya bukan cita-cita politik adanya otsus diberikan. Otsus diberikan untuk proteksi apa saja yang ada di Papua. Kehidupan, kekayaan alam, kebebasan pers sebagai pendukung utama keberhasilan otsus adalah dalam bingkai otsus yang patut di pandang dan dijaga sebagai satu komponen dalam penerapan otsus. Faktanya justru berbalik. Roda kapitalisasi justeru membungkam Papua.

Papua disembunyikan hanya karena kampiun modal yang ada. Papua dibungkam demi keaman investasi, Pers dibungkam akibat restorasi modal yang semakin meningkat di Tanah Papua. Kasus pembunuhan wartawan adalah fakta dinamika modal harus dibatasi. Sebab, ancaman semacam ini akan terlulang lagi. Instrumen negara baik penegak hukum maupun instansi terkait harus berpaling pada keutamaan rakyat dan elemen demokrasi yang berjuang demi Tanah Papua yang adil, sejahtera dan makmur dan tentunya keadilan di Bumi Papua akan jadi barometer sejauhmana negara Indonesia benar-benar membumi di Tanah Papua sejak integrasi 1 Mei 1963

Penegakan hukum yang dilematis itu fakta dan kenyataan yang tak bisa dibantahkan. Otsus itu benar-benar keropos. Otsus tidak mampu lindungi orang Papua bernama Kelli Kwalik di Timika dari todongan hegemoni Freeport, Aktivis HAM Yawan Yoweni di Yapen Waropen, Otsus itu tidak mampu sehingga wartawan di Jayapura harus turun demo tuntut pengusutan pembunuhan rekan TV Merauke yang sampai sekarang belum ada tanda-tanda siapa pelakunya. Polisi pun dilematis mengusut kasus ini akibat bendungan modal MIFEE yang saya duga berada dibalik peristiwa ini. Ancaman dan teror di Merauke menjadi nyata seketika perusahaan perkebunan menilik areal Papua bagian selatan sebagai tempat persinggahan mereka.

Masalah klasik penegakan hukum yang mengedepankan paradigma modal di bumi Papua tidak harus dibiarkan. Polisi adalah instrumen negara yang harus memulihkan martabat bangsa dan negara dalam hal melindungi rakyat dari sapuan kaum investor bertangan tak kelihatan. Ruh kerakyatan menjadi dasar bagi segenap anak negeri di Bumi Papua.

Rakyat butuh penegakan hukum tegas dan akurat tanpa pandang bulu, " siapapun pelakunya harus di usut". Jangan hanya usut pencuri ayam saja, tetapi aktor dibalik pembunuhan wartawan harus ditangkap dan diadili demi pemenuhan kebebasan pers di Tanah Papua. Papua begitu luas, janganlah wartawan dibungkam. Papua itu surga bagi mengalirnya kran investasi, tetapi kekuatan suara rakyat semakin keropos.

Iya, media sebagai penyambung suara rakyat saja sudah di kubur dengan cara teror dan pembunuhan, apalagi warga Papua sudah tentu bernasib tidak aman di negeri sendiri. Desentralisasi sudah menjadi ukuran dunia untuk memandang demokrasi terbaik di negeri Indonesia, tetapi peristiwa mengerikan yang menodai kehancuran kebebasan warga negara Indonesia di Bumi Papua sebagai bukti desentralisasi suatu niscaya bagi proteksi dan keadilan yang menjadi cita-cita bangsa dan negara.

Ukuran kesuksesan otsus yang selama ini dipandang dari segi pemberian dana yang besar itu kekeliruan. Sebab nasib jurnalis di Papua hari ini belum diusut sampai sekarang belum ada tanda-tanda siapa pelakunya. Otsus bukan untuk uang banyak, tapi otsus untuk perlindungan dan keadilan bagi segala mahluk di Papua. Itu saja!
====================================
SATU LANGIT-SATU MATAHARI-SENASIB
====================================

Email:
arnesius_pembebasanpapua@yahoo.com
arkilaus_pembebasanpapua@ymail.com
raden_ok@yahoo.com - arnesius@gmail.com
Blogspot - Facebook

***
DIATAS BATU INI SAYA MELETAKAN PERADABAN ORANG PAPUA, SEKALIPUN ORANG MEMILIKI KEPANDAIAN TINGGI, AKAL BUDI DAN MARIFAT TETAPI TIDAK DAPAT MEMIMPIN BANGSA INI, BANGSA INI AKAN BANGKIT DAN MEMIMPIN DIRINYA SENDIRI.
( Pdt. I.S.Kijsne Wasior 25 Oktober 1925 )


Oleh : Muslimin *


Setelah lebih sepuluh tahun reformasi bergulir di Indonesia, organisasi rakyat progresif (baik yang berbasis petani, nelayan, miskin kota, adat, NGO atau mahasiswa), belum mampu merebut kuasa yang sebelumnya berada di tangan penguasa otoriter. Organisasi rakyat progresif sampai saat ini masih banyak menjadi penonton permainan orang-orang lama yang masih bercokol di kekuasaan, atau permainan orang-orang baru yang “mencuri” kesempatan dalam proses perubahan kekuasaan. Padahal orang-orang baru ini adalah musuh dari gerakan rakyat progresif yang memperjuangkan perubahan selama bertahun-tahun.

Ini semua bukanlah tanpa sebab, sehingga organisasi rakyat progresif selalu terpinggirkan dalam proses politik yang terjadi. Ketika jaman pemerintahan otoriter mereka dipinggirkan bahkan diceraiberaikan, dan setelah pemerintahan berganti selama sekian tahun posisi organisasi rakyat progresif tetap tidak beranjak dari posisi semula, sebagai penonton dan hanya bersorak-sorak tanpa bisa memegang atau sekedar mengendalikan kuasa yang saat ini banyak diduduki oleh “pencuri” dalam proses besar reformasi di Indonesia.

Secara sosial, sebab-sebab organisasi rakyat progresif tidak berkiprah dalam panggung kuasa (secara politik bahkan ekonomi) antara lain adalah: (a) bangunan solidaritas yang selalu retak, (b) kelemahan dalam kepemimpinan gerakan, (c) struktur organisasi yang tidak mendukung organisasi gerakan rakyat bisa bergerak secara luas.

Sebenarnya antara butir (a) dengan butir (b) saling berhubungan secara erat, tetapi kita bedakan saja agar pembedahannya bisa lebih tajam. Butir (a) bangunan solidaritas yang selalu retak. Kalau ditelusuri secara jauh, lemahnya bangunan solidaritas dalam organisasi rakyat memang sengaja diciptakan. Selama kekuasaan panjang Soeharto, hal yang paling dihancurkan adalah ketrampilan rakyat dalam menganyam dan manjalinkan solidaritas antar orang dan antar kelompok-kelompok rakyat; bagaimana cara menghubungkan antara satu kepentingan rakyat dengan kepentingan rakyat yang lain; bagaimana proses lobi dan mempengaruhi dilakukan agar semua orang bisa mendukung apa yang menjadi cita-cita bersama dalam menciptakan adil kelas. Bahkan saat ini istilah propaganda hampir-hampir tidak dipahami oleh rakyat. Keterampilan tersebut sejak masa-masa akhir kolonialisme sudah dibangun dan dikembangkan oleh tokoh-tokoh pergerakan awal Indonesia. Keterampilan itu berkembang sampai puncaknya ketika proses politik elektoral awal dilakukan di Indonesia.

Problem ini, bisa (tetapi juga dipastikan) karena hilangnya, belum bertemunya atau belum terbentuknya kepemimpinan dalam gerakan rakyat. Sejak tumbangnya rejim Suharto, gerakan rakyat progresif terkotak-kotak dalam berbagai sektor dan wilayah. Belum kita temukan pemimpin yang mampu menjadi simbol persatuan bagi gerakan rakyat progresif di Indonesia, meskipun penggerak dari gerakan ini sudah pasti ada di setiap organisasi gerakan progresif. Setiap sektor atau wilayah memiliki para penggerak, atau bahkan pemimpinnya.

Kepemimpinan yang dimaksud di sini terkait dengan sistem kepemimpinan dan sosok pemimpinnya. Belum ada kesepakatan yang dilakukan secara “sungguh-sungguh” dalam hal kepemimpinan, sehingga tidak ada keluaran yang berupa cara-cara dan strategi bagaimana kepemimpinan dibentuk. Kita tidak perlu bicara terlalu jauh untuk membentuk kepemimpinan gerakan secara luas, karena cara-cara serta strategi membentuk kepemimpinan belum “benar-benar disepakati.” Pembicaraan tentang bagaimana membentuk pemimpin akan dilakukan setelah cara dan strategi sudah disepakati. Pembicaraan inipun, dalam konteks kita di Indonesia atau di Jawa Timur khususnya, tidak bisa sekedar dilakukan dengan membuat seminar atau lokakarya, tanpa didahului dengan kerja kongkrit untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang dihadapi sehari-hari oleh rakyat, dan dilakukan secara konsisten dalam jangka waktu yang cukup. Selanjutnya, pemimpin tidak muncul secara otomatis. Maka dari itu, hampir tidak mungkin mengandalkan munculnya pemimpin tanpa didahului dengan sebuah perencanaan untuk mengkonstruksi seorang menjadi pemimpin. Pemimpin tidak muncul dari langit secara mendadak, tanpa didahului oleh persoalan-persoalan yang menimpa rakyat.

Struktur organisasi gerakan rakyat progresif selama ini masih bersifat sektoral. Untuk perjuangan advokasi kebijakan, struktur ini memang sangat efektif, karena lebih fokus dan dibatasi oleh situasi dimana isu yang diperjuangkan bergejolak. Tetapi untuk perjuangan yang sifatnya jangka panjang dan bersifat masif, gerakan rakyat membutuhkan struktur organisasi yang mampu bertahan dalam rentang waktu dimana perjuangan akan terus dilakukan dan membutuhkan dukungan yang luas dari seluruh rakyat atau sebagian besar rakyat, terutama rakyat miskin, tertindas yang menjadi korban kebijakan.

Karena itu dibutuhkan struktur organisasi dari wilayah yang paling kecil sampai wilayah yang lebih besar. Struktur organisasi ini, meskipun awal-awalnya dibentuk dari gerakan-gerakan kongkrit untuk menyelesaikan persoalan kongkrit, namun selanjutnya mesti dibangun mengikuti struktur dimana ruang perjuangan akan dilakukan. Jika perjuangan politik yang dilakukan dengan merebut kuasa-kuasa politik di semua level kepemimpinan politik, maka mau tidak mau struktur organisasi gerakan yang harus dibangun adalah mengikuti struktur ruang perjuangan politik. Jika saat ini struktur kepemimpinan politik di Indonesia berangkat mulai dari dusun, desa, kecamatan, kebupaten, provinsi sampai nasional, maka struktur yang harus dibangun mengikuti struktur kepemimpinan politik tersebut. Hal ini tentu berbeda jika yang dibangun adalah struktur kepemimpinan ekonomi dan budaya.

Dari pengalaman yang pernah diperoleh, terutama di Jawa Timur, kekuatan struktur organisasi gerakan rakyat, melalui para kader penggeraknya yang solid dan memenuhi dalam jumlah, sangat diperlukan ketika terlibat dalam proses politik elektoral. Karena dengan melalui cara ini kekuatan rakyat bisa dimobilisasi sehingga menjadi kekuatan dalam proses perebutan kuasa politik. Proses membangun struktur organisasi gerakan ini tentu membutuhkan kepemimpinan yang handal yang dibangun melalui proses pengorganisasian. Proses pengorganisasian sebagai panci untuk menggodok seorang pemimpin, sehingga menjadi pemimpin yang matang. Karena pemimpin yang dilahirkan dari gelimangnya modal dan ketenaran belaka, seperti yang banyak dilakukan oleh para pemilik modal besar dan para artis, tidak akan pernah bisa melahirkan organisasi gerakan rakyat yang kuat.


* Penulis adalah Direktur Perkumpulan Alha-Raka, sekaligus Anggota Forum Belajar Bersama Prakarsa Rakyat dari Simpul Jombang.

** Siapa saja dipersilahkan mengutip, menggandakan, menyebarluaskan sebagian atau seluruh materi yang termuat dalam portal ini selama untuk kajian dan mendukung gerakan rakyat. Untuk keperluan komersial pengguna harus mendapatkan ijin tertulis dari pengelola portal Prakarsa Rakyat. Setiap pengutipan, penggandaan dan penyebarluasan sebagian atau seluruh materi harus mencantumkan sumber (portal Prakarsa Rakyat atau www.prakarsa-rakyat.org).

Oleh : Muhammad Daud Berueh*


Korps Kejaksaan Agung beberapa waktu yang lalu kembali merayakan Hari Ulang Tahun (HUT) Adhyaksa yang ke-50. HUT ini selalu diperingati setiap tahunnya oleh Jaksa Agung beserta segenap jajarannya. Di HUT yang ke-50 kinerja Kejaksaan Agung dalam penanganan kasus-kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang berat belum memenuhi harapan dan rasa keadilan bagi para korban.

Sampai dengan saat ini kasus-kasus pelanggaran HAM yang berat masih belum satu pun dituntaskan. Kasus-kasus tersebut masih terhambat prosesnya di Kejaksaan Agung. Dalam catatan kami, Jaksa Agung tidak memiliki komitmen yang serius dalam upaya penegakan HAM di Indonesia. Ketidakseriusan ini terlihat dari mandeknya kasus-kasus pelanggaran HAM yang berat di Kejaksaan Agung. Padahal Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KOMNAS-HAM) sudah menyerahkan berkas hasil penyelidikan kasus-kasus HAM kepada Jaksa Agung, namun hingga saat ini belum ditindaklanjuti dengan melakukan penyidikan agar kasus-kasus tersebut menjadi terang penyelesaiannya. Selain itu kasus Pembunuhan Aktivis HAM, Munir, belum juga dituntaskan oleh Kejaksaan Agung.


Penolakan Penyidikan oleh Jaksa Agung terhadap Kasus-Kasus HAM

Pertama, Kasus Trisakti, Semanggi I dan II. Komnas HAM melalui Komisi Penyelidik Pelanggaran (KPP) HAM Trisakti, Semanggi I dan II telah menemukan adanya dugaan pelanggaran HAM yang berat dalam peristiwa tersebut. Pada 29 April 2002 Komnas HAM mengirimkan berkas hasil penyelidikan kepada Jaksa Agung untuk ditindaklanjuti ke tahap penyidikan. Namun Jaksa Agung menolak melakukan penyidikan dan beberapa kali mengembalikan berkas tersebut ke Komnas HAM, terakhir pada 28 Maret 2008 Jaksa Agung mengirimkan kembalu berkas penyelidikan ke Komnas HAM dengan alasan “tidak dapat ditingkatkan ke tahap penyidikan.” Atas hal tersebut, Komnas HAM pada 28 April 2008 menyerahkan kembali berkas hasil penyelidikan kepada Jaksa Agung dan hingga saat ini masih belum juga dilakukan penyidikan.

Kedua, Komnas HAM melalui Tim Ad Hoc Penyelidikan Kerusuhan Mei 1998 telah menemukan adanya pelanggaran HAM yang berat dalam Kerusuhan Mei 1998. Pada 19 September 2003 telah menyerahkan Laporan Hasil Tim Ad Hoc Penyelidikan Kerusuhan Mei kepada Jaksa Agung untuk ditindaklanjuti ke tahap penyidikan. Jaksa Agung menolak melakukan penyidikan dengan beberapa kali mengembalikan berkas kepada Komnas HAM, terakhir pada 28 Maret 2008 dengan alasan menunggu terbentuknya Pengadilan HAM Ad Hoc. Atas hal tersebut, Komnas HAM menyerahkan kembali berkas penyelidikan pada 28 April 2008.

Ketiga, Kasus Penghilangan Orang Secara Paksa periode 1997-1998. Komnas HAM pada 21 November 2006 telah menyerahkan berkas hasil penyelidikan peristiwa Penghilangan Orang Secara Paksa (PPOSP) kepada Jaksa Agung untuk ditindaklanjuti ke tahap penyidikan. Jaksa Agung menolak melakukan penyidikan dengan beberapa kali mengembalikan berkas ke Komnas HAM, terakhir pada 28 Maret 2008 dengan alasan menunggu terbentuknya Pengadilan HAM Ad Hoc dan kasus ini diselesaikan dalam lingkup Peradilan Militer. Atas hal tersebut, Komnas HAM menyerahkan berkas hasil penyelidikan kepada Jaksa Agung pada 28 April 2008.

Keempat, Kasus Talangsari, Lampung, 1989. Komnas HAM pada 23 Oktober 2008 telah menyerahkan hasil Penyelidikan Peristiwa Talangsari kepada Jaksa Agung untuk ditindaklanjuti ke tahap penyidikan. Kejaksaan Agung belum melakukan penyidikan atas kasus Talangsari dengan alasan masih diteliti oleh Tim Peneliti Direktorat Penanganan Pelanggaran HAM yang berat dan menunggu terbentuknya Pengadilan HAM ad hoc. Namun hingga saat ini belum ada kejelasan kapan penyidikan akan dilakukan.

Kelima, Kasus Wamena-Wasior, Papua. Komnas HAM pada 3 September 2004 telah menyerahkan berkas hasil penyelidikan Peristiwa Wamena-Wasior untuk ditindaklanjuti ke tahap penyidikan. Namun Jaksa Agung kembali menolak untuk melakukan penyidikan dengan beberapa kali mengembalikan berkas ke Komnas HAM, terakhir pada 28 Maret 2008 dengan alasan hasil penyelidikan kurang lengkap. Atas hal tersebut, Komnas HAM kembali menyerahkan berkas penyelidikan kepada Jaksa Agung untuk diteruskan ke tahap penyidikan pada 15 September 2008.

Selain itu, dalam kasus Pembunuhan Aktivis HAM, Munir, Kejaksaan sangat lambat dan setengah hati atas usaha PK (Peninjauan Kembali) terkait putusan bebas terhadap Muchdi PR oleh Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan pasca putusan kasasi yang menyatakan N.O (Niet Ontvankelijk Verklaard) oleh Mahkamah Agung pada tanggal 15 Juni 2009 silam. Sebagai bentuk dan komitmen Jaksa Agung dalam rangka penegakan HAM, Jaksa Agung harus berani mengungkap pelaku yang sebenarnya dengan mengajukan PK.


Jaksa Agung tidak menghormati Mahkamah Konstitusi

Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Republik Indonesia No. 18/PUU-V/2007 atas permohonan uji materil terhadap pasal dan penjelasan pasal 43 (2) UU No 26 tahun 2006 tentang Pengadilan HAM. MK dalam keputusannya menyatakan bahwa pasal 43 ayat 2 tetap berlaku. MK menyatakan untuk menentukan perlu tidaknya pembentukan pengadilan HAM ad Hoc suatu kasus tertentu menurut locus dan tempus delicti memang memerlukan keterlibatan institusi politik yang mencerminkan representasi rakyat yaitu Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), tetapi DPR dalam merekomendasikan pembentukan pengadilan HAM ad Hoc harus memperhatikan hasil penyelidikan dan penyidikan dari institui berwenang, dalam hal ini Komnas HAM dan Kejasaan Agung.

Dengan demikian, menurut MK, Penjelasan Pasal 43 ayat (2) UU Pengadilan HAM sepanjang mengenai kata ”dugaan” bertentangan dengan konstitusi dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Atas hal tersebut, DPR tidak bisa lagi bisa menduga-duga tentang ada atau tidaknya dugaan pelanggaran HAM berat, dalam hal merekomendasikan pembentukan pengadilan HAM ad hoc, DPR harus memperhatikan hasil penyelidikan yang dilakukan oleh Komnas HAM dan penyidikan oleh Kejaksaan Agung. Putusan MK bersifat final, yakni putusan Mahkamah Konstitusi langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dan tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh.

Mengacu pada putusan MK, Jaksa Agung tidak bisa mengelak lagi untuk menolak melakukan penyidikan. Putusan ini justru memperjelas mekanisme dan proses Pengadilan HAM ad hoc, dimana Komnas HAM merupakan lembaga yang berwenang menentukan adanya dugaan pelanggaran HAM berat, hasil penyelidikannya diserahkan kepada Jaksa Agung untuk ditindaklanjuti ke tahap penyidikan. Setelah itu baru DPR merekomendasikan pembentukan pengadilan HAM ad hoc.

Berdasarkan hal tersebut, dalam rangka HUT Adhyaksa yang ke-50 seharusnya dijadikan momentum oleh Jaksa Agung untuk mengevaluasi kinerjanya dalam penanganan kasus-kasus Pelanggaran HAM yang berat dan membersihkan institusi Kejaksaan Agung dari “kotoran” yang selama ini mengendap.



* Penulis adalah Staf Pemantauan Impunitas dan Pemenuhan Hak Korban (KONTRAS), sekaligus Anggota Forum Belajar Bersama Prakarsa Rakyat dari Simpul Jabodetabek.

** Siapa saja dipersilahkan mengutip, menggandakan, menyebarluaskan sebagian atau seluruh materi yang termuat dalam portal ini selama untuk kajian dan mendukung gerakan rakyat. Untuk keperluan komersial pengguna harus mendapatkan ijin tertulis dari pengelola portal Prakarsa Rakyat. Setiap pengutipan, penggandaan dan penyebarluasan sebagian atau seluruh materi harus mencantumkan sumber (portal Prakarsa Rakyat atau www.prakarsa-rakyat.org).


Oleh : Akbar Rewako*


Tujuan pendidikan sejatinya adalah untuk membebaskan manusia dari kebodohan dan kemiskinan. Sistem pendidikan nasional pun mempunyai tujuan mulia yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa dan membentuk manusia Indonesia yang berkarakter serta bermoral baik. Untuk mencapai tujuan pendidikan nasional, negara berkewajiban melaksanakan pendidikan yang adil dan berkualitas seperti amanat Undang-Undang Dasar 1945. Misalnya dalam pasal 31 Ayat 1 UUD 1945 yang berbunyi, "Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan." Artinya bahwa semua rakyat Indonesia harus memperoleh akses terhadap pendidikan tanpa memandang jenis kelamin, ras, agama dan status sosial.

Namun, apa jadinya wajah pendidikan ketika dijadikan komoditas (barang dagangan) dan harganya sangat mahal? Fenomena anak bunuh diri karena tidak bisa membayar uang sekolah merupakan salah satu contoh realitas pendidikan. Subsidi pemerintah di sektor pendidikan ternyata belum mampu membantu anak-anak kurang mampu mengakses pendidikan. Buktinya, peserta didik masih dibebani biaya sekolah seperti seragam, buku, uang gedung dan biaya lainnya. Bahkan, untuk biaya seragam saja, orang tua harus “merogeh kocek” sebesar 1,8 juta rupiah. Orang tua siswa yang berasal dari golongan masyarakat miskin tentunya mengalami kesulitan membayar uang seragam sekolah. Supaya anaknya tetap bisa mengenyam pendidikan, orang tua murid terpaksa membeli seragam bekas di pasar “loakan”.

Mahalnya harga seragam di beberapa sekolah merupakan sebuah ironi di sistem pendidikan Indonesia. Institusi pendidikan tidak lagi dimaknai sebagai tempat mencari ilmu dan wadah pencerdasan masyarakat tetapi berubah menjadi tempat jualan pakaian. Momentum tahun ajaran baru ternyata dijadikan pihak sekolah untuk mencari keuntungan. Pihak sekolah menjual seragam dengan harga lebih tinggi jika dibandingkan dengan harga pakaian sekolah di pasar tradisional. Maraknya praktek jual-beli seragam sekolah dengan harga yang mahal merupakan salah bentuk komersialisasi pendidikan. Sekolah pada akhirnya menjadi tempat “berdagang” untuk mencari profit.

Selain persoalan biaya seragam yang mahal, paradigma yang masih berlaku di institusi pendidikan adalah sistem penyeragaman (uniform). Hampir seluruh sekolah mewajibkan murid-muridnya berpakaian seragam. Misalnya di Sekolah Dasar, seragam yang harus digunakan berwarna Putih-Merah, sepatu hitam, kaos kaki putih. Paradigma penyeragaman pakaian merubah wajah lembaga pendidikan menjadi tempat “fashion show.”


Padahal, kualitas pendidikan tidak ditentukan oleh seragam yang dipakai seorang murid tetapi kecakapan dan kepintaran yang dimiliki. Seragam bukan kebutuhan yang substansial tetapi yang terpenting adalah semua anak bisa sekolah meskipun pakaian mereka berwarna hitam, hijau, biru dan sebagainya. Penyeragaman pakaian akan membebani orang tua murid karena harus mencari dan membeli pakaian yang diwajibkan oleh pihak sekolah. Jika seorang murid tidak mampu berseragam sesuai yang ditentukan oleh pihak sekolah maka kesempatan untuk duduk dibangku sekolah akan hilang.

Pergeseran paradigma pendidikan sangat memprihatinkan. Pendidikan tidak ubahnya sebuah pakaian yang terpajang di mall-mall, hanya yang berduit yang bisa membeli. Seleksi masuk sekolah formal tidak lagi didasarkan pada kemampuan dan kualitas seseorang tetapi berdasarkan “rupiah.” Keadaan seperti ini membuat institusi pendidikan hanya bisa diakses dan dinikmati oleh orang yang berduit banyak sedangkan anak dari tukang becak, anak buruh, anak petani, dan anak dari golongan keluarga miskin hanya bisa menonton dan tentunya semakin bodoh. Keadaan seperti ini tidak ada bedanya dengan kondisi pendidikan pada zaman penjajahan dimana sekolah formal hanya bisa diakses oleh golongan bangsawan yang notabenenya mempunyai uang yang banyak. Padahal, jika mengacu lagi pada Pasal 31 Ayat 2 UUD 1945 yang berbunyi "Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya".

Sangat jelas bahwa negara mempunyai kewajiban untuk mengembangkan pendidikan dari segi pendanaan. Akan tetapi, pendidikan gratis hanya menjadi angan-angan dan harapan yang tidak akan tercapai. Jangankan gratis, alokasi anggaran pendidikan yang diamanatkan oleh UUD, pasal 31 ayat 4 UUD 1945 yang menyebutkan bahwa “Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) serta dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional.” belum tercapai dan terwujud sampai sekarang. Subsidi pendidikan sebesar 20% terealisasi di beberapa daerah. Anggaran 20% pun tidak murni untuk fasilitas pendidikan tetapi juga sudah termasuk gaji guru dan pembiayaan lainnya sehingga dana yang bisa dinikmati oleh anak-anak peserta didik hanya sedikit. Program Bantuan Operasional Sekolah (BOS) juga tidak bisa memberi solusi bagi persoalan pembiayaan di sektor pendidikan.

Apabila pemerintah serius menjalankan amanat Undang-Undang Dasar maka anak-anak bangsa bisa mengakses pendidikan. Pendidikan tanpa biaya (gratis) memberikan kesempatan setiap warga negara untuk bisa sekolah dan pada akhirnya bisa pintar sehingga dapat mengangkat derajat keluarga dan bangsa. Jika paragdigma pendidikan tidak dirubah menjadi lebih adil maka wajah pendidikan di Indonesia akan semakin suram.


* Penulis adalah anggota Keluarga Alumni Mahasiswa Gadjah Mada Yogyakarta, sekaligus Anggota Forum Belajar Bersama Prakarsa Rakyat dari Simpul Jawa Tengah.

** Siapa saja dipersilahkan mengutip, menggandakan, menyebarluaskan sebagian atau seluruh materi yang termuat dalam portal ini selama untuk kajian dan mendukung gerakan rakyat. Untuk keperluan komersial pengguna harus mendapatkan ijin tertulis dari pengelola portal Prakarsa Rakyat. Setiap pengutipan, penggandaan dan penyebarluasan sebagian atau seluruh materi harus mencantumkan sumber (portal Prakarsa Rakyat atau www.prakarsa-rakyat.org).


DATA BUKU:
 
Judul: THE TERRACOTTA ARMY: Kisah Misterius tentang  Pasukan Penjaga Makam Keramat Kaisar Pertama China

Penulis: John Man
Genre: Sejarah
Penerjemah: Haris Priyatna
Proofreader: Asep Sofyan
Ukuran: 13 x 20 cm (flap 8 cm)
Tebal: 384 halaman
Penerbit: Pustaka Alvabet
Harga: Rp. 65.000,-

SINOPSIS:

Tentara Terakota adalah patung-patung prajurit dan kuda yang ditemukan di sekitar Makam Kaisar Pertama China, Qin Shi Huang. Tentara Terakota pertama kali ditemukan pada 1974 oleh beberapa petani setempat di dekat Xi’an, Provinsi Shaanxi. Jumlah patung-patung itu diperkirakan lebih dari 8.000 prajurit, 130 kereta dengan 520 kuda dan 150 kuda kavaleri, yang sebagian besar masih terkubur di banyak lubang. Para arkeolog percaya bahwa ada banyak lubang yang masih menunggu untuk ditemukan.

Terkubur di dalam tanah sejak 210 SM, Tentara Terakota bertugas sebagai “tentara gaib” penjaga makam sang kaisar. Kaisar Qin Shi Huang, penguasa brilian sekaligus kejam pemersatu China dan pembangun Tembok Besar China pertama, konon dihinggapi paranoia dan berambisi untuk tetap berkuasa bahkan dalam kehidupan di alam baka, sebagaimana ia berkuasa di dunia. Tak pelak, di sekeliling gundukan makam raksasanya, yang hingga kini tetap tertutup, lubang-lubang terowongan lain menyembunyikan dunia gaib para pejabat negara, prajurit, kereta, kuda, penghibur, dan musisi.

Penemuan ini mengungkap salah satu rahasia besar dalam sejarah China, dan sekaligus membuka jalan bagi penemuan arkeologis terbesar sepanjang masa. Dan, dengan merangkai sejarah dan pengalaman tangan-pertama dari berbagai perjalanannya di China, John Man mengisahkan riwayat sejarah tentang bagaimana dan mengapa artefak-artefak yang mengagumkan ini diciptakan pada abad ke-3 SM.
“Penemuan Tentara Terakota… merupakan temuan arkeologis terbesar di abad ke-20.”
—Sunday Times

“Brilian dan sangat enak dibaca. Lebih mirip kisah petualangan… dengan detail yang mengagumkan.”
—Library Journal

“Kisah yang mendalam mengenai akar pembentuk kebudayaan unik China.”
—Sun Lakes Splash


TENTANG PENULIS:

John Man, bermukim di London, adalah sejarawan dan travel writer dengan minat khusus ihwal Mongolia. Setelah menyelesaikan studi mengenai Jerman dan Prancis di Oxford, ia mengambil dua program sekolah pascasarjana: kajian sejarah sains di Oxford dan studi bangsa Mongol pada School of Oriental and African Studies di London.

Karyanya, Gobi: Tracking the Desert, adalah buku pertama tentang topik tersebut sejak 1920-an. Ia juga pengarang Atlas of the Year 1000, sebuah potret dunia pada pergantian milenium; Alpha Beta, tentang awal mula alfabet; The Gutenberg Revolution, sebuah telaah tentang asal-usul dan dampak percetakan; The Great Wall, buku sejarah mengenai situs keajaiban dunia di China, Tembok Besar; dan The Leadership Secrets of Genghis Khan, prinsip dan rahasia sukses kepemimpinan Jenghis Khan. Selain itu, John Man juga menulis Genghis Khan, Kublai Khan, dan Attila the Hun—ketiganya buku mengenai biografi tokoh legendaris dalam sejarah kekaisaran kuno. Berkat karya-karya itu, John Man dengan cepat menjadi salah satu sejarawan dunia yang tulisannya paling banyak dibaca.

=============================
PT Pustaka Alvabet (Penerbit)
Jl. SMA 14 No. 10, Cawang, Kramat Jati,
Jakarta Timur, Indonesia 13610
Telp. +62 21 8006458
Fax.  +62 21 8006458
www.alvabet.co.id

Oleh: Arkilaus A. Baho


Usia Negara Kesatuan Republik Indonesia yang ke 65 sudah dirayakan. Apa sih yang dimaknasi dari merdeka. Oleh banyak kalangan, dirgahayu RI mendapat beragam corak dan makna tentang merdeka “ Merdeka versi mereka”. Apa yang terucap dari eks pejuang 45 tentu beda dengan generasi reformasi di era globalisasi ini. Iya, saya ini mantan pejuang 45 tapi tanah saja tidak punya, air saja harus beli, ungkap seorang bapak pejuang 45 jelang perayaan hari proklamasi 17 Agustus. Oh..Indonesia tanah air mereka dalam memaknai merdeka.

Menurut mereka, "Seharus perkebunan sawit yang ada sebagian milik perusahaan dan sebagian lagi milik rakyat, namun kenyataannya sekarang ini sebagian besar perkebunan sawit milik perusahaan," kata kepala Bidang Perkebunan Dinas Pertanian, Perkebunan dan Peternakan (Distanbunnak) Babel, Zamdani, di Pangkalpinang. Lanjut lagi kata mereka, Sebagian besar warga di tujuh kecamatan, di Kabupaten Rembang, Jawa Tengah, tidak mengibarkan bendera Merah Putih pada 17 Agustus 2010, padahal pemerintah kabupaten setempat sudah mengimbaunya.

Merdeka menurut mereka di pucuk kekuasan selalu saja diwarnai dengan huru hara merah putuh, harus ada pengibaran, harus ada upacara, harus ada penghormatan. Berbeda dengan merdeka menurut para petani yang lahanya disabotase perusahaan. Bagi mereka, perusahaan jangan kuasai semua lahan milik mereka nanti mereka tidak dapat pekerjaan dan penghasilan.

Suasana kemerdekaan di istana Negara pada saat upacara pun berbeda dengan suasana 17 Agustus di perkampungan pedalaman Papua. Kalau di Istana, pada gegap gempita, semangat patriotisme meluap-luap menyambut detik-detik proklamasi. Bahkan pekikan prolamasi pun bisa didengar langsung oleh hadirin dan para undangan. Apakah pekikan dan patriotisme proklamasi di istana Negara juga didengar oleh mereka para petani yang menderita karena lahan mereka disabotase perusahaan. Apakah pekikan merdeka di istana juga di ikuti suku koroi di Papua?. Yang jelas tidak ada mengheningkan cipta di hutan rimba Papua tempat suku korowai berdomisili. Begitu juga, tidak ada hembusan Indonesia raya di areal para petani sawit, atau tujuh kecamatan yang tidak mengibarkan bendera merah putih.

Runtuhnya nasionalisme juga akibat tidak maksimalnya pemerintah bahkan rezim sendiri yang tidak mengerti apa itu makna merdeka. Yang ada hanya tebar pesona di panggung kekuasaan, yang ada hanya tebar janji akan dan akan. SBY saja pidato 16 Agustus di DPR RI penuh dengan kalimat “ AKAN”. Orang awam jadi semakin tidak mengerti arti merdeka. Merdeka menurut mereka jadi tidak berarti apa-apa. Iya, menurut mereka, kasus konflik SDA di Papua “ Freeport “, kasus hukum skandal Century, rekening gendut polisi, masalah hutan dan hasil kekayaan alam lainya dibabat habis investot asing, masalah utang luar negeri. Semuanya menjadi misteri seketika pemerintahan SBY penuh pencitraan. Nah, itulah karakter merdeka menurut mereka “ pemerintahan citra-SBY-Boed”.

Rantai merdeka menurut para sejarawan Negara ini, jaman presiden sukarno, seluruh rakyat antusias merayakan kemerdekaan 17 Agustus. Apa sih yang terjadi era Sukarno sehingga sebangsa merasakan adanya senasib. Yah, Beliau anti kapitalisme, imperialisme dibersihkan dari tataran proklamasi Indonesia raya. Malah yang banyak mengeluh adalah antek-antek kapitalisme. Rantai kemerdekaan yang disambut antusias warga Negara ini pupus dan diputuskan sejak cengkraman kapitalisme baru menunjukan batang hidung mereka lewat Freeport dari Amerika Serikat. Perawan kemerdekaan itu dihancurkan, terbukalah seluas-luasnya hutan, tanah, air, yang menyimpan kekayaan alam rakyat Indonesia di perkosa, dijarah, dibabat habis semua.

Itulah merdeka versi mereka. Orde baru sampai orde gurita cikeas yang berwatak keong racun, sama-sama mengangap merdeka sama dengan datangkan perusahaan menjarah negeri ini, dengan harapan, tetesan capital mampu mewujudkan kesejahteraan, kemakmuran, ketentraman, dan keadilan. Apa yang terjadi?. Antusias warga menyambut dirgahayu menjadi drastic menurun. Kebanyakan rakyat Indonesia focus selesaikan masalah mereka sendiri karena mereka anggap pemerintah tidak ada. Bahkan, perayaan kemerdekaan pun dilakukan dengan berbagai cara menurut mereka. Itupun bersyukur dirayakan, tapi kebanyakan apatis saja.

Enam puluh lima tahun Indonesia merdeka. Tetapi diPapua atau daerah lainya pemerintah harus gunakan cara-cara persuasive untuk memaksa warga berpartisipasi. Kesbangpol adalah pihak yang merasa ternodai bila saja seruan mereka untuk perayaan kemerdekaan tidak dilaksanakan.

Nah, merdeka versi mereka itulah kewajaran dalam pembelajaran bagi Indonesia yang pluralism, kebinekaan dan pancasilais, Sosialis. Ingat slogan berbeda-beda tetapi tetap satu. Iya, walaupun hari ini (17 Agustus) tidak hormat bendera atau tidak kibarkan bendera, tetap saja tinggal di Negara Indonesia toh. Yang jadi persoalan adalah, apatisme warga yang kian buntut akibat banyaknya masalah yang dihadapi rakyat sama saja Indonesia bukan Negara merdeka. Karena rakyat semakin menderita tanpa penyelesaian untuk mengakhirinya. Negara bertujuan untuk memajukan dan meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran, itulah tujuan mendirikan Negara. Maka itu, bila selamanya tidak bisa merdeka dan berdaulat, selamanya tidak ada Negara.

 
===================================
SATU LANGIT-SATU MATAHARI-SENASIB
===================================

Email:
arnesius_pembebasanpapua@yahoo.com
arkilaus_pembebasanpapua@ymail.com
raden_ok@yahoo.com
arnesius@gmail.com
Blogsite - Facebook
 
***

DIATAS BATU INI SAYA MELETAKAN PERADABAN ORANG PAPUA, SEKALIPUN ORANG MEMILIKI KEPANDAIAN TINGGI, AKAL BUDI DAN MARIFAT TETAPI TIDAK DAPAT MEMIMPIN BANGSA INI, BANGSA INI AKAN BANGKIT DAN MEMIMPIN DIRINYA SENDIRI.

(Pdt. I.S.Kijsne Wasior 25 Oktober 1925)



Bagai oase di padang pasir. Begitulah peribahasa yang tepat untuk film nasional berkualitas. Dan film ini adalah salah satunya. Penonton dibawa menuju realitas yang ada di Jakarta yang begitu suram nan menyedihkan. Agak kaget juga kami menyaksikan film ini, mereka cukup berani membuat film kehidupan dengan tema komedi seperti ini, salut.

Tentu saja ini tak lepas dari bagusnya akting para pemain dan briliannya skenario yang ditulis oleh Musfar Yasin, semesta mendukung dan akhirnya film yang disutradarai oleh Deddy Mizwar berhasil dieksekusi dengan baik. Apalagi sinematografinya digarap oleh Yudi Datau, jaminan untuk gambar indah dan artistik.

Pujian layak disematkan untuk akting anak2 yang bermain dalam film ini, terutama yang memerankan Komet. Mereka bermain sangat natural dan benar2 merefleksikan anak jalanan yang sesungguhnya. Sakura Ginting juga, walaupun tidak mendapatkan porsi yang cukup, tetapi berhasil beberapa kali membuat penonton terbahak.

Mau melihat Deddy Mizwar mengkritik habis2an kerja pemerintah? Tonton film ini, niscaya anda akan dibuat tertawa. Di tengah2 memang alurnya agak dragging dan adegan upacara bendera terlihat agak berlebihan. Tapi tunggu, ending yang sangat emosional dan menyentuh hati penonton (dan pastinya menohok para petinggi negeri ini) akan membayar semua kekurangan tersebut. Apalagi diiringi pula oleh lagu Tanah Airku karangan ibu Sud yang juga turut membuat suasana makin mengharu biru.

Tak pelak lagi, ini merupakan salah satu ending terbaik dari film nasional yang pernah kami saksikan.


DownloadLink EnterUpload1:

Movie Part_01

DownloadLink EnterUpload2:

Movie Part_01

DownloadLink MediaFire:
Movie Part_01


Sumber: thehack3r



Merah Putih adalah film bergenre fiksi sejarah yang mengambil latar temporal masa revolusi fisik pasca-1945. Berkisah tentang perjuangan lima kadet yang mengikuti latihan militer di sebuah kota di Jawa Tengah. Mereka, Amir (Lukman Sardi), Tomas (Donny Alamsyah), Dayan (Teuku Rifnu), Senja (Rahayu Saraswati), dan Marius (Darius Sinathrya), masing-masing punya latar belakang, suku, dan agama yang berbeda. Suatu ketika, kamp tempat mereka berlatih diserang tentara Belanda. Seluruh kadet kecuali lima sekawan itu dibunuh. Mereka yang berhasil lolos, bergabung dalam pasukan gerilya Soedirman di pedalaman Jawa.

DownloadLink:
Merah Putih Part 1:
Merah Putih Part 2:




Kisah Bayu (Emir Mahira), dalam mengejar mimpinya terpilih sebagai pemain nasional U13 mendapat tantangan keras oleh kakeknya Usman (Ikranegara)., dengan alasan trauma atas meninggalnya ayah Bayu yang juga pemain bola.

Kakek Usman menggunakan segala akal agar Bayu tidak memiliki waktu untuk bermain bola. Segala macam les mulai dari musik, lukis, hingga ke pelajaran sekolah didaftarkan untuk Bayu. Namun, setiap hari dengan penuh semangat, Bayu menggiring bola menyusuri gang-gang di sekitar rumahnya sambil men-dribble bola untuk sampai ke lapangan bulu tangkis dan berlatih sendiri di sana.

Heri, sahabat Bayu sangat yakin akan kemampuan dan bakat Bayu. Dialah motivator dan 'pelatih' cerdas yang meyakinkan Bayu agar mau ikut seleksi untuk masuk Tim Nasional U-13 yang nantinya akan mewakili Indonesia berlaga di arena internasional. Namun kakek Bayu, sangat menentang impian Bayu karena baginya menjadi pemain sepak bola identik dengan hidup miskin dan tidak punya masa depan.

Tak mendapat tempat untuk latihan pun tak jadi kendala. Kuburan yang diidentikkan sebagai tempat angker diubah menjadi tempat latihan yang menyenangkan. Dibantu teman baru bernama Zahra yang misterius, Bayu dan Heri harus mencari-cari berbagai alasan agar Bayu dapat terus berlatih sepak bola. Tetapi hambatan demi hambatan terus menghadang mimpi Bayu.

Namun kebohongan demi kebohongan yang dilakukan Bayu, akhirnya diketahui oleh sang kakek. Sang kakekpun mendapat serangan jantung karenanya.

Apakah Bayu akan tetap melanjutkan segala impiannya bermain bola?

DownloadLink DISINI:

Oleh : Chrisbiantoro*


Pada hari Selasa, 27 Juli 2010, kita kembali diingatkan pada sebuah tragedi kemanusiaan yang terjadi empat belas tahun lalu. Sebuah catatan sejarah yang sulit untuk dilupakan, namun sakit jika terlintas dalam ingatan, khususnya bagi mereka yang menjadi korban. Mungkinkah kebenaran peristiwa ini terungkap?

Sebagai sebuah awalan, saya hendak menyegarkan kembali ingatan kita tentang tragedi ini. Sejauh ini, banyak pihak menyebut kasus 27 Juli 1996 dengan istilah tragedi atau peristiwa atau bahkan pelanggaran HAM berat, namun apapun itu, terpenting bagi kita adalah terus mengingatkan publik terhadap kebenaran sejarah yang masih tersembunyi dan keadilan yang masih menggantung. Ironisnya keadilan seakan sulit dihadirkan di negeri ini. Sepertinya pemerintahan transisi demokrasi kesulitan menghadirkan keadilan bagi warisan kejahatan terhadap Hak Asasi Manusia.


Reproduksi Ingatan

Dalam tulisan ini saya akan menggunakan istilah peristiwa untuk mendaur ulang ingatan kita yang sudah lewat empat belas tahun lamanya. Publik, selama ini lebih mengenal peristiwa ini dengan nama Kudatuli (Kudeta Dua Puluh Tujuh Juli), sebuah peristiwa yang belum jelas maknanya hingga kini, apakah penyerangan, kudeta. Bahkan, sejarah versi orde baru menuliskan bahwa peristiwa ini adalah pengambilalihan kantor oleh penguruh PDI yang sah terhadap pengurus pimpinan Megawati yang dinyatakan tidak sah.

Namun apapun itu, gedung di Jalan Diponegoro Nomor 58 Jakarta Pusat, menjadi saksi bisu bagi peristiwa bersejarah yang pernah terjadi di tempat itu. Gedung yang saat ini nampak kurang terawat tersebut, seolah masih menyimpan rapat-rapat kebenaran sejarah empat belas tahun lalu.

Terlepas dari fakta tersebut, sejarah mencatat bahwa pengambilalihan kantor DPP PDI tersebut terjadi setelah Kongres Luar Biasa (KLB) yang dihelat di Surabaya, dari tanggal 2-6 Desember 1993 dengan keputusan akhir mengukuhkan Megawati Soekarno Putri sebagai ketua umum DPP PDI.

Kemelut sejarah mulai menyalak, sesaat setelah hasil KLB di Surabaya diumumkan, perdebatan demi perdebatan terjadi, hingga puncaknya pada tanggal 27 Juli 1996 massa PDI kubu Soerjadi dengan “leluasa” menyerang massa kubu Megawati Soekarno Putri yang berada di dalam gedung tanpa hadangan dan upaya serius dari aparat keamanan (TNI/ POLRI) untuk mencegah pecahnya bentrokan.

Akibat peristiwa tersebut, banyak jatuh korban dan kerugian, namun kasus ini baru terangkat ke permukaan setelah reformasi 1998. Pada bulan Agustus tahun 2003, Komnas HAM memasukkan peristiwa 27 Juli ke dalam kajian terhadap kejahatan Soeharto dalam kesimpulannya kasus ini dinyatakan sebagai pelanggaran HAM berat dan direkomendasikan pembentukan tim penyelidik pro justisia.

Versi temuan Komnas HAM menyebutkan, akibat penyerangan oleh massa kubu Soerjadi dan pembiaran yang dilakukan oleh aparat keamanan, khususnya yang sedang bertugas saat itu, mengakibatkan sekitar lima orang meninggal, masing-masing atas nama Asmayadi Soleh, Suganda Siagian, Slamet, Uju Bin Asep dan Sariwan. Selain itu, Komnas HAM juga mencatat 11 orang meninggal di RS Pusat Angkatan Darat, kemudian 149 orang luka-luka dan 124 orang ditahan secara paksa.

Terakhir, dalam laporan pemantauan dan pengkajian, Komnas HAM menyimpulkan bahwa kasus ini adalah pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat, namun tidak nampak upaya lanjutan dari rekomendasi tersebut.


Menjala Kakap, Dapat Teri

Tujuh tahun berselang, tepatnya pasca reformasi, sepanjang 2002-2003 pemerintah menggelar pengadilan Koneksitas untuk kasus 27 Juli. Namun pengadilan ini hanya menghadirkan para terdakwa yang bertanggungjawab di tingkat lapangan.

Mereka yang dihadapkan ke pengadilan koneksitas antara lain, Kolonel CZI Purn Budi purnama, pada saat peristiwa sebagai Komandan Detasemen Intel Kodam Jaya. Kemudian Kapten INF Suharto selaku Danki C Detasemen. Lalu dari kalangan sipil yang dihadirkan di antaranya Muhammad Tanjung dan Rahimmi Ilyas alias Buyung yang bekerja sebagai buruh perusahaan swasta serta Yonathan Marpaung yang berprofesi wiraswasta.

Walhasil, pengadilan ini tidak mampu menghadirkan rasa keadilan bagi korban. Para terdakwa ataupun saksi yang dihadirkan belum merepresentasi pemegang orotitas pemerintahan baik sipil maupun militer yang bertanggungjawab secara administrasi dan keamanan dalam pemerintahan, ketika peristiwa 27 Juli meletus.

Sekedar menyegarkan ingatan, bahwa mereka yang memegang tanggungjawab keamanan di Ibu Kota pada saat itu adalah Letjen TNI Sutiyoso selaku Pangdam Jaya, Mayjen TNI Zacky Anwar Makarim, selaku Kepala BIA, Letjen TNI Syarwan Hamid selaku Kepala Staf bidang Sosial Politik ABRI dan Jenderal (Purn) Soesilo Bambang Yudhoyono selaku mantan Kasdam Jaya.


Jalan Liku Meretas Harapan

Setelah peristiwa tersebut, kubu Megawati Soekarno Putri kemudian mendeklarasikan PDI Perjuangan dan partai ini kemudian memenangi Pemilu legislatif pada tahun 1999 hingga mengantarkan Megawati menjadi wakil Presiden mendampingi KH Abdurrahman Wahid (Gusdur).

Seiring menguatnya posisi PDIP dan Megawati, harapan keluarga korban dan masyarakat juga turut menguat atas penyelesaian peristiwa 27 Juli. Puncaknya ketika Megawati Soekarno Putri menggantikan Gusdur menjadi Presiden RI ke -5. Namun harapan tersebut tak kunjung menjadi kenyataan, sepanjang Megawati dan PDIP berkuasa, praktis belum menunjukan indikasi serius bahwa kasus ini akan dibuka, meski hasil kajian dan pemantauan Komnas HAM menyebutkan peristiwa ini sebagai pelanggaran HAM berat.

Pun demikian kondisinya, pasca Megawati lengser dan digantikan oleh Soesilo Bambang Yudhoyono sebagai presiden RI ke-6, praktis tidak nampak geliat serius untuk membuka kembali kasus ini. Memang tidak menutup mata bahwa sejauh ini muncul riak-riak kecil untuk menuntut penyelesaian kasus ini, namun tidak bertahan lama karena suaranya hanya sayup-sayup terdengar di tengah hiruk-pikuk isu politik yang terus muncul dan mendera negeri ini.

Justru nampak sebaliknya, mereka yang menjadi korban dalam peristiwa ini menjadi balada kaum yang terpinggirkan karena tidak mendapat tempat dalam sejarah yang masih dituliskan oleh penguasa. Peristiwa 27 Juli akhirnya hanya menggenapi katalog hitam catatan kemanusiaan di negeri ini, tak lebih dari itu.

Empat belas tahun, tentu bukanlah waktu yang pendek bagi mereka yang jadi korban untuk terus menunggu. Empat belas tahun juga bukanlah waktu yang direncanakan oleh mereka yang jadi korban untuk terus mengingat. Akhirnya, saya ingin menutup tulisan ini dengan menekankan bahwa kejahatan kemanusiaan di masa lalu tidak bisa dikubur dan dilupakan begitu saja, jika negeri ini ingin membangun masa depan yang lebih baik, maka peristiwa masa lalu haruslah dilihat dan diperlakukan secara proporsional dengan memusatkan perhatian kepada mereka yang menjadi korban. Hal ini penting, agar ke depan peristiwa-peristiwa serupa tidak terulang dan impunitas tidak menjadi penyakit akut di negeri ini.


* Penulis adalah anggota Badan Pekerja KontraS, sekaligus Anggota Forum Belajar Bersama Prakarsa Rakyat dari Simpul Jabodetabek.

** Siapa saja dipersilahkan mengutip, menggandakan, menyebarluaskan sebagian atau seluruh materi yang termuat dalam portal ini selama untuk kajian dan mendukung gerakan rakyat. Untuk keperluan komersial pengguna harus mendapatkan ijin tertulis dari pengelola portal Prakarsa Rakyat. Setiap pengutipan, penggandaan dan penyebarluasan sebagian atau seluruh materi harus mencantumkan sumber (portal Prakarsa Rakyat atau www.prakarsa-rakyat.org).








Seorang anak pastinya ingin membahagiakan orang tuanya. Tapi seiring berjalannya waktu, ketika sang anak memiliki hidup dan mimpinya yang ingin diraihnya, membuat kebahagiaan orang tua sedikit tergeser. Hal inilah yang ingin diangkat oleh sutradara muda Aditya Gumay lewat film EMAK INGIN NAIK HAJI.

Kisah diawali dengan kehidupan Zein (Reza Rahadian) dan Emak (Aty Kanser) di pesisir pantai. Zein yang sibuk dengan hidup rumah tangganya, akhirnya harus menerima kenyataan pernikahannya gagal dan harus menjadi duda. Hidup berdua, setelah sang ayah dan kakaknya meninggal, membuat Zein sangat menyayangi emaknya. Untuk hidup sehari-harinya, Zein bekerja sebagai penjaja lukisan keliling. Emak sendiri bekerja sebagai pembantu di keluarga Bang Haji (Didi Petet).

 Suatu hari, Zein menyadari ada satu mimpi emaknya yang belum terwujud, yakni menunaikan ibadah haji. Sadar bahwa bukan orang berada, Emak rela menabung bertahun-tahun untuk mewujudkan mimpinya. Zein yang melihat semangat sang emak untuk bekerja dan menabung meski usia emaknya sudah tidak muda lagi, membuat hatinya tergerak. Secara tak sengaja, ia melihat program undian berhadiah yang hadiahnya naik haji jika berbelanja suatu produk dengan kelipatan tertentu. Ia pun mengumpulkan kupon undian yang dibuang pengunjung. Selang beberapa hari kemudian, di sebuah koran ia melihat pengumuman undian tersebut. Antara percaya dan tidak, nomor undian milik Zein lah yang memenangkan hadiah utama untuk naik haji.

DownloadLink EnterUpload1:
EINH Part_01
EINH Part_02

DownloadLink EnterUpload2:
EINH Part_01
EINH Part_02

DownloadLink EnterUpload3:
EINH Part_01
EINH Part_02

DownloadLink EnterUpload4:
EINH Part_01
EINH Part_02


Keterangan:
-Untuk download silahkan pilih dari salah satu server yang disediakan diatas....
-Buka dengan HJSpliter, jika belum punya, silahkan download DISINI
-Sumber: thehack3r.com


Pesantren Daarul QurĂ n yang terletak di desa Wangen, Polanharjo, Klaten adalah pesantren terbesar di Jawa Tengah bagian selatan. Pesantren itu diasuh oleh ulama kharismatik yaitu Kyai Luthfi Hakim.
 
Suatu waktu Kyai Luthfi Hakim harus menunaikan nadzarnya, tinggal di samping Masjidil Haram setengah tahun lamanya. Maka amanah mengasuh pesantren jatuh ke pundak menantu dan putrinya yaitu Azzam dan Anna Althafunnisa. Di sinilah cerita sinetron spesial ini dimulai.


DownloadLink EnterUpload1:

DownloadLink EnterUpload2:

DownloadLink MediaFire:
KCB2SR2010 Episode_01
KCB2SR2010 Episode_02
KCB2SR2010 Episode_03
KCB2SR2010 Episode_04
KCB2SR2010 Episode_05
KCB2SR2010 Episode_06
KCB2SR2010 Episode_07
KCB2SR2010 Episode_08
KCB2SR2010 Episode_09
KCB2SR2010 Episode_10
KCB2SR2010 Episode_11
KCB2SR2010 Episode_12
KCB2SR2010 Episode_13          


Keterangan:
-Password pada server MediaFire adalah: KCB
-Untuk download silahkan pilih dari salah satu server yang disediakan diatas....
-Karna filenya bereksistensi rmvb, jadi kalo play dengan GOM PlayerK-Lite Codec with MPC tidak bisa, coba play dengan Real Player
-Sumber: thehack3r.com

;;