Oleh : Lubabun Ni’am*


Kampanye pengendalian tembakau sebagai gerakan “kesehatan global” semakin dapat dilacak dalam beragam bentuk kebijakan di Indonesia, baik di tingkat pusat maupun daerah. Sampai hari ini, negara kita belum berniat untuk meratifikasi konvensi internasional dalam rangka menyokong kampanye pengendalian tembakau, yaitu FCTC (Framework Convention on Tobacco Control), yang disusun oleh Badan Kesehatan Dunia (WHO) pada 2003 silam. Baik dari pihak eksekutif maupun lembaga legislatif di Senayan, sampai detik ini belum terdengar komitmen untuk meratifikasi FCTC.

Namun, substansi FCTC bukan tidak diterima oleh pemimpin negeri ini. Sebagian besar batang tubuh RUU Pengendalian Dampak Konsumsi Produk Tembakau terhadap Kesehatan—yang tahun ini masuk dalam Program Legislasi Nasional—ternyata hanya merupakan terjemahan Indonesia dari pasal-pasal di dalam FCTC. Sejumlah daerah malah sudah memberlakukan peraturan daerah yang mendorong upaya pengendalian tembakau menjadi semakin masif, meskipun tidak berjalan optimal di lapangan. Iklan-iklan rokok masih bertebaran di sepanjang jalan dan kepulan asap rokok pun beterbangan memenuhi ruang-ruang publik.

Istilah yang paling tepat untuk mewakili situasi ini adalah “potong kompas”. Kita tidak meratifikasi konvensi internasional pengendalian tembakau, tetapi memiliki produk-produk kebijakan yang senapas dengan konvensi tersebut. Kita juga belum mengesahkan regulasi pengendalian tembakau di tingkat pusat, tetapi ramai-ramai memberlakukan peraturan-peraturan daerahnya. Tanpa komando pun tampak kita terlalu bergairah dan larut dalam kampanye pengendalian tembakau. Situasi ini menyebabkan kita tidak memedulikan lagi dampak sosial-ekonomi yang bakal menyerang diri sendiri di balik kegairahan mengutuk tembakau.

Hulu sampai hilir

Dampak dari kampanye pengendalian tembakau minimal mengarah pada perubahan peta hubungan industrial rokok dari hulu sampai hilir, dari pertanian tembakau sampai penjualan rokok oleh pedagang kelontong dan kaki lima. Belum lagi nadi perekonomian lain yang lazim disokong oleh industri rokok, seperti periklanan dan event-event olahraga atau musik. Lebih dari itu, kampanye pengendalian tembakau juga berdampak pada kedaulatan hidup petani dan penguasaan lahan tembakau di masa depan.

Pertama, apabila seruan “konsumsi rokok sebagai perilaku membahayakan diri sendiri dan perokok pasif” benar-benar menjadi diskursus dominan, industri rokok di dalam negeri memang tidak bakal lenyap dalam sekejap. Dia akan tetap hidup, tetapi dalam monopoli perusahaan-perusahaan rokok asing multinasional. Hal ini bukan situasi yang baru dalam industri rokok di Indonesia. Artinya, di pelosok negeri ini masih tetap ada pedagang kaki lima yang menjual rokok eceran, tetapi dengan harga yang lebih mahal lantaran cukai terhadap produk rokok dipatok setinggi-tingginya.

Taruhlah sebuah gambaran peta industri rokok di Tanah Air sudah dimonopoli perusahaan nonpribumi, maka cukai atas produk rokok tidak akan mengenal landasan etis. Pasalnya, cukai tersebut dikenakan terhadap produk dari perusahaan asing sehingga diasumsikan tidak ada warga negara Indonesia yang dirugikan dengan dalih menyasar pihak investor mancanegara. Padahal, secara historis perusahaan-perusahaan rokok itu dirintis dan dikembangkan oleh anak

bangsa sendiri secara turun-temurun. Secara kultural pun perusahaan-perusahaan itulah yang terbukti menyangga tradisi Nusantara berupa rokok kretek di tengah serbuan rokok putih.

Kedua, petani yang selama ini secara berdaulat menanam tembakau sebagai bagian dari kehidupan sosiokultural, praktis akan berada dalam ikatan dan kontrol asing. Petani menanam tembakau untuk dijual “hanya dan hanya jika” kepada perusahaan rokok multinasional yang mengikatnya dalam sistem kemitraan. Ribuan petani tembakau di Indonesia sudah berada dalam potret serupa itu. Hasilnya adalah tenaga mereka diserahkan secara terkuras kepada perusahaan rokok semata. Petani tidak leluasa menanam jenis tembakau yang dianggap menguntungkan karena mereka tercerabut dari pasar tembakau yang ditanam sendiri.

Hanya saja, perubahan sosial ke arah kekelaman tersebut tidak sesederhana bayangan. Petani tidak mungkin sedemikian mudah menerima, misalnya, dana bantuan untuk pengalihan penanaman dari tembakau ke tanaman pangan atau tanaman komersial yang lain. Dana bantuan seperti ini rupanya sudah mulai dikucurkan oleh pemerintah pusat untuk beberapa daerah. Percayalah, sejauh petani tidak memercayai bahwa tanaman komersial lain sanggup menjamin pendapatan dan kesejahteraan mereka ketimbang tembakau, petani akan terus bertindak menuruti rasionalitasnya sendiri. Seolah seperti “pembangkangan”, dana bantuan tersebut tetap dialokasikan sebagai modal untuk menanam tembakau.

Ketiga, ratusan ribu hektar lahan subur yang secara konvensional merupakan areal penanaman tembakau akan berada dalam penguasaan pemodal nonpribumi. Ini adalah konsekuensi logis dari penguasaan industri rokok nasional oleh perusahaan besar multinasional. Penguasaan lahan ini dilakukan sesuai target produksi perusahaan tersebut. Artinya, di luar kebutuhan produksi rokok, pada suatu waktu tertentu sebagian lahan terbengkalai karena permintaan rokok menurun, pada waktu yang lain perusahaan itu akan mencaplok tanah lebih luas lagi karena permintaan rokok sedang naik. Lahan sebagai modal masyarakat agraris tidak lagi berada dalam kendali cangkul petani, tetapi digerakkan oleh mesin-mesin produksi rokok semata.

Kedaulatan kultural

Kita tidak pernah terlambat apabila segera menyadari tengah meniti jalan yang tidak tepat. Kampanye pengendalian tembakau digerakkan oleh landasan “kesehatan global”, tetapi disuntikkan pada pertanian tembakau dan industri rokok dalam negeri yang berdiri di atas landasan “kedaulatan kultural”. Kedaulatan kultural ini menyangkut aspek tenaga kerja dan tanah—dua modal pokok bagi bangsa manapun—yang wajib dikelola secara mandiri dan berdikari agar tidak terjerembab menjadi bangsa kuli dan terus berada di bawah monopoli asing. Dampak sosial-ekonomi di balik kampanye pengendalian tembakau sudah terpapar di depan mata. Kita harus berhenti menjual kedaulatan!


* Penulis adalah pengamat petani tembakau dan kretek Indonesia, sekaligus Anggota Forum Belajar Bersama Prakarsa Rakyat dari Simpul Jawa Tengah.

** Siapa saja dipersilahkan mengutip, menggandakan, menyebarluaskan sebagian atau seluruh materi yang termuat dalam portal ini selama untuk kajian dan mendukung gerakan rakyat. Untuk keperluan komersial pengguna harus mendapatkan ijin tertulis dari pengelola portal Prakarsa Rakyat. Setiap pengutipan, penggandaan dan penyebarluasan sebagian atau seluruh materi harus mencantumkan sumber (portal Prakarsa Rakyat atau www.prakarsa-rakyat.org).

Sumber: PrakarsaRakyat

0 Comments:

Post a Comment