Oleh : Wiwin*

Setelah beberapa lama ter-PHK dari pabrik jamur di kotaku, aku berniat kerja menjadi TKW di Malaysia dengan harapan ingin meraih sukses. Aku mendatangi PJTKI -PT. Okdo Harapan Mulia- untuk mendaftar menjadi TKW, menyusul adik sepupuku yang sudah satu setengah tahun bekerja di Malaysia. Aku datang ke PJTKI bersama kawan yang baru juga ter-PHK dan kebetulan kami satu organisasi. Katanya kami dijanjikan kerja satu majikan di Malaysia. Kira-kira empat bulan proses di PJTKI, ternyata kawanku terlebih dahulu dipanggil untuk berangkat. Aku menyusul satu bulan kemudian yaitu di akhir tahun 2008.

Kami diberangkatkan lewat Bandara Juanda Surabaya. Sebelum keberangkatan kami ditampung di PT yang ada di Surabaya. Kami bergabung dengan calon TKW lainnya dari hampir seluruh Indonesia. Banyak hal yang kami alami selama di penampungan. Kesedihan dan kesemena-menaan yang dilakukan ibu asrama, apalagi tiap hari pasti ada calon TKW yang kesurupan entah apa sebabnya.

Satu minggu aku ditampung di Surabaya dan akhirnya terbang ke Malaysia. Rasa takut, bingung menemani perjalananku. Sampai di Bandara Malaysia, aku dijemput oleh agensi Malaysia. Dari Kuala Lumpur aku dibawa ke Pinang, sampai di tempat rumah mess agensi sekitar pukul dua pagi. Di sana sudah ada tiga kawan dari Indonesia. Kamipun berkenalan dan saling cerita. Aku merasa tidak tega melihat mereka, terlebih setelah mendengar ceritanya. Kondisi mereka dalam keadaan sakit dan dikembalikan ke agensi. Bagaimana mereka bisa cepat sembuh kalau makan mereka sehari satu kali dan makan mie rebus di pagi hari? Tidurnyapun juga tidak layak karena harus tidur di lantai tanpa alas. Semalaman aku tidak bisa tidur merenungi nasibku dan TKW lainnya.

Pagipun datang dan kami berbenah diri untuk dibawa ke kantor agensi yang tidak jauh dari rumahnya. Sesampai di sana kami disuruh membersihkan kantor. Setelah selesai kami lalu sarapan mie rebus dengan jatah satu bungkus untuk dua orang. Setelah makan mulailah pemeriksaan. Sakit hatiku saat diperiksa karena kami harus melepas semua pakaian sampai tak tersisa satu pun di badan. Barang bawaan kami pun diperiksa. Setelah itu kami dipaksa menandatangani perjanjian yang kami tidak paham isinya karena tidak semua perjanjian itu boleh dibaca Setelah selesai, kami langsung diantarkan ke tempat majikan masing-masing.

Alangkah terkejutnya aku ketika sampai di tempat majikan karena apa yang sebelumnya dijanjikan kerja di toko, ternyata malah sebaliknya. Aku dipekerjakan di pabrik plastik yang memproduksi peralatan rumah tangga. Ketika aku protes ke agensi dan majikan, bukan jawaban yang kudapat tapi caci-maki dan hinaan. Akhirnya dengan sangat terpaksa aku melakukan pekerjaan itu. Ada empat TKW asal Indonesia yang sudah lebih dahulu bekerja di perusahaan tersebut dan ada juga tenaga kerja asal Nepal. Mereka semua laki-laki berjumlah 12 orang, sedangkan dari Indonesia hanya kami berlima perempuan.

Jam kerjaku sepanjang 16 jam, dimulai dari jam enam pagi sampai jam sepuluh malam. Tanpa ada jam istirahat, hanya tersisa waktu 10 menit untuk makan. Kami sebagai muslim tidak boleh melakukan ibadah. Walaupun aku bekerja di pabrik tapi gajiku dihitung sebagai PRT dan permit-ku (ijin kerja) juga untuk rumah tangga.

Hari demi hari kujalani sampai akhirnya aku dan empat kawanku nekat untuk melarikan diri. Kebetulan kawanku dari Jawa Timur mempunyai kakak sepupu yang sama-sama bekerja di Malaysia. Secara diam-diam kami menghubungi kakak sepupu temanku itu dan mengutarakan niat kami untuk melarikan diri. Waktu kami untuk bertemu berlima tidak banyak karena kerja kami dibagi dua shift. Hanya dua minggu sekali kami bisa bersama-sama di waktu pergantian shift. Di tengah malam pergantian shift, kami melarikan diri tanpa membawa uang dan pakaian. Kami hanya bermodal nekat tapi dengan penuh perhitungan, karena bagaimanapun bila tetap bertahan di sana kondisi kami akan terus mengenaskan.

Setelah berlari akhirnya kami ditolong oleh satpam perusahaan tak jauh dari tempat kerja. Kami dibawa pulang ke rumahnya. Sambil istirahat aku menghubungi kawan di Malaysia dan Indonesia. Akhirnya kami diantar seorang kawan ke KBRI. Sesampai di sana kami langsung diterima di bagian pengaduan, kami disuruh membuat kronologi kejadian dengan ditanya satu per satu. Kami juga dijenguk oleh bapak Sapto sebagai kepala depnaker yang ada di KBRI. Beliau katakan bahwa di sini akan diselesaikan secara bijaksana, tanpa ada suap ataupun pemaksaan terhadap TKI. Memang, seorang kepala bisa berkata demikian akan tetapi kenyataannya berbeda. Kami menyaksikan sendiri betapa pegawai Indonesia yang menangani pengaduan di KBRI menerima suap dari agensi Malaysia, bahkan itu terjadi di depan TKI.

Setelah menyelesaikan pengaduan, kami tinggal di shelter atau penampungan untuk menunggu proses selanjutnya. Selang beberapa hari kemudian kami dipanggil ke kantor untuk berbicara dengan agensi dan majikan. Mereka menawarkan kami untuk kembali bekerja, tapi kami menolak dan meminta mereka untuk memberikan hak-hak kami. Akhirnya kami memutuskan kembali ke Indonesia dengan menolak ajakan untuk kembali bekerja.

Bagaimana kami tidak takut untuk melanjutkan kerja di sana bila kondisi kerja sangat buruk dan menindas? Apalagi selama di penampungan KBRI, kami semakin sedih tapi bersyukur karena yang lebih sengsara dari kami ternyata lebih banyak dan hampir setiap hari ada pengaduan. Ada yang sakit jiwa karena mendapat tekanan dan siksaan dari majikan, ada yang hamil tua sambil membawa dua anaknya, satu di gendongan dan yang satu menangis kepada sang ibu. Banyak teman TKW yang terpaksa hamil karena mengalami pelecehan seksual. Tentunya masih bergudang-gudang cerita kesedihan untuk kasus-kasus yang dialami oleh TKI di Malaysia.

Seiring berjalannya waktu, kamipun pulang ke tanah air melalui Bandara Soekarno Hatta. Sepanjang lorong jalan turun dari pesawat yang dilihat adalah goresan “Selamat Datang Pahlawan Devisa.” Bagi TKI yang terbiasa melalui bandara tentu hal itu sudah tidak asing lagi. Namun bagi yang pertama kali, pasti merasa tersanjung karena disebut sebagai pahlawan.

Di balik semua itu, mereka mengalami banyak hal seperti pungutan-pungutan yang membebankan TKI. Dari Terminal 2 dibawa ke Terminal 4, di situ pungutan berawal. Setiap TKW dimintakan amal Rp 20 ribu, sampai di Terminal 4 yang menyerupai penjara, TKW harus mendaftar kedatangan dengan membawa Rp 10 ribu. Setelah melewati proses pertama, TKW menunggu proses selanjutnya.

Bagi TKW yang habis kontrak dan pulang dengan keberhasilan, prosesnya lebih mudah karena langsung membeli tiket kepulangan dan menunggu keberangkatan ke kampung halaman. Tapi bagi TKI yang tidak habis kontrak dan pulang tidak membawa hasil, mereka harus melewati proses yang memberatkan. Mereka harus membuat pengaduan di LBH yang dibikin oleh BNP2TKI dan masih dibebani biaya Rp 10 ribu oleh LBH tersebut. Lebih parahnya lagi, LBH itu tidak ada manfaatnya sama sekali untuk TKW yang bermasalah karena hanya bisa menangani tentang asuransi saja.

BNP2TKI memang mempunyai program pemulangan gratis untuk TKI yang bermasalah, tapi beban TKI bermasalah masih bertumpuk karena pemulangan harus menunggu cukup lama. Bisa memakan waktu satu hari sampai satu minggu karena harus menunggu travel yang satu jurusan dengan TKI bermasalah itu, terisi penuh. TKI bermasalah tersebut dititipkan atau menumpang travel untuk bisa pulang ke kampung. Hal paling memberatkan adalah waktu menunggu tersebut karena beban hidup di Terminal 4 sangatlah berat. Mereka butuh makan minum dengan harga yang keterlaluan mahal.

Ternyata penderitaan TKI belum berakhir karena saat dalam perjalanan, nyawa dan harta benda bisa terancam. Ada yang mengalami pelecehan seksual, ada harta benda mereka yang dirampas bahkan kadang nyawa menjadi taruhannya. Bagi mereka yang selamat sampai tujuan, TKI masih dipungut uang lagi antara Rp 100 ribu sampai Rp 200 ribu.

Menggunakan travel dari bandara adalah kewajiban, tidak boleh ada jemputan dari keluarga ataupun siapa saja. Perjalanan menuju rumah menghabiskan waktu dua hari-tiga malam, yang bila menggunakan angkutan biasa hanya butuh waktu 12 jam. Travel tersebut mengantar satu per satu TKI sampai tujuan. Aku merasa aman tapi perjalananku sangat melelahkan karena lamanya waktu menuju ke rumah. Sekalipun aku tidak berhasil secara materi, pikiran dan tenaga terkuras dalam pelarian, aku tetap bersyukur karena banyak pengalaman yang dapat dibagikan.

Sampai kapan ketidakadilan dan penindasan terjadi terhadap TKI? Sampai kapan pemerintah benar-benar melindungi TKI? TKI tidak butuh sambutan yang manis tapi dalamnya duri, mereka butuh perlindungan. Pemerintah jangan hanya melihat nilai devisa yang besar dari TKI. Banyak TKI yang tidak berhasil dan membutuhkan perlindungan. Mereka yang terlunta-lunta di negara lain sangat banyak jumlahnya karena tidak berdaya untuk pulang ke Indonesia. Mereka yang mendekam di penjara dan tersangkut kasus hukum, hanya mengandalkan negara sebagai kekuatan yang legal untuk bisa menolong warga negaranya.

Kami selalu berdoa setiap ada kasus TKI yang muncul di televisi dan surat kabar. Semoga kasus ini yang terakhir dan tidak akan terjadi lagi di masa datang. Namun justru yang kami rasakan justru jumlahnya semakin parah dari sebelumnya. Kami berharap ini akan berakhir, pemerintah akan lebih serius dalam melindungi TKI mulai dari proses rekruitmen, penampungan, penempatan, maupun kepulangan. Kami juga adalah manusia yang berkewarganegaraan Indonesia, mempunyai harkat dan martabat.


* Penulis adalah mantan buruh migran, sekaligus Anggota Forum Belajar Bersama Prakarsa Rakyat dari Simpul Jawa Timur.

** Siapa saja dipersilahkan mengutip, menggandakan, menyebarluaskan sebagian atau seluruh materi yang termuat dalam portal ini selama untuk kajian dan mendukung gerakan rakyat. Untuk keperluan komersial pengguna harus mendapatkan ijin tertulis dari pengelola portal Prakarsa Rakyat. Setiap pengutipan, penggandaan dan penyebarluasan sebagian atau seluruh materi harus mencantumkan sumber (portal Prakarsa Rakyat atau www.prakarsa-rakyat.org).


0 Comments:

Post a Comment