Oleh : Fitriyanti *



Matanya menatap tajam sambil membaca dengan seksama, lembar demi lembar sebuah isi dari undang-undang perburuhan. Sebuah produk hukum negara yang dahulu tak pernah dikenalnya. Bekerja hanya sebagai operator mesin di tingkat pabrik, hari-harinya hanya dihabiskan untuk bekerja dan di dapur. Kini dia menemukan sesuatu yang sangat baru dari kehidupan yang lama dia jalani. Pengetahuan dan bacaan-bacaan mengisi kehidupannya menjadi lebih variatif.

Imah, nama seorang buruh perempuan yang kini menjadi ketua serikat buruh. Ia dipercaya setelah berjuang untuk sebuah ketidakadilan yang sedang dialami oleh buruh di sebuah pabrik garmen. Mayoritas buruh perempuan di pabrik itu mendapatkan diskriminasi upah. Upah yang mereka terima tidak sama dengan upah yang diterima oleh buruh laki-laki, padahal mereka sama-sama bekerja 8 jam sehari. Dan yang lebih parah adalah banyaknya buruh perempuan yang berstatus tenaga kerja kontrak dan outsourcing. Hal ini menjadi perjuangan yang berat bagi serikat buruh, karena pada umumnya buruh kontrak dan outsourcing merasa takut jika harus berjuang bersama dengan serikat buruh.

Kaum buruh secara kolektif mengerjakan seluruh proses produksi. Begitu juga dalam sebuah organisasi, tidak ada pembedaan antara perempuan dan laki-laki, seharusnya. Namun fakta di lapangan, pengurus serikat buruh masih didominasi oleh laki-laki, sekalipun di dalam pabrik tersebut anggotanya mayoritas perempuan. Kadang kondisi ini tidak disadari penuh oleh anggota serikat buruh, karena kondisi seperti ini sering diciptakan atau terbangun oleh budaya patriarki atas kemauan sang pemodal. Maka terciptalah konflik. Untuk itu aspek pemahaman dan kesadaran akan pengetahuan dan cara kerja kolektivitas, penting dimiliki.

Banyak faktor yang menghambat buruh perempuan untuk terlibat aktif dalam organisasi serikat buruh, di antaranya adalah larangan dari keluarga, keterikatan untuk mengurus rumah tangga bagi mereka yang telah menikah, repot urus anak, dan harus siap siaga memenuhi kebutuhan rumah tangga. Hal ini terjadi karena dalam masyarakat kita menganggap bahwa peranan perempuan hanya di seputar urusan rumah tangga saja, namun jika kita lihat lebih jauh lagi, kaum perempuan pun ikut serta dalam membangun ekonomi keluarga dan negara. Bahkan Bung Karno pernah berujar, “Perempuan adalah Tiang Negara.”

Secara kuantitas jumlah tenaga kerja perempuan mendominasi dibanding laki-laki, dari 130 juta tenaga kerja di tahun 2010, jumlah pekerja perempuan mencapai 70%. Sementara pekerja di luar negeri dari total jumlah TKi sekitar 16 juta orang, jumlah pekerja perempuan sekitar 80%. Tanpa disadari perempuan sudah memegang sebuah kepemimpinan secara jumlah dan gerak ekonomi negara ini. Bahkan pada sejarah awal zaman munculnya pertanian pun, perempuan menjadi pemimpin dan pencetus ide untuk melakukan pertanian guna mempertahankan keberlangsungan hidup manusia.

Di Indonesia, barulah Megawati Soekarno Putri yang menjadi presiden perempuan pertama. Di era sebelumnya, tentu kita pernah mendengar perempuan-perempuan Indonesia yang berjuang agar perempuan Indonesia mendapatkan kesempatan yang sama dalam hal pendidikan dan politik. Sebut saja Cut Nyak Dien, Cut Mutia, RA Kartini, Dewi Sartika, Kristina Martha Tiahahu. Jauh sebelum itu, pada jaman feodal di Indonesia pernah ada raja perempuan (ratu) yang cukup tersohor yakni Ratu Sima.

Bahkan Indonesia pernah mempunyai sebuah organisasi perempuan yang kuat yaitu Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia). Namun Gerwani diberangus pada masa orde baru, karena Gerwani identik dengan PKI. Banyak kaum perempuan yang tertarik dengan organisasi karena kegiatannya yang menyangkut kebutuhan sehari-hari mereka. Seperti contohnya mendirikan taman kanak-kanak, di pasar, kebun, kampung. Organisasi juga mendidik kaum perempuan untuk bisa menjadi guru dan juga mengkampanyekan untuk pemberantasan buta huruf. Dibuat pula kursus-kursus bagi perempuan untuk meningkatkan kesadaran politik mereka.

Namun setelah Gerwani dibumihanguskan, tiada lagi organisasi perempuan yang murni memperjuangkan hak-hak perempuan. Semua mati ditelan sang waktu. Tiada lagi kepemimpinan organisasi perempuan. Kondisi ini bisa kita lihat pada contoh yang dapat dirasakan langsung oleh buruh perempuan adalah kurangnya perlindungan bagi buruh perempuan dalam Undang-Undang Perburuhan 13/2003. Walaupun tercantum soal hak cuti haid, ternyata faktanya masih banyak yang belum mendapatkan, begitu juga halnya dengan hak melahirkan.

Bahkan pada kenyataan di dunia ketenagakerjaan, terdapat perempuan yang kerjanya dikontrak (outsourcing), dilarang untuk haid, menikah, hamil dan melahirkan. Mengapa? Karena setiap pekerja perempuan yang kerjanya dikontrak maka statusnya diwajibkan menjadi lajang. Ketika kontrak belum habis dan pekerja perempuan tersebut hamil maka akan di-PHK. Cuti haid tidak diberikan, bahkan kalau sakit bisa diputus kontraknya. Lebih jauh lagi, bila buruh perempuan berserikat, dirinya akan mendapatkan tekanan hingga pemecatan.

Itulah kenyataan yang kini ada, kuantitas yang besar tidak mendapatkan perlindungan hukum. Ruang gerak yang sempit membuat semakin sulit kehidupan sosial kaum perempuan, khususnya kaum buruh.

Cerita Imah di atas, tidaklah hanya satu-satunya. Usaha merombak tradisi dalam usaha memperbaiki nasib perempuan cukup banyak di Indonesia. Pejuang-pejuang perempuan sudah bertebaran bersemai dan berkembang di bumi ini, meretas takdir dari dapur, menyeruak kepemimpinan.

Di masa depan diperlukan ruang lebih besar untuk kepemimpinan perempuan dalam organisasi rakyat. Adalah keharusan untuk membangun tradisi kesetaraan dalam organisasi rakyat, tanggung jawab serta kesempatan kerja yang sama antara perempuan dan laki laki dalam organisasi. Bila langkah itu bisa dilakukan maka akan terus memunculkan pemimpin-pemimpin perempuan dalam ranah perjuangan rakyat.



* Penulis adalah anggota FSPEK Karawang, Pengurus Pusat Konfederasi KASBI pada Departemen Perjuangan Perempuan. Sekaligus Anggota Forum Belajar Bersama Prakarsa Rakyat dari Simpul Jabodetabek.

** Siapa saja dipersilahkan mengutip, menggandakan, menyebarluaskan sebagian atau seluruh materi yang termuat dalam portal ini selama untuk kajian dan mendukung gerakan rakyat. Untuk keperluan komersial pengguna harus mendapatkan ijin tertulis dari pengelola portal Prakarsa Rakyat. Setiap pengutipan, penggandaan dan penyebarluasan sebagian atau seluruh materi harus mencantumkan sumber (portal Prakarsa Rakyat atau www.prakarsa-rakyat.org).


0 Comments:

Post a Comment