Oleh : Gugun Gunawan *

Belum usai pedih itu dan masih panjang rasa sakit akibat kebijakan beruntun impor beras, cabe, bawang, jahe, garam, gula dan masih banyak lagi yang dampaknya sangat menyulitkan dan merugikan kehidupan petani, kini kekeringan membakar setiap lahan petani Indonesia. Pada tahhun ini saja, kekeringan melanda 95.851 ha dan lahan puso sebesar 3.713 ha. Terlalu banyak sumber derita bagi kaum tani dan situasi ini menjadi kado paling “buruk” bagi kaum tani di Hari Tani Nasional 2011.

Dalam tulisan ini, secara lebih sempit hanya membicarakan kekeringan dari beberapa aspek. Karena soal impor produksi pertanian yang digalakkan pemerintah mengandung banyak hal dimana sejatinya adalah operasi paling modern yang bernama kebijakan liberalisasi perdagangan. Namun tentulah kekeringan tidak bisa dijadikan alasan pemerintah untuk semakin menggalakkan impor produksi pertanian. Atau sebaliknya kekeringan juga tidak bisa hanya diarahkan alasannya karena alam atau siklus cuaca. Banyak sebab datangnya kekeringan dan sebagai kado hari tani, perlulah kado itu dibuka.

Keringnya Lahan, Tak Pastinya Nasib Petani
“Setelah harga gabah menurun karena katanya banyak beras impor, hasil panen ga bisa memenuhi kebutuhan bahkan nombok. Eh, kini saat butuh air sawah kami kena kekeringan panjang dan padi ga ada isinya. Kini ga tahu harus bagaimana memenuhi kebutuhan hidup kami.” Begitulah salah satu petani padi di Jawa Tengah berkeluh-kesah yang saat ini hanya mengandalkan kerja serabutan agar keluarganya tetap bisa makan dan bertahan hidup.

Itulah secuil gambaran situasi kehidupan kaum petani yang sedang dilanda kekeringan. Semua menjadi kering dan sulit. Sementara harapan yang muncul di berita-berita tentang kebijakan pemerintah untuk penanggulangan kekeringan dan puso hanyalah berita yang tak kunjung tiba realisasinya. Bahkan pemerintah desa yang berhubungan langsung dengan kaum tani menjadi tempat bertanya tanpa bisa memberikan jawaban pasti.

Hal ini menunjukkan aspek ketidaksigapan dan ketidaksiapan pemerintah dalam mengantisipasi kekeringan yang sudah menjadi langganan tiap tahunnya. Pemerintah seolah gagap menghadapi situasi yang rutin ini. Kondisi ini diperparah dengan kesadaran masyarakat secara luas untuk mengantisipasi kekeringan yang datang. Dalam hal ini adalah menjaga lingkungan yang bisa menampung air dengan menanam pohon yang menyerap air serta menjaga aliran-aliran air yang telah ada.


Kondisi ini menunjukkan bahwa kebijakan pemerintah dan pemahaman masyarakat khususnya kaum tani akan kebutuhan air tidak sinkron atau tepatnya terjebak pragmatisme. Bagaimanapun kekeringan disebabkan oleh banyak hal, di antaranya adalah tidak lagi tersedianya sumber-sumber air yang diberikan oleh hutan. Begitu pula dengan tidak berfungsinya irigasi, tidak terencana dengan baik skema tata produksi tanam kaum tani serta perkebunan (tata lahan secara nasional). Di sampuing itu, tidak ada kebijakan yang sinergi tentang perkiraan cuaca dengan pertanian, dan masih banyak sebab yang tentu harus dilihat dengan teliti.

Beginilah sepotong episode kekeringan panjang yang memang karena pemerintah abai memberikan perlindungan serta berpikir akan nasib kaum petani sehingga mengakibatkan keringnya kehidupan petani. Efek dari situasi ini akan menimbulkan ambruknya daya pangan nasional dan juga akan hancurnya pertanian di Indonesia. Ke depan bisa saja banyak petani beralih profesi, dengan pragmatisnya menjual lahan yang dimiliki. Atau mereka yang menjadi buruh tani memilih pekerjaan apa saja di luar kegiatan produksi petani. Akhirnya semakin kering kehidupan bangsa ini.

Perlunya Perubahan Mendesak
Tanggal 24 September selalu diperingati sebagai Hari Tani Nasional, dimana peringatan ini diambil bertepatan dengan disahkannya UUPA pada tahun 1959 oleh pemerintah RI pada masa Soekarno. UUPA yang sangat berpihak kepada kaum petani dan memberikan perlindungan kaum tani itu dijadikan simbol keberhasilan perjuangan kaum tani. Walau sekarang UUPA itu tidak dijalankan sejak era Orba pasca 1965 dan banyak dikebiri oleh pemerintahan pro pemodal sekarang ini dengan terbitnya UU yang tidak berpihak kepada kaum tani dan rakyat Indonesia.

Sangat disayangkan pada hari tani ini, kekeringan menyambut perayaannya dan mendekap kehidupan kaum tani. Kering karena kebijakan pemerintah yang sangat merugikan kaum petani. Kering karena kaum tani di kampung-kampung masih tidak tahu bahwa 24 September adalah Hari Tani Nasional. Kering karena kekeringan itu sendiri luput dari pembicaraan serius untuk dicari jalan keluarnya.

Bila kita melihat kenyataan di atas, maka sudah seharusnya dilakukan perubahan mendasar dalam kebijakan pertanian. Perubahan ini harus didukung dan diajukan atau didesakkan oleh organisasi tani, kelompok tani dan pemerintah lokal yang sangat berkepentingan dengan pertanian. Bagaimanapun pemerintah lokal sangat punya kepentingan erat dengan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dari hasil pertanian. Maka penting perumusan kebijakan pertanian dari tingkat terbawah tersebut, serta dipadukan dengan tata kelola lahan serta tata produksi pertanian secara nasional.

Harus ada yang memulai dan merendahkan hati, selanjutnya mendesakkan kehendak perubahan untuk kaum tani. Tanpa kebijakan secara utuh dan sistematis, tentulah kekeringan akan berulang dan membesar serta nasib kaum tani hanya jadi alat bulan-bulanan elit politik, pemerintah dan cuaca politik.

* Penulis adalah Perangkat Desa Suka Manah, Bandung, sekaligus Anggota Forum Belajar Bersama Prakarsa Rakyat dari Simpul Bandung.

** Siapa saja dipersilahkan mengutip, menggandakan, menyebarluaskan sebagian atau seluruh materi yang termuat dalam portal ini selama untuk kajian dan mendukung gerakan rakyat. Untuk keperluan komersial pengguna harus mendapatkan ijin tertulis dari pengelola portal Prakarsa Rakyat. Setiap pengutipan, penggandaan dan penyebarluasan sebagian atau seluruh materi harus mencantumkan sumber (portal Prakarsa Rakyat atau www.prakarsa-rakyat.org).


0 Comments:

Post a Comment