Oleh : Beni Sukadis*


Setelah lama ditunggu, pada tanggal 9-10 November 2010, akhirnya Presiden AS Barack H. Obama datang ke Indonesia dalam kunjungan kenegaraan. Sebelum kunjungannya ini, telah dua kali pembatalan yaitu pada bulan Maret dan Juli 2010. Menurut juru bicara Gedung Putih, kunjungan Obama ini lebih banyak membicarakan soal isu sosial dan politik. Dalam kunjungan ini, AS tidak terlalu banyak bicara soal hubungan ekonomi. Tetapi yang patut kita ketahui, salah satu hasil dari kunjungan ini yakni soal tawaran hibah pesawat F16 A/B pada Indonesia.

Memang pemerintah RI dalam hal ini Kementerian Pertahanan RI (d/h Dephan) belum menyatakan kesediaan untuk menerima hibah pesawat tempur ini. Di lain pihak kondisi alat utama sistem persenjataan (alutsista) kita cukup memprihatinkan, karena sebagian besar harus di-grounded atau dipensiunkan. Data berikut adalah sejumlah alutsista milik TNI AU yang periode laik pakai sudah dan akan berakhir, yaitu OV-10 bronco sudah dipensiunkan tahun 2009, pesawat F-5E/Tiger berakhir tahun 2010 ini, pesawat Hawk Mk-53 tahun 2011, pesawat C-130b hercules pada tahun 2008, F-27 tahun 2008, heli Bell -47G tahun 2008, dan heli Sykorsky S-58T pada 2009.

Kesiapan pesawat tempur kita dalam menjaga teritori udara dan laut sangat minim. Dari 120-an pesawat yang dimiliki TNI AU, mungkin hanya sekitar 50 persen saja yang operasional, sehingga Indonesia sedang mengkaji secara detail soal hibah pesawat ini. Namun di lain sisi ada beberapa persoalan yang akan dihadapi Indonesia jika menerima hibah ini. Karena menurut Panglima TNI sebenarnya anggaran dana yang ada bisa untuk membeli pesawat tempur F16 yang baru (Kontan, 15 November 2010).

Maka, pemerintah bersama TNI AU sedang melakukan kajian mana yang lebih menguntungkan antara membeli yang baru atau menerima hibah pesawat yang katanya sebanyak 24 pesawat F16. Yang juga patut dipertimbangkan adalah hibah ini tidak gratis, karena biaya retrofit (turun mesin) semua pesawat F16 harus ditanggung oleh Indonesia dan biayanya bisa mencapai setengah dari harga pesawat tersebut.

Apapun hasil kajiannya, tapi yang perlu digarisbawahi adalah perlu mengikuti kebijakan utama pemerintah untuk memperlengkapi alutsista dengan berprinsip pada: (1) sistem matra terpadu, (2) pembelian tanpa syarat politik, (3) pembelian dengan skema antara pemerintah (G to G), dan (4) mengutamakan produksi dalam negeri.

Dengan prinsip nomor satu sampai tiga masih memungkinkan, tapi dengan prinsip keempat agak mustahil. Sehingga sebagai jalan keluar maka selama sepuluh tahun terakhir ini, Indonesia lebih senang melakukan kerjasama bidang pertahanan dengan Rusia dan Cina dibandingkan dengan AS. Pemerintah Indonesia kuatir soal ketergantungan alutsista pada satu negara akan membuat Indonesia menjadi lemah dari aspek persenjataannya.

Terkait bantuan hibah ini, maka di lain sisi kita – masyarakat sipil - sebagai salah satu pemberi mandat ataupun stakeholder harus mengkritisi langkah-langkah yang diambil pemerintah. Karena dari sisi strategis ataupun konseptual memang kita membutuhkan militer yang kuat. Tetapi, apakah hal ini bisa menjawab persoalan kebutuhan alutsista sesuai dengan pembangunan kekuatan militer yang direncanakan.

Ada beberapa alasan substansial yang perlu dijawab pemerintah yaitu apakah memang pembelian F16 dapat menjawab kebutuhan postur pertahanan kita. Kalau melihat perencanaan strategis (renstra) dalam pembangunan kekuatan TNI AU tahun 2010-2014, mungkin masih masuk akal (paparan Kemhan, 7 Oktober 2009, seminar Lesperssi). Karena di sana sudah direncanakan untuk membuat skuadron baru. Tetapi ini tidak menjawab soal efisiensi kebutuhan anggaran pertahanan di sektor lain yang berkaitan langsung dengan postur pertahanan. Prioritas untuk melakukan efisiensi anggaran tidak pernah terdengar dalam pembicaraan di kalangan TNI.

Yang dimaksud disini adalah bagaimana soal postur pertahanan Indonesia yang ideal dan efisien dibangun. TNI AD sebagai pengguna alokasi terbesar dari sisi personel, menyerap sebagian besar dana dari anggaran pertahanan. Sebagian besar alokasi anggaran pertahanan tahun 2009 masih dihabiskan untuk belanja pegawai (gaji, remunerasi) dan juga masih adanya struktur komando teritorial yang sebenarnya bagian ketidakefisienan dalam penggunaan anggaran terutama di pulau Jawa.

Dari tahun 2002 hingga 2010 ini hampir tidak ada kebijakan terobosan yang dilakukan Kemhan untuk melakukan efisiensi anggaran pertahanan. Pada tahun 2008, saat itu Menhan Juwono Sudarsono mengakui bahwa masih ada kebocoran (korupsi) anggaran dalam proses pengadaan di lingkungan TNI dan Kemhan. Ketidakefisienan dan perencanaan yang buruk masih merupakan fenomena yang terjadi di lingkungan institusi TNI. Hal ini terjadi karena aspek pengawasan dalam internal TNI masih tertutup dan belum dapat terjamah oleh KPK sebagai aparat penegak hukum bidang korupsi.

Padahal era reformasi ini mestinya sebagai aparat pemerintah mereka harus melakukan perombakan total terhadap kinerjanya. Sebenarnya secara konstitusional Kemhan memiliki mandat dalam soal pengelolaan anggaran, namun di lain sisi konservatisme dari elite militer masih merupakan gejala umum. Kemhan yang pejabatnya sebagian besar diisi militer, langsung ataupun tidak langsung bisa dianggap mewakili sikap konservatisme itu.

Dengan segala permasalahan ini, maka masyarakat sipil dan khususnya DPR seharusnya secara konsisten mengkritik dan membahas isu penggunaan anggaran pertahanan ini. Sehingga pertanyaan penting yang harus dijawab kita semua adalah apakah sudah tepat sasaran dalam penggunaan dana untuk pembelian alutsista ini –termasuk hibah F 16- dan apakah ada efisiensi anggaran pertahanan dalam kerangka akuntabilitas dana publik.


* Penulis adalah Koordinator Program Lesperssi-Jakarta, sekaligus Anggota Forum Belajar Bersama Prakarsa Rakyat dari Simpul Jabodetabek.

** Siapa saja dipersilahkan mengutip, menggandakan, menyebarluaskan sebagian atau seluruh materi yang termuat dalam portal ini selama untuk kajian dan mendukung gerakan rakyat. Untuk keperluan komersial pengguna harus mendapatkan ijin tertulis dari pengelola portal Prakarsa Rakyat. Setiap pengutipan, penggandaan dan penyebarluasan sebagian atau seluruh materi harus mencantumkan sumber (portal Prakarsa Rakyat atau www.prakarsa-rakyat.org).

0 Comments:

Post a Comment