Oleh : Alfa Gumilang*


Mungkin di antara kita masih teringat satu judul film lawas yang dibintangi oleh alm. Ateng dan Iskhak. Satu film komedi yang berjudul “Kejamnya Ibu Tiri Tak Sekejam Ibu Kota.” Dalam film tersebut tergambarkan begitu sulitnya orang hidup di Jakarta. Mungkin ungkapan itu masih relevan dan mungkin juga akan terus relevan untuk menggambarkan Ibu Kota Jakarta.

Bulan Oktober lalu, sangat terasa bagi semua orang yang tinggal di Jakarta dan sekitarnya bagaimana kejamnya Ibu Kota. Namun bukan karena persoalan kemalingan tas, sulitnya mencari pekerjaan atau kelaparan karena tertipu orang, seperti yang tergambarkan dalam film di atas. Namun sebuah persoalan klasik khas Jakarta yang belum terselesaikan sampai sekarang dan bahkan semakin runyam masalahnya. Siang itu Jakarta diguyur hujan deras yang tak berhenti sampai petang. Dan tepat dimana jam pulang kerja, pukul 17.00 sampai dini hari, Jakarta lumpuh oleh kemacetan yang tak terkendali.

Hujan tersebut membuat banjir di berbagai pemukiman penduduk dan jalan-jalan umum di Jakarta. Sehingga mengakibatkan kemacetan yang panjang. Kontan saja hal tersebut menjadi sebuah pembicaraan yang panjang di media-media pada hari itu dan esok. Bahkan menjadi satu pembicaraan pula di berbagai tempat pada esok harinya.

Sialnya, sosok yang paling bertanggungjawab atas kondisi Jakarta yaitu Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo yang akrab dipanggil Foke, justru tidak menampakan batang hidungnya dan lari menghindari wartawan yang ingin meminta keterangan dengan alasan sakit radang tenggorokan. Dan Selasa siang saat memberikan keterangan pada wartawan, Foke justu meminta kepada masyarakat untuk maklum dan paham atas kondisi tersebut. Yang kemudian mulai melemparkan kesalahan kepada masyarakat yang membuang sampah sembarangan atas banjir yang memakan korban terseretnya seorang mahasiswi oleh arus karena terperosok di sebuah selokan.

Orang nomor satu di Jakarta yang didukung oleh partai-partai pemenang pemilu di Jakarta, yang digadang-gadang sebagai seorang ahli dalam tata ruang telah menunjukan ketidakmampuanya dalam mengatasi banjir dan macet di Jakarta. Foke malah menyalahkan masyarakat. Padahal masyarakat Jakartalah yang paling dirugikan atas kondisi tersebut.

Pertama, mereka lah yang menjadi korban banjir di Jakarta seperti yang dialami warga di perumahan IKPN Bintaro dan juga masyarakat yang tinggal di Kampung Melayu yang menjadi pelanggan korban banjir. Kondisi tersebut tentunya tidak dialami oleh para pejabat pusat atau daerah Jakarta. Begitu juga bagi kalangan atas penguhuni Ibu Kota yang tinggal di Pantai Indah Kapuk, Pondok Indah, Kelapa Gading, Menteng atau mereka yang tinggal di apartemen-apartemen mewah. Padahal mereka pula lah yang mempunyai kontribusi besar atas banjir dan macet di Jakarta.

Contoh saja perumahan mewah di Pantai Indah Kapuk yang telah menggusur hutan Bakau di kawasan utara Jakarta. Walau masuk daerah dataran rendah, daerah tersebut tidak mengalami banjir, karena jika banjir datang maka mesin-mesin penyedot air dalam ukuran besar sudah siap dioperasikan. Dan tentunya yang mendapat getahnya adalah warga yang tinggal di pinggir area tersebut. Pembangunan gedung-gedung pencakar langit dan mal-mal yang menjadi kebanggaan Jakarta juga telah menyedot air tanah dan menutup tanah untuk dapat menyerap air hujan.

Terlihat pula kontribusi mereka akan kemacetan Jakarta, dimana dalam satu keluarga bisa memiliki 3-5 mobil. Belum lagi praktik kapitalisme yang memberikan kemudahan kredit bagi orang-orang untuk dengan mudah dapat memiliki kendaraan pribadi yang mengakibatkan meningkat tajamnya pemilik kendaraan pribadi.

Kembali, para pekerja lah yang kemudian mendapatkan kesulitan atas kondisi tersebut. Perjuangan buruh-buruh pada 1 Mei 1986 di Haymarket, Amerika yang menuntut pengurangan jam kerja menjadi 8 jam sehari dengan konsepsi 8 jam kerja, 8 jam istirahat dan 8 jam rekreasi yang saat ini telah diadopsi oleh ILO, tidak lagi menjadi relevan. Bayangkan saja, dalam kondisi normal saja seorang pekerja harus menempuh waktu 2 jam sehari menuju tempat kerja, begitu pula saat mereka hendak pulang kerja menuju rumah. Artinya dalam satu hari, minimal ada 4 jam yang terbuang waktunya bagi pekerja.

Karena tata kota saat ini telah menjauhkan para pekerja dari tempat mereka untuk melakukan produksi. Sementara mereka telah memberikan banyak kontribusi bagi pemerintah melalui pajak dan penghisapan tenaga kerja mereka untuk keuntungan bagi para pengusaha, namun mereka pula lah yang menjadi korban utama atas kondisi banjir dan macet di Jakarta.

Banjir dan kemacetan tentunya akan terus terulang pada Jakarta di hari-hari depan. Mengingat yang menjadi landasan bagi pembangunan Jakarta lebih berorientasi dan berpihak pada kepentingan modal. Pembangunan gedung-gedung perkantoran, tempat belanja, perumahan dan apartemen mewah yang tak henti-hentinya bertolak belakang dengan sedikitnya pembangunan yang diperuntukkan bagi warga Jakarta golongan menengah ke bawah.

Saat ini, warga Jakarta atau bahkan warga Indonesia dari golongan bawah seperti kehilangan haknya atas kota tersebut. Sebut saja operasi Yustisi yang setiap tahun dilakukan Pemda Jakarta bagi para pendatang dari luar Jakarta yang ingin mendapatkan pekerjaan. Begitu pula warga Jakarta yang tidak mendapatkan akses yang mudah dan murah atas pemukiman yang layak, hanya penggusuran demi penggusuran yang dialami masyarakat bawah Jakarta. Belum lagi akses atas kesehatan dan pendidikan yang semakin hari semakin sulit digapai. Sarana transportasi massal yang aman dan nyaman bagi mereka pun tidak didapatkan.

Sementara hampir semua fasilitas bagi masyarakat kelas atas Jakarta semakin meluas. Mulai dari perumahan dan apartemen yang semakin menjamur, sarana belanja mewah yang juga semakin mudah dijumpai. Bahkan sarana transportasi seperti Bus Way pun awalnya diperuntukkan bagi mereka yang tergolong kaya yang memiliki kendaraan pribadi untuk beralih menggunakan Bus Way yang nyaman, aman dan cepat untuk dapat mengurangi kemacetan. Walau pada akhirnya hal itu kemudian direbut oleh masyarakat bawah karena saat ini mayoritas pengguna Bus Way adalah mereka yang dahulu menggunakan kendaraan bis kota yang bobrok, lama jarak tempuhnya dan tidak aman.

Sebuah langkah berani memang harus ditempuh untuk mengatasi persoalan klasik ini. Memberikan kembali kesempatan kepada Foke untuk mengatasi persoalan ini bukanlah jawabannya. Sudah terbukti ketika dahulu menjadi wakil Gubernur dan sekarang menjadi Gubernur, tidak ada langkah signifikan yang telah dia lakukan. Mempercayakan pula kepemimpinan Jakarta kepada sosok lain dari kalangan partai politik yang menjadi peserta pemilu sekarang ini tentunya bukan pula menjadi jawaban. Karena partai politik yang ada sekarang juga akan menjadikan Jakarta sebagai rumah bagi orang-orang berada. Asumsi ini tentunya dilandaskan pada ideologi dan politik dari partai yang ada yang cenderung berpihak pada para pemilik modal.

Langkah sinergis haruslah ditempuh oleh masyarakat Jakarta yang selama ini menjadi korban atas kebijakan pemerintah DKI. Mereka yang digusur rumahnya, mereka yang digusur tempat usahanya (PKL), mereka yang diupah rendah oleh para pengusaha dan disetujui oleh pemerintah, mereka yang selama ini tidak mendapatkan hak mereka atas kota Jakartalah yang harus memulai melakukan satu terobosan penting bagi perubahan fundamental di Jakarta. Mengorganisasikan diri dalam satu jaringan untuk kemudian berani menempuh medan perang melalui jalur politik menjadi satu keharusan pasti. Karena disadari bahwa kota Jakarta dengan berbagai macam kebijakannya adalah sebuah tindakan politik yang dilakukan oleh pemerintah daerah dan partai-partai yang bercokol di dewan rakyat.

Tentu bukanlah hal yang mudah melakukan itu, tapi masyarakat Jakarta harus mencoba melakukan itu. Salah satunya adalah melalui momentum pilkada Jakarta yang akan berlangsung pada tahun 2012. Waktu pelaksanaan yang masih lama tentunya memberikan kesempatan kepada masyarakat Jakarta untuk bersiap diri menyongsong agenda tersebut. Dengan mengusung pimpinan dari kalangan masyarakat bawah tentunya hal tersebut bisa dimulai, karena masyarakat sendirilah yang mengetahui dengan pasti apa yang menjadi kebutuhan mereka atas kota ini. Karena masyarakat bawah di Jakarta juga mempunyai hak atas kota ini. Dan jika hak tersebut tidak diberikan oleh pemerintah, bahkan dihilangkan, maka sudah selayaknya hak tersebut direbut oleh tangan mereka sendiri.


* Penulis adalah anggota Perhimpunan Rakyat Pekerja, sekaligus Anggota Forum Belajar Bersama Prakarsa Rakyat dari Simpul Jabodetabek.

** Siapa saja dipersilahkan mengutip, menggandakan, menyebarluaskan sebagian atau seluruh materi yang termuat dalam portal ini selama untuk kajian dan mendukung gerakan rakyat. Untuk keperluan komersial pengguna harus mendapatkan ijin tertulis dari pengelola portal Prakarsa Rakyat. Setiap pengutipan, penggandaan dan penyebarluasan sebagian atau seluruh materi harus mencantumkan sumber (portal Prakarsa Rakyat atau www.prakarsa-rakyat.org).

0 Comments:

Post a Comment