Oleh : Muhammad Daud Berueh*


Korps Kejaksaan Agung beberapa waktu yang lalu kembali merayakan Hari Ulang Tahun (HUT) Adhyaksa yang ke-50. HUT ini selalu diperingati setiap tahunnya oleh Jaksa Agung beserta segenap jajarannya. Di HUT yang ke-50 kinerja Kejaksaan Agung dalam penanganan kasus-kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang berat belum memenuhi harapan dan rasa keadilan bagi para korban.

Sampai dengan saat ini kasus-kasus pelanggaran HAM yang berat masih belum satu pun dituntaskan. Kasus-kasus tersebut masih terhambat prosesnya di Kejaksaan Agung. Dalam catatan kami, Jaksa Agung tidak memiliki komitmen yang serius dalam upaya penegakan HAM di Indonesia. Ketidakseriusan ini terlihat dari mandeknya kasus-kasus pelanggaran HAM yang berat di Kejaksaan Agung. Padahal Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KOMNAS-HAM) sudah menyerahkan berkas hasil penyelidikan kasus-kasus HAM kepada Jaksa Agung, namun hingga saat ini belum ditindaklanjuti dengan melakukan penyidikan agar kasus-kasus tersebut menjadi terang penyelesaiannya. Selain itu kasus Pembunuhan Aktivis HAM, Munir, belum juga dituntaskan oleh Kejaksaan Agung.


Penolakan Penyidikan oleh Jaksa Agung terhadap Kasus-Kasus HAM

Pertama, Kasus Trisakti, Semanggi I dan II. Komnas HAM melalui Komisi Penyelidik Pelanggaran (KPP) HAM Trisakti, Semanggi I dan II telah menemukan adanya dugaan pelanggaran HAM yang berat dalam peristiwa tersebut. Pada 29 April 2002 Komnas HAM mengirimkan berkas hasil penyelidikan kepada Jaksa Agung untuk ditindaklanjuti ke tahap penyidikan. Namun Jaksa Agung menolak melakukan penyidikan dan beberapa kali mengembalikan berkas tersebut ke Komnas HAM, terakhir pada 28 Maret 2008 Jaksa Agung mengirimkan kembalu berkas penyelidikan ke Komnas HAM dengan alasan “tidak dapat ditingkatkan ke tahap penyidikan.” Atas hal tersebut, Komnas HAM pada 28 April 2008 menyerahkan kembali berkas hasil penyelidikan kepada Jaksa Agung dan hingga saat ini masih belum juga dilakukan penyidikan.

Kedua, Komnas HAM melalui Tim Ad Hoc Penyelidikan Kerusuhan Mei 1998 telah menemukan adanya pelanggaran HAM yang berat dalam Kerusuhan Mei 1998. Pada 19 September 2003 telah menyerahkan Laporan Hasil Tim Ad Hoc Penyelidikan Kerusuhan Mei kepada Jaksa Agung untuk ditindaklanjuti ke tahap penyidikan. Jaksa Agung menolak melakukan penyidikan dengan beberapa kali mengembalikan berkas kepada Komnas HAM, terakhir pada 28 Maret 2008 dengan alasan menunggu terbentuknya Pengadilan HAM Ad Hoc. Atas hal tersebut, Komnas HAM menyerahkan kembali berkas penyelidikan pada 28 April 2008.

Ketiga, Kasus Penghilangan Orang Secara Paksa periode 1997-1998. Komnas HAM pada 21 November 2006 telah menyerahkan berkas hasil penyelidikan peristiwa Penghilangan Orang Secara Paksa (PPOSP) kepada Jaksa Agung untuk ditindaklanjuti ke tahap penyidikan. Jaksa Agung menolak melakukan penyidikan dengan beberapa kali mengembalikan berkas ke Komnas HAM, terakhir pada 28 Maret 2008 dengan alasan menunggu terbentuknya Pengadilan HAM Ad Hoc dan kasus ini diselesaikan dalam lingkup Peradilan Militer. Atas hal tersebut, Komnas HAM menyerahkan berkas hasil penyelidikan kepada Jaksa Agung pada 28 April 2008.

Keempat, Kasus Talangsari, Lampung, 1989. Komnas HAM pada 23 Oktober 2008 telah menyerahkan hasil Penyelidikan Peristiwa Talangsari kepada Jaksa Agung untuk ditindaklanjuti ke tahap penyidikan. Kejaksaan Agung belum melakukan penyidikan atas kasus Talangsari dengan alasan masih diteliti oleh Tim Peneliti Direktorat Penanganan Pelanggaran HAM yang berat dan menunggu terbentuknya Pengadilan HAM ad hoc. Namun hingga saat ini belum ada kejelasan kapan penyidikan akan dilakukan.

Kelima, Kasus Wamena-Wasior, Papua. Komnas HAM pada 3 September 2004 telah menyerahkan berkas hasil penyelidikan Peristiwa Wamena-Wasior untuk ditindaklanjuti ke tahap penyidikan. Namun Jaksa Agung kembali menolak untuk melakukan penyidikan dengan beberapa kali mengembalikan berkas ke Komnas HAM, terakhir pada 28 Maret 2008 dengan alasan hasil penyelidikan kurang lengkap. Atas hal tersebut, Komnas HAM kembali menyerahkan berkas penyelidikan kepada Jaksa Agung untuk diteruskan ke tahap penyidikan pada 15 September 2008.

Selain itu, dalam kasus Pembunuhan Aktivis HAM, Munir, Kejaksaan sangat lambat dan setengah hati atas usaha PK (Peninjauan Kembali) terkait putusan bebas terhadap Muchdi PR oleh Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan pasca putusan kasasi yang menyatakan N.O (Niet Ontvankelijk Verklaard) oleh Mahkamah Agung pada tanggal 15 Juni 2009 silam. Sebagai bentuk dan komitmen Jaksa Agung dalam rangka penegakan HAM, Jaksa Agung harus berani mengungkap pelaku yang sebenarnya dengan mengajukan PK.


Jaksa Agung tidak menghormati Mahkamah Konstitusi

Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Republik Indonesia No. 18/PUU-V/2007 atas permohonan uji materil terhadap pasal dan penjelasan pasal 43 (2) UU No 26 tahun 2006 tentang Pengadilan HAM. MK dalam keputusannya menyatakan bahwa pasal 43 ayat 2 tetap berlaku. MK menyatakan untuk menentukan perlu tidaknya pembentukan pengadilan HAM ad Hoc suatu kasus tertentu menurut locus dan tempus delicti memang memerlukan keterlibatan institusi politik yang mencerminkan representasi rakyat yaitu Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), tetapi DPR dalam merekomendasikan pembentukan pengadilan HAM ad Hoc harus memperhatikan hasil penyelidikan dan penyidikan dari institui berwenang, dalam hal ini Komnas HAM dan Kejasaan Agung.

Dengan demikian, menurut MK, Penjelasan Pasal 43 ayat (2) UU Pengadilan HAM sepanjang mengenai kata ”dugaan” bertentangan dengan konstitusi dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Atas hal tersebut, DPR tidak bisa lagi bisa menduga-duga tentang ada atau tidaknya dugaan pelanggaran HAM berat, dalam hal merekomendasikan pembentukan pengadilan HAM ad hoc, DPR harus memperhatikan hasil penyelidikan yang dilakukan oleh Komnas HAM dan penyidikan oleh Kejaksaan Agung. Putusan MK bersifat final, yakni putusan Mahkamah Konstitusi langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dan tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh.

Mengacu pada putusan MK, Jaksa Agung tidak bisa mengelak lagi untuk menolak melakukan penyidikan. Putusan ini justru memperjelas mekanisme dan proses Pengadilan HAM ad hoc, dimana Komnas HAM merupakan lembaga yang berwenang menentukan adanya dugaan pelanggaran HAM berat, hasil penyelidikannya diserahkan kepada Jaksa Agung untuk ditindaklanjuti ke tahap penyidikan. Setelah itu baru DPR merekomendasikan pembentukan pengadilan HAM ad hoc.

Berdasarkan hal tersebut, dalam rangka HUT Adhyaksa yang ke-50 seharusnya dijadikan momentum oleh Jaksa Agung untuk mengevaluasi kinerjanya dalam penanganan kasus-kasus Pelanggaran HAM yang berat dan membersihkan institusi Kejaksaan Agung dari “kotoran” yang selama ini mengendap.



* Penulis adalah Staf Pemantauan Impunitas dan Pemenuhan Hak Korban (KONTRAS), sekaligus Anggota Forum Belajar Bersama Prakarsa Rakyat dari Simpul Jabodetabek.

** Siapa saja dipersilahkan mengutip, menggandakan, menyebarluaskan sebagian atau seluruh materi yang termuat dalam portal ini selama untuk kajian dan mendukung gerakan rakyat. Untuk keperluan komersial pengguna harus mendapatkan ijin tertulis dari pengelola portal Prakarsa Rakyat. Setiap pengutipan, penggandaan dan penyebarluasan sebagian atau seluruh materi harus mencantumkan sumber (portal Prakarsa Rakyat atau www.prakarsa-rakyat.org).

0 Comments:

Post a Comment